HUKUM INDONESIA
Disusun Oleh,
MAGISTER HUKUM
TASIKMALAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan dalam kehidupan manusia sangat luas, tidak terhitung jumlah dan
jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu perundang-undang dengan tuntas
dan jelas. Sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-
lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas,
maka harus dicari dan ditemukan. Hukum diartikan sebagai keputusan hukum
(pengadilan), yang menjadi pokok masalah adalah tugas dan kewajiban hakim mengenai
tugas dan kewajiban hakim dalam menemukan apa yang menjadi hukum, hakim dapat
dianggap sebagai salah satu faktor pembentuk hukum.1 Karena Undang-Undang tidak
lengkap maka hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (recthsvinding).
1
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Kontruksi hukum, (Alumni, Bandung, 2000), hlm. 6
hukum agama dan bentuk undang-undang biasanya tertulis, sehingga disebut juga sebagai
hukum tertulis karena dirumuskan secara tertulis. Menurut Soedikno Mertokusumo
membedakan undang-undang itu dalam 2 bagian yaitu:2
a. Undang-undang dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari
bentuk dan cara terjadinya, sehingga disebut undang-undang. Jadi undang-
undang dalam arti formal, tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang
memperoleh sebutan undang-undang karena cara pembentukanya.
b. Undang-undang dalam arti materill, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa,
yang dilihat dari isinya dinamai undang-undang dan mengikat setiap orang
secara umum
Putusan hakim akan terasa begitu dihargai dan mempuyai nilai kewibawaan jika
putusan tersebut dapat merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat dan juga
merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan kebenaran dan
keadilan. Pelaksanaan tugas dan kewenangan hakim dilakukan dalam rangka menegakan
2
Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Lyberty: Yogyakarta, Cetakan Kelima, April 2007),
hlm.37.
3
Pontang Moerad, B.M., Penemuan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, hlm. 81.
kebenaran dan keadilan dengan berpedoman pada hukum, undang-undang dan nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim mengemban amanah agar peraturan
perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil namun apabila penerapan
peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan maka hakim wajib
berpihak pada keadilan dan mengenyampingkan hukum atau peraturan perundang-
undangan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian Penemuan Hukum menurut para ahli?
2. Bagaimanakah alasan Penemuan Hukum perlu dilakukan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep Penemuan Hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui alasan Penemuan Hukum perlu dilakukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Jika melihat hal tersebut, dapat dilihat bahwa hakim mempunyai kedudukan yang
penting dalam sistem hukum, begitu pula dalam sistem hukum di Indonesia, karena
hakim melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum
tertulis melalui penemuan hukum (rechvinding) yang mengarah kepada penciptaan
hukum baru. Fungsi menemukan hukum tersebut harus diartikan mengisi kekosongan
hukum (rech vacuum) dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan
hukumnya (tertulis) tidak jelas atau tidak ada. Menurut Roscue Pound, ada beberapa
langkah yang biasa dilakukan oleh seorang hakim pada saat mengadili suatu perkara di
Pengadilan, yaitu menemukan hukum, menafsirkan hukum dan menerapkan hukum.4
4
Roscue Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, diterjemahkan oleh Koh. Radjab, suatu pengantar ke
Filsafat hukum, (Bharatara, Jakarta, 1963), hlm 67.
5
Soedikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013).
hlm 4
6
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Edisi kedua, Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm.146.
7
Ibid
8
B. Arief Sidharta, 1994, “Pengembanan Hukum”, Majalah Hukum Pro Justisia Tahun XII No.1, Januari 1994, hlm.
61-63.
sedangkan pengembanan hukum teoritis meliputi kegiatan pembentukan hukum,
penemuan hukum, dan bantuan hukum”.9
Dapat disimpulkan dari pendapat mengenai para ahli diatas, penemuan hukum
dapat diartikan sebagai suatu proses pembentukan hukum melalui metode-metode
tertentu yang dilakukan oleh hakim atau aparat hukum lain dalam penerapan peraturan
hukum umum pada peristiwa konkrit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penemuan
hukum adalah konkretisasi peraturan hukum dengan tetap mengingat peristiwa konkret
tertentu.
12
Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan),
UII Press, Yogyakarta, hlm. 102
13
Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum (Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks), UII Press,
Yogyakarta, hlm. 52
14
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.Cit, hlm. 12
15
Andi Zainal Abidin, 1984, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung hlm. 33.
dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim akan mencari dan
menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti
yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.16
Dapat dipahami dari pendapat Ahmad Rifai tersebut diatas bahwa hakim tidak
serta merta dapat melakukan penemuan hukum, melainkan harus terlebih dahulu melihat
perundang-undangan terkait yang berlaku. Jika perundang-undangan yang terkait tidak
memadai dalam mengatasi peristiwa konkret, maka hakim diperbolehkan untuk
menemukan hukum dengan tetap berdasarkan pada sumber-sumber hukum dengan tidak
memperkosa maksud dan jiwa undang-undang, serta tetap sesuai dengan tujuan pembuat
undang-undang.
16
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
hlm. 25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa penemuan hukum dapat diartikan sebagai suatu proses
pembentukan hukum melalui metode-metode tertentu yang dilakukan oleh hakim atau
aparat hukum lain dalam penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi peraturan
hukum dengan tetap mengingat peristiwa konkret tertentu.
alasan mengapa penemuan hukum perlu untuk dilakukan karena hukum yang
sekarang sudah ada dan berlaku tidak mampu mengimbangi perkembangan / dinamisasi
yang terjadi dalam pergaulan masyarakat, terkadang hukum yang sudah ada itu tidak /
kurang jelas bahkan dalam kasus-kasus tertentu hukum yang mengaturnya itu tidak ada
sehingganya hakim dalam melaksanakan dan memutus suatu perkara harus melakukan
penemuan hukum.
B. Saran
Diharapkan dalam melakukan penemuan hukum oleh hakim, hakim harus selalu
memprioritaskan nilai-nilai keadilan agar hakim bukan hanya mampu melakukan
penemuan hukum semata namun lebih dari itu yaitu hakim harus bisa melahirkan suatu
keadilan dari perkara yang sedang ditanganinya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Kontruksi hukum, (Alumni,
Bandung, 2000).
Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Lyberty:
Yogyakarta, Cetakan Kelima, April 2007).Pontang Moerad, B.M., Penemuan Hukum
Melalui Putusan Pengadilan, hlm. 81.
Roscue Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, diterjemahkan oleh
Koh. Radjab, suatu pengantar ke Filsafat hukum, (Bharatara, Jakarta, 1963).
Soedikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2013).
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Edisi kedua, Gunung Agung, Jakarta, 2002.
B. Arief Sidharta, 1994, “Pengembanan Hukum”, Majalah Hukum Pro Justisia
Tahun XII No.1, Januari 1994.
Amir Syamsudin, “Penemuan Hukum ataukah Perilaku Chaos”, Harian Kompas,
4 Januari 2008.
Utrecht, E., 1986, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta.
Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan
Hukum yang Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta.
Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum (Teori Penemuan Hukum Baru
dengan Interpretasi Teks), UII Press, Yogyakarta.
Andi Zainal Abidin, 1984, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni,
Bandung.
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman