Anda di halaman 1dari 5

Filsafat Hukum ~

Positivisme Hukum

1. Merumuskan Apa Pokok Ajaran Filsafat Hukum (Positivisme Hukum) masing-masing


Kelompok !
Jawab :
Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas
antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das
sein dan das sollen). Dalam pandangan positivis, tidak ada hukum lain, kecuali perintah
penguasa.
Positivisme hukum berpegang pada prinsip-prinsip :
a). Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human being).
b) Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada (das
sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen).
c) Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus dibedakan
dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang-
undang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
d) Keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan
yang sudah ada terlebih lebih dahulu, tanpa perlu menunjukan kepada tujuan-tujuan
sosial, kebijaksanaan, dan moralitas.
e) Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh
penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian.
Terdapat tiga landasan pandangan positivisme hukum. Landasan pertama bahwa hukum
adalah perintah manusia yang memisahkan hukum dengan moral. Kedua penelitian dilakukan
terhadap hukum dipisahkan dari unsur-unsur di luar hukum seperti sejarah, sosiologis dan
politik. Ketiga sistem hukum adalah sistem logis tertutup di mana keputusan yang benar dapat
dideduksi dari aturan hukum yang telah ditentukan dengan maksud logis semata. Kekuatan dari
pandangan positivisme hukum adalah argumentasi yang didasarkan pada penerapan struktur
norma positif ke dalam kasus-kasus konkret. Pola penalaran yang dipergunakan adalah top to
down dengan pola deduktif.

2. Siapa Tokohnya (2 Tokoh), Bagaimana Pandangannya, Perbedaannya Apa ?


Jawab :
a. Tokoh Positivisme Hukum
- John Austin

Aliran Hukum Positif Analitis atau Wilayah Yurisprudensi Yang Ditetapkan The Province of
Jurisprudence Determined)
- Hans Kelsen
Ajaran hukum Hans Kelsen terdiri dari dua konsep.
 Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre)
 Aliran Stuffenbau Theory. Ajaran ini pada mulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl
kemudian dipopulerkan oleh Hans Kels

b. Pandangan Positivisme Hukum Menurut Tokoh tersebut


- Pandangan Menurut John Austin
Inti dari ajaran Analytical Jurisprudence adalah Law is a command (hukum merupakan
perintah dari penguasa).
John Austin mendefinisikan hukum sebagai berikut:
”Law is a command set, either directly or circuitously, by a sovereign individual or body, to a
members of some independent political society in which his auhority is supreme.” Jadi hukum
adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa
kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana
otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang tertinggi. Menurut Austin hukum
adalah peraturan-peraturan yang berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal
dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu. Jadi,
landasan dari hukum adalah “kekuasaan dari penguasa”. Austin menganggap hukum sebagai
suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), dimana keputusan-
keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari
peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai
yang baik atau buruk.

- Pandangan Menurut Hans Kelsen


Ajaran hukum Hans Kelsen terdiri dari dua konsep.
a. Ajaran hukum murni (Reine Rechtlehre) adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari
sosiologis, moral, politis, historis, dan sebagainya. Hukum adalah suatu keharusan yang
mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. Baginya tidak mempersoalkan
hukum itu dalam kenyataannya, tetapi mempersoalkan apa hukumnya.
Bahkan dalam ajaran hukum murni ini menolak keadilan dijadikan pembahasan dalam ilmu
hukum. Bagi Hans Kelsen keadilan adalah masalah ideologi yang ideal-irasional.
b. Ajaran Stuffenbau Theory. Ajaran ini pada mulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl
kemudian dipopulerkan oleh Hans Kelsen. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem
yang terdiri dari susunan norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah
memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma
semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu norma semakin kongkrit
sifatnya.Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida disebut Grundnorm atau
unsprungnorm. Teori jenjang melihat hukum itu identik dengan perundang-undangan.
Menurut teori ini di luar perundang-undangan tidak termasuk hukum. Teori jenjang
kemudian dihubungkan sistem hukum Indonesia berdasar ketetapan MPRS
No.XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum RI dan
tata urutan peraturan perundang-undangan RI didasari oleh Stuffenbau Theory dengan ciri
formal legalistik.

c. Perbedaan nya Apa Saja


- Pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859), beliau dikenal
sebagai “bapak llmu hukum Inggris”, sedangkan Hans Kelsel juga terkenal dengan ajaran Teori
Hukum Murni (The Pure Theory Of Law).
- Pendapatnya dikenal dengan istilah analytical jurisprudence yang berpendirian bahwa hukum
adalah perintah dari penguasa yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan, jadi unsur
yang terpenting dari hukum adalah “perintah” (command). Oleh karena itu hukum bersifat tetap,
logis, dan tertutup (closed logical system), di mana keputusan-keputusan hukum yang
benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan- peraturan hukum
yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai yang baik atau buruk.
Sedangkan, Hans Kelsel juga terkenal dengan ajaran Teori Hukum Murni (The Pure Theory Of
Law) yang menjelaskan bahwa hukum ditaati bukan karena dinilai adil atau baik, namun karena
hukum itu tertulis dan disahkan oleh penguasa. Paparan Hans Kelsen pada tataran hukum murni
terfokus pada penjelasan tentang hakekat hukum dan bagaimana hukum itu dibuat. Hal inilah
yang menjadikan ilmu hukum mempunyai obyek studi yakni perundang-undangan, yang tertulis,
mengandung perintah dan sanksi apabila dilanggar serta dibuat oleh negara sebagai penguasa.
- Perbedaan pandangan John Austin dan Hans Kelsen
Austin menyatakan bahwa suatu perintah baru dapat dikatakan sebagai hukum hanya apabila
perintah tersebut berasal dari suatu kedaulatan penuh (berkuasa penuh) yaitu negara. Hukum
positif dimaknai sebagai aturan yang dibuat oleh negara sebagai yang memegang kedaulatan
penuh.
Sedangkan, Kelsen tidak sependapat bahwa hukum adalah suatu perintah karena perintah
mensyaratkan adanya unsur psikologis. Kelsen berpendapat bahwa hukum merupakan norma
murni yang berasal dari sumber yang terbatas yang membuat suatu gagasan mengenai seseorang
harus berperilaku tertentu.

3. Bagaimana Relevansi Ajaran Filsafat Hukum (Positivisme Hukum) tersebut dalam


Konteks Hukum Sekarang ?
Jawab :
Positivisme hukum hanyalah mengenal ilmu pengetahuan yang positif, sehingga yang
dikenalnya hanya ada satu jenis hukum, yakni hukum positif saja. Sisi kelam positivisme hukum
adalah yang dikaji hanya aspek lahiriahnya, sehingga yang muncul bagi realitas kehidupan
sosial, tanpa memandang nilai-nilai dan norma-norma seperti keadilan, kebenaran,
kebijaksanaan, dan lain-lain yang melandasi hadirnya aturan-aturan hukum tersebut, karena nilai-
nilai itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Di samping itu, sesungguhnya
positivisme hukum tidak memisahkan antara hukum yang ada atau berlaku (positif) dengan
hukum yang seharusnya ada, yang berisi norma-norma ideal, akan tetapi menganggap bahwa
kedua hal itu harus dipisahkan melalui bidang-bidang yang berbeda. Konsekuensi mengabaikan
apa yang terdapat di balik hukum, yakni berupa nilai-nilai kebenaran, kesejahteraan dan keadilan
yang seharusnya ada dalam hukum.
Di dalam pengaruh paradigma positivisme, para pelaku hukum menempatkan diri dengan
cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan (rule
bound) sehingga tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat atau
mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalitis positivistis, hukum hanya dianggap sebagai
institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier,
mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi.

4. Cari Kasus / Fakta Hukum (Postivisme Hukum) dan Dianilisis Menurut Ajaran Filsafat
Hukum yang bersangkutan !
Jawab :
Nenek Minah (55/petani), mengambil 3 biji buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan
(RSA), ketika sedang memanen kedelai di lahan garapannya. Perbuatan nenek Minah telah
diketahui oleh Mandor perkebunan, dan pada saat itu juga nenek Minah telah mengembalikan
biji kakao yang diambilnya dan meminta maaf. Namun pihak perusahaan tetap melaporkan
kepada Polisi. Akhirnya dalam berkas perkara Nomor No. 247/PID.B/2009/PN.Pwt, nenek
Minah harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Adanya perbenturan
antara nilai-nilai keadilan pada kasus tersebut. Pertanyaan penelitian dalam kasus ini yaitu
bagaimana hukum memandang kasus tersebut dalam perspektif kepastian hukum atau
positivisme hukum dan prinsip kemanusiaan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis
normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan yaitu Kasus hukum yang menjerat Nenek Minah
ditelaah dengan menggunakan Paradigma Positivisme, ontologinya adalah sebuah realitas
(hukum). Hukum yang dipaparkan adalah Pasal 362 KUHP. Hakim melakukannya dengan
menghadirkan saksi-saksi dan adanya alat bukti yang dicocokkan dengan keterangan Nenek
Minah sebagai terdakwa. Ketika semua unsur Pasal 362 terpenuhi, maka Nenek Minah diputus
bersalah dan harus dihukum.
Singkatnya, Paradigma Positivisme selalu menekankan objektivitas. Paradigma Positivisme yang
memayungi aliran Legal Positivisme, menjelaskan tidak ada hukum di luar undang-undang,
hukum identik dengan Undang-Undang. Bagaimana pun hukum harus ditegakkan yang
keadilannya adalah keadilan menurut Undang-Undang. Hukum harus dipisahkan dari nilai
kemanusiaan dan moral demi kepastian hukum. Itulah sebabnya Nenek Minah tetap harus
dihukum terlepas dari seberapa besar kerugian yang diderita PT Rumpun Sari Antan, karena
terbukti secara sah melakukan pencurian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP.

Anda mungkin juga menyukai