Kegiatan Pembelajaran ke 14
1) Penemuan Hukum
2) Tujuan Materi Pembelajaran
3) Materi Pembelajaran
a) Hakim sebagai penemuan hukum,
Apa pada hakikatnya yang dilakukan oleh hakim apabila ia menghadapi
peristiwa konkret, kasus atau konflik? Ia harus memecahkan atau
menyelesaikannya dan untuk itu ia harus tahu, mencari atau menemukan
hukumnya, untuk diterapkan pada kasusnya.
Oleh karena itu, demi kepastian hukum, kesatuan hukum, serta kebebasan
warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim, hakim harus ada di
bawah undang-undang. Berdasarkan pandangan ini, peradilan tidak lain
hanyalah bentuk silogisme. Silogisme adalah bentuk berfikir logis dengan
mengambil kesimpulan dari hal yang umum (premis mayor) dan hal yang
khusus (premis minor). Premis mayornya adalah undang-undang
(”Barangsiapa mencuri dihukum”), Premis minornya adalah peristiwa atau
kasusnya (Suto mencuri), sedangkan putusannya merupakan kesimpulan
yang logis (karena suto mencuri, harus dihukum). Karena kesimpulan logis itu
tidak pernah berisi lebih dari isi premis, undang-undang tidak akan berisi lebih
dari yang terdapat dalam undang dalam hubungannya dengan peristiwa
hukum. Demikian pula suatu putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi
lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan
dengan peristiwa konkret.
Pasal 20 AB dan 21 AB berasal dari pandangan tersebut di atas bunyi Pasal
20 AB adalah seperti berikut: ” Hakim harus mengadili menurut undang-
undang, ia dilarang menilai isi dan keadilan dari undang-undang” (bandingkan
dengan Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009). Hakim tidak boleh menilai isi dan
keadilan dari undang-undang. Kita lihat dalam praktik bahwa ketentuan Pasal
20 AB mempunyai makna lain.bandingkan Pasal 20 AB dengan Pasal 4 (1)
UU No. 48 Tahun 2009 yang bunyinya : ”Pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membedakan orang”. Kalau kita berpedoman pada asas
lex posteriori derogat legi priori”, Pasal 20 AB yang isinya bertentangan
dengan Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009, dilumpuhkan oleh Pasal 4 (1) UU
No. 48 Tahun 2009. Pengertian ”menurut hukum” lebih luas daripada
”menurut undang-undang”, sehingga membuka peluang bagi hakim untuk
melaksanakan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Sebaliknya, pengertian
”menurut undang-undang” lebih membatasi kebebasan hakim. Oleh karena itu
demi keutuhan sistem hukum,asas lex posteriori derogat legi priori perlu
disimpangi, sehingga Pasal 20 AB dan Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009
harus ditafsirkan saling mengisi. Kecuali itu, hakim tidak boleh menilai bahwa
undang-undang itu tidak jelas. Oleh karena itu, hakim tidak boleh menolak
memeriksa dan mengadili perkara (Pasal 10 (1) UU No. 48 Tahun 2009, 22
AB).
Antara penemuan hukum yang heteronom dan otonom tidak ada batas yang
tajam. Di dalam praktik penemuan hukum kita jumpai kedua unsur tersebut:
heteronom dan otonom.
Kalau asas peradilan yang berlaku di Indonesia itu ialah bahwa hakim tidak
terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis, akhir
akhir ini sedikit hakim yang dalam menjatuhkan putusannya berkiblat pada
putusan pengadilan yang lebih tinggi mengenai perkara serupa dengan yang
dihadapinya. Ini tidak berarti bahwa asasnya berubah menjadi ”the binding
force precedent:, seperti yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, tetapi
”terikatnya” atau berkiblatnya hakim pada putusan terdahulu itu karena ”the
persuasive forve precden”, yang disebabkan krena putusan yang diikuti, yang
”mengikatnya” itu meyakinkan hakim untuk diikuti.
Tidak boleh dilupakan Pasal 10 (1) UU No. 48 Tahun 2009 yang menentukan
bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Walau
bagaimanapun, hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan, yang
berarti bahwa ia wajib menemukan hukum (lihat juga Pasal 22 AB).
1) Legisme
Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum
kebiasaan timbullah pada abad ke-19 di Eropa usaha untuk penyeragaman
hukum dengan jalan kodifikasi dengan menuangkan semua hukum secara
lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum kebiasaan
sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Perancis pada akhir abad ke-
18 diadakan kodifikasi yang dicontoh oleh seluruh Eropa. Di Netherlands
kodifikasi diadakan pada tahun 1838. Timbulnya gerakan kodifikasi ini
disertai dengan lahirnya aliran legisme.
2) Mazhab Historis
Kemudian dalam abad ke-20 disadari bahwa undang-undang tidaklah
lengkap. Nilai-nilai yang dituangkan dalam undang-undang tidak lagi sesuai
dengan perkembangan kehidupan bersama. Ternyata terdapat kekosongan-
kekosongan dan ketidakjelasan dalam undang-undang. Perkembangan ini di
Netherlands dinilai pada akhir abad ke-19. Judge Mad Law dan hukum
kebiasaan dapat melengkapi undang-undang. Sejak itu pula hukum
kebiasaan dan yurisprudensi dianggap sebagai unsur-unsur sistem hukum.
3) Begriffsjurisprudenz
Ketidakmampuan pembentuk undang-undang meremajakan undang-
undang pada waktunya merupakan alasan untuk memberi peran aktif bagi
hakim. Dari hakim diharapkan seberapa dapat menyesuaikan undang-
undang pada keadaan baru. Yurisprudensi mulai memperoleh peranan
sebagai sumber hukum. Demikian pula hukum kebiasaan memperoleh
kembali peranannya sebagai sumber hukum. Sebaliknya para sarjana mulai
bersikap kritis terhadap undang-undang.
4) Interessenjurisprudenz
Sebagai rekasi terhadap Begriffsjurisprudenz, lahirlah pada abad ke-19
di Jerman Interessenjurisprudenz, yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering
(1818-1892), suatu aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-
kepentingan (Interessen) yang difiksikan. Oleh karena itu, aliran ini disebut
Interessenjurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya
sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad ke-20 di Jerman.
5) Freirechtbewegung
Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di
Jerman. Reaksi ini dimulai oleh Kantorowicz (1847-1940). Yang dengan
nama samaran Gnaeus Flavius alam tahun 1906 menulis ”Der Kempf um
die Rechtswissenschaft”. Aliran baru ini disebutnya ”Freirechtlich” (bebas)
dan dari situlah timbul istilah Freirechtbewegung.
Penemuan hukum semacam itu yang tidak secara ketat terikat pada
undang-undang disebut penemuan hukum bebas. Bahwa hakim harus diberi
kebebasan pada umumnya disepakati. Sebaliknya tidak dapat diterima kalau
hakim diberi kebebasan sedemikian, sehingga ia dapat mengesampingkan
undang-undang dengan mendasarkan semata-mata pada itikad baik,
kepatutan atau hanya karena undang-undangnya sudah usang.
Berikut ini sebuah contoh. Seorang pria dan seorang wanita mengaku
telah hidup bersama dengan segala suka dan dukanya tanpa nikah selama
bertahun-tahun. Mereka telah bersumpah setia apapun yang terjadi, serta
akan saling memberi bantuan sampai kematian memisahkan mereka.
Pertanyaannya ialah apakah si wanita mempunyai hak atas pensiun?
Mengadili sendiri:
c) Metode Penafsiran,
Di dalam ilmu hukum dikenal macam-macam metode penafsiran atau
interpretasi hukum, yaitu sebagai berikut:
1) Penafsiran Gramatikal
Penafsiran gramatikal atau taalkunding adalah penafsiran tata bahasa atau
kata-kata. Kata-kata dan bahasa merupakan alat bagi pembuat undang-undang
untuk menyatakan maksud dan kehendaknya. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan
tepat. Untuk mempergunakan kata-kata itu tidak mudah. Oleh karenanya apabila
hakim ingin mengetahui apa yang dimaksud oleh undang-undang atau apa yang
dikehendaki oleh pembuat undang-undang, hakim harus menafsirkan kata-kata di
dalam undang-undang yang bersangkutan.
Ia harus mencari arti kata-kata itu dalam kamus atau minta penjelasan-
penjelasan para ahli bahasa. Inipun sering tidak cukup dan hakim harus mencari
jalan lain. misalnya mencari sejarah penggunaan kata-kata tersebut. Pada waktu
undang-undang itu ditetapkan dan lain sebagainya. Mengenai kurang jelasnya arti
kata dapat diambil contoh tentang larangan memparkir kendaraan. Apakah yang
dimaksud dengan kendaraan? Apakah hanya kendaraan bermesin saja atau
termasuk dokar, sepeda, gerobak dan sebagainya?
Di samping itu kata-kata itu sendiri dalam penafsiran kata-kata itu harus
dihubungkan pula dengan susunan kalimat-kalimat dan dengan peraturan-peraturan
lain. Pada hakikatnya penafsiran mengenai arti kata hanya merupakan penafsiran
yang pertama saja dan harus dilanjutkan dengan cara penafsiran yang lain. Sebagai
contoh dapat dipergunakan Pasal 1140 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa
apabila penyewa tidak membayar uang sewa, maka yang menyewakan rumah
mempunyai hak pertama (hak privilege atau voorrecht) untuk menjual barang yang
ada di dalam rumah tersebut agar rumah itu dapat didiami orang lain (stoffeing)
dengan tidak memperdulikan apakah barang itu kepunyaan si penyewa atau bukan.
Dari hasil penjualan tersebut uangnya dipergunakan untuk membayar uang sewa.
Dengan adanya kata-kata “dengan tidak memperdulikan…dan seterusnya”, maka
Hoge Raad di Negeri Belanda beranggapan bahwa yang menyewakan tetap dapat
mempergunakan hak privelegenya untuk menjual barang yang ada di dalam rumah
yang bersangkutan, meskipun sebelumnya yang menyewakan ini tahu bahwa
barang-barang tersebut bukan milik yang menyewa.
3) Penafsiran Sistematis
Yang dimaksud dengan penafsiran sistematis, ialah suatu penafsiran yang
menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-
undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya, atau
membaca penjelasan suatu perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa yang
dimaksud.
Contoh:
Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat Pasal 330
KUHPerdata yang memberikan batas belum berumur 21 tahun.
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh
satu tahun, dan tidak lebih dahulu belum kawin.”
Dalam tuntutan pidana, pihak jaksa membuktikan dengan alat-alat bukti yang
ada, bahwa orang itu bersalah dan apabila alat-alat bukti ternyata dapat
membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah. Sedangkan dalam tindak pidana
korupsi agak berbeda pembuktian yang dilakukan terdakwa. Ia wajib menunjukkan
semua alat-alat bukti yang ada bahwa ia tidak bersalah. Apabilaia tidak dapat
membuktikan secara konkret maka terdakwa dinyatakan bersalah. Untuk
mengetahui secara lengkap, pasal suatu perundang-undangan yang kurang jelas
dapat diketahui dalam penjelasan undang-undang itu, baik pada penjelasan umum
maupun pada penjelasan pasal demi pasal.
Contoh:
6) Penafsiran Perbandingan
Penafsiran perbandingan ialah suatu penafsiran dengan membandingkan antara
hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, hukum nasional dengan
hukum asing dan hukum kolonial. Dalam penafsiran perbandingan akan terlihat
antara lain:
- Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, mungkin hukum lama
cocok untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Umpamanya beberapa
hukum dan asas hukum adat yang menggambarkan unsur kekeluargaan, dapat
diambil untuk dijadikan hukum nasional.
- Hukum nasional sendiri dengan hukum asing. Pada hukum nasional terdapat
kekurangan. Apabila ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing/hukum
Negara lain apakah hukum asing itu cocok dengan kepentingan nasional.
Umpamanya seperti hukum hak cipta yang terdapat di Negara maju,
dipertimbangkan apakah sudah waktunya Negara kita mempunyai undang-
undang hak cipta yang berarti buku-buku ilmiah tidak boleh diterjemhahkan,
disadur atau difotocopy dan diperbanyak. Apakah buku-buku ilmiah harganya
terjangkau oleh rakyat kalau ke luar Undang-Undang Hak Cipta itu.
- Hukum kolonial peninggalan penjajah, karena asas konkordansi oleh Negara
merdeka masih tetap dipergunakan. Dalam hal ini Negara itu membandingkan
hal-hal manakah yang sudah tidak sesuai dengan hukum kepribadian nasional
Negara itu.
Asas-asas tata kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang segala
pengaturannya terdapat dalam perundang-undangan kolonial yang berdasarkan
asas liberalism, tentu tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Seperti
contoh dalam tata kehidupan ekonomi berdasarkan liberalisme, mengutamakan
persaingan bebas. Sedang tata kehidupan ekonomi Indoesia mengutamakan tata
kehidupan berdasarkan tata kehidupan kekeluargaan, sehingga bentuk Perseroan
Terbatas (PT), Perseroan Firma (Fa), Perseroan Komanditer (CV) asasnya dari
Negara Barat yang mengutakan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tidak
sesuai untuk alam Indonesia. Yang sesuai adalah asas perseroan di bidang ekonomi
kekeluargaan dalam bentuk Koperasi ialah kesejahteraan anggota sedangkan
keuntungan merupakan tujuan sekunder.
4) Rangkuman
Pembentukan Hukum oleh Hakim
1) Legisme
2) Mazhab Historis
3) Begriffsjurisprudenz
4) Interessenjurisprudenz
5) Freirechtbewegung
6) Penemuan Hukum Modern
1) Penafsiran Gramatikal
2) Penafsiran Historis atau Sejarah
3) Penafsiran Sistematis
4) Penafsiran Sosiologis, Penafsiran Teleologis.
5) Penafsiran Otentik
6) Penafsiran Perbandingan
1
1) Analogi
2) Penghalusan Hukum; dan
3) Argumentum A Conrario