Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MUATAN, NILAI, SIFAT, KLASIFIKASI DAN FAKTOR DAYA IKAT


KONSTITUSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Konstitusi yang diampu
oleh :

Dr. UU Nurul Huda, S.Ag., S.H., M.H

Dany Arizaya Mustofa S.H., M.H

Disusun Oleh

Muhammad Fikry Haikal 1173050076


Muhammad Malki Esak 1173050070
Khaerunnisa 1173050057

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Puji serta rasa syukur, marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan sejuta nikmat yang harus selalu kita syukuri. Sholawat beserta
salam mari kita haturkan kehadirat agung Baginda Nabi Besar Muhammad SAW,
yang telah memberikan jalan pencerahan tatkala ummat sedang dalam kegelapan.

Dengan penuh kehati-hatian dalam menjaga keotentikannya, makalah ini


dibuat untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Konstitusi yang
diampu oleh dosen kami Bapak Dr. UU Nurul Huda, S.Ag., S.H., M.H dan Bapak
Dany Arizaya Mustofa S.H., M.H dengan judul ‘’MUATAN, NILAI, SIFAT,
KLASIFIKASI DAN FAKTOR DAYA IKAT KONSTITUSI’’. Mungkin dalam
segi penyusunan, makalah ini tidak sesempuna atas apa yang saya ekspektasikan,
namun tidak ada salahnya dalam menempuh proses pendidikan sebagai suatu
pembelajaran.

Ada pun dalam hal kekurangannya, penyusun meminta maaf sebesar-


besarnya dan sudi kiranya untuk memberikan masukan agar terwujudnya makalah
yang lebih baik lagi. Semoga apa yang telah di tulis dapat diambil
kebermanfaatannya bagi semua yang berminat memepelajarinya.

Bandung 23 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
A. Materi Muatan Konstitusi...................................................................................3
B. Klasifikasi Konstitusi...........................................................................................5
C. Nilai Konstitusi.....................................................................................................9
D. Sifat Konstitusi...................................................................................................11
E. Daya Ikat Konstitusi..........................................................................................13
BAB III PENUTUP.......................................................................................................15
A. KESIMPULAN...................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-


sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut Negara
sendi-sendi itu tertunda harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan
negara tetap tegak berdiri. Konstitusi juga merupakan perangkat peraturan
perundangan dalam kategori yang tertinggi, merupakan hukum tertulis yang
tertinggi dalam negara (Supreme Law). Apabila ditinjau dari penyelenggaraan
Negara konstitusi dijadikan sebagai landasan sumber hukum penyelenggaraan
negara menurut suatu sistem ketatanegaraan tertentu sebagaimana diatur dalam
konstitusi tersebut. Sehingga konstitusi dalam kehidupan suatu negara (terutama
pada negara yang menganut sistem konstitusional) menjadi sangat penting
perannya atau sangat fundamental.

Istilah konstitusi awalnya berasal dari Yunani Kuno Politea dan bahasa
latin Constitutio yang berarti “Hukum atau Prinsip”. Untuk pengertian
constitution dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan antara constitutie
dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman membedakan antara verfassung dan
grundgesetz, bahkan dibedakan pula antara grundrecht dan grundgesetz seperti
antara grondrecht dan grondwet dalam bahasa Belanda. 1 Artinya, yang dinamakan
konstitusi itu tidak saja aturan yang tertulis, tetapi juga apa yang dipraktikkan
dalam kegiatan penyelenggaraan negara, dan yang diatur itu tidak saja berkenaan
dengan organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat pemerintahan daerah. Tetapi juga mekanisme hubungan antara
negara atau organ negara itu dengan warga Negara.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Muatan Konstitusi ?
1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kosntitualisme. Konpress, Jakarta 2006., hlm. 1

1
2. Apa yang dimaksud dengan Nilai Konstitusi ?
3. Apa yang dimaksud dengan Sifat Konstitusi ?
4. Apa yang dimaksud dengan Klasifikasi Kontitusi ?
5. Bagaimana dengan Faktor Daya Ikat Konstitusi ?
C. Tujuan
1. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Muatan Konstitusi ?
2. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Nilai Konstitusi ?
3. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Sifat Konstitusi ?
4. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Klasifikasi Kontitusi ?
5. Untuk memahami bagaimana Faktor Daya Ikat Konstitusi ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Materi Muatan Konstitusi

Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam sebuah studinya
terhadap konstitusi-konstitusi di dunia dan yang dituangkan dalam buku dengan
judul Written Constitution, antara lain mengatakan bahwa:

1. Constitution as a means of forming the state's own political and legal


system,
2. Constitution as a national document dan as a birth certificate dan bahkan
as a sign of adulthood and independence.2

Kedua ahli Hukum Tata Negara Belanda di atas mengatakan, bahwa selain
sebagai dokumen nasional, konstitusi juga sebagaj alat untuk membentuk sistem
politik dan sistem hukum negaranya sendiri. Itulah sebabnya, menurut A.A.H.
Struycken Undang-Undang Dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis
merupakan sebuah dokumen formal yang berisi :

1. hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;


2. tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu
sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
4. suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan
bangsa hendak dipimpin.

Apabila masing-masing materi-muatan tersebut kita kaji, maka kita dapat


menarik kesimpulan bahwa di samping sebagai dokumen nasional dan tanda
kedewasaan dari kemerdekaan sebagai bangsa, konstitusi juga sebagai alat yang
berisi sistem politik dan sistem hukum yang hendak diwujudkan. Dalam kaitan
ini, Wheare mengemukakan adanya dua pendapat yang berbeda satu sama lain.

2
Sri Soemantri M, Fungsi Konstitusi Dalam Pembatasan Kekuasaan, Raja Grafindo, Jakarta, 1996.,
hlm. 4

3
Pertama, ada yang menganggap bahwa konstitusi semata-mata hanya dokumen
hukum dan isinya hanya berupa aturan-aturan hukum saja, tidak lebih dari itu.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa konstitusi tidak hanya berisi kaidah-
kajdah hukum saja, akan tetapi berisi pernyataan tentang keyakinan, prinsip-
prinsip, dan cita-cita.

Lebih lanjut Wheare mengemukakan tentang apa yang seharusnya menjadi


isi dari suatu konstitusi, yaitu the very minimum, and that minimum to be rule of
law.3 Wheare tidak menguraikan secara jelas apa yang seharusnya menjadi materi
muatan pokok dari suatu konstitusi. Ia mengatakan bahwa sifat yang khas dan
mendasar dari bentuk konstitusi yang terbaik dan ideal adalah konstitusi itu harus
sesingkat mungkin untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan para pembentuk
Undang-Undang Dasar dalam memilih mana yang penting dan harus dicantumkan
dalam konstitusi dan mana yang tidak perlu pada saat mereka akan merancang
suatu Undang-Undang Dasar, sehingga hasilnya akan dapat diterima baik oleh
mereka yang akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh
Undang-Undang Dasar tersebut.

Menurut Mr. J.G. Steenbeek, sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam


disertasinya menggambarkan secara lebih jelas apa yang seharusnya menjadi isi
dari konstitusi. Pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu:4

Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga


negaranya;

Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat


fundamental;

Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga


bersifat fundamental.

Dengan demikian, apa yang diatur dalam setiap konstitusi merupakan


penjabaran dari ketiga masalah pokok tersebut. Apabila pendapat Steenbeek di

3
K.C. Wheare, Modern Constitutions, Nusamedia, Bandung, 2010., Hlm33-34
4
Sri Soemantri M., Fungsi…, op.cit., hlm. 51

4
atas kita perbandingkan dengan Strong, secara umum dapat dikatakan bahwa
antara keduanya tidak terdapat perbedaan yang mendasar. Dan apabila perumusan
konstitusi, baik dari pakar ilmu politik Inggris dan pakar ilmu hukum tata negara
kita kaji, apa yang dikemukakan pada hakikatnya mengatur pembatasan
kekuasaan dalam negara.

Menurut Miriam Budiardjo, setiap Undang-Undang Dasar memuat


ketentuan-ketentuan mengenai :

1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan


legislatif, eksekutif, dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur
menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan
pemerintah dan sebagainya.
2. Hak-hak asasi manusia
3. Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar
4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari
Undang-Undang Dasar.

Apabila kita bandingkan pendapat Steenbeek dengan pendapat Miriam


Budiardjo, maka pendapat Miriam ini lebih luas cakupannya. yakni menyangkut
perubahan Undang-Undang Dasar.5

B. Klasifikasi Konstitusi

Apabila hendak mengetahui klasifikasi konstitusi, tentunya harus


membandingkan beberapa konstitusi yang ada di beberapa negara. Banyak di
antara para sarjana yang telah mencoba mengklasifikasikan suatu konstitusi, di
antaranya K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions, C.F. Strong dalam
bukunya Modern Political Constitutions, James Bryce dalam bukunya Studies in
History and jurisprudence, dan J.F. van Maarseveen en var der Tang dalam
bukunya Over het verschijnsel gronwet.

5
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori Dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo, Jakarta,
2013., hlm. 15-16

5
Dari sekian banyak ahli yang dianggap mewakili adalah salah seorang ahli
konstitusi dari Inggris, yajtu K.C. Wheare yang berpendapat tentang macam-
macam klasifikasi suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasaf; Wheare
mengungkapkan panjang lebar mengenai macam-macam konstitusi dilengkapi
dengan beberapa contoh konstitusi di beberapa negara, namun pada intinya
sebagai Berikut :

1. Konstitusi tertulis dan konstitusi bukan tertulis (written constitution and no


written constitution);
2. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rijid (flexible constitution and rejeed
constitution);
3. Konstitusi derajat-tinggi dan konstitusi tidak derajat-tinggi (supreme
constitution and not supreme constitution);
4. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution And unitary
constitution);
5. Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem
pemerintahan parlementer (presidental executive and parliamentary
executive constitution).

Pertama, yang dimaksud konstitusi tertulis ialah suatu konstitusi (UUD)


vang dituangkan dalam sebuah dokumen atau beberapa dokumen formal.
Sedangkan konstitusi yang bukan dalam bentuk tertulis ialah suatu konstitusi yang
tidak dituangkan dalam suatu dokumen formal. Seperti konstitusi yang berlaku di
Inggris, Israel, dan New Zaeland.

Kedua, James Bryce dalam bukunya Studies in History and jurisprudence


memilah konstitusi fleksibel dan konstitusi rijid secara luas. Hemat penulis
pembagian konstitusi atau Undang-Undang Dasar dalam fleksibel dan rijid ini
karena didasarkan atas kriteria atau berkaitan dengan “cara dan prosedur
perubahannya”. Jika suatu konstitusi itu mudah dalam mengubahnya, maka ia
digolongkan pada konstitusi yang fleksibel. Sebaliknya jika sulit cara dan
prosedur perubahannya, maka ia termasuk jenis konstitusi yang rijid. Dalam
konteks ini, UUD 1945 dalam realitanya termasuk konstitusi yang rijid.

6
Adapun ciri-ciri khusus dari konstitusi fleksibel menurut Bryce adalah:

a) Elastis
b) diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang.
c) Berbeda dengan ciri-ciri pokok dari konstitusi yang rijid, meliputi: (a)
mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan
perundang-undangan yang lain, dan (b) hanya dapat diubah dengan cara
yang khusus atau istimewa atau dengan persyaratan yang berat.

Ketiga, yang dimaksud dengan konstitusi derajat tinggi ialah suatu


konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Di samping itu,
jika dilihat dari segi bentuknya, konstitusi ini berada di atas peraturan perundang-
undangan yang lain. Demikian juga syarat untuk mengubahnya lebih berat
dibandingkan dengan yang lain. Sementara konstitusi tidak derajat tinggi ialah
suatu konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi
derajat tinggi. Persyaratan yang diperlukan untuk mengubah konstitusi jenis ini
sama dengan persyaratan yang dipakai untuk mengubah peraturan-peraturan yang
lain, umpamanya undang-undang.

Keempat, klasifikasi yang berkaitan erat dengan bentuk suatu negara.


Artinya, jika bentuk suatu negara itu serikat, maka akan didapatkan sistem
pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara
bagian. Pembagian kekuasaan tersebut diatur dalam konstitusi atau undang-
undang dasamya. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan tersebut tidak
dijumpai, karena seluruh kekuasaannya tersentralkan di pemerintah pusat,
walaupun dikenal juga sistem desentralisasi. Hal ini juga diatur dalam konstitusi
kesatuannya.

Terakhir, klasifikasi konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan


sistem pemerintahan parlementer. C.F. Strong dalam bukunya, Modern Political
Constitution, mengemukakan bahwa di negara-negara dunia ini ada dua macam
sistem pemerintahan. Pertama, sistem pemerintahan presidensial yang mempunyai
ciri-ciri pokok:

7
a) Di samping mempunyai kekuasaan “nominal" sebagai Kepala Negara,
presiden juga berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan (yang belakang
ini lebih dominan).
b) Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi
dipilih langsung oleh.rakyat atau dewan pemilih seperti Amerika Serikat.
Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif. Presiden tidak
dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat
memerintahkan diadakan pemilihan.

Konstitusi yang mengatur beberapa ciri di atas, diklasitikasikan konstitusi


sistem pemerintahan presidensial. Kedua, sistem pemerintahan parlementer yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk atau berdasarkan


kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.
2. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya, mungkin se‘bagian adalah
anggota parlemen.
3. Perdana menteri bersama kabinet bertanggung jawab kepada parlemen.
4. Kepala Negara dengan saran atau nasihat perdana menteri dapat
membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan
umum.

Konstitusi yang di dalamnya mengatur beberapa ciri sistem pemerintahan


di atas, disebut konstitusi sistem pemerintahan paxlementer. Berdasarkan
klasiiikasi konstitusi di atas, UUD 1945 termasuk dalam klasikaasi konstitusi
yang rijid, konstitusi tertulis dalam arti dituangkan dalam dokumen, konstitusi
berderajatntinggi, konstitusi kesatuan, dan yang terakhir termasuk konstitusi yang
menganut sistem pemerintahan campuran. Karena dalam UUD 1945 Di samping
mengatur ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, juga mengatur beberapa ciri
sistem pemerintahan parlementer. Di sinilah keunikan negara Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.6

6
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori…., Op.Cit., hlm. 20-21

8
C. Nilai Konstitusi

Karl Loewestein telah melakukan penelitian dan menghasilkan tiga jenis


penilaian terhadap nilai konstitusi, yaitu sebagai berikut:7

1) Nilai normatif

Suatu konstitusi yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi
mereka konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi
juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan
dan efektif. Dengan kata lain konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan
konsekuen.

Apabila konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa. Maka konstitusi
bukan saja berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga merupakan suatu
kenyataan (reality) dalam arti sepenuhnya secara murni. Dengan demikian tugas
dan kewenangan lembaga-lembaga Negara, seperti ekseskutif, legislatif dan
yudikatif tercantum dalam konstitusi dan bernilai normatif.

2) Nilai nominal

Dalam konteks ini, konstitusi menurut hukum adalah berlaku tetapi


kenyataannya tidak sempurna karena ada pasal-pasal tertentu yang dalam
kenyataannya tidak berlaku (tidak dilaksanakan).

3) Nilai semantik

Konstitusi secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya


sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk
melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang dinamis untuk
mengatur, yang menjadi maksud substansial dan konstitusi diberikan demi
kepentingan pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Dengan demikian, konstitusi

7
Efriza, Ilmu Politik dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan, Alfabeta, Bandung, 2013., hlm
219-220

9
hanya sekedar istilah saja, sedangkan pelaksanaannya tergantung pada
kepentingan pihak penguasa. Konstitusi ini nilainya hanya semantik saja..8

Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi terdapat dua aspek penting,


yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik
(das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan
dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga
merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan
efektif, maka konstitusi tersebut dinamakan konstitusi yang mempunyai nilai
normatif. Namun bila suatu konstitusi sebagian atau seluruh materi muatannya,
dalam kenyataannya tidak dipakai atau pemakaiannya kurang sempurna dalam
kenyataan. Dan tidak dipergunakan sebagai rujukan atau pedoman dalam
pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, maka dapat
dikatakan konstitusi tersebut bernilai nominal. Misalnya dalam konstitusi
menentukan A, namun dalam kenyataan dilapangan justru kenyataannya terbalik
yang digunakan adalah B. sehingga apa yang ditulis dalam konstitusi hanya
bernilai nominal saja. Dalam Praktiknya dapat pula terjadi percampuran antara
nilai nominal dan normatif. Hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang
dasar yang dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam
praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya sebagian,
sedangkan sebagian lainnya hanya bernilai nominal..9 Suatu konstitusi disebut
konstitusi yang bernilai semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya
secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk
memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga
banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan
pembenaran sebagai alat pelanggenagan kekuasaan saja.10

D. Sifat Konstitusi

8
H. Ahmad sukarja, Hukum tata Negara dan hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta,
2012., hlm. 94
9
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm.136
10
Diakses melalui : http://hanisitinurjanah.blogspot.com/2015/04/makalah-nilai-penting-
konstitusi.html, pada hari Senin 23 September 2019, Pukul 05.39

10
Secara umum, suatu konstitusi memiliki sifat-sifat antara lain, formal dan
materiil, tertulis dan tidak tertulis serta flexibel (luwes) dan rigid (kaku) sebagai
berikut :

1. Formal dan Materiil

Konstitusi dalam arti formal berarti konstitusi yang tertulis dalam suatu
ketatanegaraan suatu Negara. Dalam pandangan ini suatu konstitusi baru
bermakna apabila konstitusi tersebut telah berbentuk naskah tertulis dan
diundangkan , misal UUD 1945.

Konstitusi materiil adalah konstitusi yang jika dilihat dari segi isinya yang
merupakan peraturan bersifat mendasar dan fundamental[8]. Artinya tidak semua
masalah yang penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal-hal yang
bersifat pokok, dasar, atau asas-asasnya saja.

2. Tertulis dan Tidak Tertulis

Membedakan secara prinsipiil antara konstitusi tertulis dan tidak tetulis


adalah tidak tepat , sebuatan konstitusi tidak tertulis adalah tidak tertulis hanya
dipakai untuk dilawankan dengan konstitusi modern yang lazimnya ditulis dalam
suatu naskah atau beberapa naskah. Timbulnya konstitusi tertulis disebabkan
karena pengaruh aliran kodifikasi .Salah satu negara di dunia yang mempunyai
konstitusi tidak tertulis adalah inggris namun prinsip-prinsip yang ada
dikonstitusikan dan dicantumkan dalam undamg-undang biasa seperti bill of
rights.

Dengan demikian, suatu konstitusi tertulis apabila dicantumkan dalam


suatu naskah atau beberapa naskah , sedangkan yang tidak tertulis dalam suatu
naskah tertentu melainkan dalam banyak hal yang diatur dalam konvensi-konvensi
atau undang-undang biasa.

3. Sifat Flexibel (luwes) dan Rigid (kaku)

11
Naskah konstitusi atau undang-undang dasar dapat bersifat flexsibel atau
rigid. Menurut kusnardi dan Harmaily ibrahim untuk menentukan suatu konstitusi
itu bersifat rigid dapat dipakai ukuran sebagai berikut :

a. Cara Mengubah Konstitusi

Setiap konstitusi yang tertulis mencantumkan pasal tentang perubahan,


karena kemungkinan akan tertinggal dari perkembangan masyarakat. Suatu
konstitusi pada hakekatnya adalah suatu hukum yang merupakan dasar bagi
peraturan perundangan lainnya . Konstitusi yang bersifat flexibel ialah dengan
pertimbangan bahwa perkembangan tidak perlu mempersulit perubahan
konstitusi, karena untuk perubahannya tidak memerlukan cara yang istimewa,
cukup dilakukan oleh badan pembuat Undang-Undang biasa. Misal negara yang
mempunyai konstitusi bersifat luwes adalah New Zealand dan Inggris. Sementara
yang bersifat rigid atau kaku seperti Amerika, Kanada, Australia.

Karena tingkatannya yang lebih tinggi, konstitusi yang juga menjadi dasar
bagi peraturan-peraturan hukum lainnya yang lebih rendah, para penyusun atau
perumus undang-undang dasar selalu menganggap perlu menentukan tata cara
perubahan yang tidak mudah. Dengan prosedur yang tidak mudah pula orang
untuk mengubah hukum dasar negaranya. Kecuali apabila hal itu memang
sungguh-sungguh dibutuhkan karena pertimbangan objektif dan untuk
kepentingan seluruh rakyat, serta bukan untuk sekedar memenuhi keinginan atau
kepentingan segolongan orang yang berkuasa saja. Oleh karena itu biasanya
prosedur perubahan undang-undang dasar diatur sedemikian berat dan rumit
syarat-syaratnya sehingga undang-undang dasar yang bersangkutan menjadi
sangat rigid dan kaku. Konstitusi yang bersifat rigid menetapkan syarat perubahan
dengan cara yang istimewa, misalnya dalam sistem parlemen bikameral, harus
disetujui lebih dahulu oleh kedua kamar parlemennya. Misal negara yang
mempunyai konstitusi bersifat rigid adalah amerika serikat, australia, kanada dan
swiss.

b. apakah konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman.

12
Konstitusi yang fleksibel lain ialah konstitusi yang mudah mengikuti
perkembangan zaman, memuat hal penting didalamnya termasuk pokok-pokok
isinya yakni mengikuti perkembangan masyarakat, karena pengaturannya lebih
lanjut kepada bentuk perundang-undangan yang posisinya lebih bawah sehingga
mudah dibuat dan dirubah.

Menurut C.F. Strong suatu undang-undang yang rigid dapat dirubah


dengan cara :

 Oleh lembaga legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan


 Oleh rakyat secara langsung melalui suatu referendum
 Oleh urusan negara-negara bagian (negara serikat)
 Dengan kebiasaan ketatanegaraan atau oleh suatu lembaga negara yang
khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.

E. Daya Ikat Konstitusi

Ada 3 pendekatan untuk mengetahui seberapa mengikatnya Konstitusi


tersebut :

1. Pendekatan Aspek Hukum

Menurut Aliran Positivisme Hukum, Konstitusi Mengikat, Karena Dibuat


Oleh Lembaga yang Berwenang Membuat Hukum, Sekaligus Dibuat Untuk dan
Atas Nama Rakyat. Konstitusi sebagai Produk Hukum Pemberlakuannya Dapat
Dipaksakan oleh Aparatur Negara untuk Menciptakan Masyarakat yang Damai,
Tertib, dan Adil.

2. Pendekatan Aspek Politik

Hukum Merupakan Produk Politik yang Salah Satu Ketentuannya


Menjadikan/Menetapkan Lembaga Perwakilan Rakyat untuk Membuat Konstitusi.
Penetapan Hukum dan Lembaga Perwakilan Rakyat Tersebut Merupakan

13
Kristalisasi atau Proses Politik yang Disepakati dan Diakui Rakyat. Dengan
demikian Konstitusi sebagai Produk Kristalisasi Politik tersebut Mengikat Rakyat.

3. Pendekatan Aspek Moral

Konstitusi Disusun Berdasarkan Nilai-nilai Moral atau Materi


Muatan/isinya Tidak Boleh Bertentangan dengan Nilai-nilai Moral Universal
(Misal: Perbudakan), Karena Merupakan Landasan Fundamental Negara. Dengan
demikian Rakyat Terikat untuk Mentaatinya Karena Sesuai dengan Nilai-nilai
Moral/Etika yang Dimiliki/Diakuinya.11

BAB III

PENUTUP

11
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori…., Op.Cit., hlm. 44-45

14
A. KESIMPULAN

Sebagai hukum yang sangat Fundamental UUD 1945 merupakan wujud


konstitusi tertulis kita harus selalu hidup dan berkembang amandemen terhadap
UUD adalah sebagai wujud perkembangan hukum dari masa kemasa. Reformasi
harus berkesinambungan antara ekonomi, hukum, politik, social dan budaya. Nilai
Konstitusi sangat jelas adanya baik dari segi normative, nominal maupun
semantik, maka keberadaan konstitusi di Indonesia sangatlah berpengaruh. Dari
segi sifat Konstitusi bersifat Fleksibel dan Kaku pada intinya, Negara yang
memiliki konstitusi masing-masing pasti tidak terlepas dari sifat dua tadi. Dan
daya ikat dari konstitusi itu sendiri dapat dilihat dari aspek Hukum, Politik, dan
Moral.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

15
Ahmad sukarja, Hukum tata Negara dan hukum Administrasi Negara, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012.,
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori Dan Hukum Konstitusi, Raja
Grafindo, Jakarta, 2013.
Efriza, Ilmu Politik dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan, Alfabeta,
Bandung, 2013.,
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kosntitualisme. Konpress, Jakarta 2006
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006,
K.C. Wheare, Modern Constitutions, Nusamedia, Bandung, 2010
Sri Soemantri M, Fungsi Konstitusi Dalam Pembatasan Kekuasaan, Raja
Grafindo, Jakarta, 1996.
INTERNET
Diakses melalui : http://hanisitinurjanah.blogspot.com/2015/04/makalah-nilai-
penting-konstitusi.html, pada hari Senin 23 September 2019

16

Anda mungkin juga menyukai