Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muliadi

NPM : 2216020040

Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif)

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk
memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme
Jerman Klasik).
Aliran Hukum Positif atau Positivisme Hukum merupakan salah satu aliran dalam
filsafat hukum. Aliran ini memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan
moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das
sollen). Positivisme Hukum sangat mengagungkan hukum yang tertulis dan menganggap
bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif. Bagi aliran ini, semua persoalan dalam
masyarakat harus diatur dalam hukum tertulis. Sikap penganut aliran ini dilatarbelakangi oleh
penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis, mereka
menganggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan kekuasaan adalah hukum.
Aliran hukum positif lahir sebagai sebuah antitesa dari teori hukum alam. Aliran
hukum positif memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara
hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, das Sein dan das Sollen). Dalam kacamata
positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lawgivers).
Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat
lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada
kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris
dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Ciri-ciri Positivisme Hukum Menurut HLA Hart :

a.       Hukum Merupakan perintah dari manusia (Command of human being)

b.      Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum di satu sisi dengan moral di pihak lain,

atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang sesungguhnya.


c.       Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan harus dibedakan

dari studi yang historis maupun sosiologis, dan harus dibefakan pula dari penilaian yang

bersifat kritis.

d.      Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang logis dan bersifat tertutup, dan

didalamnya keputusan-keputusan hukum yang tepat/benar biasanya dapat diperoleh dengan

alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa

memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.

e.       Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai

pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi rasional, pembuktian atau

percobaan.

Ada dua corak dalam Positivisme Hukum, yaitu Aliran Hukum Positif Analitis
(Analytical Jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin dan Aliran Hukum Murni
(Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.

1. Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin

John Austin adalah pelopor dari Aliran Hukum Positif Analitis yang menyatakan
bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur
perintah itu. Austin memandang hukum sebagai suatu sistem yang tetap, logis dan
tertutup. Hukum adalah perintah yang mewajibkan seseorang atau beberapa orang. Ia
menyatakan bahwa hukum dan perintah lainnya berjalan dari atasan (superior) dan
mengikat atau mewajibkan bawahan (inferior). Pihak superior yang menentukan apa yang
diperbolehkan dan kekuasaan superior memaksa orang lain untuk mentaatinya. Superior
mampu memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti dan mengarahkan tingkah
laku orang lain ke arah yang diiinginkannya. Austin berpandangan bahwa hukum adalah
perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya.
Austin membedakan hukum menjadi dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan untuk
manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang dibuat oleh manusia
kemudian dibedakan lagi menjadi:
a. Hukum yang sebenarnya (hukum positif), yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa dan
hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang
diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu perintah
(command), sanksi (sanction), kewajiban (duty) dan kedaulatan (sovereignty).
b. Hukum yang tidak sebenarnya, adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa,
sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contohnya peraturan dari suatu
organisasi olahraga.

2. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen

Penggagas Aliran Hukum Murni adalah Hans Kelsen yang berpendapat bahwa
hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis seperti sosiologis, politis,
historis dan etis. Hukum adalah suatu sollenkategorie atau kategori keharusan/ideal,
bukan seinskategorie atau kategori faktual. Lebih lanjut Kelsen menguraikan bahwa
hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk
rasional, dalam hal ini yang dipermasalahkan bukanlah bagaimana hukum itu
seharusnya, melainkan apa hukumnya. Meskipun hukum itu sollenkategori, namun yang
digunakan adalah hukum positif (ius constitutum), bukan hukum yang dicita-citakan (ius
constituentum).
Kelsen berpendapat bahwa hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi
(materia), sehingga keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Hukum bisa saja
tidak adil, namun hukum tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa. Ia juga
berpendapat bahwa hukum positif pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif
lagi. Hal ini bisa disebabkan karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada,
sehingga penguasa tidak akan memaksakan penerapannya.
Selain mencetuskan Teori Hukum Murni, Kelsen juga berperan dalam
mengembangkan Teori Jenjang (Stufentheorie) yang dipelopori oleh Adolf Merkl. Teori
Jenjang memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma
berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu
norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya,
demikian pula sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu norma, akan semakin
konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi dan berada di puncak piramida disebut
norma dasar (grundnorm atau ursprungnorm).
Teori Jenjang tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh Hans Nawiasky yang
mengkhususkan pembahasannya pada norma hukum saja. Nawiasky mengartikan hukum
identik dengan peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa (perundang-undangan). Teori
ini disebut die Lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsordnung. Sistem hukum di
Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky tersebut.
Menurut Friedman, esensi ajaran Hans Kelsen adalah sebagai berikut:
a. Tujuan teori hukum seperti halnya ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan serta
meningkatkan kesatuan;
b. Teori hukum adalah ilmu, dan bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan tentang
hukum yang ada, dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada;
c. Ilmu hukum adalah normatif dan bukan ilmu alam;
d. Teori hukum sebagai suatu teori tentang norma-norma, tidaklah berurusan dengan
persoalan efektivitas norma-norma hukum;
e. Suatu teori tentang hukum sifatnya formal, merupakan suatu teori tentang cara
pengaturan dan isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik
f. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah
sama halnya dengan hubungan antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Anda mungkin juga menyukai