KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................2
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................4
1.3 Tujuan Makalah..............................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Aliran Penemuan Hukum Freirechtbewegung................................5
2.2 Peran Aliran Penemuan Hukum Freirechtbewegung Sebagai
Interpretasi Kebebasan Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara....7
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
hakim mengenai tugas dan kewajiban hakim dalam menemukan apa yang
menjadi hukum, hakim dapat dianggap sebagai salah satu faktor
pembentuk hukum. Karena Undang-Undang tidak lengkap maka hakim
harus mencari dan menemukan hukumnya (recthsvinding).
Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo, “lazimnya
diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas -
petugas hukum yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan
peraturan-peraturan hukum terhadap suatu peristiwa yang konkret.”
Keharusan menemukan hukum baru ketika aturannya tidak saja tak jelas,
tetapi memang tidak ada, diperlukan pembentukan hukum untuk
memberikan penyelesaian yang hasilnya dirumuskan dalam suatu
putusan yang disebut dengan putusan hakim, yang merupakan penerapan
hukum.
Eksistensi penemuan hukum begitu mendapatkan perhatian yang
berlebih, karena penemuan hukum dirasa mampu memberikan suatu
putusan yang lebih dinamis dengan memadukan antara aturan yang
tertulis dan aturan yang tidak tertulis. Rechtsvinding hakim diartikan
sebagai ijtihad hakim dalam memberikan keputusan yang memiliki jiwa
tujuan hukum. Salah satu metode aliran penemuan hukum yang
menggunakan penafsiran hakim adalah Aliran Penemuan Hukum
Freirechtbewegung.
Dari uraian di atas inilah yang menjadi dasar ketertarikan penulis
untuk mengkaji lebih mendalam tentang penemuan hukum
(rechtsvinding). Untuk itu dalam penelitian ini mengambil judul : Aliran
Penemuan Hukum Freirechtbewegung Sebagai Interpretasi
Kebebasan Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara (Sub Bagian Aliran
Dalam Penemuan Hukum).
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas adalah :
1. Pengertian aliran penemuan hukum freirechtbewegung ?
2. Bagaimana peran aliran penemuan hukum freirechtbewegung
sebagai interpretasi kebebasan hakim dalam memutus suatu
perkara ?
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
sifat yang khusus dari sengketa, yang diajukan kepadanya, dalam
putusannya.
Pelakasanaan hukum bergeser kearah penemuan hukum atau
pembentukan hukum. Hakim memang harus menghormati undang-
undang. Tetapi ia dapat tidak hanya sekedar tunduk dan mengikuti
undang-undang, melainkan menggunakan undang-undang, sebagai
sarana untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit yang dapat
diterima. Dapat diterima karena pemecahan yang diketemukan dapat
menjadi pedoman bagi peristiwa konkrit serupa lainnya. Di sini hakim tidak
berperan sebagai penafsir undang-undang, tetapi sebagai pencipta
hukum.
Penemuan hukum semacam itu yang tidak secara ketat terikat
pada undang-undang disebut penemuan hukum bebas. Yang dimaksud
dengan penemuan hukum bebas bukannya peradilan di luar undang-
undang. Dalam penemuan hukum bebas peran undang-undang
adalah subordinated. Undang-undang bukanlah merupakan tujuan bagi
hakim, tetapi suatu sarana. Bagi hakim yang melaksanakan penemuan
hukum bebas tugas utamanya bukanlah menerapkan undang-undang,
melainkan menciptakan pemecahan melalui atau dengan bantuan
undang-undang untuk peristiwa konkrit sedemikian, sehingga peristiwa-
peristiwa serupa kemudian diselesaikan dengan memuaskan. Maka
penemuan hukum bebas berarti penemuan hukum menurut kepatutan.
Yang sering dianggap khas dalam penemuan hukum bebas ialah
bahwa hakim yang melakukan penemuan hukum,” mengikuti zaman” dan
mengganti peraturan hukum lama (usang) dengan yang baru. Akan tetapi
perlu dipertanyakan kapankan suatu peraturan itu sudah usang dan
peraturan manakah yang harus menggantikannya. Pada asasnya selama
belum ada undang-undang baru, hakim tetap akan berpedoman pada
undang-undang yang lama.
Dalam hal ini ada pengecualiannya, yaitu pembentuk undang-
undang sudah membentuk undang-undang, tetapi belum mempunyai
6
kekuatan hukum, karena masih dalam pembicaraan di lembaga legislatif.
Dalam hal ini hakim dapat berpedoman pada undang-undang baru yang
belum mempunyai kekuatan berlaku itu, ini merupakan bentuk terpenting
dalam penemuan hukum bebas, yang disebut metode penemuan hukum
antisipatif atau futuristis. Dengan metode ini hakim setidak-tidaknya
mempunyai pegangan pada pendirian pemerintah, sehingga memperoleh
petunjuk bagaimana pandangan pembentuk undang-undang dan
bagaimana hukumnya yang akan datang. Dengan demikian hakim
memungkinkan terjadinya peralihan yang luwes dari hukum yang lama ke
yang baru (dengan anggapan bahwa rancangan undang-undang itu
kemudian menjadi undang-undang).
Hendaknya disadari bahwa Freirechtbewegung ini tidak hendak
memberi fungsi yang bersifat menciptakan hukum yang otonom kepada
hakim, tetapi hendak menyadarkan hakim kepada kenyataan bahwa ia
dalam aktivitasnya tidak dapat menghindari mengikutsertakan unsur
penilaian subyektif. Pendapat subyektif hakim ini tidaklah seindividualistis
seperti yang digambarkan oleh lawan Freirechtbewegung, hakim
dibesarkan dalam suasana sistem hukum yang diterapkannya, kecuali itu
ia mengenal peraturan hukumnya.
Oleh karena itu putusannya sebagian besar ditetapkan
berdasarkan peraturan hukum tertulis yang berlaku dan asas-asas hukum
yang berlaku umum. Freirechtbewegung berpendapat bahwa hakim terikat
pada batas-batas yang dapat dijabarkan dari sistem ini menuju pada
pemecahan masalah yang mendasarkan pada sistem (gesystematiseerd
probleemdenken atau berpikir problemantik tersistemisasi).
7
tujuan yang tersirat dalam peraturan. Kalau penyelesaian menurut
undang-undang, maka hakim berwenang dan wajib untuk menyimpang
dari penyelesaian menurut undang-undang. Tidak mengakui undang-
undang sebagai satu-satunya sumber hukum mengarah pada subyektivasi
putusan hakim dengan demikian disadari bahwa putusan hakim
mengandung karya yang bersifat menciptakan.
Aliran Freirechtbewegung menentang keras pendapat yang
meyatakan bahwa kodifikasi itu lengkap dan hakim dala proses penemuan
hukum tidak memiliki manfaat apapun. Pendapat aliran
Freirechtbewegung menyatakan bahwa hakim memang harus
menghormati undang-undang, tetapi hakim juga tidak hanya sekedar
tunduk dan mengikuti undang-undang, melainkan menggunakan undang-
undang sebagai sarana untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit
yang dapat diterima.
Dapat diterima yang dimaksud adalah karena pemecahan yang
diketemukan dapat menjadi pedoman bagi peristiwa konkrit serupa
lainnya, di sini hakim tidak hanya berperan sebagai penafsir undang-
undang, tetapi hakim juga berperan sebagai pecipta hukum.
Dalam lingkup hukum positif di Indonesia juga diatur dalam asas
“bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara“, yang termuat dalam
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa: “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Kemudian juga dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa:
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal
inilah menjadi dasar bahwa merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari
bahwa poses rechtsvinding harus tetap dilakukan oleh hakim dalam
8
memutuskan perkara yang tidak ditemukan secara jelas dan tegas dalam
peraturan perundang-undangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini berimplikasi
langsung kepada perubahan sosial atau dinamika masyarakat. Intensitas
perubahan-perubahan sosial melahirkan persoalan-persoalan hukum.
Persoalan-persoalan yang muncul menuntut analisis posisinya dalam
hukum Adalah suatu kenyataan terdapatnya kesenjangan nash-nash
hukum yang sangat terbatas dan persoalan-persoalan kehidupan yang tak
terbatas.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin dinamis,
maka hal itu menuntut adanya sebuah perkembangan hukum yang
dinamis juga. Hal ini sejalan dengan sistem aliran Freirechtbewegung itu
sendiri yang sifatnya dinamis dan tidak statis. Tugas penting dari hakim
ialah menyesuaikan undang-undang dengan kejadian-kejadian konkrit
dalam masyarakat agar dapat menggali perkara dan memberikan keadilan
bagi masyarakat sehingga masyarakat mendapatkan kepastian hukum.
Seorang hakim harus mampu menilai peristiwa yang telah
dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan hukum apa atau
yang mana. Di sini hakim harus menemukan hukum yang akan diterapkan
pada peristiwa yang telah dikonstantir tadi. Apabila hukumnya telah jelas
dan tegas maka tugas hakim adalah menerapkan peraturan hukum yang
ada terhadap peristiwa tersebut. Sebaliknya, kalau peraturan hukumnya
tidak tegas dan tidak jelas, maka dalam hal ini hakim harus melakukan
penafsiran terhadap peraturan hukum yang ada.
Dalam suatu peristiwa yang terjadi tetapi dijumpai kekosongan
hukum, maka hakim harus mengkronstruksi hukum atau bahkan
menciptakan hukum jika hukumnya tidak ada sama sekali. Namun
demikian, kebolehan hakim dalam menciptakan hukum haruslah tidak
bertentangan dengan seluruh sistem perundang-undangan yang ada serta
bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dan tuntutan
kemajuan zaman.
9
Hakim menetapkan hukum terhadap peristiwa tersebut dan
sekaligus memberi keadilan bagi para pihak yang berperkara. Di sini
hakim berlaku sebagai pembentuk hukum, karena dalam mengadili
perkara hakim telah menentukan hukumnya secara konkrit (in concreto).
Jadi apabila pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR)
membentuk hukum yang sifatnya obyetif abstrak (undang-undang), karena
sifatnya umum dan berlaku untuk seluruh masyarakat, maka di sini hakim
sebagai pembentuk hukum yang sifatnya konkrit, artinya berlaku khusus
terhadap pihak yang berperkara saja. Tampak jelas bahwa pengadilan
atau hakim dalam sistem hukum Indonesia bukanlah hakim yang pasif
yang merupakan corong belaka dari badan perundang-undangan.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aliran Freirechtbewegung menantang keras pendapat yang
menyatakan bahwa kodifikasi itu lengkap dan hakim dalam proses
penemuan hukum tidak memiliki sumbangan kreatif. Pendapat aliran
Freirechtbewegung hakim memang harus menghormati undang-undang,
tetapi ia dapat tidak hanya sekedar tunduk dan mengikuti undang-undang,
melainkan menggunakan undang-undang sebagai sarana untuk
menemukan pemecahan peristiwa konkrit yang dapat diterima. Dapat
diterima karena pemecahan yang diketemukan dapat menjadi pedoman
bagi peristiwa konkrit serupa lainnya, di sini hakim tidak berperan sebagai
penafsir undang-undang, tetapi sebagai pencipta hukum.
Dalam lingkup hukum positif di Indonesia juga diatur dalam asas
“bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara“, yang termuat dalam
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa: “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dari pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa teori aliran Freirechtbewegung inilah
menjadi dasar sesuatu yang tidak dapat dihindari bahwa poses
rechtsvinding harus tetap dilakukan oleh hakim dalam memutuskan
perkara yang tidak ditemukan secara jelas dan tegas dalam peraturan
perundang-undangan.
11
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
B. Sumber Lain
12