Anda di halaman 1dari 25

UNIVERSITAS PANCASILA

MAKALAH

“ Sifat Hakim Dalam Peradilan Perdata “

Oleh :

 Pazmi Faqih / 3018210245


 Nadi / 3018210167
 Yehuda / 3018210014

Dosen Hukum Acara Perdata :

Rocky Marbun,SH.,HM.

“Dibuat dan dikumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum


peradilan perdata kelas D / ruang 320”

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA

PROGRAM SARJANA

2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayahnya. Serta yang telah memberikan kesehatan
dan memudahkan segala urusan, sehingga peneliti dapat menyesaikan makalah
ini, yaitu yang berjudul “ Sifat Hakim Dalam Peradilan Perdata “.

Mungkin selama penulisan makalah ini, banyak sekali bantuan dan


dorongan baik dari dosen dan teman yang peneliti tidak bisa sebutkan namanya
satu-persatu. Tak ada yang bisa peneliti lakukan untuk membalas dukungan serta
bantuan yang telah diberikan tersebut. Peneliti hannya bisa mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya dan berdoa semoga bantuan yang telah
diberikan dari semua pihak di balas oleh Allah SWT.

Dan semoga dengan dibuatnya makalah ini, bisa memberikan manfaat bagi
siapapun yang membacanya, khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Hukum.
Walaupun peneliti juga menyadari, pasti akan ada kekurangan-kekurangan yang
terdapat pada makalah ini. Hal ini juga mungkin dipengaruhi oleh sedikitnya
pengalaman dan kajian ilmu yang belum samasekali peneliti kuasai.

Maka dari itu, kritik dan saran peneliti butuhkan dalam rangka untuk
melengkapi dan menyempurnakan makalah ini. Sehingga nantinya makalah ini
akan lebih baik lagi kedepannya. Terima kasih.
Latar belakang
Hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh negara untuk melaksanakan kekuasaan
kehakiman, yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya1. Karena itu, hakim selalu menjadi titik pusat perhatian
masyarakat dalam menegakkan hukum dan keadilan. Sebagai penyelenggara
peradilan, hakim dipersyaratkan memiliki integritas baik, jujur, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum.

Hal ini dimaksudkan agar hakim dalam melaksanakan tugas yudisialnya mampu
menghasilkan putusan yang adil dan benar menurut rasa keadilan masyarakat.
Oleh karena itu pula, hakim dituntut berperan aktif melakukan tahapan-tahapan
pemeriksaan perkara, menyimak dan meneliti secara seksama pernyataan, bukti-
bukti, dan fakta-fakta persidangan, serta indikator penting lainnya, sehingga
hakim dapat mengambil kesimpulan yang tepat dari setiap perkara yang
diperiksanya.

Undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya adalah barang mati yang tidak


dapat berbuat apa-apa dan dapat diubah jika dianggap isi dalam undang-undang
tersebut telah tidak relevan dengan keadaan masyarakat. Kekuatan dan
kemanfaatan sebuah aturan akan menjadi kenyataan bila digerakkan dan
ditegakkan oleh hakim yang memiliki integritas baik. Dimaklumi bahwa
masyarakat membutuhkan peraturan perundang-undangan yang mengatur
hubungan pergaulan hidup di antara mereka. Tetapi aturan perundang-undangan
itu belumlah cukup untuk mewujudkan kedamaian dan ketertiban masyarakat.

Di sinilah hakim yang akan berperan menentukan makna aturan perundang-


undangan. Hakim menafsirkan dan menentukan makna aturan itu sesuai dengan
integritas yang dimilikinya. Peraturan perundang-undangan juga berperan penting
dalam penetapan putusan yang dilakukan hakim, oleh karena penegakan hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan tugas pokok hakim.
Karenanya, dalam setiap putusan pengadilan harus disertai dengan dasar rujukan
yang bersumber dari perundang-undangan yang berlaku2.

1
Lihat Pasal 31 Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2
Lihat pasal 25 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004.
Kita semua pasti memahami bahwa di Indonesia terdapat beberapa jenis
pengadilan yang dimana masing-masing pengadilan memiliki hakim yang
bertugas untuk mengadili perkara tersebut. Jenis-jenis pengadilan tersebut secara
garis besar ialah Peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara,
dan peradilan militer berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai tahap upaya
hukum tertinggi jika tak puas dengan putusan pengadilan di bawahnya3.

Bahwa dalam pembahasan karya ilmiah ini, yang akan dibahas adalah pengadilan
umum yang mencakupi Peradilan Pidana dan Peradilan Perdata, yang dalan hal ini
akan di fokuskan kepada pembahasan Peradilan Perdata. Hukum acara perdata
yang hingga kini masih berlaku kuat bersumber dari Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) dan Rechtreglement Buitengewesten (RBg), dibuat dan
dinyatakan berlaku sejak masa kolonial Belanda4.

Suatu hukum acara yang sejak semula dibuat bukan untuk menegakkan hukum
menurut rasa keadilan masyarakat Indonesia, melainkan tidak lebih dari sekedar
mempertahankan eksistensi kolonialisme Belanda di Indonesia. Karena itu,
beberapa asas dalam hukum acara perdata tersebut perlu ditinjau ulang karena
tidak lagi sejalan dengan nilai keadilan masyarakat, diantaranya adalah asas hakim
bersifat pasif dalam sengketa perdata.

Kedudukan hakim dalam proses pembuktian, sesuai dengan sistem adversarial


adalah lemah dan pasif. Tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran di luar
dari apa yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan.
Kedudukan hakim tidak boleh melangkah kearah sistem inkuisitorial (inquisitorial
system).

Hakim perdata dalam menjalankan fungsi mencari kebenaran, dihalangi oleh


berbagai pembatasan. Misalnya, tidak bebas memilih sesuatu apabila hakim
dihadapkan dengan alat bukti yang sempurna dan mengikat (akta otentik,

3
"Bingung Mau Berperkara? Mari Kenali Jenis-Jenis Pengadilan di Indonesia", [Online] Sumber :
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5b4f09b41a4e1/bingung-mau-berperkara-mari-kenali-
jenis-jenis-pengadilan-di-indonesia/, diakses pada tanggal 15 Maret 2020.
4
Syamsuddin, Pemberlakuan Hukum Acara Perdata Peradilan Umum pada Peradilan Agama:
Perspektif Ijtihad, dalam ”Mimbar Hukum” Nomor 66 Tahun XVI 2005 (Al Hikmah & Ditbinpera
Islam), h. 80.
pengakuan atau sumpah). Dalam hal ini, sekalipun kebenarannya diragukan,
hakim tidak mempunyai kebebasan untuk menilainya5.

Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang yang telah dikemukakan, maka didapatilah sebuah


pertanyaan yang kemudian dijadikan sebagai rumusan masalah dalam karya
ilmiah ini dan akan menjadi topik pembahasan dalan karya ilmiah ini, yakni
sebagai berikut :

1. Apakah perlu hakim bersifat aktif dalam Peradilan Perdata?


2. Apakah peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku masih relevan
dengan keadaan pada dewasa ini?

Demikianlah 2 pertanyaan ini yang akan menjadi inti pembahasan karya ilmiah
ini.

TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN,


HUKUM ACARA PERDATA, SERTA ASAS-ASAS HUKUM
ACARA PERDATA.

5
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), h. 9.
A. KEKUASAAN KEHAKIMAN

Apabila kita melihat dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut Yahya
Harahap, pasal ini menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka (an independent judiciary). Kekuasaannya
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, agar
ketertiban masyarakat dapat tercipta (to achieve social order) dan
ketertiban masyarakat terpelihara (to maintain social order). 6
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang seperti halnya
kekuasaan negara lain. Maka dari itu, kekuasaan kehakiman menjadi
bagian atau cabang dari alat perlengkapan atau alat kekuasaan negara. Hal
inipun terlihat jelas di dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman yang menjelaskan bahwa, “Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” 7
Dalam pasal tersebut telah menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman
adalah kekusaan yang merdeka. Artinya bahwa bebas dari campur tangan
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, kecuali sebagaimana hal-hal yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.8
Menurut Yahya Harahap, kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam
arti bebas dari campur tangan pihak di luar kekuasaan kehakiman
merupakan ideologi universal masa kini maupun masa datang. Kekuasaan
kehakiman yang merdeka (an independent judiciary) merupakan ideologi
yang dicetuskan paham trias politica dan konsep negara hukum
6
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 1
7
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
8
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
(Rechtstaat) atau state under rule of law yang dikenal dengan semboyan
supremasi hukum (the law is supreme).9 Artinya tidak ada satu kekuasaan
pun yang dapat mempengaruhi hakim.
Dengan melihat masih banyaknya kekuatan ataupun lembaga yang
masih mempengaruhi kekuasaan kehakiman. Maka dalam ini masih di
perlukannya parameter –parameter yang dapat dijadikan tolok ukur untuk
menentukan merdeka tidaknya kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu,
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti menyatakan, diperlukan adanya
parameter jelas yang menjadi tolok ukur merdeka atau tidaknya lembaga
peradilan. Kekuasaan kehakiman dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu lembaganya, proses peradilannya, dan kemandirian hakimnya.10

Secara lebuh jelas dapat dilihat uraian tentang ketiga macam tipe
kemandirian kekuasaan kehakiman berikut ini:

1. Kemerdekaan Lembaga atau Institusinya


Kemerdekaan dalam hal ini adalah kemerdekaan yang
berkaitan dengan lembaga peradilannya itu sendiri. Parameter
mandiri atau tidaknya suatu institusi peradilan dapat dilihat dari
beberapa hal:
a. Apakah lembaga peradilan tersebut mempunyyai
ketergantungan dengan lembaga lain ataukah tidak. Kalau
lembaga peradilan ternyata dapat dipengaruhi integritas dan
kemandiriannya oleh lembaga lain, hal ini merupakan salah
satu indikator bahwa lembaga peradilan itu kurang mandiri.
b. Apakah lembaga peradilan tersebut mempunyai hubungan
hierarki ke atas secara formal, di mana lembaga atasannya
dapat campur tangan dan mempengaruhi kebebasan atau
kemandirian terhadap keberadaan lembaga peradilan
tersebut. Akan tetapi perlu diperhatikan, sepanjangan sudah

9
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 4
10
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiamn Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 52-54.
diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti
memberikan pengawasan kepada pengadilan di bawahnya,
maka hubungan hierarkis antara lembaga atasan dengan
lembaga bawahan dapat dibenarkan secara hukum dan tidak
dipersoalkan. Yang jadi masalah kalau sampai pengadilan
atasan melakukan campur tangan dalam proses peradilan
secara tidak sah di luar hal-hal yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.

2. Kemandirian Proses Peradilannya


Kemandirian proses peradilan di sini terutama dimulai dari
proses pemeriksaan perkara, pembuktian sampai pada putusan
yang dijatuhkannya. Parameter mandiri atau tidaknya suatu proses
peradilan ditandai dengan ada atau tidaknya campur tangan
(Intervensi) dari pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang
dengan berbagai upaya mempengaruhi jalannya proses peradilan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian adanya
intervensi tersebut apakah dapat mempengaruhi proses peradilan
ataukah tidak. Kalau berpengaruh, berarti proses peradilannya
tidak atau kurang mandiri. Sebaliknya kalau adanya campur tangan
tersebut ternyata tidak berpengaruh, berarti proses peradilannya
dapat dikatakan mandiri atau merdeka dari intervensi.

3. Kemandirian hakim
Kemandirian hakim dalam hal ini, karena hakim secara
fungsional merupakan tenaga inti penegakan hukum dalam
menyelenggarakan proses peradilan. Parameter mandiri atau
tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari
kemampuan dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral
dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya dari adanya campur tangan dari pihak lain dalam
proses peradilan.

Sebagai kekuasaan negara yang merdeka, kekuasaan kehakiman


dipegang oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada
dibawahnya, serta Mahkamah Konstitusi.11 Mahkamah Agung membawahi
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, serta peradilan tata usaha negara.12
Peradilan Umum sendiri mencakup Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi Negeri, serta beberapa pengadilan khusus, yaitu Pengadilan
Ekonomi, pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, dan Pengadilan Hak Asasi
Manusia.13 Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata pada
tingkat pertama.14 Selain itu, Pengadilan Negeri juga bertugs dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara keberatan
Terhadap Putusan KPPU15 Pasal 2 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum
Keberatan Terhadap Putusan KPPU.16
Hukum acara yang digunakan dalam menyelesaikan perkara
keberata terhadap putusan KPPU adalah prosedur gugatan perdata. Hal ini
ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Perma Nomor 3 Tahun 2005 yang
selengkapnya menyatakan sebagai berikut, “Keberatan diajukan melalui
kepaniteraan PN yang bersangkutan sesuai dengan prosedur pendaftaran
perkara perdata dengan memberikan salinan keberatan kepada KPPU”.
Dengan demikian sumber hukum acara yang digunakan dalam pengajuan
keberatan adalah HIR, kecuali ditentukan lain.17

11
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
12
Neng Yani Nurhayati, Op.cit, hlm. 36.
13
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 9.
14
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
15
Pasal 2 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan
Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.
16
Andi Fahmi Lubis,dkk, Loc.cit.
17
Andi Fahmi Lubis,dkk, Loc.cit.
Dimungkinkannya ketentuan lain yang mengatur hukum acara
persaingan usaha menimbulkan beberapa perbedaan dengan hukum acara
perdata biasa. Perbedaan ini salah satunya adalah ditetapkannya tenggang
waktu. Pasal 5 ayat (5) Perma Nomor 3 Tahun 2005 menentukan bahwa
majelis hakim harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
sejak dimulainya pemeriksaan perkara keberatan. Berdasarkan ketentuan
itu, maka majelis hakim harus jeli dalam membuat jadwal dan perencanaan
yang matang dan harus dipatuhi oleh semua pihak. Perencanaan ini
meliputi penentuan hari dan tanggal persidangan serta agenda yang akan
dilakukan dalam tiap persidangan.

B. Sejarah Hukum Acara Perdata


Berbicara mengenai sejarah hukum perdata, maka ada dua hal yang
diuraikan yaitu tentang sejarah ketentuan perundang-undangan yang
mengatur hukum acara di peradilan dan sejarah lembaga peradi- lan di
Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur hukum
acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indonesia
Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara dibidang perdata dan
bidang pidana. 18

Dengan berlakunya UU No. 8 tahun 1981 tentan kitab undang-undang


Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pasal-pasal yang mengatur hukum
acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku. Nama semula dari
Herziene Indonesia Reglement (disingkat HIR) adalah Inlandsch
Reglement (IR), yang berarti reglement Bumi Putera. Perancang IR adalah
Mr. HL Wichers, waktu itu presiden dariHooogerechtshop, yaitu badan
pengadilan tinggi di Indonesia di Zaman kolonial Belanda.

Dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Rochussen tertanggal 5


Desember 1846 No. 3, Mr. Wichers tersebut diberi tugas untuk merancang
sebuah reglement (peratuan) tentang “administrasi”, polisi dan proses
18
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996,
hal 9
perdata serta proses “pidana” bagi golongan bumi putera. Pembaharuan IR
menjadi HIR dalam tahun 1941 (staatblad 1941-44) ternyata tidak
membawa perubahan suatu apapun pada hukum acara perdata di muka
Pengadilan Negeri. Yang dinamakan pembaharuan pada IR itu sebetulnya
hanya terjadi dalam bidang acara pidana saja, sedangkan dalam hukum
acara perdata tidak ada perubahan. Terutama pembaharuan itu mengenai
pembentukan aparatur kejaksaan atau penutut umum yang berdiri sendiri
dan langsung dibawah pimpinan procereur General, sebab dalam IR apa
yang dinamakan jaksa itu pada hakikatnya tidaklah lain dan tidak lebih
dari pada seorang bawahan dari asisten residen, yang adalah seorang
pejabat pamong praja. 19

Pada zaman Hindia Belanda sesuai dengan dualisme hukum, maka


pengadilan dibagi atas peradilan gubernemen dan peradilan pribumi.
Peradilan Gubernemen di Jawa dan Madura di satu pihak dan di luar jawa
dilain pihak20. Dibedakan peradilan untuk golongan Eropa (Belanda) dan
untuk golongan Bumiputera. Pada umumnya peradilan Gubernemen untuk
golongan Eropa pada tingkat pertama ialah Raad van justitie sedangkan
untuk golongan Bumiputera ialah landraad. Kemudia Raad van Justitie ini
juga menjadi peradilan banding untuk golongan pribumi yang diputus oleh
landraad. Hakim-hakim pada kedua macam peradilan tersebut tidak tentu.
Banyak orang Eropa (Belanda) menjadi landraad.

Dan adapula orang Bumiputera di Jawa menjadi hakim pengadilan


keresidenan yang yurisdiksinya untuk orang Eropa. Orang timur asing
dipecah dalam urusan peradilan ini. Dalam perkara perdata, orang Cina
tunduk pada sistem Peradilan di Eropa sedangkan pada perkara pidana
tunduk kepada peradilan Bumiputera. Pada puncaknya peradilan Hindia
Belanda ada Hoogerechtschop itu ada procureur general (Semacam Jaksa
19
M. Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2004, hal 3
20
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cet. 1, (Bandung: Alumni, 1992),
hal. 421.
Agung)21. Sebagaimana telah disebutkan dimuka, bentuk peradilan
gubernemen di Jawa Madura di satu pihak dan di luar Jawa Madura di lain
pihak.

Berkenaan dengan asas-asas hukum acara perdata Setiawan


mengemukakan 7 (tujuh) asas hukum acara perdata, yakni: asas
kesederhanaan, kesamaan kedudukan para pihak, keaktifan hakim
memimpin persidangan, persidangan dilakukan dalam bentuk tanya jawab
secara lisan, terbuka untuk umum, putusan berdasarkan pertimbangan
yang cukup dan penyelesaian perkara dalam jangka waktu yang wajar.

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo beberapa asas penting dalam


hukum acara perdata adalah hakim bersifat menunggu, hakim pasif, sifat
terbuka persidangan, mendengar kedua belah pihak, putusan harus disertai
alasan-alasan, beracara dikenakan biaya dan tidak ada keharusan
mewakilkan22. Subekti mengatakan bahwa beberapa sifat hukum acara
dalam HIR masih juga bisa dipertahankan, misalnya bentuk pengajuan
gugat sebagai suatu permohonan kepada hakim, prinsip musyawarah dan
mufakat, pemeriksaan langsung terhadap para pihak yang berperkara atau
wakil mereka yang pada prinsipnya dilakukan secara lisan.

Sifat hukum acara ini menurut Prof. Supomo juga adalah: Acara dengan
lisan, acara langsung, tidak diwajibkan bantuan ahli, hakim adalah aktif,
kewajiban hakim memberi keterangan kepada kedua belah pihak, hakim
memimpin proses, kemerdekaan hakim, sidang terbuka dan musyawarah
tertutup serta pengucapannya terbuka.23

C. HUKUM ACARA PERDATA


1. Pengertian Hukum Acara Perdata

21
Sudikno, Hukum Acara Perdata, edisi ke 7, Cet. 1, (Yogjakarta: Liberty, 2006), hal 10-18.
22
Subekti, Hukum Acara Perdata, Cet. 2, (Bina Cipta, 1952), hal. 5.
23
Supomo, Hukum Acara Perdata, Cet. 17, (Jakarta: PT. Pradoyo Paramita, 2005), hal. 17-21
Para ahli mendefinisikan hukum acara perdata secara berbeda
antara satu dengan lainnya, tetapi pada prinsipnya semua definisi
tersebut memiliki tujuan yang sama. Definisi menurut beberapa ahli
yaitu: 24
1. R. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Acara Perdata
di Indonesia menyatakan, “Hukum acara perdata adalah
rangkaian peraturan yang memuat cara seseorang harus
bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara pengadilan
itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
peraturan hukum perdata.
2. Sudikno Mertokusumo dalam karyanya Hukum Acara Perdata
Indonesia memberi batasan hukum acara perdata sebagai
peraturan hukum yang mengatur cara menjamin ditaatinya
hukum perdata dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan
lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
menentukan cara menjamin pelaksanaan hukum perdata
materiil. Lebih konkret lagi, dapat dikatakan bahwa hukum
acara perdata mengatur cara mengajukan tuntutan hak,
memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan daripada
putusannya. Dengan demikian, hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur cara menjamin ditaatinya
hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
3. H. Riduan Syahrani dalam bukunya Materi Dasar Hukum
Acara Perdata mengatakan, “Hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang menentukan cara menyelesaikan
perkara perdata melalui badan peradilan.”
2. Sumber Hukum Acara Perdata
Berbicara tentang sumber hukum, maka dalam ilmu hukum
dikenal beberapa sumber hukum dalam artia formal, yaitu:
a. Undang-undang

24
Neng Yani Nurhayani, Op.cit, hlm. 17.
Undang-undang merupakan peraturan yang dibuat oleh
pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945). Menurut
Sudarsono (2001:82), dengan mengutip pendapat C.S.T. Kansil
menyatakan bahwa undang-undang adalah sesuatu peraturan
negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.25
b. Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah putusan pengadilan tertinggi yang
bersifat menetapkan suatu norma, dimana putusan tersebut
diikuti oleh hakim lainnya.26 Menurut suatu kamus hukum,
yurisprudensi ialah kumpulan atau sari keputusan Mahkamah
Agung tentang beberapa macam jenis kasus perkara
berdasarkan pemutusan kebijaksanaan para hakim sendiri yang
kemudian dianut oleh para hakim lainnya dalam memutuskan
kasus-kasus perkara yang sejenis.27
c. Adat kebiasaan
Wirjono Prodjodikoro menyebutkan juga adat kebiasaan
yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan
perkara perdata sebagai sumber dari hukum acara perdata. 28
d. Perjanjian internasional
Salah satu bentuk perjanjian internasional yang menjadi
sumber hukum acara perdata adalah Perjanjian Kerja Sama di
bidang peradilan antara Republik Indonesia dengan Thailand
yaitu dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 1978.29
e. Doktrin
Doktrin antara ilmu pengetahuan merupakan sumber
hukum acara perdata juga sumber tempat hakim dapat
menggali hukum acara perdata. Tetapi doktrin bukan termasuk

25
Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Loc.cit.
26
Donald Albert Rumokoy dan frans Maramis, Loc.cit.
27
Yan Pramadya Puspa, Loc.cit.
28
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 9.
29
M. Bakri, DKK, Loc.cit.
hukum. Kewibawaan ilmu pengetahuan karena didukung oleh
para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan itu
sendiri menyebabkan putusan hakim bernilai objektif.30

3. Asas-Asas Hukum Acara Perdata


Asas (Prinsiple) dapat diartikan sebagai dasar, alas, fundamental,
hakikat, sendi, pokok, atau prinsip. Asas juga diartikan sebagai pokok
pangkal. Asas hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah
bukanlah peraturan konkret, melainkan pikiran dasar yang umum
sifatnya atau merupakan latar belakang dan peraturan konkret yang
terdapat dalam atau di belakang setiap sistem hukum yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan.31

Adapun asas-asas hukum acara perdata yang dijadikan pedoman


oleh hakim dalam beracara di pengadilan ialah sebagai berikut:
1. Hakim Bersifat Menunggu
Asas ini berarti bahwa inisiatif berperkara di
pengadilan terletak pada pihak-pihak yang
berkepentingan dan bukan dilakukan oleh hakim.
Dengan demikian, hakim hanya menunggu datangnya
tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Adapun ada-
tidaknya proses, ada-tidaknya tuntutan hak diserahkan
sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Jika ada tuntutan, hal tersebut merupakan wewenang
negara. Hal ini karena hukum acara perdata hanya
mengatur cara-cara para pihak mempertahankan
kepentingan pribadinya.32
2. Hakim Bersifat Pasif
Maksud hakim bersifat pasif di sini adalah hakim
tidak menentukan ruang lingkup atau luas pokok

30
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 10.
31
Djamanat Samosir, Loc.cit.
32
Neng Yani Nurhayani, Op.cit, hlm. 22.
sengketa yang diajukan kepadanya, tapi yang
menentukan adalah para pihak sendiri. Hakim tidak
boleh menambah atau menguranginya. Hakim hanya
membantu para pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan.33
3. Persidangan Terbuka Untuk Umum
Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 menjelaskan bahwa semua persidangan
di pengadilan dibuka dan terbuka untuk umum. Hal ini
dipertegas dalam Pasal 13 ayat (3) bahwa tidak
terpenuhinya ayat (1) berakibat Putusan batal demi
hukum.34
4. Mendengarkan Kedua Belah Pihak
Menurut hukum acara perdata, para pihak yang
berperkara harus diperlakukan sama, adil, dan tidak
memihak untuk membela dan melindungi kepentingan
yang bersangkutan. Asas ini juga dikenal dengan istilah
audi et alteram partem.
5. Putusan Harus Disertai Alasan (Motieviring Plicht)
Pasal 50 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009
menegaskan bahwa semua putusan pengadilan harus
disertai alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk
mengadili. Asas ini dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya perbuatan sewenang-wenang dari hakim.
Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
dipertimbangkan (onvoeldoende gemotiverd)
merupakan alasan untuk mengajukan kasasi dan
putusan tersebut harus dibatalkan. Karena ada alasan-

33
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia,
Cetakan Pertama, Gama Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 19.
34
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
alasan inilah putusan mempunyai wibawa, nilai ilmiah,
dan objektif.35
6. Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Salah satu asas dalam sistem peradilan di
Indonesia sebagai diamanatkan oleh ketentuan Pasal 2
ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 adalah bahwa
peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Ketentuan tersebut dicantumkan untuk
memenuhi harapan para pencari keadilan agar para
pencari keadilan dalam rangka mempertahankan haknya
di pengadilan ada kepastian tentang: bagaimana tata
cara mempertahankan hak, kapan dapat memperoleh
hak tersebut serta berapa biaya yang harus dikeluarkan
guna memperoleh hak tersebut.36 Sederhana artinya
caranya yang jelas, mudah dipahami, dan tidak berbelit-
belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas dalam
beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu banyak
formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan
menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga
kurang menjamin adanya kepastian hukum.
7. Beracara Perdata Dikenakan Biaya
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya
(Pasal 2 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, 121 ayat (4),
182 HIR, 145 ayat (4), 192-194 Rbg). Biaya perkara ini
meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan,
pemberitahuan para pihak serta biaya materai.
Disamping itu, apabila diminta bantuan seorang
pengacara, harus pula dikeluarkan biaya.37
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar
biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-

35
Neng Yani Nurhayani, Op.cit, hlm. 24.
36
Sunarto, Op.cit, hlm. 29.
37
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 17.
Cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk
membebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan
mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat
oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 Rbg). Dalam
praktik, surat keterangan itu cukup dibuat oleh camat
yang membawahi daerah tempat yang berkepentingan
tinggal.
8. Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 ayat (1) UU No.
48 Tahun 2009)
Maksudnya bahwa hakim harus selalu insyaf
karena sumpah jabatannya, ia tidak hanya bertanggung
jawab kepada hukum, diri sendiri, dan kepada
masyarakat, tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan
Yang Maha Esa.38
Menurut Bismar Siregar, kalimat “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, bila dihayati
merupakan doa dan janji antara hakim dengan Tuhan
yang kurang lebih berbunyi: “ya Tuhan, atas nama-Mu
saya ucapkan putusan tentang keadilan ini.”39

38
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Op.cit, hlm. 22.
39
Bismar Siregar, Segi-Segi Bantuan Hukum di Indonesia, yang dikutip kembali dari, Sri Wardah
dan Bambang Sutiyoso, Ibid.
Analisis Pembahasan

Kita telah mengetahui dasar dasar teori dalam pembahasan ini, maka dapatlah kita
menganalisis permasalahan ini menggunakan teori-teori tersebut sebagai
landasannya. Hakim merupakan pejabat yang ditunjuk oleh negara untuk
melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya40.

40
Lihat Pasal 31 Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam melaksanakan tugasnya (menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan perkara) tentu hakim dalam peradilan perdata memiliki asas
sebagai dasar pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang salah satu asanya adalah
Hakim bersifat pasif. Asas inilah yang kemudian menjadi salah satu pembeda
antara Peradilan dalam Hukum Pidana dan Peradilan dalam Hukum Perdata.

Asas Hakim bersifat pasif ini mengharuskan seorang hakim untuk tidak
menentukan ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya,
tapi yang menentukan adalah para pihak sendiri. Hakim tidak boleh menambah
atau menguranginya41.

Asas hakim bersikap pasif ialah asas yang menetapkan bahwa Hakim terbatas
hanya menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan
penggugat dan tergugat. Hakim dalam proses perkara perdata, terbatas hanya
mencari dan menemukan kebenaran formal, dan kebenaran itu diwujudkan sesuai
dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses
persidangan berlangsung.

Asas ini juga menentukan bahwa Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa
aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang
diperlukan. Semuanya itu menjadi hak dan kewajiban para pihak. Cukup atau
tidak alat bukti yang diajukan, terserah sepenuhnya kepada kehendak para pihak.

Hakim tidak dibenarkan membantu pihak manapun untuk melakukan sesuatu,


kecuali sepanjang hal yang ditentukan undang-undang. Ketentuan ini menetapkan
bahwa kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim perdata adalah kebenaran
relatif, artinya kebenaran dalam Peradilan Perdata merupakan hanyalah kebenaran
yang subjektif tidak ada kebenaran objektif.

Disebut kebenaran relatif/subjektif karena putusan yang ditetapkan hakim


berdasarkan sejauhmana kemampuan para pihak yang berperkara dapat

41
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia,
Cetakan Pertama, Gama Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 19.
mengajukan pembuktian formal di pengadilan, sekalipun bukti yang diajukan para
pihak berdasarkan kebohongan dan kepalsuan42.

Dalam sistem pembuktian demikian, jika tergugat mengakui dalil penggugat,


meskipun hal itu bohong dan palsu, hakim harus menerima pengakuan itu sebagai
kebenaran dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu, tergugat
dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan.

Demikian pula, jika tergugat tidak mampu membuktikan kepemilikannya di


pengadilan terhadap sesuatu benda yang ia kuasai, sedang penggugat memegang
alat bukti kepemilikan (meskipun alat bukti itu palsu), maka hak kepemilikan
tergugat akan berpindah kepada penggugat.

Mengedepankan bunyi teks peraturan daripada menganalisis peraturan perundang-


undangan seperti hukum tentang beracara di pengadilan, khususnya bagian
pembuktian sebagaimana disebutkan di atas, sudah tidak relevan dengan kondisi
masyarakat saat ini.

Kebenaran formil yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata
tersebut sudah seharusnya ditinggalkan, karena prinsip ini sangat merugikan
pencitraan hukum dalam masyarakat. Peradilan yang dipandang benteng terakhir
penegak keadilan, justeru menjadi sumber lahirnya keadilan semu (nisbi) bagi
masyarakat.

Putusan-putusan yang dibangun dengan prinsip kebenaran formil itu mencederai


hati nurani rakyat yang pada akhirnya melahirkan sikap pesimis, putus-asa dan
ketidak-percayaan masyarakat kepada lembaga pengadilan (hakim). Masyarakat
terkadang melakukan perlawanan pisik terhadap putusan

yang dinilainya zalim, atau tidak berpri kemanusiaan. Misalnya perlawanan


masyarakat terhadap eksekusi pengadilan perdata. Tindakan nekad dan putus asa
masyarakat tersebut mencerminkan ketidak-puasan terhadap putusan pengadilan
yang menegakkan kebenaran formil.

42
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan (Cet. 3; Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 498.
Menangani hal tersebut, kami berpendapat bahwa upaya yang harus dilakukan
dalam rangka mengembalikan fungsi hakim sebagai penegak hukum secara adil
dan benar adalah disamping harus dilakukan revisi terhadap hukum acara perdata
saat ini khususnya ketentuan mengenai pembuktian juga harus mengedepankan
sikap integritas hakim dalam mengadili perkara daripada terikat pada ketentuan
hukum acara yang sifatnya formal belaka (bukan substansi) yang berpotensi
mencederai rasa keadilan rakyat.

Oleh karena itu, sikap pasif hakim yang selama ini diterapkan dalam pemeriksaan
perkara perdata, perlu ditinjau ulang. Hakim hendaknya lebih bersikap aktif guna
melahirkan putusan adil dan benar. Amir Syamsuddin menyebutkan, kegagalan
penegakan hukum yang terjadi selama ini sangat kerap diakibatkan karena
rendahnya integritas aparat hukum.

Hakim cenderung bersifat pasif dan hanya berusaha memenuhi target selesainya
putusan. Hakim lebih banyak memakai kaca mata kuda dalam menangani suatu
kasus dan kurang melakukan analisis secara benar43. Kedudukan hakim dalam
proses pembuktian, sesuai dengan sistem adversarial adalah lemah dan pasif.

Tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran di luar dari apa yang diajukan dan
disampaikan para pihak dalam persidangan. Kedudukan hakim tidak boleh
melangkah kearah sistem inkuisitorial (inquisitorial system). Hakim perdata
dalam menjalankan fungsi mencari kebenaran, dihalangi oleh berbagai
pembatasan.

Misalnya, tidak bebas memilih sesuatu apabila hakim dihadapkan dengan alat
bukti yang sempurna dan mengikat (akta otentik, pengakuan atau sumpah). Dalam
hal ini, sekalipun kebenarannya diragukan, hakim tidak mempunyai kebebasan
untuk menilainya44.

Demikian pula, mencari dan menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit
disebabkan fakta dan bukti yang diajukan para pihak tidak dianalisis dan dinilai
oleh hakim dan ahli (not analyzed and appraised by experts). Terkadang bukti
43
Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum; Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara (Cet. 1;
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008), h. 10.
44
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), h. 9.
keterangan yang disampaikan saksi penuh emosi atau prasangka (hunch) yang
berlebihan.

Bahkan dalam kenyataan, kebenaran yang dikemukakan dalam alat bukti sering
mengandung dan melekat unsur: dugaan atau prasangka, faktor kebohongan, dan
unsur kepalsuan. Akibat keadaan ini, dalam putusan yang dijatuhkan hakim tidak
terkandung kebenaran hakiki, tetapi kebenaran yang mengandung prasangka,
kebohongan, dan kepalsuan.

Oleh karena itu, sikap pasif hakim yang selama ini diterapkan dalam pemeriksaan
perkara perdata, perlu ditinjau ulang. Hakim hendaknya lebih bersikap aktif guna
melahirkan putusan adil dan benar.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis diatas dapatlah disimpulkan bahwa pada hari ini kita harus
menerima fakta ternyata sifat pasif pada hakim (yang merupakan salah satu asas
dalam Hukum Acara Perdata) menyebabkan adanya kebenaran relatif dalam
memutus perkara, bukan berarti kami menganggap bahwa semua putusan yang
telah inkrar pada saat ini adalah putusan yang subjektif.

Tetapi berdasarkan analisis kami, kami meyakini pasti ada putusan hakim perdata
yang kebenarannya relatif dan tidak objektif karena hanya didasarkan pada
argumentasi polemik yaitu argumentasi yang didasarkan atas perkataan orang
banyak yang dalam hal ini adalah pembuktian para pihak terkait, siapa yang dapat
membuktikan lebih banyak fakta (walaupun bisa saja fakta tersebut merupakan
fakta yang dibuat-buat) maka dialah yang menang.

Hal inilah yang kemudian akan menjawab pertanyaan pada rumusan masalah
karya ilmiah ini, bahwa ternyata ketika kita melihat fakta yang terjadi pada hari
ini, maka sesungguhnya diperlukan sifat akfif pada hakim perdata sebagaimana
yang diterapkan pada hakim pada Hukum Acara Pidananya.

Lalu sifat Hakim pasif pada Peradilan Perdata sebetulnya tidak relevan lagi
dengan kondisi masyarakat pada saat ini yang sangat mudah terpengaruh
kepercayaannya terhadap lembaga-lembaga pemerintahan yang dalam hal ini
adalah Pengadilan Umum yaitu Peradilan Perdata.

Misalnya, ketika ada suatu perkara perdata yang melibatkan banyak orang dan
kemudian ternyata dalam putusan tersebut kebenarannya beesifat relatif akibat
dari pasifnya Hakim dalam peradilan tersebut yang hanya terpaku pada
pembuktian yang dilakukan oleh penggugat dan tergugat yang dimana
pembuktian tersebut bisa dipalsukan, maka ini akan menyebabkan para pihak
yanh terlibat dalam kasus tersebut akan kehilangan kepercayaannya kepada
Pengadilan yang merupakan jalan terakhir untuk mencari keadilan.

Maka hal ini akan menyebabkan terjadinya ketidakadilan bagi para pihak yang
terkait dan merugikan. Padahal sila ke-5 Pancasila telah jelas mengamanatkan
supaya terjadi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang sebetulnya
keadilan ini tidak hanya dalam aspek ekonomi saja, tapi dalam semua aspek yang
salah satunya adalah aspek hukum.

Saran

Bahwa untuk melakukan perbaikan tentunya harus ada perubahan yang dilakukan,
kami memiliki saran untuk mengatasi persoalan ini, yaitu menerapkan sikap aktif
argumentatif pada Hakim Peradilan Perdata. Hakim bersikap aktif argumentatif
adalah hakim diberi peran aktif secara argumentatif dalam pemeriksaan perkara.

Yaitu, hakim dalam pemeriksaan perkara tidak bersikap pasif secara total, tetapi
harus diberi peran aktif secara argumentatif sesuai dengan kondisi perkara yang
sedang dihadapinya. Ini merupakan

pengembangan dari sikap hakim bersifat pasif. Bersikaf aktif argumentatif ini
sangat positif. Sikap aktif argumentatif itu sudah selayaknya diterapkan oleh
hakim perdata dalam kondisi masyarakat sekarang ini.

Yaitu, hakim dituntut lebih aktif meneliti kebenaran dalil-dalil dan kebenaran alat-
alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Tunduk sepenuhnya kepada asas
kebenaran formil dalam perkara perdata sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan teknologi dewasa ini.

Tak dapat ditutup mata, dengan penggunaan teknologi telah terjadi dalam
masyarakat orang melakukan pemalsuan data atau akta, pengingkaran hati nurani,
termasuk melakukan sumpah palsu di hadapan majelis hakim.

Penemuan kebenaran hakiki seperti tujuan dalam perkara pidana sudah saatnya
diterapkan pula dalam sengketa perdata. Sebab, masyarakat dalam mengajukan
perkaranya tentu menginginkan putusan yang adil dan benar berdasarkan fakta
dan kebenaran hakiki.

Artinya, putusan yang diambil oleh hakim adalah berdasarkan kepada alat-alat
bukti yang sah dan benar adanya. Bukan berdasar kepada alat bukti asli tapi palsu.
Sehinhga semua putusan hakim yang dihasilkan adalah sebuah kebenaran hakiki
sehingga akan meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap Pengadilan
yang merupakan jalan terakhir untuk mencapai keadilan. Maka dengan begitu
keadilan pasti akan tercapai apabila hal ini diterapkan dan akan memenuhi amanat
sila ke-5 Pancasila

Anda mungkin juga menyukai