Anda di halaman 1dari 6

NAMA : RA;AF ABDI PANDUA

NPM : 21041009
RESUME ALIRAN HUKUM POSITIF (POSITIVISME)

PENGERTIAN LEGAL POSITIVISME


Sebelum membahas lebih jauh tentang pemahaman legal positivism terlebih dahulu akan
dipaparkan terminologi legal positiivism, yaitu:
1. Hart membedakan lima arti dari positivisme seperti yang banyak disebut dalam
hukum kontemporer sebagaimana dikutip oleh W. Friedmann, yaitu: a. anggapan
bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia; b. anggapan bahwa tidak
perlu ada hubungan antara hukum dan moral atau hukum yang ada dan yang
seharusnya ada; c. anggapan bahwa analisa (atau studi tentang arti) dari konsepsi-
konsepsi hukum: (i) layak dilanjutkan, dan (ii) dan harus dibedakan dari penelitian-
penelitian histories mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang-undang dari
penelitian–penelitian sosiologis mengenai hubungan dengan gejala sosial lainnya,
dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral, tuntutan-tuntutan
sosial, fungsi-fungsinya, atau sebaliknya; d. anggapan bahwa sistem hukum adalah
suatu sistem logis tertutup di mana putusan-putusan hukum yang tepat dapat
dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah
ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan,
norma-norma moral; dan e. anggapan bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat
diberikan atau dipertahankan seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan tentang
fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti
2. Han Kelsen menegaskan bahwa terdapat tiga kemungkinan interpretasi terhadap
istilah positivisme sebagaimana dikutip oleh Ade Maman Suherman, yaitu: a. Legal
positivisme sebagai metode adalah cara mempelajari hukum sebagai fakta yang
kompleks, fenomena atau data sosial dan bukan sebagai sistem nilai, sebagai
metode yang men-setting pusat inquiry problem-problem formal dari keabsahan
hukum, bukan aksiologi suatu keadilan dari suatu konten norma/aturan; b. Legal
positivisme yang dipahami secara teori adalah teori yang berkembang pada era
kodifikasi sampai pada abad ke-sembilan belas. Dalam konsep ini dikembangkan
dari ecole de l’exegese sampai ke Jerman Rechtwissenschaft hukum dikemas
sempurna , dengan positive order yang berasal dari kegiatan legeslatif suatu negara.
Paham ini disebut kelompok imperativist, corvisit, legalist conception yang
ditegakkan melalui hukum yang literal (tertulis), interpretasi norma tertulis secara
mekanis oleh penerjemah, khususnya hakim; c. Legal positivisme sebagai ideologi
merupakan ide bahwa hukum negara ditaati secara absolut yang disimpulkan ke
dalam suatu statement gezetz ist gezetz atau the law is the law.
Berdasar pengertian-pengertian legal positivisme yang dikonstatir oleh kedua ahli
hukum tersebut di atas secara umum dapat dipahami bahwa legal-positivism merupakan
suatu aliran yang melakukan kritik terhadap kelemahan-kelemahan teori hukum kodrat
yang mengutamakan pada keutamaan moral, yaitu hidup sesuai dengan hukum yang
tertulis dalam kodrat manusia. Sementara legal-positivism tidak mempersoalkan
kandungan substantif yang normatif, etis ataupun estetis. Di samping itu, legal-positivism
mengajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku; dan hukum
positif di sini adalah norma-norma yudisial yang telah dibangun oleh otoritas negara.

PERKEMBANGAN TEORI-TEORI POSITIVISME


Dalam positivisme terdapat berbagai cabang pemahaman yang berlainan pendapat
satu sama lain. Namun demikian, pada prinsipnya mempunyai kesamaan dasar
fundamental yakni: (1) A positive law is binding even if it is supremely immoral; (2) No
pricpile of morality is legally binding until it has been enacted into moral law; (3) That a
statute is legally binding does not settle tehe moral question of whether we ought
(morally speaking) to obey or disobey the law. 12 Pemahaman terhadap positivisme
sangat dipengaruhi oleh dua ahli hukum terkemuka, yaitu Jhon Austin yang
mengemukakan Command Theory, sementara Hans Kelsen mengemukakan teori
konvensi sosial.

POSITIVISM JURISPRUDENCE
Positivisme menurut Hans Kelsen (Jerman) atau disebut Eine Reine Rechtehre dan
Lengdell dengan mekachanistis Jurisprudence adalah suatu perangkat teori dan ajaran
dalam ilmu hukum dan praktek hukum modern yang didasarkan pada landasan falsafah
positivisme yang berkembang dalam alur paradigma Galilean. Aliran positivisme baik
dalam ilmu hukum maupun dalam praktek hukum adalah sebagai teori dan ajaran yang
mereduksi eksistensi manusia dalam proses hidupnya yang dikuasai oleh kepastian
hukum sebab akibat. Dari konsep tersebut manusia tidak mempunyai kebebasan dalam
berkehendak. Positivisme sepertinya bebas, akan tetapi dalam kehidupan yang nyata
adalah terikat. (karena diatur oleh norma yang terdapat dalam undang-undang). Atau
manusia dikontrol oleh hukum yang lengkap dan bebas. Positivisme dapat juga diartikan
suatu paham filsafati dalam alur tradisi pemikiran Galilean (atau Newtonian), yang
digunakan oleh para ahli astronomi dan fisika.
Positivism bertolak dari anggapan aksiomatik bahwa alam semesta ini pada
hakekatnya adalah suatu himpunan fenomenon yang saling berhubungan secara
interakltif dalam suatu jaringan kausalitas, yang dinamis, deterministik dan makanistik.
Fenomenon yang satu sebagai penyebab fenomenon yang lain. Oleh karena itu bahwa
alam ini terjadi hubungan sebab akibat sebagai kesatuan yang berhubungan. Positivism
dalam hukum artinya hukum dipositifkan sebagai status tertinggi diantara berbagai
norma (the supreme of law), yang terdiri dari suatu rangkaian panjang pernyataan-
pernyataan tentang berbagai perbuatan yang diidentifikasikan sebagai fakta hukum
dengan konsekuensinya yang disebut akibat hukum.
Sebagai positivism jurisprudence atau positivisme ilmu hukum bertolak bahwa ilmu
hukum adalah sekaligus ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga
masyarakat yang sudah semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas. Tokoh
positivisme yang menganut ajaran hukum murni gaya Kelsenian adalah C.Langdell. Dia
adalah guru besar Harvard menyatakan bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang secara
metodologik tak beda dengan ilmu pengetahuan alam (phisics) yang meniscayakan
hubungan positif yang berkepastian tinggi antara sebab dan akibat.
Aliran positivisme dalam kaidah hukum disebut sebagai legisme, yaitu suatu paham
(isme) bahwa kehidupan bernegara bangsa mestilah semata-semata berdasarkan
hukum undang-undang (lege, lex). Menurut Langdell pada abad 19 kajian hukum positif
disebut Legal Science atau Mechanistic Jurisprudence. Dalam aliran ini perlu ada
undang-undang yang berasal dari kesepakatan, kemudian dipositifkan dan diwujudkan
dalam undang-undang. Paradigma legisme positivisme adalah paham bahwa kebenaran
harus bisa ditunjukkan. Wujud fisiknya lewat cara penyimakan indrawi. Atau kebenaran
yang kasat mata.

TEORI HUKUM JHON AUSTIN (1790-1859)


Di antara ajaran postivisme yang terpenting adalah ajaran hukum positif yakni
analytical jurisprudence (ajaran hukum analitis) oleh John Austin. Menurut ajaran ini
hukum adalah perintah penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur perintah.
Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis dan tertutup. Austin
membedakan hukum dalam dua jenis: a) hukum dari Tuhan untuk manusia (the devine
laws), dan b) hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang dibuat oleh manusia
dibedakan lagi dalam: (i) hukum yang sebenanya, (ii) hukum yang tidak sebenarnya.
Hukum dalam arti sebenarnya (hukum positif) mempunyai empat unsur yakni perintah,
kewajiban, sanksi, dan kedaulatan. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang
tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi
kesenian. Berhubung teori Austin berdasarkan pada perintah penguasa-penguasa dalam
arti negara modern—ajarannya diterima dan dikembangkan Rudolf von Ihering dan
George Jellinek.

PRINSIP ALIRAL POSITIVISME


Sebenarnya pertentangan antara idealis versus materialis, metafisis versus positivis,
ontologis versus empiris, telah berlangsung cukup lama. Artinya kemunculan positivisme
ini mengiringi kemunculan filsafat. Positivisme sama tuanya dengan filsafat. Meskipun
demikian, positivisme baru berkembang pesat pada abad ke-19 ketika empirisme
mendominasi pemikiran. Positivisme lahir dan berkembang di bawah naungan
empirisme,4 artinya antara empirisme dan positivisme tidak dapat dipisahkan. Pesatnya
perkembangan positivismen terjadi setelah menangnya gerakan sekularisasi, yang
berupaya memisahkan secara tegas antara urusan politik (negara) dengan urusan
Gereja (agama), dan bersamaan dengan runtuhnya kewibawaan gereja, yang
menawarkan basis pemikiran transendental.
Secara epistimologis, empirisme dan positivisme mendalilkan, bahwa panca indera
adalah satu-satunya yang membekali akal manusia dengan konsepsi-konsepsi dan
gagasan-gagasan. Konsep-konsep yang tidak terjangkau oleh penginderaan tidak dapat
diterima. Pola pemikiran demikian, secara historis, bisa dilacak sampai kepada
pemikiran Aristoteles, ketika ia menyatakan, bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak
memiliki apa-apa, ibarat sebuah kertas putih (ingat teori tabula rasa) yang siap dilukis
oleh pengalaman, atau seperti apa yang dikatakan Locke, tokoh empirisme, “There is
nothing in the mind except what was first in the senses” tidak ada apa-apa dalam
pikiran/jiwa kecuali harus lebih dulu lewat indera.
Para positivis menentang ilmu metafisika, yang ghaib, apa yang berada di luar batas
pengalaman manusia. Mereka menganggap metafisika sebagai tidak ada artinya bagi
ilmu pengetahuan, sebab metafisika menarik diri dari tiap usaha untuk verifikasi,
kebenaran atau ketidakbenaran pendirian yang tidak dapat ditetapkan.6 Oleh karena itu,
para positivis telah mengucapkan selamat tinggal pada “dunia dewa” dan “dunia
hakekat”, karena dianggap tidak rasional. Pada tahap ini aliran positivisme telah
“membuang” filsafat. Wilayah metafisika dan hakikat menjadi obyek pemikiran filsafat
melalui kontemplasi-spekulasi, yang tidak dapat didekati dengan indera-indera kaum
positivis.

PEMIKIRAN POSITIVISME HUKUM


Ketika kaum positivisme tersebut mengamati hukum sebagai obyek kajian, ia
menganggap hukum hanya sebagai gejala sosial. Kaum positivisme pada umumnya
hanya mengenal ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula positivisme hukum hanya
mengenal satu jenis hukum, yakni hukum positif. Positivisme hukum selanjutnya
memunculkan analytical legal positivism, analytical jurisprudence, pragmatic positivism,
dan Kelsen’s pure theory of law.
Oleh aliran positivis hukum hanya dikaji dari aspek lahiriahnya, apa yang muncul
bagi realitas kehidupan sosial, tanpa memandang nilai-nilai dan norma-norma seperti
keadilan, kebenaran, kebijaksanaan, dan lain-lain yang melandasi aturan-aturan hukum
tersebut, maka nilai-nilai ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Sebenarnya
positivisme hukum juga mengakui hukum di luar undang-undang, akan tetapi dengan
syarat: “hukum tersebut ditunjuk atau dikukuhkan oleh undang-undang”. Di samping itu,
pada dasarnya kaum positivisme hukum tidak memisahkan antara hukum yang ada atau
berlaku (positif) dengan hukum yang seharusnya ada, yang berisi norma-norma ideal,
akan tetapi kaum positivis menganggap, bahwa kedua hal tersebut harus dipisahkan
dalam bidang-bidang yang berbeda.
Oleh karena mengabaikan apa yang terdapat di balik hukum, yakni berupa nilai-nilai
kebenaran, kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya ada dalam hukum, maka
positvisme hanya berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human being).
b. Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada
(das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen).
c. Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus
dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-
usul dari undang-undang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
d. Keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-
peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-
tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas.
e. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan
dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian.
Aliran positivisme dan legisme, yang mengedepankan undangundang tertulis,
mendapat dukungan kuat di wilayah hukum kontinental, yang memiliki kecenderungan
akan adanya kodifikasi hukum. Semangat kodifikasi ini sebenarnya diilhami pula oleh
hukum Romawi. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja adalah
membuat peraturan melalui dekrit, yang dari berbagai dekrit ini dijadikan rujukan oleh
para administrasi negara dalam menjalankan dan memutus berbagai perkara.
Meskipun kaum positivis hukum dengan tegas memisahkan hukum yang ada dengan
hukum yang seharusnya ada, pemisahan antara wilayah kontemplatif dan wilayah
empiris, akan tetapi dalam kerangka pemikiran hukum aliran positivis tetap
dikategorikan sebagai aliran filsafat dalam hukum, dengan metode mereka sendiri
yang khas dan dipengaruhi oleh cara berpikir empirisme.
DAFTAR PUSTAKA

[1]
Halim, A., 2008. Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya.
Jurnal Asy-Syir'ah, 42(2).
[2] Haryono, 2019. Eksistensi Aliran Positivisme Dalam Ilmu Hukum. Jurnal Meta-Yuridis,
2(1).
[3] Najwan, J., Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum. Law Positivism,
Implication, Analytical Jurisprudence, pp. 18-31.

Anda mungkin juga menyukai