Anda di halaman 1dari 3

Nama : Fani Nurfadila

NIM 11200480000100

Matkul : Filsafat Hukum (IH-6B)


Dosen Pengampu : Windy Triana M.A.

Resume Materi
Aliran Positivisme Hukum

Positivisme hukum (aliran hukum positif), memandang perlu memisahkan secara tegas antara
hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum, yang seterusnya, antara das Sein dan
das Sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a
command of the lawgivers). Bahkan, bagian aliran hukum positif yang dikenal dengan nama
Legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang lebih tegas,
bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.

Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak: (1) Aliran Hukum Positif Analitis
(Analytical Jurisprudence) atau biasa juga disebut positivisme sosiologis yang dikembangkan oleh
John Austin dan (2) Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) atau dikenal juga positivisme
yuridis yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.

1. Aliran Positivisme Sosiologis: John Austin (1790-1859)

Hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum itu sendiri, menurut Austin
terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis,
dan tertutup. Dalam bukunya the province of Jurisprudence Determinal, Austin menyatakan
“A law is a command which obliges a persons... Laws and other commands are said to proceed
from superiors, and to bind or oblige inferiors.”

Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang
diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan
hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang
diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau
sebaliknya.

Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis: (1) hukum dari Tuhan untuk
manusia (the divine laws), dan (2) hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang
dibuat oleh manusia dapat dibedakan lagi dalam: (1) hukum yang sebenarnya, dan (2) hukum
yang tidak sebenarnya. Hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum positif)
meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara
individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak
sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi olahraga. Hukum yang
sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu: (1) perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3)
kewajiban (duty), dan (4) kedaulatan (sovereignty).

2. Aliran Positivisme Yuridis: Hans Kelsen (1881-1973)

Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti unsur
sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang kemudian dikenal dengan Teori
Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollens kategorie
(kategori keharusan/ideal), bukan Seins Kategorie (kategori faktual).

Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai
makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum
itu seharusnya” (what the law ought to be). Tetapi “apa hukumnya itu Sollen Kategorie, yang
dipakai adalah hukum positif (ius constitutum), bukan yang dicita-citakan (ius
constituendum).

Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin, walaupun Kelsen
mengatakan bahwa waktu ia mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama sekali tidak
mengetahui karya Austin. Walaupun demikian, asal usul filosofis antara pemikiran Kelsen dan
Austin berbeda. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme, sedangkan Austin
pada utilitarianisme.

Kelsen dimasukkan sebagai kaum Neo Kantian karena dia menggunakan pemikiran Kant
tentang pemisahan bentuk dan isi. Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma),
bukan (materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada diluar hukum. Suatu hukum dengan
demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.

Di sisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum positif itu pada kenyataannya dapat saja
menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur
sudah ada, dan biasanya dalam keadaan demikian, penguasa pun tidak akan memaksakan
penerapannya. Dalam hukum pidana, misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu
dikenal dengan istilah dekriminalisasi dan depenalisasi, hingga suatu ketentuan dalam hukum
positif menjadi tidak mempunyai daya berlaku lagi, terutama secara sosiologis.

Kelsen selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa
mengembangkan Teori Jenjang (Stufentheorie) yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl
(1836-1896) yang merupakan ajaran hukum umum. Teori ini melihat hukum sebagai suatu
sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah
memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan
semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin
konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut
oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar) atas Ursprungnorm.
Seiring waktu, perkembangan hukum positif dapat dilihat dari beberapa hal berikut:

1. Peningkatan Penerapan Hukum Positif: Hukum positif semakin banyak diterapkan dalam
sistem hukum modern. Negara-negara modern banyak yang telah mengadopsi pandangan ini
dan menetapkan hukum mereka berdasarkan pada aturan yang telah ditetapkan oleh lembaga
politik yang sah.
2. Perkembangan Sistem Hukum Modern: Sistem hukum modern banyak yang didasarkan pada
prinsip-prinsip hukum positif. Misalnya, dalam sistem hukum common law, aturan hukum
dibuat oleh hakim dalam keputusan pengadilan berdasarkan pada prinsip hukum positif.
3. Peningkatan Pemahaman terhadap Hukum: Perkembangan hukum positif juga membantu
meningkatkan pemahaman terhadap hukum dan memungkinkan penegak hukum untuk
bekerja dengan lebih efektif. Dengan dasar hukum positif yang jelas, hakim dan pengacara
dapat lebih mudah memahami hukum dan mengambil keputusan yang tepat.
4. Pengaruh Globalisasi: Pengaruh globalisasi juga mempengaruhi perkembangan hukum
positif di banyak negara. Banyak negara yang mulai memandang hukum positif sebagai
prinsip yang penting dalam upaya mereka untuk membangun negara hukum yang efektif dan
menjalankan sistem peradilan yang adil.
5. Pengembangan Teori Hukum Positif: Para ahli hukum terus mengembangkan teori hukum
positif. Dalam hal ini, teori-teori seperti teori hukum murni atau pure law dan teori hukum
kritis yang mengkritik pandangan hukum positif terus berkembang seiring waktu.

Anda mungkin juga menyukai