Anda di halaman 1dari 11

PENEMUAN HUKUM DALAM SISTEM

HUKUM INDONESIA

Tugas: Penemuan Hukum

Disusun Oleh,

AHMAD FAUZAN, S.H.

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

SEKOLAH TINGGI HUKUM GALUNGGUNG

MAGISTER HUKUM

TASIKMALAYA

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegiatan dalam kehidupan manusia sangat luas, tidak terhitung jumlah dan
jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu perundang-undang dengan tuntas
dan jelas. Sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-
lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas,
maka harus dicari dan ditemukan. Hukum diartikan sebagai keputusan hukum
(pengadilan), yang menjadi pokok masalah adalah tugas dan kewajiban hakim mengenai
tugas dan kewajiban hakim dalam menemukan apa yang menjadi hukum, hakim dapat
dianggap sebagai salah satu faktor pembentuk hukum.1 Karena Undang-Undang tidak
lengkap maka hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (recthsvinding).

Menurut Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang


Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 pasal 5 ayat (1) juga menjelaskan "Hakim dan
Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat". Kata "menggali" biasanya diartikan bahwa
hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tapi masih samar-samar, sulit untuk
diterapkan dalam perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus berusaha
mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila
sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka hakim harus mengikutinya dan
memahaminya serta menjadikan dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa undang-undang adalah salah satu sumber hukum


disamping kebiasaan, traktat atau perjanjian internasional, yurisprudensi, doktrin dan

1
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Kontruksi hukum, (Alumni, Bandung, 2000), hlm. 6
hukum agama dan bentuk undang-undang biasanya tertulis, sehingga disebut juga sebagai
hukum tertulis karena dirumuskan secara tertulis. Menurut Soedikno Mertokusumo
membedakan undang-undang itu dalam 2 bagian yaitu:2

a. Undang-undang dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari
bentuk dan cara terjadinya, sehingga disebut undang-undang. Jadi undang-
undang dalam arti formal, tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang
memperoleh sebutan undang-undang karena cara pembentukanya.
b. Undang-undang dalam arti materill, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa,
yang dilihat dari isinya dinamai undang-undang dan mengikat setiap orang
secara umum

Eksistensi penemuan hukum begitu mendapatkan perhatian yang berlebih, karena


penemuan hukum dirasa mampu memberikan suatu putusan yang lebih dinamis dengan
memadukan antara aturan yang tertulis dan aturan yang tidak tertulis. Rechtsvinding
hakim diartikan sebagai ijtihad hakim dalam memberikan keputusan yang memiliki jiwa
tujuan hukum. Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, “penemuan
hukum diartikan sebagai sesuatu yang lain daripada penerapan peraturan-peraturan pada
peristiwanya, dimana kadangkala terjadi bahwa peraturannya harus dikemukakan dengan
jalan interpretasi.”3

Dalam Kenyataan konkret, kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh


hakim, pada dasarnya tugas hakim adalah memberikan keputusan dalam setiap perkara
atau konflik yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum,
nilai hukum dari perilaku serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
perkara sehingga untuk dapat menyelesaikan perselisihan atau konflik secara imparsial
berdasarkan hukum yang berlaku.

Putusan hakim akan terasa begitu dihargai dan mempuyai nilai kewibawaan jika
putusan tersebut dapat merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat dan juga
merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan kebenaran dan
keadilan. Pelaksanaan tugas dan kewenangan hakim dilakukan dalam rangka menegakan
2
Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Lyberty: Yogyakarta, Cetakan Kelima, April 2007),
hlm.37.
3
Pontang Moerad, B.M., Penemuan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, hlm. 81.
kebenaran dan keadilan dengan berpedoman pada hukum, undang-undang dan nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim mengemban amanah agar peraturan
perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil namun apabila penerapan
peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan maka hakim wajib
berpihak pada keadilan dan mengenyampingkan hukum atau peraturan perundang-
undangan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian Penemuan Hukum menurut para ahli?
2. Bagaimanakah alasan Penemuan Hukum perlu dilakukan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep Penemuan Hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui alasan Penemuan Hukum perlu dilakukan.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Penemuan Hukum Menurut Para Ahli


Sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem hukum Anglo-
Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre, yang memperbolehkan hakim untuk
menciptakan hukum (judge made law). Hal ini berarti, bahwa dalam hukum yang berlaku
di Indonesia, hakim dilarang menafsirkan lebih dari yang seharusnya jika sudah jelas
pengaturannya. Namun bukan berarti hakim menjadi tidak bebas dalam menjalankan
kewenangannya. Hakim diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan di
kala peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan untuk membuat
suatu kaidah hukum di saat terjadi kekosongan hukum, karena pada hakekatnya, hakim
dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya.
Hakim Dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang
dihadapkan kepadanya harus mempedomani hukum tertulis antara lain Peraturan
perundang-undangan namun apabila perundang-undangan tersebut tersebut tidak cukup
atau tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara maka hakim akan mencari dan
menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum lain seperti Yurisprudensi,
doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Adapun dalil Penemuan hukum
antara lain:
a. Pasal 10 ayat (1) UU nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
menentukan bahwa “Pengadilan dilarang menolak atau memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilnya“
b. Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009, selanjutnya menentukan bahwa
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”

Jika melihat hal tersebut, dapat dilihat bahwa hakim mempunyai kedudukan yang
penting dalam sistem hukum, begitu pula dalam sistem hukum di Indonesia, karena
hakim melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum
tertulis melalui penemuan hukum (rechvinding) yang mengarah kepada penciptaan
hukum baru. Fungsi menemukan hukum tersebut harus diartikan mengisi kekosongan
hukum (rech vacuum) dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan
hukumnya (tertulis) tidak jelas atau tidak ada. Menurut Roscue Pound, ada beberapa
langkah yang biasa dilakukan oleh seorang hakim pada saat mengadili suatu perkara di
Pengadilan, yaitu menemukan hukum, menafsirkan hukum dan menerapkan hukum.4

Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah “...proses


pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum untuk peristiwa hukum
yang konkret”.5 Lebih lanjut secara sederhana Sudikno Mertokusumo menggambarkan
bahwa penemuan hukum merupakan “...proses konkretisasi dan individualisasi peraturan
hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (des
sein) tertentu”.6

Menurut Paul Scholten “...yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah


sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya.
Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan,
baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi maupun rechsvervijning
(penghalusan/ pengkonkretan hukum).”7

Selanjutnya, Mawissen menyebut penemuan hukum dengan pengembanan hukum


(rechtsboefening), yang merupakan “...kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan
berlakunya hukum di masyarakat, yang meliputi kegiatan membentuk, menerapkan,
menemukan, menafsirkan secara sistematis, mempelajari, dan mengajarkan hukum”.8
Sedangkan pengembanan hukum itu sendiri dibedakan lagi menjadi pengembanan hukum
praktis dan pengembangan hukum teoritis. “Pengembanan hukum praktis meliputi
kegiatan yang berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kehidupan sehari-hari,

4
Roscue Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, diterjemahkan oleh Koh. Radjab, suatu pengantar ke
Filsafat hukum, (Bharatara, Jakarta, 1963), hlm 67.
5
Soedikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013).
hlm 4
6
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Edisi kedua, Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm.146.
7
Ibid
8
B. Arief Sidharta, 1994, “Pengembanan Hukum”, Majalah Hukum Pro Justisia Tahun XII No.1, Januari 1994, hlm.
61-63.
sedangkan pengembanan hukum teoritis meliputi kegiatan pembentukan hukum,
penemuan hukum, dan bantuan hukum”.9

Amir Syamsudin memberikan pengertian bahwa penemuan hukum merupakan


Proses pembentukan hukum oleh hakim dalam upaya menerapkan peraturan hukum
umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu,
yang digunakan agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan
secara tepat dan relevan menurut hukum, sehinga hasil yang diperoleh dari proses itu
dapat diterima san dipertanggungjawabkan dalm ilmu hukum.10

Selanjutnya Utrecht menjelaskan bahwa “...apabila terjadi suatu peraturan


perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak
berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut”.11 Hal tersebut
memiliki arti bahwa seorang hakim harus berperan untuk menentukan bagaimana
hukumnya, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya dalam
membuat keputusan.

Dapat disimpulkan dari pendapat mengenai para ahli diatas, penemuan hukum
dapat diartikan sebagai suatu proses pembentukan hukum melalui metode-metode
tertentu yang dilakukan oleh hakim atau aparat hukum lain dalam penerapan peraturan
hukum umum pada peristiwa konkrit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penemuan
hukum adalah konkretisasi peraturan hukum dengan tetap mengingat peristiwa konkret
tertentu.

2. Alasan Penemuan Hukum Perlu Dilakukan


Bambang Sutiyoso mengungkapkan bahwa perundang-undangan “bersifat statis
dan rigid (kaku), sedangkan perkembangan kegiatan manusia selalu meningkat dari
waktu ke waktu, baik jenis maupun jumlahnya. Sehingga dapat dimengerti kalau
kemudian muncul suatu ungkapan ‘Het recht hink achter de feiten ann’, yaitu hukum
tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya.”12 Oleh karena itu, suatu peristiwa
kongkrit harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau
9
Ibid.
10
Amir Syamsudin, “Penemuan Hukum ataukah Perilaku Chaos”, Harian Kompas, 4 Januari 2008, hlm.6
11
Utrecht, E., 1986, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, hlm. 248.
melengkapi peraturan perundang-undangannya. Hal tersebut agar hukumnya dapat
ditemukan untuk dapat diterapkan dalam peristiwa konkrit di tengah masyarakat.
Selanjutnya pendapat Jazim Hamidi memperkuat tulisan Bambang Sutiyoso
bahwa “peraturan perundang-undangan itu tidak jelas, tidak lengkap, bersifat statis, dan
tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, dan hal itu menimbulkan ruang
kosong, yang harus diisi oleh hakim dengan menemukan hukumnya yang dilakukan
dengan cara menjelaskan, menafsirkan, atau melengkapi peraturan perundang-
undangannya”.13
Ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat abstrak tersebut diatas
“...tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa konkret, oleh karena
itu ketentuan undang-undang harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan disesuaikan
dengan peristiwanya untuk diterapkan pada peristiwanya itu”. 14 Hal tersebut mengandung
arti bahwa peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkretnya,
kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.
Maka sebenarnya hakim diperbolehkan untuk melakukan penemuan hukum
dengan melakukan kreasi-kreasi baru dan diperkenankan pula untuk menafsirkan undang-
undang. Hal tersebut dikarenakan “setiap undang-undang bersifat statis dan tidak dapat
mengikuti perkembangan kemasyarakatan, sehingga menimbulkan ruang kosong, yang
perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah, dibebankan kepada para hakim”. 15
Penemuan hukum oleh hakim tersebut dapat dilakukan dengan metode interpretasi atau
kontruksi, dengan catatan bahwa hakim tidak boleh memperkosa maksud dan jiwa
undang-undang atau tidak boleh bersikap sewenan-wenang.
Namun penemuan hukum tersebut tidak serta merta dapat dilakukan dengan
mudah, Ahmad Rifai dalam bukunya menegaskan bahwa Hakim dalam memeriksa,
mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, pertama-tama
harus menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, yaitu peraturan perundang-undangan,
tetapi kalau peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat

12
Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan),
UII Press, Yogyakarta, hlm. 102
13
Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum (Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks), UII Press,
Yogyakarta, hlm. 52
14
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit, hlm. 12
15
Andi Zainal Abidin, 1984, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung hlm. 33.
dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim akan mencari dan
menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti
yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.16
Dapat dipahami dari pendapat Ahmad Rifai tersebut diatas bahwa hakim tidak
serta merta dapat melakukan penemuan hukum, melainkan harus terlebih dahulu melihat
perundang-undangan terkait yang berlaku. Jika perundang-undangan yang terkait tidak
memadai dalam mengatasi peristiwa konkret, maka hakim diperbolehkan untuk
menemukan hukum dengan tetap berdasarkan pada sumber-sumber hukum dengan tidak
memperkosa maksud dan jiwa undang-undang, serta tetap sesuai dengan tujuan pembuat
undang-undang.

16
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
hlm. 25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa penemuan hukum dapat diartikan sebagai suatu proses
pembentukan hukum melalui metode-metode tertentu yang dilakukan oleh hakim atau
aparat hukum lain dalam penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi peraturan
hukum dengan tetap mengingat peristiwa konkret tertentu.
alasan mengapa penemuan hukum perlu untuk dilakukan karena hukum yang
sekarang sudah ada dan berlaku tidak mampu mengimbangi perkembangan / dinamisasi
yang terjadi dalam pergaulan masyarakat, terkadang hukum yang sudah ada itu tidak /
kurang jelas bahkan dalam kasus-kasus tertentu hukum yang mengaturnya itu tidak ada
sehingganya hakim dalam melaksanakan dan memutus suatu perkara harus melakukan
penemuan hukum.

B. Saran
Diharapkan dalam melakukan penemuan hukum oleh hakim, hakim harus selalu
memprioritaskan nilai-nilai keadilan agar hakim bukan hanya mampu melakukan
penemuan hukum semata namun lebih dari itu yaitu hakim harus bisa melahirkan suatu
keadilan dari perkara yang sedang ditanganinya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Kontruksi hukum, (Alumni,
Bandung, 2000).
Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Lyberty:
Yogyakarta, Cetakan Kelima, April 2007).Pontang Moerad, B.M., Penemuan Hukum
Melalui Putusan Pengadilan, hlm. 81.
Roscue Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, diterjemahkan oleh
Koh. Radjab, suatu pengantar ke Filsafat hukum, (Bharatara, Jakarta, 1963).
Soedikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2013).
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Edisi kedua, Gunung Agung, Jakarta, 2002.
B. Arief Sidharta, 1994, “Pengembanan Hukum”, Majalah Hukum Pro Justisia
Tahun XII No.1, Januari 1994.
Amir Syamsudin, “Penemuan Hukum ataukah Perilaku Chaos”, Harian Kompas,
4 Januari 2008.
Utrecht, E., 1986, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta.
Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan
Hukum yang Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta.
Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum (Teori Penemuan Hukum Baru
dengan Interpretasi Teks), UII Press, Yogyakarta.
Andi Zainal Abidin, 1984, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni,
Bandung.
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Anda mungkin juga menyukai