Nim : 3203311022
2021
Pertanyaan :
Pembahasan :
Yang dimaksud dengan Recht vinding adalah proses pembentukan hukum oleh
hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap
peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk
mengambil keputusan.
Van Apeldorn menyatakan, seorang hakim dalam tugasnya melakukan pembentukan
hukum harus memperhatikan dan teguh-teguh mendasari pada asas :
Akan tetapi para ahli hukum mengetahui bahwa Undang-undang tidak akan pernah
lengkap. Disitulah letak peran Hakim untuk menyesuaikan peraturan Undang-undang
dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat mengambil keputusan
hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai tujuan hukum. Namun demikian tidak semua
ahli hukum sependapat dengan hal tersebut di atas dan sebagai reaksinya lahirlah aliran
yang yang menolak dan menerima penemuan hukum oleh hakim:
• Sebagai reaksi aliran ini lahir pula penentangnya yang berpandangan lebih
modern yaitu Aliran Progresif yang di pelopori oleh Van Eikema Hommes teori
dan pendapatnya disebut materi Juridis, yang di Jerman dipertahankan oleh
Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, dan di Perancis oleh Francois Geny serta di
Amerika oleh Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank. Geny menentang
penyalahgunaan cara berfikir yang abstrak logistis dalam pelaksanaan hukum
dan fiksi bahwa Undang-undang berisikan hukum yang berlaku. Oliver Wendel
Holmes & J. Frank menentang pendapat yang mengatakan bahwa hukum yang
ada itu lengkap yang dapat menjadi sumber bagi Hakim dalam memutuskan
peristiwa konkrit. Penemuan hukum lebih menggunakan pandangan Mazhab
historis yang dipelopori oleh Carl Von Sevigny yaitu Hakim perlu juga
memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, karena
setiap bangsa itu memiliki jiwa bangsanya masing-masing (Volkgeist) yang
berbeda untuk setiap tempat. Hukum precedent dinegara-negara Anglo Saxon
adalah hasil penemuan hukum yang otonom sepanjang pembentukan peraturan
& penerapan peraturan dilakukan oleh hakim berdasarkan hati nuraninya tetapi
juga sekaligus bersifat heteronom karena Hakim terikat kepada keputusan-
keputusan terdahulu (faktor-faktor diluar diri hakim).
Lalu kapan hakim dapat melakukan penemuan hukum? Menurut Buku Panduan
Bantuan Hukum Di Indonesia Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah
Hukum (selanjutnya disebut “Panduan Bantuan Hukum”) yang diterbitkan YLBHI dan
PSHK (hal. 6), disebutkan bahwa hakim juga bisa membentuk hukum apabila ia
melakukan penemuan kaidah hukum. Penemuan hukum ini lazimnya diartikan sebagai
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit (dikutip dari
buku “Mengenal Hukum Suatu Pengantar” karangan Sudikno Mertokusumo, hal. 162).
Sudikno juga menjelaskan latar belakang perlunya seorang hakim melakukan penemuan
hukum adalah karena hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan
putusan dengan alasan karena hukumannya tidak lengkap atau tidak jelas. Ketika
undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas untuk memutus suatu perkara, saat itulah
hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsviding). Larangan bagi hakim
menolak perkara ini diatur juga dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Lalu, hasil temuan itu akan menjadi hukum apabila diikuti oleh
hakim berikutnya atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi. Penemuan hukum ini
dapat dilakukan dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang berkembang dalam
masyarakat (Buku Panduan Bantuan Hukum, hal. 7). Selain itu, dalam buku Panduan
Bantuan Hukum (hal. 7), mengenai cara penemuan hukum disebutkan dapat dilakukan
dengan dua metode (menurut Sudikno), yakni:
Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan
yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa
yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna
undang- undang. Penafsiran hukum (interpretasi) adalah sebuah pendekatan pada
penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan
pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili
perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi
kekosongan atau ketidak-lengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi,
sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak
ada hukumnya. Hakim menemukan hukum itu untuk mengisi kekosongan hukum
tersebut. Penafsiran merupakan kegiatan yang sangat penting dalam hukum. Penafsiran
merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung dalam teks-teks hukum
untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus ataumengambil keputusan atas hal-hal
yang dihadapi secara konkrit. Di samping hal itu, dalam bidang hukum tata negara,
penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat
berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau
memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang-Undang Dasar. Hakim
dalam hal ini mempunyai wewenang yang sangat luas dalam hal menafsirkan peraturan
yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan
bagi hakim lain untuk memutuskan perkara. menemukan dan menciptakan hukum.
Dalam upaya penafsiran hukum, maka seorang hakim mengetahui prinsip-prinsip
peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia
peradilan, dalam hal ini Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman .
SUMBER
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f0aa8449485b/kapan-dan-
bagaimana-hakim-melakukan-penemuan-hukum-/
http://hukum.untan.ac.id/penemuan-hukum-oleh-hakim-rechtvinding/
https://media.neliti.com/media/publications/225122-penafsiran-hukum-oleh-hakim-
dalam-sistem-f0c52582.pdf