Anda di halaman 1dari 15

BAB IV

METODE PENEMUAN HUKUM

A. Capaian Pembelajaran
Pertemuan ke IV dalam mata kuliah ini mempelajari tentang
metode penemuan hukum. Di akhir perkuliahan mahasiswa
diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
menjelaskan metode penemuan hukum yang meliputi, asas-
asas penemuan hukum, penemuan hukum oleh hakim,
penerapan teori penalaran hukum prismatik dalam
pertimbangan hakim, dan penalaran logika yang digunakan
oleh hakim dalam penemuan hukum.
B. Materi
1. Asas-asas penemuan hukum
Sejatinya, hukum bertujuan untuk menciptakan rasa
keadilan di masyarakat, sehingga dengan adanya hukum,
maka akan terjamin kepastian dari dibuatnya aturan hukum
tersebut, dan bermanfat dalam mengatur masyarakat.
Menurut Bruggink: “Tujuan hukum sejatinya mewujudkan
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Pertentangan
antara sisi keadilan dan sisi kepastian hukum sering kali
menjadi dilema bagi para penegak hukum. Sisi kepastian
hukum menjadi lebih mudah diterapkan sehingga kadang-
kadang mengabaikan keadilan’’(Bruggink, J.J.H 1996:26).
Asas-asas penemuan Hukum yang dimaksud di sini
dikhususkan pada keperluan melakukan harmonisasi hukum.
Mengingat demikian banyaknya asas-asas hukum itu, maka
pertama-tama perludibedakan antara asas-asas yang terkait
dengan prosedur harmonisasi tersebut dan asas-asas yang
berhubungan dengan materi peraturan perundangan-
undangan yang sedang dikaji (Bruggink, J.J.H 1996:27).
Asas-asas yang terkait dengan prosedur harmonisasi antara
lain asas bahwa peraturan yang terkait dengan prosedur
harmonisasi antara lain asas bahwa peraturan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi.(Hazlitt, Henry. 2003:16).
Asas-asas hukum tidak mengenal hierarki karena tidak
ada satu asas yang lebih superior sehingga dapat
mengesampingkan asas hukum lainnya. Berikut ini adalah
asas-asas dalam peneluan hukum:
1) In dubio pro reo, jika ada keraguan maka harus
diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi
terdakwa.
2) Nullum crimen, noela poena sine lege, tidak ada
kejahatan, tidak ada hukuman tanpa undang-undang
3) Ne bis in idem, istilah Latin yang terkenal ini berarti tidak
dua kali dalam hal yang sama.
4) Asas Similia Similibus (Asas Persamaan).
Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh
mengistimewakan orang tertentu (harus non-
diskriminatif). Aturan hukum berlaku sama untuk setiap
orang, karena itu harus dirumuskan secara umum dan
abstrak. Dua hal penting yang terkandung dalam asas ini
adalah:
(1) persamaan kedudukan di hadapan hukum dan
pemerintahan;
(2) tuntutan perlakuan yang sama bagi semua warga
negara.
5) Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara yang
dihadapkan kepadanya dengan alasan undang-undang
tidak jelas atau tidak ada.
6) Asas Kepastian Hukum.
Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa
kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum
bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan
antar-manusia, yakni menjamin prediktabilitas, dan juga
bertujuan untuk mencegah bahwa hak yang terkuat yang
berlaku, beberapa asas yang terkandung dalam asas
kepastian hukum adalah:
(1) Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi
hukum
(2) Asas undang-undang menetapkan berbagai
perangkat aturan tentang cara pemerintah dan para
pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan
(3) Asas non-retroaktif perundang-undangan: suatu
ketentuan undang-undang tidak boleh berlaku surut.
(4) Asas peradilan bebas: objektif-imparsial dan adil-
manusiawi.
Tatkala kita melakukan harmonisasi, dapat terjadi
beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1) Terjadi inkonsistensi secara vertical dari segi format
peraturan, yakni peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi, misalnya antara peraturan pemerintah dan undang-
undang.
2) Terjadi inkonsistensi secara vertical dari segi waktu, yakni
beberapa peraturan yang secara hirarkis (misalnya
sesama undang-undang) tetapi yang satu lebih dulu
daripada yang lain).
3) Terjadi inkonsistensi secara horosontal dari segi
substansi peraturan, yakni beberapa peraturan yang
secara hirarkis sejajar (misalnya sesame undang-undang)
tetapi substansi peraturan yang satu lebih umum
dibandingkan substansi peraturan yang lainnya.
4) Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi
dalam satu peraturan yang sama, dalam arti hanya
berbeda nomor ketentuan.
5) Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang
berbeda (misalnya antara undang-undang dan putusan
hakim, atau antara undang-undang dan kebiasaan).
Oleh karena hukum merupakan suatu sistem, maka
asas-asas hukum ini menjadi penting untuk diperhatikan.
Pada uraian tentang pengertian sistem hukum di muka telah
disinggung bahwa sistem hukum mengasumsikan dirinya
sebagai suatu tatanan yang lengkap. Dalam tatanan ini tidak
dikehendaki adanya kontradiksi antara satu bagian dengan
bagian yang lainnya. Apabila terjadi kontradiksi atau
disharmoni, maka sistem hukum sudah mempunyai
mekanisme penyelesaian (legal remedies) terhadap
disharmoni di dalam tatanan hukum itu (Elias E. savelos &
Richard F. Galvin, 2001:74).
2. Penemuan hukum oleh hakim
Berdasarkan Pasal 20 AB ‘‘Hakim harus mengadili
berdasarkan Undang-Undang” dan Pasal 22 AB + Pasal 14
Undang-undang No. 14 tahun 1970 mewajibkan “Hakim untuk
tidak menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya
dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas Undang-undang
yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya’’. Jika
terdapat kekosongan aturan hukum atau ataurannya tidak
jelas maka untuk mengatasinya diatur dalam pasal 27 UU No.
14 Tahun 1970 menyebutkan: ‘‘Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam
masyarakat’’. Artinya seorang Hakim harus memiliki
kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (Recht
vinding) (Sudikno Mertokusumo,1991:39).
Yang dimaksud dengan Recht vinding adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum
lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa
hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi
dasar untuk mengambil keputusan. Van Apeldorn
menyatakan, seorang hakim dalam tugasnya melakukan
pembentukan hukum harus memperhatikan dan teguh-teguh
mendasari pada asas: Menyesuaikan Undang-undang
dengan fakta konkrit dapat juga menambah Undang-undang
apabila perlu.(Rachels. James. 2004:45).
Hakim membuat Undang-undang karena Undang-
undang tertinggal dari perkembangan masyarakat. Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan yang juga berfungsi
sebagai penemu yang dapat menentukan mana yang
merupakan hukum dan mana yang bukan hukum. Seolah-
olah Hakim berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan
legislatif yaitu badan pembentuk per Undang-undangan
(Scholten, Paul. 2003:52).
Pasal 21 AB menyatakan bahwa ‘‘hakim tidak dapat
memberi keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan
umum. Sebenarnya hukum yang dihasilkan hakim tidak sama
dengan produk legislatif’’. Hukum yang dihasilkan hakim tidak
diundangkan dalam Lembaran Negara. Keputusan hakim
tidak berlaku bagi masyarakat umum melainkan hanya
berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara. Sesuai pasal 1917
(2) KUHPerdata yang menentukan ‘‘bahwa kekuasaan
keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang
diputuskan dalam keputusan tersebut’’.
Relevansi penerapan asas-asas hukum tersebut
didasarkan pada situasi dalam permasalahan hukum yang
terjadi. Menjawab tantangan tersebut berkembang paradigma
hukum progresif yang menempatkan hukum bukanlah satu
skema yang final, namun hukum terus bergerak, berubah,
mengikuti dinamika kehidupan manusia. Hukum tidak
dipandang sebagai sesuatu yang hidup pada ruang hampa
(Shidarta.2005:13-15).
Penemuan hukum adalah kegiatan mencari dan
memberi makna terhadap hukum. Kegiatan ini tidak mudah,
mengingat terminology ‘‘hukum’’ tidaklah tunggal. Dalam
ulasan di bawah ini, makna hukum tersebut akan lebih
dipersempit kepada norma-norma positif dalam sistem
perundang-undangan. Hukum lahir dari ketentuan yang hidup
dalam masyarakat (ibi societas ibi ius). Atas dasar itu, hukum
harus terus dibedah dan digali melalu upaya-upaya yang
progresif untuk menggapai kebenaran hakiki demi tegaknya
keadilan.
Dalam melakukan penemuan hukum, hakim
menggunakan metode penafsiran terhadap Undang-undang
seperti penafsiran menurut bahasa, penafsiran secara
historis, penafsiran secara sistematis, penafsiran secara
teleologis/sosiologis, penafsiran secara authentik, penafsiran
secara ektensif, penafsiran secara restriktif, penafsiran
secara analogi, penafsiran secara argumentus a contrario.
3. Penerapan teori penalaran hukum prismatik dalam
pertimbangan hakim
Dalam rangka penemuan dan pembentukan hukum
baru, kita harus menengok ke masa yang lalu dahulu,
sebelum kita melihat ke masa depan, seperti yang dikatakan
Paul Scholten: ‘‘Hij ziet teug om vooruit te zien’’ (ia menoleh
ke belakang untuk dapat melihat ke depan). Dengan
demikian, hukum baru akan tetap berpijak pada bumi sendiri
dan berakar pada kepribadian sendiri. Oleh sebab itulah,
pembentukan hukum baru tidak pernah terlepas dari cara
interpretasi gramatika, historis dan autentik. Jelaslah bahwa
ketajaman ‘‘pisau analisis’’ hukum bergantung pada
pemahaman dan penguasaan metode-metode interpretasi
atau interpretatie methoden dan keahlian memadukannya.
Penalaran hukum biasa disebut legal reasoning, legal
method, argumentasi yuridik atau method berpikir yuridis,
element of argumen of law (Waris Susetio, 2012:245).
Penalaran hukum adalah suatu kegiatan untuk mencari dasar
hukum yang terdapat di dalam suatu pristiwa hukum, baik
yang merupakan perbuatan hukum berupa perjanjian,
transaksi, perdagangan, ataupun yang merupakan kasus
pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administrastif)
dan memasukkannya kedalam peraturan hukum yang ada
(Waris Susetio, 2012:247). Penalaran hukum juga dapat
berarti proses penggunaan alasan-alasan hukum (legal
reasons) dalam menetapkan pendirian hukum yang
dirumuskan dalam putusan hakim (Waris Susetio, 2012:249).
Penalaran hukum juga dapat berarti proses
penggunaan alasan-alasan hukum (legal reasons) dalam
menetapkan pendirian hukum yang dirumuskan dalam
putusan hakim. Sedangkan berpikir Yuridik adalah suatu cara
berpikir tertentu, yakni terpola dalam konteks sistem hukum
positif dan kenyataan kemasyarakatan, untuk memelihara
stabilitas dan prediktabilitas demi menjamin ketertiban,
kepastian hukum untuk menyelesaikan kasus konkret secara
imparsial obyektif-adil manuisiawi (Waris Susetio, 2012:249).
Berpikir yuridik juga dapat dimaknai sebagai metode
berpikir yang digunakan untuk memperoleh, menata,
memahami dan mengaplikasikan pengetahuan hukum. Ada
dua metode berpikir yang digunakan hakim dalam
menyelesaikan kasus konkret yang dihadapinya yaitu berpikir
aksiomatik (sistemik) dan berpikir topical (problematic).
Berpikir aksiomatik (sistemik) pada dasarnya bertolak dari
kebenaran bebas ragu melalui mata rantai perUndang-
Undangan (hukum Positif) sampai pada kesimpulan yang
mengikat (Waris Susetio, 2012:256).
Adapun penalarannya adalah silogisme yaitu peraturan
perUndang-Undangan sebagai kebenaran bebas ragu
dijadikan premis mayor, dan fakta hukum yang terbukti
dipersidangan dijadikan sebagai premis minor, lalu ditarik
menjadi kesimpulan sebagai pendapat hukum.
Sistematisasi aturan hukum dapat dilakukan dengan
cara bahwa aturan hukum yang akan diterapkan itu tidak
boleh bertentangan dengan ideologi Negara, tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi, tidak boleh bertentangan
dengan aturan sederajat, aturan hukum itu futuristik, tidak
bertentangan dengan hak hak dasar manusia yang
fundamental (hak asasi manusia), dan mengamanatkan
keadilan. Apabila terdapat dua ketentuan hukum mengatur
hal yang sama, maka aturan hukum yang baru
mengesampingkan aturan hukum yang lama. Demikian pula
aturan hukum yang khusus mengenyampingkan aturan
hukum yang bersifat umum dengan ketentuan aturan khusus
datangnya kemudian dari aturan umum
Berbeda dengan metode berfikir topical (problematic)
yaitu berpikir dalam yang suasana yang didalamnya tidak
ditemukan kebenaran bebas ragu yang dalam pertentangan
pendapat, masalahnya bergeser dari hal menentukan apa
yang konklusif menjadi hal menentukan apa yang paling
dapat diterima (akseptabel). Untuk itu diajukan alasan-alasan
untuk mendukung pendapat tertentu yang kekuatannya teruji
dalam diskusi (Teguh Prasetyo dan Abdul Halaim Barkatullah,
2013:253).
4. Penalaran logika dalam pertimbangan putusan
hakim
Penemuan hukum oleh hakim bukanlah sesuatu yang
logis belaka melalui subsumptie automaat anggapan yang
menyimpulkan dari premis mayor ke premis minor, premis
mayornya adalah undang-undang, premis minornya adalah
peristiwa konkrit, kasus atau konflik, sedangkan
konklusi/kesimpulan yang logis adalah keputusannya dari
fakta pada ketentuan undang-undang akan tetapi adalah juga
penilaian dari fakta untuk kemudian menemukan hukumnya
(Satjipto Rahardjo dan Ronny Hanitijo Soemitro, 1986:87)
Undang-undang itu tidak selalu jelas, tidak selalu
lengkap, sedangkan fakta yang diajukan memerlukan
penyelesaian menurut hukum. Apabila interpretasi,
penerapan undang-undang baik secara ekstensif maupun
secara restriktif tidak mampu memberi suatu penyelesaian
maka untuk menemukan hukumnya, faktalah yang harus
dinilai. Kewajiban hakim adalah menyingkap dan
mendasarkan tindakannya pada maksud dari badan pembuat
undang-undang, yaitu sententia legis-nya (bahasa
hukumnya).
Secara filosofis di dalamnya terkandung pengertian
bahwa inti dari undang-undang terletak di dalam
semangatnya, sedangkan kata-kata itu hanya dipakai untuk
mengutarakan maksud yang terkandung di dalamnya.
Menurut Paul Scholten, ‘‘hukum itu ada, namun harus
ditemukan, dalam penemuannya terdapat hal yang baru’’.
Hakim bukanlah menerapkan akan tetapi menemukan
hukum. Sikap berhati-hati atau zorgvuldigheid, lintas
masyarakat atau maatschappelijk verkeer adalah fakta,
demikian pula yang patut dan yang tidak patut, dengan itikat
baik dan dengan itikat jahat, pantas dan tidak pantas.
Jus in causa positum; dalam fakta terkandung hukum,
adalah bukan ucapan yang kosong, dialami dalam praktek,
dalam putusannya hakim terdahulu mempertimbangkan
tentang fakta baru kemudian tentang hukumnya. Konstelasi
dari fakta dapat memperluas, mempersempit, melengkapi
atau memperhalus suatu ketentuan hukum untuk siap dipakai
dalam hal-hal yang konkret.(John Z. Loudoe, 1985:5).
Memang suatu negara hukum bertindak sebagai hakim
sendiri pada umumnya tidak diperkenankan; hanya dalam
keadaan-keadaan darurat tertentu orang diperkenankan
melakukan tindakan-tindakan pembelaan terhadap serangan
melawan hukum dari orang ke 3 (tiga). Akan tetapi dengan
sendirinya ini hanya mungkin jika tindakan itu berdasar atas
hukum.(Lie Oen Hock, 1971:29). Hakim dipaksa atau wajib
turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan
mana yang bukan hukum, apabila peraturan perundang-
undangan tidak menyebut suatu perkara maka hakim harus
betindak atas inisiatif sendiri.
Dengan demikian bilamana undang-undang atau
kebiasaan tidak memberikan peraturan yang dapat dipakai
untuk menyelesaikan suatu perkara, maka hakim harus
membuat peraturan atau hukum sendiri. Hal ini perlu karena
perkara yang telah dibawa ke muka hakim harus
diselesaikan.(Satjipto Rahardjo 1986:186). ‘‘Apabila hakim
tidak dapat menerapkan undang-undang secara tepat
menurut kata-kata dalam undang-undang atau pun undang-
undangnya tidak jelas maka hakim wajib menginterpretasinya
sehingga dapat membuat keputusan hukum yang adil, sesuai
dengan maksud hukum dalam mencapai kepastian hukum.
Sehingga dikatakan bahwa hakim mempunyai kewajiban
hukum untuk menginterpretasi undang-undang’’(Satjipto
Rahardjo 1986:187).
Ter Haar memberi batasan tentang intrpretasi undang-
undang oleh hakim bahwa dalam menentukan mana yang
hukum dan mana yang bukan hukum harus memperhatikan
masyarakat setempat agar keputusannya sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat yang bersangkutan(Utrecht, 1983:205)
Tinjauan pekerjaan hakim tentang mana yang
merupakan hukum dan mana yang bukan hukum, maka harus
diingat akan suatu persamaan pekerjaan tertentu antara
pekerjaan pembuat undang-undang dan pekerjaan hakim.
Sebab menentukan mana yang merupakan hukum dan mana
yang bukan hukum adalah sebenarnya suatu tindakan politik
hukum yang dijalankan baik oleh pembuat undang-undang,
hakim, administrasi negara maupun kadang-kadang yuris. Hal
demikian dapat dimengerti bahwa hukum disamping norma
adalah sarana untuk mencapai kepastian hukum, apabila
sedang membicarakan (mempelajari) tentang tujuan hukum.
Menurut pandangan klasik yang dipelopori oleh
Montesquieu dan Imanuel Kant ini, semua hukum terdapat
secara lengkap dan sistematis dalam undang- undang. Tugas
hakim adalah mengadili sesuai atau menurut bunyi undang-
undang. Oleh karena itulah dapat dipahami Pasal 15 A B yang
menyatakan bahwa: ‘‘kebiasaan hanya dapat membentuk
hukum apabila undang-undang menyebutnya”. Dalam hal ini
kebijakan baru yang dikeluarkan oleh hakim dalam
memutuskan suatu perkara yang belum ada aturan hukumnya
mutlak dilakukan.

C. Latihan
1. Sebutkan dan jelaskan asas-asas yang digunakan dalam
penemuan hukum?
2. Sebutkan beberapa asas yang terkandung dalam asas
kepastian hukum?
3. Apa yang dimaksud dengan Recht vinding?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan penalaran hukum
biasa disebut legal reasoning, legal method, argumentasi
yuridik atau method berpikir yuridis, element of argumen of
law?
5. Bagaimana peran hakim dalam penemuan hukum apabila
perkara yang di tanganinya belum ada aturan hukumnya?
D. Referensi
Bruggink, J.J.H 1996. Refleksi tentang Hukum:
Pengertian-pengertian Dasar dalam teori Hukum. Terjemahan
B. Arief Sidharta. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Elias E. savelos & Richard F. Galvin, Reasoning and the
law: the elements (Belmont: Wadsworth,2001)
Hazlitt, Henry. 2003. Dasar-dasar Moralitas.
Terjemahan Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
John Z. Loudoe, 1985, Menemukan Hukum melalui
Tafsir dan Fakta, Bina Aksara, Jakarta.
Lie Oen Hock, 1971, Hakim dan Hukum Tidak Tertulis,
dalam Sinerama Hukum di Indonesia in Memoriam Prof.
Djoko Soetono, Eresco, Bandung –Jakarta.
Mertokusumo,Sudikno. 1991. Mengenal Hukum (Suatu
Pengantar). Ed. 3. Yogyakarta: Liberty
Rachels. James. 2004. Filsafat Moral. Terjemahan a.
sudiarja. Yogyakarta: kanisius
Satjipto Rahardjo dan Ronny Hanitijo Soemitro, 1986,
Pengantar Ilmu Hukum, Buku Materi Pokok Modul 1-5
Universitas Terbuka, Karunia, Jakarta.
Scholten, Paul. 2003. Struktur Ilmu Hukum. Terjemahan
Arief Sidharta Bandung: alumni.
Shidarta.2005.”Penegakan Hukum dalam Perspektif
Budaya Hukum.” PPH Newletter, No. 62, September:
Teguh Prasetyo dan Abdul Halaim Barkatullah, Filsafat,
Teori dan ilmu Hukum, Pemikiran menuju masyarakat yang
berkeadilan dan bermanfaat.PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Tahun 2013.
Utrecht, 1983 Pengatar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar
Baru, Jakarta.
Waris Susetio, Legal Reasoning(penalaran Hukum
Acara MK). Penerbit; Ditjend PP. Kementrian Hukum dan
HAM tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai