Anda di halaman 1dari 39

A.

Kegiatan Pembelajaran ke 14
1) Penemuan Hukum
2) Tujuan Materi Pembelajaran
3) Materi Pembelajaran
a) Hakim sebagai penemuan hukum,
Apa pada hakikatnya yang dilakukan oleh hakim apabila ia menghadapi
peristiwa konkret, kasus atau konflik? Ia harus memecahkan atau
menyelesaikannya dan untuk itu ia harus tahu, mencari atau menemukan
hukumnya, untuk diterapkan pada kasusnya.

Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kand,


hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum
sesunguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah
penyambung lidah atau corong undang-undang (bouche de la loi), sehingga
tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat
menambah dan tidak pula dapat menguranginya. Ini disebabkan karena
menurut Montesquieu undang-undang adalah sa;ah satunya sumber hukum
positif.

Oleh karena itu, demi kepastian hukum, kesatuan hukum, serta kebebasan
warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim, hakim harus ada di
bawah undang-undang. Berdasarkan pandangan ini, peradilan tidak lain
hanyalah bentuk silogisme. Silogisme adalah bentuk berfikir logis dengan
mengambil kesimpulan dari hal yang umum (premis mayor) dan hal yang
khusus (premis minor). Premis mayornya adalah undang-undang
(”Barangsiapa mencuri dihukum”), Premis minornya adalah peristiwa atau
kasusnya (Suto mencuri), sedangkan putusannya merupakan kesimpulan
yang logis (karena suto mencuri, harus dihukum). Karena kesimpulan logis itu
tidak pernah berisi lebih dari isi premis, undang-undang tidak akan berisi lebih
dari yang terdapat dalam undang dalam hubungannya dengan peristiwa
hukum. Demikian pula suatu putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi
lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan
dengan peristiwa konkret.
Pasal 20 AB dan 21 AB berasal dari pandangan tersebut di atas bunyi Pasal
20 AB adalah seperti berikut: ” Hakim harus mengadili menurut undang-
undang, ia dilarang menilai isi dan keadilan dari undang-undang” (bandingkan
dengan Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009). Hakim tidak boleh menilai isi dan
keadilan dari undang-undang. Kita lihat dalam praktik bahwa ketentuan Pasal
20 AB mempunyai makna lain.bandingkan Pasal 20 AB dengan Pasal 4 (1)
UU No. 48 Tahun 2009 yang bunyinya : ”Pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membedakan orang”. Kalau kita berpedoman pada asas
lex posteriori derogat legi priori”, Pasal 20 AB yang isinya bertentangan
dengan Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009, dilumpuhkan oleh Pasal 4 (1) UU
No. 48 Tahun 2009. Pengertian ”menurut hukum” lebih luas daripada
”menurut undang-undang”, sehingga membuka peluang bagi hakim untuk
melaksanakan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Sebaliknya, pengertian
”menurut undang-undang” lebih membatasi kebebasan hakim. Oleh karena itu
demi keutuhan sistem hukum,asas lex posteriori derogat legi priori perlu
disimpangi, sehingga Pasal 20 AB dan Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009
harus ditafsirkan saling mengisi. Kecuali itu, hakim tidak boleh menilai bahwa
undang-undang itu tidak jelas. Oleh karena itu, hakim tidak boleh menolak
memeriksa dan mengadili perkara (Pasal 10 (1) UU No. 48 Tahun 2009, 22
AB).

Bunyi Pasal 21 AB adalah seperti berikut: Hakim dilarang, berdasarkan


peraturan umum, penetapan atau peraturan memutus perkara yang
tergantung padanya. Ini berartibahwa hakim hanya boleh memeriksa dan
mengadili peristiwa konkret dan tidak boleh menciptakan peraturan-peraturan
umum dalam putusannya.

Keunggulan undang-undang tampak dari Pasal 21 AB, yaitu bahwa putusan


hanya berlaku bagi peristiwa konkret dan tidak memberi kekuatan umum atau
memberlakukan secara umum untuk situasi-situasi semacam itu. Ini berarti
bahwa hakim tidak boleh menempatkan diri sebagai pemberntuk undang-
undang. Ia hanya boleh memeriksa dan memutus perkara konkret dan tidak
boleh membuat peraturan yang mengikat umum
Menurut pandangan klasik ini, semua hukum terdapat secara lengkap dan
sistematis dalam undang-undang dan tugas hakim adalah mengadili sesuai
atau menurut bunyi undang-undang. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa
Pasal 15 AB mengatakan bahwa kebiasaan hanya merupakan sumber hukum
kalau undang-undang menetapkan demikian.

Metode yang seharusnya digunakan dalam menerapkan undang-undang,


merupakan model silogisme, yang sering disebut juga subsumptie logis atau
deduksi. Sumbsumptie, yang berarti anggapan, tidak lain adalah
menyimpulkan dari premis mayor (hal yang umum) dengan premis minor (hal
yang khusus) ; barangsiapa mencuri dihukum (premis mayor), suto mencuri
(premis minor), suto harus dihukum (kesimpulan). Teori ini disebut legisme
atau positivisme undang-undang. Peneuan hukum disini dianggap sebagai
kejadian yang teknis dan kognitif yang mengutakan undang-undang yang
tidak diberi tempat pada pengakuan subjektivitas atau penilaian hakim tidak
diberi kesempatan untuk berkreasi. Positivisme undang-undang ini didasarkan
pada jalan fikiran bahwa apa yang mempunyai bentuk lahir sebagai hukum
adalah legitim sebagai hukum, tidak peduli nilai isinya. Ini oleh van Eikema
Hommes disebut sebagai pandangan peradilan yng typis logicistis. Di sini
aspek logis analitis dibuat absolut (van Eikema Hommes, tanpa tahun: 26)

Wiarda menyebutkan jenis penemuan hukum yang diuraikan di atas sebagai


penemuan hukum heteronom, oleh hakim mendasarkan pada peraturan-
peraturan di luar dirinya: hakim tidak mandiri karena harus tunduk pada
undang-undang (1986: 13).

Dapatlah dikatakan bahwa pandangan klasik ini didorong oleh usaha


kodifikasi dan asas pembagian kekuasaan.

Ternyata kemudian pandangan typis logicistis atau heteronom dari peradilan


ini tidak dapat dipertahankan, karena sejak kurang lebih 1850 perhatian
ditujukan kepada peran penemuan hukum yang mandiri. Hakim tidak lagi
dipandang sebagai corong undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum
yang secara mandiri memberi bentuk kepada isi undang-undang dan
menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan. Pandangan ini dikenal
sebagai pandangan materiil yuridis atau otonom (lihat Wiarda, 1988: 14).
Tokoh pandangan ini antara lain ialah Oskar Bullow, Eugen Ehrlich, Francois
Geny, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank dan Paul Scholten.

Menurut pandangan ini, pelaksanaan hukum oleh hakim bukanlah semata-


mata masalah logika murni dan penggunaan ratio yang tepat, tetapi lebih
merupakan masalah pemberian bentuk yuridis pada asas-asas hukum materiil
yang menurut sifatnya tidak logis dan tidak mendasarkan pada pikiran yang
abstrak, tetapi lebih-lebih pada pengalaman dan penilaian yuridis. Juga
dikemukakan bahwa undang-undang itu tidak mungkin lengkap. Undang-
undang hanyalah merupakan suatu tahap tertentu dalam proses
pembentukan hukum dan bahwa undang-undang wajib mencari
pelengkapnya dalam praktik hukum yang teratur dari hakim (yurisprudensi), di
mana asas yang merupakan dasar undang-undang dijabarkan lebih lanjut dan
dikonkretisasi, diisi dan diperhalus dengan asas-asas baru. Pandangan ini
yang telah dikenal sejak Etienne Portalis dewasa ini banyak dianut. Memang
tepatlah kiranya karena merupakan sifat pembentukan hukum dalam tata
hukum modern yang memaksa ke arah pandangan dinamis penemuan hukum
oleh hakim atau pejabat-pejabat lainnya yang dibebani tugas dengan
pelaksanaan undang-undang. Oleh karena itu, diakui bahwa dalam hal
kekosongan atau ketidakjelasan undang-undang hakim mempunyai tugas
sendiri, yaitu memberi pemecahan dengan penafsiran undang-undang.
Meskipun orang makin lama meninggalkan pandangan legitstis atau
positivisme undang-undang; tetapi pangkal tolak penemuan hukum adalah
sistem: semua hukum terdapat da;am undang-undang dan hanya kalau ada
kekosongan atau ketidakjelasan dalam undang-undang saja, hakim boleh
menafsirkan. Dalam cara pemecahan semacam ini, sistem menjadi titik tolak
(systeemdenken).

Di sini penemuan hukum bukan semata-mata penerapan peraturan-peraturan


hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi sekaligus juga merupakan
penciptaan dan pembentukan hukum.

Montesquieu mengemukakan adanya tida bentuk negara dan pada setiap


bentuk negara terdapat bentuk penemuan hukum yang cocok untuk masing-
masing bentuk negara. Dalam etat despotique tidak ada undang-undang. Di
sini hakim mengadili setiap peristiwa individual menurut apresiasi pribadinya
secara arbitrer. Di sini terjadi penemuan hukum yang heteronom; hakim
menerapkan undang-undang menurut bunyinya. Sedangkan dalam etat
monarchique terdapat sistem undang-undang, baik yang rinci maupun yang
tidak rinci, yang tidak dapat diterapkan begitu saja, tetapi harus ditafsirkan
lebih dulu dengan mencari ”jiwanya”. Selain sebagai corong undang-undang,
hakim di sini juga sebagai penafsir undang-undang. Di sini terdapat sistem
penemuan hukum yang mempunyai unsur-unsur heteronom maupun otonom.
Tipe-tipe yang digambarkan oleh Montesquieu masing-masing mencerminkan
aspek tertentu dari fungsi hakim; hakim tidak lebih berfungsi sebagai corong
undang-undang, kadang hakim mempunyai sedikit banyak kebebasan dalam
menterjemahkan dengan menafsirkan, kadang-kadang diserahkan kepadanya
keyakinan dan kesadaran hukumnya.

Sebagai prototype, penemuan hukum heteronom terdapat dalam sistem


peradilan negara-negara kontinental termasuk Indonesia. Di sini hakim bebas,
tidak terikat pada putusan hakim lain yang pernah dijatuhkan mengenai
perkara yang sejenis. Hakim berfikir deduktif dari bunyi undang-undang
(umum) menuju ke peristiwa khusus dan akhirnya sampai pada putusan.
Dalam penemuan hukum yang typis logicistis atau heteronom, hakim dalam
memeriksa dan mengadili perkara mendasarkan pada faktor-faktor di luar
dirinya.

Sebagai prototype penemuan hukum otonom terdapat dalam sistem peradilan


Anglo Saxon yang menganut asas the binding force of precedent atau stare
decisis et quita non movere. Di sini hakim terikat pada putusan hakim yang
telah dijatuhkan mengenai perkara sejenis dengan perkara yang akan diputus
hakim yang bersangkutan. Memang di sini putusan hakim terdahulu yang
mengikatnya, sehingga merupakan faktor di luar diri hakim yang akan
memutuskan. Tetapi, hakim yang akan memutuskan itu menyatu dengan
hakim terdahulu yang telah menjatuhkan putusan mengenai perkara yang
sejenis dan dengan demikian putusan hakim terdahulu dianggapnya sebagai
putusan sendiri, sehingga bukan merupakan faktor di luar dirinya.
Hakim Anglo Saxon berfikir secara induktif, berfikir dari peristiwa khusus yang
satu (putusan hakim terdahulu) ke peristiwa khusus yang lain (peristiwa
konkret yang dihadapinya) akhirnya sampai pada peristiwa khusus yang lain
(putusan). Di sini hakim mengadakan reasoning by analogy. Pada penemuan
hukum yang materiil yuridis atau otonom hakim memeriksa dan memutus
perkara menurut apresiasi pribadinya. Ia dibimbing oleh pandangan-
pandangan atau fikirannya sendiri.

Di dalam perkembangannya, dua sistem penemuan hukum itu saling


memengaruhi, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom dan murni
heteronom. Bahkan ada kecenderungan bergeser ke arah penemuan hukum
otonom.

Pembentukan undang-undang dewasa ini mendorong ke arah itu. Ada


kecenderungan sekarang ini dalam pembentukan undang-undang tidak
kasuistis, tetapi bersifat umum. ”Flucht in die Generalklausel” ini dalam
pembentukan undang-undang merupakan gejala umum. Akibatnya ialah
terjadi pergeseran dari ”hakim terikat” ke arah ”hakim bebas”, dari
”Normgerechtigkeit” (keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam
putusannya), dari ”systeemdenken” (berfikir dengan mengacu kepada sistem:
system oriented) ke arah ”probleemdenken” (berfikir dengan mengacu kepada
masalahnya: problem oriented).

Bukan hanya hakim saja yang menyebabkan pergeseran dari bentuk


penemuan hukum heteronom, ke arah otonom tetapi juga pembentuk undang-
undang (Wiarda, 1988: 50)

Antara penemuan hukum yang heteronom dan otonom tidak ada batas yang
tajam. Di dalam praktik penemuan hukum kita jumpai kedua unsur tersebut:
heteronom dan otonom.

Putusan pengadilan di negara-negara Anglo Saxon merupakan hasil


penemuan hukum otonom sepanjang pembentukan peraturan dan penerapan
peraturan itu dilakukan oleh hakim berdasarkan hati nuraninya, tetapi
sekaligus juga bersifat heteronom karena hakim terikat pada putusan-putusan
sebelumnya (faktor di luar hakim).
Hukum di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang
hakim terikat pada undang-undang, teori penemuan hukum ini juga
mempunya unsur-unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus
menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangannya
sendiri.

Kalau asas peradilan yang berlaku di Indonesia itu ialah bahwa hakim tidak
terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis, akhir
akhir ini sedikit hakim yang dalam menjatuhkan putusannya berkiblat pada
putusan pengadilan yang lebih tinggi mengenai perkara serupa dengan yang
dihadapinya. Ini tidak berarti bahwa asasnya berubah menjadi ”the binding
force precedent:, seperti yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, tetapi
”terikatnya” atau berkiblatnya hakim pada putusan terdahulu itu karena ”the
persuasive forve precden”, yang disebabkan krena putusan yang diikuti, yang
”mengikatnya” itu meyakinkan hakim untuk diikuti.

Kegiatan hakim perdata biasanya menjadi model utnuk teori-teroi penemuan


hukum yang lazim. Sebenarnya ialah karena hakim oerdata dalam penemuan
hukum lebih luas ruang geraknya dari pada hakim pidana. Pasal 1 ayat 1
KUHP membatasiruang gerak hakim pidana.hakim perdata mempunyai
kebebasan yang relatif lebih besar dalam penemuan hukum. Tidak
mengherankan bahwa teori-teori yang ada tetang penemuan hukum . Tidak
mengherankan bahwa teori-teori yang ada tentang penemuan hukum
terutama berhubungan dengan tindaka hakim perdata. Selain itu, ilmu hukum
oerdata lebih berkembang daripada bidang-budang hukum lainnya. Hal ini
berhubungan dengan kenyataan tebawa dahilu sebagian besar sarjna hukum
terkemuka adalah sarjana hukum perdata.

Dalam Pasal 1 (1) UU No. 48 Tahun 2009 ditentukan bahwa kekuasaan


kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia. ”Merdeka” disini berarti bebas. Jadi kekuasaan kehakiman adalah
bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Kebebasan kekuasaan kehakiman
atau kebebasan peradilan atau kebebasan hakim merupakan asas universal
yang terdapat dimana-mana, baik di negara-negara Eropa Timur, maupun di
Amerika, Jepang Indonesia dan sebagainya. Asas kebebasan peradilan
merupakan dambaan setiap bangsa.yang dimaksudkan dengan kebebasan
peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur
tangan dari pihak eksta yudisiil.

Kebebasan hakim ini mmeberi wewenang kepada hakim untuk menemukan


hukum secara leluasa.

Sebagaimana telah kita ketengahkan di muka, asas menenai pengcualian,


penyimpangan atau pembatasan. Secara mikro kebebasan hakim dibatasi
oleh kehendak pihak-pihak yang bersangkutan, Pancasila, UUD, Undang-
Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hakim, terutama dalam perkara
perdata, terikat pada apa yang dikemukakan oleh para pihak. Ia pada
dasarnya tidak dapat memutuskan lebih atau kurang dari yang di tuntut oleh
yang bersangkutan. Putusannya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila,
UUD, Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Secara makro
dibatasi oleh sistem pemerintahan, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Campur tangan atau turun tangannya pemerintah dalam peradilan dikenal
dengan sistem pemerintahan orde lama (uu no. 13 Tahun 1965) .

Selanjutnya dalam Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009 ditentukan bahwa


hakim harus mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang
(bandingkan dengan Pasal 20 AB). Ini berarti bahwa hakim pada dasarnya
harus tetap ada di dalam sistem (hukum), tidak boleh keluar dari hukum,
sehingga harus menemukan hukumnya.

Tidak boleh dilupakan Pasal 10 (1) UU No. 48 Tahun 2009 yang menentukan
bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Walau
bagaimanapun, hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan, yang
berarti bahwa ia wajib menemukan hukum (lihat juga Pasal 22 AB).

Selain didasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menemukan


dasar hukumnya dengan jelas dan tegas pada Pasal 5 (1) UU No. 48 Tahun
2009, yang berbunyi: Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Kata menggali diasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi
tersembunyi. Agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi
hukumnya itu ada, tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan,
bukannya tidak ada, kemudian diciptakan. Scholten mengatakan bahwa di
dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan setiap
saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, karena
itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya

b) Pengertian dan metode penemuan hukum,


Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang
ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
konkret. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah
proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang
bersifat umum degan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu.

Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana


mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret. Menurut
ajaran hukum fungsional dari Ter Heide yang penting ialah pertanyaan
bagaimana dalam situasi tertentu dapat ditemukan pemecahannya yang
pling baik yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan bersama dan dengan
harapan yang hidup di antara warga masyarakat terhadap ”permainan
masyarakat” yang dikuasai oleh ”aturan permainan”. Di sini bukan hasil
kegiatan penemuan hukum yang merupakan titik sentral, walaupun
tujuannya adalah menghasilkan putusan, melainkan metode yang
digunakan.

Menemukan hukum merupakan karya manusia dan ini berarti antara


lain bahwa setiap penerapan hukum selalu didahului oleh seleksi subjektif
mengenai peristiwa-peristiwa dan peraturan-peraturan yang relavan.
Selanjutnya penerapan sendiri selalu berarti: merumus-ulang suatu
peraturan abstrak untuk peristiwa konkret.
Sejak manusia menyadari bahwa kepentingan-kepentingannya selalu
terancam atau terganggu oleh bahaya atau serangan, baik dari alam
maupun oleh sesamanya dan memerlukan perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingannya, maka dikenal hukum.

Sebelum dikenal hukum tertulis, satu-satunya sumber hukum adalah


hukum kebiasaan. Oleh karena hukum kebiasaan itu sifatnya tidak tertulis,
dapat di bayangkan bahwa tidak ada kepastian atau keseragaman hukum.

Kemudian dikenal hukum tertulis. Undang-undang pertama dalam


sejarah adalah Undang-Undang Hamurabi (1950 SM).

Sebelum 1800 sebagian besar hukum adalah kebiasaan. Sebagai


reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum, timbullah
usaha untuk penyeragaman hukum dengan jalan kodifikasi, yaitu
menuangkan hukum dalam kitab undang-undang (codex). Lambat laun
timbullah masalah tentang apa yang merupakan (satu-satunya) sumber
hukum.

Lahirlah aliran-aliran penemuan hukum, yang pada dasarnya bertitik


tolak pada pandangan mengenai apa yang merupakan (satu-satunya)
sumber hukum. Jadi aliran-aliran itu merupakan aliran-aliran tentang ajaran
sumber hukum.

1) Legisme
Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum
kebiasaan timbullah pada abad ke-19 di Eropa usaha untuk penyeragaman
hukum dengan jalan kodifikasi dengan menuangkan semua hukum secara
lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum kebiasaan
sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Perancis pada akhir abad ke-
18 diadakan kodifikasi yang dicontoh oleh seluruh Eropa. Di Netherlands
kodifikasi diadakan pada tahun 1838. Timbulnya gerakan kodifikasi ini
disertai dengan lahirnya aliran legisme.

Pandangan dalam abad ke-19 ini ialah bahwa satu-satunya sumber


hukum adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan lengkap
yang berisi semua jawaban terhadap semua persoalan hukum, sehingga
hakim hanyalah berkewajiban untuk menerapkan peraturan hukum pada
peristiwa konkretnya dengan metode bantuan penafsiran terutama
penafsiran gramatikal. Pemecahannya dengan sendirinya aka diketemukan
melalui subsumptie. Untuk melaksanakan subsumptie ini ada
persyaratannya, yaitu:

- Undang-undang harus bersifat umum (berlaku bagi setiap orang)


- Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya harus dirumuskan secara
abstrak (berlaku umum)
- Sistem peraturannya harus lengkap, sehingga tidak ada kekosongan-
kekosongan (bandingkan dengan Algra/Janssen, 1981: 61)
Aliran ini berpendapat bahwa semua hukum ini berasal dari kehendak
penguasa tertinggi, dalam hal ini kehendak pembentuk undang-undang.
Jadi, semua hukum terdapat dalam undang-undang. Berdasarkan
pandangan ini, hanya undang-undanglah yang dapat menjadi sumber
hukum, karena pengakuan kebiasaan sebagai sumber hukum berarti
mengakui kekuasaan tertinggi lain di samping kekuasaan negara tertinggi
(pembentuk undang-undang). Pembentuk undang-undang pada waktu itu
ingin mencegah ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum dengan
mengabaikan hukum kebiasaan dan yurisprudensi. Hukum dan undang-
undang itu tumbuh atau identik. Usaha ke arah kodifikasi ini hanya dapat
dipahami melalui ajaran tentang pembagian kekuasaan yang mendapat
pengaruh dari Montesquieu dan harus dilihat dengan latar belakang
pandangan negara liberal. Dalam ajaran trias politica, tidak ada tempat
untuk hukum kebiasaan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri.
Penciptaan atau pembentukan hukum adalah monopoli pembentuk undang-
undang. Pandangan Montesquieu bahwa hakim dalam pemisahan
kekuasaan yang ketat hanyalah sebagai ”bouche de la loi” mempunyai
pengaruh besar pada awal abad ke-19. Pandangan ini disebut legisme.
Demikian pula dalam ajaran kedaulatan rakyat dari Rousseau tidak ada
tempat untuk hukum kebiasaan sebagai sumber hukum (v. Dijk, 1985: 114).

Di Eropa legisme berkuasa dalam abad ke-19 (1830-1880). Perlu


diketahui bahwa Inggris dan Amerika tidak pernah beralih ke kodifikasi. Di
sini judge mad law dan hukum kebiasaan mempunyai peranan yang lebih
penting daripada di Eropa.

Tidak dapat disangkal bahwa ada hukum kebiasaan disamping


undang-undang itu merupakan suatu kenyataan. Berhubung dengan ini
untuk mempertahankan teori bahwa undang-undang adalah satu-satunya
sumber hukum, dicari jalan keluar bahwa berlakunya hukum kebiasaan itu
karena ditunjuk oleh undang-undang (baca Pasal 15 AB). Apabila tidak ada
penegasan mengenai penunjukkan seperti bunyi Pasal 15 AB, maka hukum
kebiasaan dianggap perlu berlaku secara diam-diam dan diciptakanlah fiksi
bahwa hukum kebiasaan mempunyai kekuatan hukum mengikat bukan
karena kebiasaan, yaitu bahwa perilaku yang diulang mempunyai kekuatan
mengikat, tetapi karena kehendak pembentuk undang-undang, baik yang
tegas maupun secara diam-diam.

2) Mazhab Historis
Kemudian dalam abad ke-20 disadari bahwa undang-undang tidaklah
lengkap. Nilai-nilai yang dituangkan dalam undang-undang tidak lagi sesuai
dengan perkembangan kehidupan bersama. Ternyata terdapat kekosongan-
kekosongan dan ketidakjelasan dalam undang-undang. Perkembangan ini di
Netherlands dinilai pada akhir abad ke-19. Judge Mad Law dan hukum
kebiasaan dapat melengkapi undang-undang. Sejak itu pula hukum
kebiasaan dan yurisprudensi dianggap sebagai unsur-unsur sistem hukum.

Berlawanan dengan pandangan legisme, yaitu bahwa undang-undang


adalah satu-satunya sumber hukum, adalah pandangan Mazhab Historis
yang dipelopori oleh von Savigny (1779-1861). Mazhab Historis berpendapat
bahwa hukum itu ditentukan secara historis: hukum tumbuh dan kesadaran
hukum bangsa di suatu tempat dan pada waktu tertentu (Das rechts wird
nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke). Kesadaran hukum
(Volksgeist), yang paling murni terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum
terutama merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktik-praktik
yang terdapat dalam kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas.
Para yuris harus mengembangkan dan mensistematisasi keyakinan dan
praktik-praktik ini (Franken, 1985: 188).
Von Svigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum kebiasaan yang
tidak cocok untuk kehidupan modern. Sebelum mengkodifikasikan hukum
harus mengadakan penelitian yang mendalam lebih dahulu. Setelah itu
barulah dapat diadakan kodifikasi. Jasa Von Savigny ialah bahwa ia
memberi tempat yang mandiri pada hukum kebiasaan sebagai sumber
hukum.

3) Begriffsjurisprudenz
Ketidakmampuan pembentuk undang-undang meremajakan undang-
undang pada waktunya merupakan alasan untuk memberi peran aktif bagi
hakim. Dari hakim diharapkan seberapa dapat menyesuaikan undang-
undang pada keadaan baru. Yurisprudensi mulai memperoleh peranan
sebagai sumber hukum. Demikian pula hukum kebiasaan memperoleh
kembali peranannya sebagai sumber hukum. Sebaliknya para sarjana mulai
bersikap kritis terhadap undang-undang.

Dalam pertengahan abad ke-19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh


Rudolf von Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematik hukum.
Setiap putusan baru dari hakim harus sesuai dengan sistem
hukum.berdasarkan kesatuan yang dibentuk oleh sistem hukum, setiap
ketentuang undang-undang harus dijelaskan dalam hubungannya dengan
ketentuan undang-undang yang lain, setiap ketentuan undang-undang harus
dijelaskan dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang lain,
sehingga ketentuan-ketentuan undang-undang itu merupakan satu kesatuan
yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal adalah apabila sistem yang ada itu
berbentuk suatu piramida dengan pada puncaknya suatu asas utama. Dari
situ dapat dibuat pengertian-pengertian baru (begriff). Dikembangkanlah
sistem asas-asas dan pengertian umum yang digunakan untuk mengkaji
undang-undang. Oleh karena itu, teori ini disebut Begriffsjurisprudenz, suatu
nama yang diberikan oleh von Jhering pada aliran ini.

Khas bagi aliran Begriffsjurisprudenz ini ialah bahwa hukum dilihat


sebagai satu sistem tertutup yang mencakup segala-galanya yang mengatur
semua perbuatan sosial. Pendekatan hukum secara ilmiah dengan sarana
pengertian-pengertian yang diperhalus ini merupakan dorongan timbulnya
positivisme hukum, tetapi juga memberi argumentasi-argumentasi yang
berasal dari ilmu hukum, dan dengan demikian objektif, sebagai dasar
putusan-putusan. Pasal-pasal yang tidak sesuai dengan sistem
dikembangkan secara ”ilmiah” dan diterapkan interpretasi restriktif.

Begriffsjurisprudenz ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim


daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang,
tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum
yang tersirat dalam undang-undang. Dengan demikian, peradilan lebih
bersandar pada ilmu hukum. Maka kegiatan hakim terdiri dari sistematisasi,
penghalusan hukum, dan pengolahan hukum dalam sistem itu melalui
penjabaran logis peraturan undang-undang menjadi berbagai asas hukum.
Para hakim makin berkiblat pada ilmu dogmatik. Kalau undang-undang
ternyata tidak memberi jawaban, hakim mencari objektivitas yang
disyaratkan oleh ilmu hukum. Dorongan terhadap penghormatan ilmu hukum
sebagai sarana untuk menemukan hukum ini berasal dari mazhab historis.

Sebaliknya, ilmu hukum mengolah putusan-putusan pengadilan dan


berusaha untuk menempatkannya pada sistem tertentu. Akan tetapi, ”sikap
ilmiah” ini sering mengarah pada Begriffsjurisprudenz murni, yaitu
menjauhkan ilmu hukum secara definitif dari kenyamanan sosial, politik dan
moral dari hukum. Dalam hal in analisis, konstruksi logis dan sistematisasi
dianggap sebagai tujuan dan tidak lagi seperti sekarang sebagai sarana
guna menyediakan bahan argumentasi untuk hakim dalam putusannya.

Putusan HR tanggal 17 Desember 1909 merupakan contoh


Begriffsjurisprudenz bahwa ”perkumpulan untuk memperluas pengumpulan
benda sendi dan benda kuno” pada museum di Haarlem, yang pada tanggal
18 juni 1904 diangkat berdasar testamen sebagai ahli waris dari tuan
Druyvestijn ditolak haknya atas warisan berdasarkan pertimbangan bahwa
perkumpulan tersebut pada saat meninggalnya pewaris (2 April 1905)
tidaklah merupakan badan hukum. Perkumpulan tersebut diakui dengan KB
31 Mei 1875 untuk 29 tahun, yang terakhir pada tanggal 31 Mei 1904.
Perkumpulan ini tetap ada, tetapi tidak minta pembaharuan pengakuan.
Pada waktu warisan terbuka ketentuannya diganti, sehingga masa berlaku
perkumpulan ditentukan 29 tahun 11 bulan. Setelah disetujui dengan KB
perkumpulan itu menerima warisan. HRS (Pasal 946 BWN) tidak hanya
berlaku bagi orang, tetapi juga bagi badan hukum. Untuk dapat mewarisi,
perkumpulan itu pada tanggal 2 April 1905 harus berbentuk badan hukum.
Badan hukum hanyalah merupakan konstruksi yuridis, suatu pengertian.
Dengan pengertian ini, hakim menarik kesimpulan dengan menggunakan
pertimbangan logis (apa yang berlaku bagi orang harus berlaku juga bagi
badan hukum), suatu kesimpulan yang tidak memuaskan rasa hukum. (Van
Apeldoorn, 1954: 317)

Dengan demikian, Begriffsjurisprudenz ini tidak melihat kenyataan


masyarakat, karena dari sarana pengertian hukum sampai pada konstruksi-
konstruksi menyimpang dari kenyataan, kecuali itu masyarakat ditundukkan
pada sistem.

4) Interessenjurisprudenz
Sebagai rekasi terhadap Begriffsjurisprudenz, lahirlah pada abad ke-19
di Jerman Interessenjurisprudenz, yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering
(1818-1892), suatu aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-
kepentingan (Interessen) yang difiksikan. Oleh karena itu, aliran ini disebut
Interessenjurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya
sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad ke-20 di Jerman.

Hukum merupakan resultante pertentangan-pertentangan kepentingan


yang berlawanan dan berbenturan satu sama lain. Pandangan ini diberi
dasar dasar ilmiah dalam bukunya der Zweck in Recht (1877). Aliran ini
berpendapat bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai
formil-logis belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Menyadari bahwa
sistematisasi hukum tidak boleh dibesar-besarkan, maka von Jhering
mengarah kepada tujuan yang terdapat di belakang sistem dan merealisasi
”ide keadilan dan kesusilaan yang tak mengenal waktu”. Aliran ini
berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi,
memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata.
Dalam putusannya hakim harus sertanya kepentingan manakah yang diatur
atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang. Philip Heck, yang
termasuk salah seorang penganut aliran ini, berpendapat bahwa tanpa
pengetahuan tentang kepentingan sosial, moral, ekonomi, kultural dan
kepentingan lainnya, dalam peristiwa tertentu yang berhubungan dengan
peraturan tertentu, pelaksanaan atau penerapan hukum yang tepat dan
berarti tidak mungkin.

Pembentuk undang-undang sewaktu merumuskan peraturan telah


mempertimbangkan pelbagai kepentingan dan akhirnya mengambil pilihan.
Dalam ketentuan undang-undang telah ditetapkan kepentingan-kepentingan
mana yang dimata pembentuk undang-undang itu mempunyai nilai. Apabila
kemudian diminta putusan dari hakim (dalam konflik kepentingan), maka ia
harus menyesuaikan dengan ukuran nilai yang dimuat dalam undang-
undang. Ia tidak boleh atas kemauannya sendiri menilai kepentingan konkret
pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi mengeluarkan unsur-unsur itu yang
telah dinilai oleh pembentuk undang-undang dan berkaitan dengan itu
mengambil putusan. Yang menentukan terutama adalah selalu penilaian
oleh pembentuk undang-undang. Hakim dalam putusannya harus bertanya
kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk
undang-undang.

Contoh pengaruh pendekatan hukum dalam Interessenjurisprudenz


adalah teori legitiniasi dari Scholten, yang berkaitan dengan Pasal 1977
KUHPerdata (bezit gelds als volkomen titel). Menurut teori ini penguasaan
(bezit) itu mengesahkan (melegitimasi) hak milik. Fungsi prosesuilnya ialah,
bahwa siapa yang, dalam proses tentang hak milik benda tidak atas nama,
dapat menunjukkan penguasaannya (bezit) atas benda tersebut, dibebaskan
dari pembuktian. Ini menyangkut perlindungan kepentingan orang yang
menguasai barang.

Pengaruh Interessenjurisprudenz kita dapat juga dalam putusan HR


tanggal 24 Januari 1930, yang untuk pertama kali mengetengahkan ajaran
Schutznorm atau teori relativitas dalam hubungannya dengan perbuatan
melawan hukum. Menurut teori ini maka untuk berhasilnya gugatan melawan
hukum disamping 4 syarat yang tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata
masih diperlukan syarat yang ke-5, yaitu bahwa kaidah (norm) yang
dilanggar harus bertujuan melindungi kepentingan yang diserang. Ini disebut
syarat relativitas.

5) Freirechtbewegung
Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di
Jerman. Reaksi ini dimulai oleh Kantorowicz (1847-1940). Yang dengan
nama samaran Gnaeus Flavius alam tahun 1906 menulis ”Der Kempf um
die Rechtswissenschaft”. Aliran baru ini disebutnya ”Freirechtlich” (bebas)
dan dari situlah timbul istilah Freirechtbewegung.

Mengapa di Jerman timbul reaksi-reaksi yang tajam, tidak lain


disebabkan karena di sana sekitar 1900 diadakan kodifikasi.

Pengikut-pengikut aliran ini menentang pendapat bahwa kodifikasi itu


lengkap dan bahwa hakim dalam proses penemuanhukum tidak mempunyai
sumbangan kreatif. Tidak seluruh hukum terdapat dalam undang-undang. Di
samping undang-undang masih terdapat sumber-sumber lain yang dapat
digunakan oleh hakim untuk menemukan hukumnya. Mereka menganggap
titik tolak Montesquieu bahwa hakim tidak boleh lebih dari corong undang-
undang secara tegas merupakan fiksi. Tiap pemikiran yang melihat hakim
sebagai subsumptie automaat dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyata.
Menurut mereka hakim tidak hanya mengabdi pada fungsi kepastian hukum,
tetapi mempunyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Pengertian-
pengertian yang umum, luas dan karena itu kabur atau samar-samar seperti
pengertian ”itikad baik”, ”kepentingan umum”, yang digunakan oleh
pembentuk undang-undang dalam peristiwa konkret tiap kali masih harus
diisi atau dilengkapi. Putusan hakim tidak selalu dapat dijabarkan dari
undang-undang, karena setiap peristiwa itu sifatnya khusus dan tidak benar
kalau hakim selalu dapat menerapkan peraturan undang-undang yang
umum sifatnya pada situasi konkret. Hakim tidak hanya wajib menerapkan
atau melaksanakan undang-undang, tetapi juga menghubungkan semua
sifat-sifat yang khusus daru sengketa yang diajukan kepadanya, dalam,
putusannya.
Freirechtbewegung mencoba mengarahkan perhatiannya kepada sifat-
sifat yang khusus pada peristiwa konkret dan kepentingan yang berkaitan.
Rasa hukum hakim harus dipusatkan pada hal-hal ini dan juga pada tujuan
yang tersirat dalam peraturan. Kalau penyelesaian berdasakan rasa hukum
itu tidak sesuai dengan penyelesaian menurut undang-undang, hakim
berwenang dan wajib untuk menyimpang dari penyelesaian menurut
undang-undang. Tidak mengakui undang-undang sebagai satu-satunya
sumber hukum mengarah pada subjektifikasi putusan hakim. Dengan
demikian disadari bahwa putusan hakim mengandung karya yang bersifat
menciptakan. Pelaksanaan hukum bergeser ke arah penemuan hukum atau
pembentukan hukum.

Hakim memang harus menghormati undang-undang. Tetapi ia dapat


tidak hanya sekadar tunduk dan mengikuti undang-undang, melainkan
menggunakan undang-undang sebagai sarana untuk menemukan
pemecahan peristiwa konkret yang dapat diterima. Dapat diterima, karena
pemecahan yang diketemukan dapat menjadi pedoman bagi peristiwa
konkret serupalainnya. Disini hakim tidak berperan sebagai penafsir undang-
undang, tetapi sebagai pencipta hukum.

Penemuan hukum semacam itu yang tidak secara ketat terikat pada
undang-undang disebut penemuan hukum bebas. Bahwa hakim harus diberi
kebebasan pada umumnya disepakati. Sebaliknya tidak dapat diterima kalau
hakim diberi kebebasan sedemikian, sehingga ia dapat mengesampingkan
undang-undang dengan mendasarkan semata-mata pada itikad baik,
kepatutan atau hanya karena undang-undangnya sudah usang.

Maka yang dimaksud dengan penemuan hukum bebas bukannya


peradilan di luar undang-undang. Dalam penemuan hukum bebas peran
undang-undang adalah subordinated. Undang-undang bukanlah merupakan
tujuan bagi hakim, tetapi suatu sarana. Bagi hakim yang melaksanakan
penemuan hukum bebas, tugas utamanya bukanlah menerapkan undang-
undang, melainkan menciptakan pemecahan melalui atau dengan bantuan
undang-undang untuk peristiwa konkret sedemikian, sehingga peristiwa-
peristiwa serupa kemudian diselesaikan dengan memuaskan. Maka
penemuan hukum bebas berarti penemuan hukum menurut kepatutan.

Penggunaan metode penemuan hukum bebas kebanyakan dapat


menuju kepada akibat-akibat yang sama seperti dengan metode-metode
penemuan hukum yang lain. Hakim yang melakukan penemuan hukum
bebas tidak akan mengatakan: ”Saya harus memutuskan demikian, sebab
bunyi undang-undangnya adalah demikian.” Ia akan mendasari putusannya
dengan pelbagai alasan (antara lain yang terpenting adalah undang-undang)
karena diakuinnya bahwa pilihan argumentasinya (dan metode
penafsirannya) menjadi tanggung jawabnya yang tidak diserabkannya
kepada pembentuk undang-undang.

Yang sering dianggap khas dalam penemuan hukum bebas ialah


bahwa hakim yang melakukan penemuan hukum, ”mengikut zaman” dan
mengganti peraturan hukum lama (usang) dengan yang baru. Akan tetapi,
perlu ditanyakan kapankah suatu peraturan itu sudah usang dan peraturan
manakah yang harus menggantikannya. Pada asasnya selama belum ada
undang-undang baru, hakim tetap akan berpedoman pada undang-undang
yang lama.

Dalam hal ini ada pengecualiannya, yaitu pembentuk undang-undang


sudah membentuk undang-undang, tetapi belum mempunyai kekuatan
hukum, karena masih dalam pembicaraan di lembaga legislatif. Dalam hal ini
hakim dapat berpedoman pada undang-undang baru yang belum
mempunyai kekuatan berlaku itu: ini merupakan bentuk terpenting dalam
penemuan hukum bebas, yang disebut metode penemuan hukum antisipatif
atau futuristis. Dengan metode ini hakim setidak-tidaknya mempunyai
pegangan pada pendirian pemerintah, sehingga memperoleh petunjuk
bagaimana pandangan pembentuk undang-undang dan hukumnya yang
akan datang. Dengan demikian, hakim memungkinkan terjadinya peralihan
yang luwes dari hukum yang lama ke yang baru, (dengan anggapan bahwa
rancangan undang-undang itu kemudian menjadi undang-undang).

Hendaknya disadari bahwa Freirechtbewegung ini tidak hendak


memberi fungsi yang bersifat menciptakan hukum yang otonom kepada
hakim, tetapi hendak menyadarkan hakim kepada kenyataan bahwa ia
dalam aktivitasnya tidak dapat menghindari mengikutsertakan unsur
penilaian subjektif. Pendapat subjektif hakim ini tidaklah seindividualistis
seperti yang digambarkan oleh lawan Freirechtbewegung: hakim dibesarkan
dalam suasana sistem hukum yang diterapkannya, kecuali itu ia mengenal
peraturan hukumnya. Oleh karena itu, putusannya sebagian besar
diterapkan oleh peraturan hukum tertulis yang berlaku dan asas-asas hukum
yang berlaku umum.

Freirechtbewegung berpendapat bahwa hakim terikat pada batas-


batas yang dapat dijabarkan dari sistem: ini menuju pada pemecahan
masalah yang mendasarkan pada sistem (gesystematiseerd
probleemdenken atau berfikir problem oriented).

Banyak timbul keberatan terhadap penemuan hukum bebas ini.


Keberatan terpenting ialah tidak adanya pendekatan yang metodis. Kritik
terhadap Freirechtbewegung dapat dipahami karena kurangnya perhalian
pada metode yang harus digunakan dalam merealisasi pendiriannya.

6) Penemuan Hukum Modern


Sesudah perang dunia ke-2 timbul lagi kritik terhadap pandangan
hakim sebagai subsumptie automaat. Ini terjadi di bawah pengaruh
pandangan existensialisme.

Kritik mendasar terhadap positivisme undang-undang atau legisme


terletak pada pandangan bahwa model subsumptie ini tidak dapat
dipertahankan. Sebagai penemu hukum, tidak dapat menetapkan secara
objektif apa peristiwanya, apa peraturannya dan kemudian
menghubungkannya secara logis. Sejak menentukan peristiwa yang relavan,
memilih peraturan yang relevan dan menghubungkannya satu sama lain,
momentum penilaian selalu berperan. Selanjutnya ada unsur penilaian
dalam memilih peraturan, menetapkan peristiwa, yang tergantung satu sama
lain: peristiwanya diseleksi dengan diarahkan pada peraturan yang akan
diterapkan. Dalam menyeleksi, memilih dan menilai itu selalu berkaitan
dengan pertanyaan apa yang ingin dicapai: penyelesaian mana yang akan
diambil.
Salah satu pokok pandangan modern ini ialah bahwa bukan sistem
perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah
kemasyarakatan yang konkret yang harus dipecahkan. Undang-undang
bukanlah penuh dengan kebenaran dan jawaban, yang paling tidak
membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi
konkret, tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman
dalam penemuan hukum. Undang-undang bukan satu-satunya sumber
hukum, tetapi masih banyak faktor penting lainnya yang dapat digunkan
untuk penyelesaian masalah-masalah hukum.

Pandangan penemuan hukum modern ini dapat digolongkan dalam


pandangan ”gesystematiseerd prombleemdenken” atau ”pandangan yang
problem oriented” dari Freirechtbewegung. Metode penafsiran undang-
undang yang digunakan disini adalah terutama teleologis. Menurut jalan
pikiran ini maka diakui bahwa dalam penemuan hukum unsur penilaian
adalah central: ingin dicapai sesuatu dengan hukum dan dengan
penyelesaian yang sesuai dengan sistem. Hasilnya tidak dijabarkan secara
logis dari peraturan umum yang abstrak, tetapi sekaligus selalu merupakan
resultante semua kepentingan dan nilai dalam persidangan. Pada asasnya
yang menonjol adalah masalah kemasyarakatan.

Penganut aliran ini (problem oriented) pada umumnya menekankan


bahwa masalah yuridis selalu berhubungan dengan masalah
kemasyarakatan dan dari sinilah haru dicari penyelesaian yang paling dapat
diterima dalam praktik. Titik tolak ini terutama berarti bahwa kita harus selalu
sadar akan kenyataan bahwa penyelesaian hukum merupakan salah satu
cara untuk mengatur masalah kemasyarakatan. Setiap orang sebelum
memulai dengan penemuan hukum harus bertanya apakah suatu
penyelesaian hukum dapat menuju kepada hasil akhir yang diharapkan.
Untuk dapat memutuskan hal ini seseorang yuris harus sekurang-kurangnya
mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh model-model
atau cara-cara lain untuk penyelesaian konflik. Selanjutnya harus
ditanyakkan metode apa yang harus digunakan. Titik tolak dalam memilih
metode ialah bahwa sistem itu merupakan pedoman dalam menemukan
penyelesaian: yang ditanyakkan ialah apa yang dimaksudkan oleh
pembentuk undang-undang dalam konteks kemasyarakatan yang mana.

Dengan perkataan lain, tujuan pembentuk undang-undang dapat


digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan.

Pemecahan masalah dengan mendasarkan pada sistem


(gesystematiseerd probleem denken atau berfikir problem oriented) ini
terjadi melalui beberapa tahap, pertama hakim meneliti masalah yang
diajukan kepadanya untuk diterjemahkan secara yuridis: apakah hukum
dapat membantu memperoleh pemecahan yang diharapkan? Kalau ya,
maka ditetapkanlah peristiwa mana yang dianggapnya relevan dan
peraturan yang mana. Telah diketengahkan di muka bahwa saling ada
hubungan antara peristiwa dan peraturan: peristiwa menentukan peraturan
yang relevan, tetapi peraturannya menentukan sekaligus peristiwa mana
yang penting. Sudah sejak seleksi dan analisis peristiwa dan peraturan
penyelesaian akhir yang ada di dalam benak hakim memegang peranan.
Kalau bagian pertama penelitian ke arah penyelesaian hukum telah
dilakukan, selanjutnya semua nilai dan kepentingan yang berkaitan yang
memegang peranan dalam masalah ditimbang-timbang dan harus
dijatuhkan pilihan. Sesudah ini semuanya barulah dapat kita lihat
keseluruhan konteks masalah dan sampai pada putusan, di mana kita dapat
menyesuaikan maksud pembentuk undang-undang dengan situasi konkret,
dilihat dari keadaan kemasyarakatan yang aktual.

Penemuan hukum modern ini bependirian bahwa atas satu pertanyaan


hukum dapat dipertahankan pelbagai jawaban dalam sistem yang sama.

Berikut ini sebuah contoh. Seorang pria dan seorang wanita mengaku
telah hidup bersama dengan segala suka dan dukanya tanpa nikah selama
bertahun-tahun. Mereka telah bersumpah setia apapun yang terjadi, serta
akan saling memberi bantuan sampai kematian memisahkan mereka.
Pertanyaannya ialah apakah si wanita mempunyai hak atas pensiun?

Bagi yang berfikir menurut sistem semata-mata (system oriented,


systeemdenken), jawabannya mudah. Undang-undang hanya mengatur
pensiun janda kepada janda yang ditinggal mati suaminya: disini formalitas
perkawinan adalah esensial. Dalam hal ini wanita yang tidak ada ikatan
perkawinan dengan seorang pria tidak berhak atas pensiun duda.

Bagi yang berfikir problem oriented, kalau ia hendak


mempertimbangkan untuk memberi pembayaran kepada si wanita, ia harus
meneliti lebih dulu apakah hubungan antara para pihak itu menunjukkan
kesamaan atau kesesuaian dengan pandangan tentang hubungan
perkawinan. Ia harus menilai keadaan kehidupan nyata para pihak dengan
peraturan-peraturan yang memberi ciri-ciri perkawinan. Kalau si penemu
hukum berpendapat bahwa hubungan kedua belah pihak dapat disamakan
dengan perkawinan, harus dipertanyakan apakah ketentuan pensiun itu
dapat diterapkan pada hubungan mereka seakan-akan merupakan
perkawinan. Sebelum hal ini diputus ia harus menimbang semua nilai dan
kepentingan yang berkaitan dengan pertanyaan hukum ini. Kepentingannya
jelas: ada tidaknya uang pada waktu meninggalkan salah satu pihak.
Nilainya lebih problematis: apa kepentingan kehidupan bersama kalau orang
itu kawin, dan sampai berapa jauh kebebasan individu itu untuk tidak
memperhatikan pelaksanaan perkawinan sebagai perbuatan formal?
Apakah selanjutnya tidak juga tepat kalau seseorang yang itu serta
menabung untuk pembayaran tertentu memperoleh hak, apakah asas
solidaritas dalam kehidupan bersama kita sedemikian jelas, sehingga dapat
diterapkan bahwa dalam keadaan tertentu harus dianggap menabung untuk
orang lain? Dapat dikatakan bahwa wanita ini telah ikut menabung.

Penemu hukum harus menimbang-nimbang semua faktor yang


memengaruhi putusan-putusan akhirnya. Ia harus sadar bahwa putusan
dalam arti positif dapat merupakan preseden untuk banyak hubungan di
waktu mendatang.

Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia. Dalam


penemuan hukum yang problem oriented kepentingan justiciabele (pencari
keadilan) lebih diutamakan. Demikian pula putusan Mahkamah Agung
tanggal 20 Januari 1989 nomor 1400 K/Pdt/1986 (MA, 1991: 392) dalam
menafsirkan UU Nomor 1 Tahun 1974 berkaitan dengan perkawinan beda
agama.
Dengan mempertimbangkan bahwa:

- UU nomor 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan apapun yang


menyebabkan bahwa perbedaan agama antara calon suami dan istri
merupakan larangan, yang sejalan dengan Pasal 27 UUD yang menentukan
bahwa segala warga negara bersamaan kedudukan hak asasi untuk kawin
dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama; dan selama oleh
undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan
larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa Pasal
29 UUD tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga
negara untuk memeluk agama masing-masing;
- UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai perkawinan calon suami
istri yang berlainan agama;
- Sekalipun menurut kara-kata yang terdapat dalam Pasal 66 UU Nomor 1
Tahun 1974, yaitu: ”sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan
tidak berlaku... namun Regeling op de Gemengde Huwelijken (S 1898
Nomor 158) ataupun Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (S 1933
Nomor 74) tidak mungkin dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip
maupun falsafah yang amat lebar antara UU Nomor 1 Tahun 1974 dengan
kedua ordonansi tersebut.
- Dengan demikian terdapat kekosongan hukum:
Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka
kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut di atas dibiarkan tidak
terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut berlarut-
larut pasti akan menimbulkan dampak-dampak negatif di segi kehidupan
bermasyarakat maupun bemgama yang berupa penyelundupan-
penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif,
maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat ditemukan dan
ditentukan hukumnya;

Mengadili sendiri:

- Membatalkan surat penolakan Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Provinsi


DKI Jakarta Nomor 655/1.755.4/CS/1986 tanggal 5 Maret 1986;
- Memerintahkan Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan Sipil Provinsi DKI
Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Vony Gant P
(Islam) dengan Adrianus Petros Hendrik Nelwan (Kristen) setelah dipenuhi
syarat-syarat menurut undang-undang;
Hukum (undang-undang) selalu ketinggalan dari peristiwanya (het
recht hinkt achter de feiten aan). Itu memang sifat hukum. Lebih-lebih
dengan berkembang pesatnya teknologi dewasa ini, maka hukum (undang-
undang) akan jauh ketinggalan. Tidak tergambarkan semula bahwa fotokopi,
kaset dan telepon dapat merupakan alat bukti. Fotokopi semula tidak
merupakan alat bukti, tetapi kemudian dengan putusan Mahkamah Agung
tanggal 14 April 1976 nomor 701 K/Sip/1974 (Y.I 1976, 549) Fotokopi
merupakan alat bukti asal disertai keterangan atau dengan jalan apapun
secara sah yang menyatakan bahwa fotokopi itu sesuai dengan aslinya.
Dengan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 1751/P/1989
tanggal 20 April 1990 (Varia Peradilan Tabun VI Nomor 62 November 1990)
maka kaset merupakan alat bukti.

Dalam perkembangan teknologi dewasa ini dituntut sikap arif,kreatif


dan inovatif dari hakim. Menurut kebiasaan pernikahan dihadiri secara fisik
oleh calon mempelai pria dan calon mempelai putri di satu tempat. Akan
tetapi, menrut Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 20
April 1990 tersebut di atas, pernikahan melalui telepon antara calon suami
dan calon istri yang berjauhan tempat tinggalnya (Indonesia-Amerika) itu
sah. Mengingat bahwa hukum adalah untuk melindungi kepentingan
manusia, maka dalam menemukan hukum harus diperhatikan pula
perkembangan masyarakat dan perkembangan teknologi.

c) Metode Penafsiran,
Di dalam ilmu hukum dikenal macam-macam metode penafsiran atau
interpretasi hukum, yaitu sebagai berikut:

1) Penafsiran Gramatikal
Penafsiran gramatikal atau taalkunding adalah penafsiran tata bahasa atau
kata-kata. Kata-kata dan bahasa merupakan alat bagi pembuat undang-undang
untuk menyatakan maksud dan kehendaknya. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan
tepat. Untuk mempergunakan kata-kata itu tidak mudah. Oleh karenanya apabila
hakim ingin mengetahui apa yang dimaksud oleh undang-undang atau apa yang
dikehendaki oleh pembuat undang-undang, hakim harus menafsirkan kata-kata di
dalam undang-undang yang bersangkutan.

Ia harus mencari arti kata-kata itu dalam kamus atau minta penjelasan-
penjelasan para ahli bahasa. Inipun sering tidak cukup dan hakim harus mencari
jalan lain. misalnya mencari sejarah penggunaan kata-kata tersebut. Pada waktu
undang-undang itu ditetapkan dan lain sebagainya. Mengenai kurang jelasnya arti
kata dapat diambil contoh tentang larangan memparkir kendaraan. Apakah yang
dimaksud dengan kendaraan? Apakah hanya kendaraan bermesin saja atau
termasuk dokar, sepeda, gerobak dan sebagainya?

Di samping itu kata-kata itu sendiri dalam penafsiran kata-kata itu harus
dihubungkan pula dengan susunan kalimat-kalimat dan dengan peraturan-peraturan
lain. Pada hakikatnya penafsiran mengenai arti kata hanya merupakan penafsiran
yang pertama saja dan harus dilanjutkan dengan cara penafsiran yang lain. Sebagai
contoh dapat dipergunakan Pasal 1140 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa
apabila penyewa tidak membayar uang sewa, maka yang menyewakan rumah
mempunyai hak pertama (hak privilege atau voorrecht) untuk menjual barang yang
ada di dalam rumah tersebut agar rumah itu dapat didiami orang lain (stoffeing)
dengan tidak memperdulikan apakah barang itu kepunyaan si penyewa atau bukan.
Dari hasil penjualan tersebut uangnya dipergunakan untuk membayar uang sewa.
Dengan adanya kata-kata “dengan tidak memperdulikan…dan seterusnya”, maka
Hoge Raad di Negeri Belanda beranggapan bahwa yang menyewakan tetap dapat
mempergunakan hak privelegenya untuk menjual barang yang ada di dalam rumah
yang bersangkutan, meskipun sebelumnya yang menyewakan ini tahu bahwa
barang-barang tersebut bukan milik yang menyewa.

2) Penafsiran Historis atau Sejarah


Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah daripada undang-undang yang
bersangkutan. Tiap ketentuan perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan
dari sejarah perundang-undangan ini hakim mengetahui maksud dari pembuatnya.\

Penafsiran historis ini ada 2 macam, yaitu:

a. Fockema Andre, membagi penafsiran ini dalam dua bentuk:


- Penafsiran asal-usul, ialah asasl usul sampai timbulnya undang-undang
yang baru;
- Penafsiran menurut sejarah pembuatan suatu undang-undang
b. Van Bemmelen, membedakan pengertian ini dengan dua macam istilah,
yaitu:
- Historische interpretatie untuk penafsiran asasl usul
- Penafsiran legislatif untuk wetshistorische interpretatie.
Yang lazim penafsiran historis di bagi dalam:

a. Penafsiran menurut sejarah pembuatan undang-undang (wetshistorische


interpretatie),
Penafsiran ini juga dinamakan penafsiran sempit dan hanya menyelidiki
“apakah maksud” pembuat undang-undang dalam menetapkan peraturan
perundang-undangan itu atau siapa yang membuat rancangan untuk undang-
undang, apa dasar-dasarnya, apa yang diperdebatkan dalam sidang-sidang DPR
dan sebagainya sehingga undang-undang itu dapat ditetapkan secara resmi.

Apabila penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa peraturan perundang-


undangan itu mengambil asas-asas dari sistem hukum terdahulu atau hukum lain,
maka hakim menafsirkan menurut sejarah terbentuknya undang-undang terlebih
dahulu dan kemudian baru diadakan penelitian menurut sejarah hukum. Menurut
Scholten, penafsiran sejarah pembertukan undang-undanglah yang penting.

Penyelidikan sistem hukum terdahulu (sebelum sistem hukum yang baru


lahir) tidak penting sebab meskipun undang-undang yang dibentuk merupakan
lanjutan dari undang-undang lama, belum berarti bahwa perumusan undang-undang
yang baru itu pasti sama dengan undang-undang yang sebelumnya.

Bagi hakim penafsiran historis adalah untuk kepentingan praktik, maka


penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorisch) dan penafsiran menurut
sejarah penetapan peraturan pembentukan undang-undang (wetshistorisch) tidak
ada perbedaan. Selanjutnya Scholten menyatakan bahwa mengetahui maksud dan
kehendak pembuat undang-undang belum cukup bagi hakim, sebab hakim harus
menerapkan terlebih dahulu peraturan-peraturan itu sesuai dengan asas keadilan
masyarakat sekarang. Hukum itu dinamis, selalu berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Dengan demikian, arti peraturan perundang-undangan
positif belum tentu cocok dengan kenyataan (werkelijkheid), maka Scholten juga
berpendapat bahwa penafsiran historis dengan sendirinya membimbing hakim kea
rah penafsiran sosiologis.

Anggapan Scholten ini sesuai dengan praktik hakim di Indonesia. dalam


yurisprudensi-yurisprudensi jarang dijumpai adanya hubungan yang didasarkan
kepada penafsiran menurut sejarah hukum seperti zaman V.O.C, Romawi dan
sebagainya.

b. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorische interpretatie)


Penafsiran historis ini dinamakan penafsiran yang luas, karena penafsiran
wetshistorisch termasuk di dalamnya. Penafsiran menurut sejarah hukum ini
menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu
pernah berlau atau dari sistem hukum yang sekarang masih berlaku di Negara lain,
misalnya, KUHPerdata yang berasal dari Burgerlijk Wetbook (BW) di negeri
Belanda. BW berasal dari Code Civil Perancis ke negeri Belanda (BW) berdasarkan
asas konkordansi sama halnya dengan masuknya BW negeri Belanda ke Indonesia
sebagai Negara jajahan.

3) Penafsiran Sistematis
Yang dimaksud dengan penafsiran sistematis, ialah suatu penafsiran yang
menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-
undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya, atau
membaca penjelasan suatu perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa yang
dimaksud.

Contoh:

- Pasal 1330 KUHPerdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat


perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa.
Bunyi lengkapnya Pasal 1330 KUHPerdata ialah: “ Tidak cakap membuat
perjanjia adalah: a. orang yang belum dewasa; b. orang yang ditaruh dibawah
pengampuan; c. orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-
undang dan pada umumnya orang kepada siapa undang-undang telah
melarang persetujuan tertentu.”
Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa?

Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat Pasal 330
KUHPerdata yang memberikan batas belum berumur 21 tahun.

Bunyi Pasal 330 KUHPerdata:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh
satu tahun, dan tidak lebih dahulu belum kawin.”

- Di dalam Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1967 (UU Pokok Perbankan) yang


mengemukakan tentang usaha pokok bank memberikan kredit.
Bunyi Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1967, sebagai berikut:

“ Bank ialah suatu pengertian tentang lembaga-lembaga keuangan yang


usaha pokoknya ialah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran dan peredaran uang.”

Apakah yang dimaksud pengertian kredit?

Kita melakukan penafsiran sistematis. Kata “kredit” berasal dari “credere”


dalam bahasa Romawi berarti kepercayaan, dalam arti luas dan modern maksudnya
pinjam-meminjam. Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian, memerlukan jaminan
dan orang menjaminkan ini mengharapkan keuntungan berupa bunga. Hal ini diatur
dalam buku II tentang perikatan (verbintenissenrecht), Bab XIII tentang perjanjian
pinjam meminjam mengganti yang maksudnya pinjam meminjam barang-barang
yang sifatnya habis dipakai.

Bunyi Pasal 1754 KUHPerdata sebagai berikut:

“ Pinjam mengganti ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu


memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat-syarat bahwa pihak belakangan ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan sifat yang sama pula.”

Untuk lebih mendalam mengetahui maksud perjanjian kredit, yang diambil


penjelasan secara penafsiran sistematis, dari pasal 1754 KUHPerdata dan pasal-
pasal selanjutnya yang mengatur hal itu
- Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Apakah yang dimaksud dengan korupsi, tindakan apa yang dikatakan
perbuatan itu merupakan tindak pidana, bilamana subjek hukum melakukan
perbuatan itu.

Dalam tuntutan pidana, pihak jaksa membuktikan dengan alat-alat bukti yang
ada, bahwa orang itu bersalah dan apabila alat-alat bukti ternyata dapat
membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah. Sedangkan dalam tindak pidana
korupsi agak berbeda pembuktian yang dilakukan terdakwa. Ia wajib menunjukkan
semua alat-alat bukti yang ada bahwa ia tidak bersalah. Apabilaia tidak dapat
membuktikan secara konkret maka terdakwa dinyatakan bersalah. Untuk
mengetahui secara lengkap, pasal suatu perundang-undangan yang kurang jelas
dapat diketahui dalam penjelasan undang-undang itu, baik pada penjelasan umum
maupun pada penjelasan pasal demi pasal.

4) Penafsiran Sosiologis, Penafsiran Teleologis.


Penafsiran sosiologis ialah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan
masyarakat. Penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan yang pertama
dimulai dari penafsiran menurut kata dan tata bahasa, penafsiran menurut sejarah,
kemudian penafsiran sosiologis. Mengapa demikian? Penafsiran sosiologis adalah
penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan sosial didalam masyarakat agar
penerapan hukum dapat sesuai dengan tujuannya ialah kepastikan hukum
berdasarkan asas keadilan masyarakat.

Selain itu urgensi daripada penafsiran sosiologis ialah sewaktu Undang-


Undang itu dibuat keadaan sosial masyarakat sudah lain daripada sewaktu Undang-
Undang diterapkan kemudian, karena hukum itu gejala sosial yang senantiasa
berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Begitu pula kehendak pembuat
undang-undang sewaktu undang-undang itu disusun, mungkin sekali sudah tidak
sesuai dengan tujuan sosial sekarang. Dalam keadaan demikian itu maka pembuat
undang-undang adalah anasir statis, sedangkan tujuan sosial adalah anasir dinamis
atau dengan lain perkataan keadaan positiviteit tidak cocok dengan werkelijkheid
(hukum kenyataan).
Penafsiran sosiologis itu memang penting sekali bagi hakim terutama kalau
diingat banyak undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan.
Khususnya bagi Indonesia banyak undang-undang yang dibuat pada waktu zaman
penjajahan, sehingga sudah tidak cocok dengan keadaan sosial (masyarakat) pada
waktu sekarang (alam kemerdekaan).

Seperti kita ketahui hukum-hukum Barat yang terdapat pada Burgerlijk


Wetboek (BW), Wetboek van Koophandel (WvK), dan Wetboek van Strafrecht (WvS)
dan lain-lain dibawa ke Hindia Belanda. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan uud
1945, hukum-hukum barat itu hanyalah bersifat transitorsrecht (hukum peralihan)
yang juga dipergunakan untuk mencegah rechtsvacuum (kekosongan hukum) dari
sekian banyaknya hukum-hukum Belanda itu. Selama merdeka belum banyak
hukum-hukum Belanda atau Hukum Barat yang diganti atau diperbaharui. Beberapa
undang-undang yang dikeluarkan selama kita merdeka, antara lain adalah:

- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria


sebagai pengganti tentang benda (zaak) yang menyangkut masalah tanah
dari buku ke II KUHPerdata.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai
pengganti tentang orang yang menyangkut masalah perkawinan dari buku ke
I KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesirs) Tahun 1993 dan Peraturan Perkawinan
Campuran.
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 tentang Perubahan dan Penambahan
atas Ketentuan Pasal 54 KUHD (Wetboek van Koophandel) tentang
perubahan hak suara yang tidak terbatas dalam rapat pemegang saham pada
Perseroan Terbatas (PT).
- Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Bank Indonesia sebagai
pengganti Undang-undang de Javasche Bank Tahun 1922. (Wet tot
vaststelling van de Javasche Bank stb No. 180 Tahun 1922). Sekarang telah
diganti dengan PP No. 70/1992 tentang Bank Umum.
- Dikeluarkan beberapa undang-undang pidana baru sebagai perubahan dan
penambahan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang lebih khusus atau
spesialisasi dalam tindak pidana narkotika, kejahatan dalam penerbangan,
penertiban perjudian, mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama,
pemberantasan kegiatan subversi.
- Begitu pula diadakan perubahan dalam hukum acara pidana dengan undang-
undang Hukum Acara Pidana baru sebagai undang-undang nasional
Pengganti hukum acara pidana yang pada Herziene Inlandsch Reglement
(HIR) atau Reglement Indonesia yang diperbarui (RIB)
- Lain-lainnya.
Dari beberapa hukum dan undang-undang colonial zaman Hindia Belanda
yang berasal dari Hukum Barat, sebagian sudah dicabut serta dinyatakan tidak
berlaku dan diperbarui dengan menyesuaikan kepribadian Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan berlaku sama bagi siapapun.

Belum semua hukum itu sesuai dengan keadaan perkembangan masyarakat.


Terhadap hal inilah hakim di pengadilan dalam memutuskan dan menyelesaikan
perkara, melakukan penafsiran sosiologis atau penafsiran teknologis.

Kita ambil ebagai contoh, hakim melakukan penafsiran sosiologis:

- Dalam Pasal 362 KUHPidana, ditegaskan larangan untuk mencuri barang


kepunyaan orang lain:
Bunyi Pasal 362 KUHPidana sebagai berikut: “ Barangsiapa mengambil
sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang
lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum
karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau
denda sebanyak-banyakny Rp. 900.-.”
Apakah yang dimaksud dengan barang itu? Mula-mula pengertian barang
ialah segala yang bisa dilihat, diraba dan dirasakan secara riil. Waktu itu listrik
tidak termasuk sebagai barang dan pencuri listrik tidak dapat dihukum
berdasarkan pasal 362 KUHPidana. Kemudian penafsiran sosiologis berlaku
terhadap listrik yang dianggap sebagai barang, karena listrik itu mempunyai
nilai. Untuk mengadakan proyek perlistrikan diperlukan penafsiran sosiologis
atas listrik, maka siapa yang mengkait kabel listrik PLN dijalan, dapat
dikatakan melakukan pencurian dan berlaku Pasal 362 KUHPidana.
5) Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi (authentieke interpretatie
atau officieele Interpretatie) ialah penafsiran secara resmi. Penafsiran ini dilakukan
oleh pembuat undang-undang itu sendiri atau oleh instansi yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan dan tidak boleh oleh soapapun dan pihak manapun.
Penafsiran ini sifatnya subjektif. Penafsiran yang dilakukan oleh pembuat undang-
undang sebagai lampiran dan tambahan Lembaran Negara dari undang-undang
yang bersangkutan. Mengenai instansi tertentu yang secara resmi berhak
mengadakan penafsiran terhadap Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Eka Prasetya Panca Karsa) seperti apa yang tersebut dalam Ketetapan
MPR No. II/MPR/1978 yang menyebutkan bahwa P4 tidak boleh ditafsirkan oleh
siapapun baik oleh badan yudikatif, eksekutif maupun legislatif kecuali MPR. Maksud
dari ketetapan ini adalah untuk mencegah adanya penafsiran yang beda-beda dan
tidak sesuai dengan kehendak pembuat undang-undang.

Kadang-kadang pembuat undang-undang itu sendiri membuat tafsiran atas


berbagai kata-kata yang digunakan dalam UU yang bersangkutan. Tafsiran ini
namanya tafsiran resmi atau tafsiran otentik. Maksud dari tafsiran otentik ini ialah
agar berlaku untuk umum. Maka tafsiran otentik hanya dapat dilaksanakan oleh
pembuat UU sendiri. Hakimpun tidak boleh, karena pada asasnya tafsiran yang
dibuat oleh hakim hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara saja.

Contoh:

Penafsiran otentik Pasal 512 – 518 KUHPerdata

Dalam pasal ini pembuat undang-undang menjelaskan apa yang dimaksud


dengan “barang yang bergerak”. Barang-barang rumah tangga (inboedel), perkakas
rumah (meubels en huisraad), barang-barang yang gunanya agar rumah dapat
didiami orang (stoffering) dan suatu rumah dengan segala sesuatu yang ada di
dalamnya (een huis met al hetgeen zich daarin bevindt).

6) Penafsiran Perbandingan
Penafsiran perbandingan ialah suatu penafsiran dengan membandingkan antara
hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, hukum nasional dengan
hukum asing dan hukum kolonial. Dalam penafsiran perbandingan akan terlihat
antara lain:
- Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, mungkin hukum lama
cocok untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Umpamanya beberapa
hukum dan asas hukum adat yang menggambarkan unsur kekeluargaan, dapat
diambil untuk dijadikan hukum nasional.
- Hukum nasional sendiri dengan hukum asing. Pada hukum nasional terdapat
kekurangan. Apabila ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing/hukum
Negara lain apakah hukum asing itu cocok dengan kepentingan nasional.
Umpamanya seperti hukum hak cipta yang terdapat di Negara maju,
dipertimbangkan apakah sudah waktunya Negara kita mempunyai undang-
undang hak cipta yang berarti buku-buku ilmiah tidak boleh diterjemhahkan,
disadur atau difotocopy dan diperbanyak. Apakah buku-buku ilmiah harganya
terjangkau oleh rakyat kalau ke luar Undang-Undang Hak Cipta itu.
- Hukum kolonial peninggalan penjajah, karena asas konkordansi oleh Negara
merdeka masih tetap dipergunakan. Dalam hal ini Negara itu membandingkan
hal-hal manakah yang sudah tidak sesuai dengan hukum kepribadian nasional
Negara itu.
Asas-asas tata kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang segala
pengaturannya terdapat dalam perundang-undangan kolonial yang berdasarkan
asas liberalism, tentu tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Seperti
contoh dalam tata kehidupan ekonomi berdasarkan liberalisme, mengutamakan
persaingan bebas. Sedang tata kehidupan ekonomi Indoesia mengutamakan tata
kehidupan berdasarkan tata kehidupan kekeluargaan, sehingga bentuk Perseroan
Terbatas (PT), Perseroan Firma (Fa), Perseroan Komanditer (CV) asasnya dari
Negara Barat yang mengutakan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tidak
sesuai untuk alam Indonesia. Yang sesuai adalah asas perseroan di bidang ekonomi
kekeluargaan dalam bentuk Koperasi ialah kesejahteraan anggota sedangkan
keuntungan merupakan tujuan sekunder.

Dari uraian terkait macam-macam penafsiran hukum di atas, pembuat


undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang harus dijadikan
pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang oleh karenanya hakim
bebas dalam melakukan penafsiran.

Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-


tama selalu dilakukan penafsiran gramatikal karena pada hakikatnya untuk
memahami teks peraturan perundang-undangan harus dimengerti terlebih dahulu
arti kata-katanya. Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran otentik atau
penafsiran resmi yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri,
kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis dan sosiologis.

Sedapat mungkin semua metode penafsiran supaya dilakukan, agar didapat


makna-makan yang tepat. Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan
makna yang sama, maka wajib diambil metode penafsiran yang membawa keadilan
setinggi-tingginya, karena memang keadilan itulah yang dijadikan sasaran pembuat
undang-undang pada waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan.

d) Metode Kontruksi hukum


Untuk memenuhi kewajiban hakim dalam mengisi kekosongan hukum atau
ketidakjelasan suatu peraturan perundangan-undangan dalam ilmu hukum dikenal
dengan Konstruksi Hukum dan Interpretasi (Penafsiran).

Kontruksi (Rekayasa) Hukum adalah cara mengisi kekosongan peraturan


perundang-undangan dengan asas-asas dan sendi-sendi hukum. Konstruksi
(Rekayasa Hukum) terdiri dari 3 (tiga) bentuk yaitu analogi (abstraksi), Determinasi
(Penghalusan Hukum) dan Argumentasi A contrario.

a. Analogi adalah penerapan sesuatu ketentuan hukum bagi keadaan yang


pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan
ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya
(bentuk hukum) lain. Contoh : Menurut Pasal 1576 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata yang mengatakan bahwa jual beli tidak memutuskan sewa
menyewa. Ketentuan tersebut berarti bahwa apabila suatu rumah
dipindahtangankan dengan transaksi jual beli antara si pemilik rumah A
dengan pembeli rumah B maka perjanjian sewa menyewa yang telah
diadakan antara si pemilik lama (A) dengan si penyewa (C) tetap berlaku,
artinya transaksi jual beli rumah antara A dan B tidak mengakibatkan batalnya
perjanjian sewa menyewa antara A dengan C. Ketentuan tersebut berlaku
juga terhadap perbuatan tukar menukar, hibah, hadiah, dan pewarisan.
Karena perbuatan tersebut mengandung kesamaan dengan jual beli yaitu
mengakibatkan beralihnya hak milik.
b. Penghalusan hukum yaitu dengan tidak menerapkan atau menerapakan
hukum secara lain daripada ketentuan hukum tertulis yang ada atau
memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolaholah
tidak ada pihak yang disalahkan. Contoh : - Di suatu jalan terjadi tabrakan
antara kendaraaan yang dikemudikan B, akibat tabrakan tersebut kendaraan
A dan B sama-sama rusak. Apabila A Volume 4 No. 2 September 2016 158
menuntut ganti rugi terhadap B, maka B juga dapat menuntut ganti rugi
terhadap A, oleh karena keduanya salah dalam menjalankan kendaraannya
maka sama-sama harus saling memberi ganti rugi sehingga terjadi suatu
kompensasi antara keduanya. - Sebuah delman melewati persimpangan jalan
dengan rel kereta api. Tabrakan terjadi dalam keadaan pintu kereta api tidak
tertutup karena penjaga pintu kereta api itu tertidur dan delman lewat saja
karena kusirnya mengantuk. Berdasarkan penghalusan hukum penjaga pintu
dan kusir delman diputuskan salah semua.
c. Argumentum a contrario adalah ungkapan pengingkaran terhadap hal yang
sebaliknya misalnya dalam hukum perkawinan ada ketentuan bahwa seorang
wanita yang telah bercerai dari suaminya, tidak diperbolehkan melaksanakan
pernikahan dengan laki-laki lain sebelum lewatnya 300 hari, ketentuan
tersebut tidak berlaku bagi seorang laki-laki.

4) Rangkuman
Pembentukan Hukum oleh Hakim

Apa pada hakikatnya yang dilakukan oleh hakim apabila ia menghadapi


peristiwa konkret, kasus atau konflik? Ia harus memecahkan atau menyelesaikannya
dan untuk itu ia harus tahu, mencari atau menemukan hukumnya, untuk diterapkan
pada kasusnya.

Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kand,


hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesunguhnya
tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah
atau corong undang-undang (bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah
kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak pula dapat
menguranginya. Ini disebabkan karena menurut Montesquieu undang-undang
adalah sa;ah satunya sumber hukum positif.
Oleh karena itu, demi kepastian hukum, kesatuan hukum, serta kebebasan
warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim, hakim harus ada di bawah
undang-undang. Berdasarkan pandangan ini, peradilan tidak lain hanyalah bentuk
silogisme. Silogisme adalah bentuk berfikir logis dengan mengambil kesimpulan dari
hal yang umum (premis mayor) dan hal yang khusus (premis minor). Premis
mayornya adalah undang-undang (”Barangsiapa mencuri dihukum”), Premis
minornya adalah peristiwa atau kasusnya (Suto mencuri), sedangkan putusannya
merupakan kesimpulan yang logis (karena suto mencuri, harus dihukum). Karena
kesimpulan logis itu tidak pernah berisi lebih dari isi premis, undang-undang tidak
akan berisi lebih dari yang terdapat dalam undang dalam hubungannya dengan
peristiwa hukum. Demikian pula suatu putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi
lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan dengan
peristiwa konkret.

Pengertian Penemuan Hukum

Sering dipermasalahkan mengenai istilah ”penemuan hukum”; apakah tidak


lebih tepat istilah pelaksanaan hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum atau
penciptaan hukum.

Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses


pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk
penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Lebih lanjut
dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau
individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum degan mengingat
akan peristiwa konkret (das sein) tertentu.

Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan


atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret. Menurut ajaran hukum
fungsional dari Ter Heide yang penting ialah pertanyaan bagaimana dalam situasi
tertentu dapat ditemukan pemecahannya yang pling baik yang sesuai dengan
kebutuhan kehidupan bersama dan dengan harapan yang hidup di antara warga
masyarakat terhadap ”permainan masyarakat” yang dikuasai oleh ”aturan
permainan”. Di sini bukan hasil kegiatan penemuan hukum yang merupakan titik
sentral, walaupun tujuannya adalah menghasilkan putusan, melainkan metode yang
digunakan.
Metode dalam Penemuan Hukum

1) Legisme
2) Mazhab Historis
3) Begriffsjurisprudenz
4) Interessenjurisprudenz
5) Freirechtbewegung
6) Penemuan Hukum Modern

Pengertian Interpretasi Hukum

Penafsiran (interpretasi) menurut Soedjono Dirdjosisworo, adalah


menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi pasal berdasar pada kaitannya. 1
Adapun R. Soeroso menjelaskan bahwa Penafsiran atau interpretasi peraturan
undang-undang ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang
tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang
dimaksud oleh pembuat undang-undang.

Tujuan pembuatan penafsiran undang-undang itu sendiri selalu untuk


menemukan arti yang sebenarnya dari putusan kehendak pembuat undang-undang,
yaitu seperti yang tertulis di dalam rumusan dari ketentuan pidana di dalam undang-
undang, hakim berkewajiban untuk menafsirkan ketentuan pidana dengan setepat-
tepatnya, yakni apa yang orang sebenarnya dimaksud dengan rumusan mengenai
ketentuan pidana tersebut.

Di dalam ilmu hukum dikenal macam-macam metode penafsiran atau


interpretasi hukum, yaitu sebagai berikut:

1) Penafsiran Gramatikal
2) Penafsiran Historis atau Sejarah
3) Penafsiran Sistematis
4) Penafsiran Sosiologis, Penafsiran Teleologis.
5) Penafsiran Otentik
6) Penafsiran Perbandingan

Metode Konstruksi Hukum

1
1) Analogi
2) Penghalusan Hukum; dan
3) Argumentum A Conrario

Anda mungkin juga menyukai