Anda di halaman 1dari 5

PERBANDINGAN LEMBAGA YUDISIAL ANTARA INDONESIA DENGAN PERANCIS

DOSEN PENGAMPU :
GAUTAMA BUDI ARUNDHATI, S.H., L.LM.

DISUSUN OLEH:
STEPHANUS DEINDRA BAGASKARA ROBERTO
200710101118

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA E

UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2022
Lembaga Yudisial di Indonesia
Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalarn sistem kekuasaan negara modern. Dalam
bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini acapkali disebut cabang kekuasaan "yudikatif ",
dari istilah Belanda "judicatief". Dalam bahasa Inggris, di samping istilah legislative, executive, tidak
dikenal istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istllah judicial,
judiciary, ataupun judicature.1
Indonesia membagi kekuasaan negara ke dalam tiga kekuasaan yang dijalankan oleh lembaga
masingmasing yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Lembaga yudikatif
adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya mengawasi penerapan Undang-Undang Dasar atau
UUD dan hukum yang berlaku. Lembaga yudikatif dan kekuasaan kehakiman kehadirannya tidak dapat
dipisahkan karena lembaga yudikatif adalah lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Lembaga yudikatif dibentuk sebagai alat penegak hukum, penguji material, penyelesaian
perselisihan, serta mengesahkan atau membatalkan peraturan yang bertentangan dengan dasar
negara. Lembaga yudikatif di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi atau MK, Mahkamah Agung atau
MA, dan Komisi Yudisial atau KY. Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalarn sistem
kekuasaan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini acapkali
disebut cabang kekuasaan "yudikatif ", dari istilah Belanda "judicatief". Dalam bahasa Inggris, di
samping istilah legislative, excecutive.
Pembentukan Lembaga Yudisial merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya penunjang
keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara. Pembentukan Lembaga Yudisial juga
merupakan dukungan terhadap prinsip new hukum dan perlindungan hak asasi (hak konstitusional)
yang telah dijamin konstitusi. Selain itu, pembentukan Lembaga Yudisial dimaksudkan sebagai sarana
bagi masyarakat dalam rangka penyelesaian problem penegakan hukum yang terjadi dalam praktik
ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan, terutama yang berkaitan dengan mekanisme
kontrol terhadap lembaga peradilan. Kedudukan Lembaga Yudisial ini dapat dikatakan sangat penting.
Secara struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi karena kedudukan dan wewenangnya bersumber dari Undang-Undang Dasar. Namun
demikian, meskipun sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkarnah Konstitusi, tetapi secara
fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary organ) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman.
Lembaga Yudisial meskipun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi tidak menjalankan
fungsi kehasaan kehakirnan. Lembaga Yudisial bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of
law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). 2
Dibentuknya Lembaga Yudisial ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan keluhuran
martabat, kewibawaan dan kehormatan hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat impartial (independent and impartial judiciary)
diharapkan dapat terwujud dengan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan
kehakirnan, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. 3Karena itu, kehadiran Lembaga Yudisial
dimaksudkan untuk melakukan pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri, di luar
pengawasan internal Mahkamah Agung. Pemahaman tersebut dapat dilihat dalam Pasal 24B ayat (1)
yang mengatur bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
1
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali press,2010), hlm.310.
2
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta,
hlm. 188.
3
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta,
hlm. 54-55.
keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Secara oprasional ketentuan pasal 24B ayat (1) UUd 1945
tersebut dijabarkan dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Undang- undang ini mengatur wewenang dan tugaskomisi Yudisial, yaitu mengusulkan pengangkatan
Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta prilaku hakim.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dari segala macam pengaruh ekstra yudisial dan
bertanggung jawab pada rakyat melalui penyelenggaraan Mahkamah Konstitusi berdasarkan prinsip
Pemerintahan yang baik dan bersih melalui serta putusan-putusannya yang sesuai dengan konstitusi,
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Kemedekaan kehakiman menjamin hakim bebas dan
mengambil putusannya tanpa disertai kekhawatiran akan akibat atau pembalasan. Oleh karena itu,
hakim tidak dapat dikenakan sanksi atas dasar putusannya, selama dapat memelihara kehormatan,
keluhuran martabat dan perilaku dirinya sebagai hakim. Upaya untuk menemukan titik keseimbangan
antara kemerdekaan kehakiman dan akuntabilitasnya merupakan agenda yang harus diikhtiarkan oleh
lembaga peradilan di Indonesia. Berkenaan dengan kekuasaan kehakiman yang bertanggung jawab,
Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 jelas menyatakan, bahwa sekalipun memiliki
kemerdekaan yudisial tetapi dalam melaksanakan tugasnya hakim bertanggung jawab untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa
keadilan rakyat Indonesia. Artinya kebebasan yudisial tidak bersifat mutlak tetapi pada akhirnya harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat Indonesia.
Dalam kaitan dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, kewenangan yang dimiliki Komisi
Yudisial ini bermakna bahwa kemerdekaan yudisial tidak bersifat sewenang-wenang tetapi harus dapat
dipertanggungiawabkan kepada publik melalui kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Di sisi lain tentunya harus terdapat rambu-rambu agar kewenangan Komisi Yudisial ini tidak bersifat
mengurangi kemerdekaan hakim dalam mengambil putusan. Misalnya, Komisi Yudisial tidak boleh
mencampuri subtansi dari putusan hakim, termasuk argumentasi yang diberikan dalam putusan
tersebut.
Kekuasaan kehakiman sebagai salah satu bagian dari fungsi alat-alat perlengkapan negara yang
diatur dalam konstitusi merupakan kekuasaan organ atau lembaga negara yang berada di lapangan
yudikatif. Lazimnya konstitusi-konstitusi dalam negara-negara konstitsuional modern mengatur dengan
tegas cabang kekuasaan ini, di samping cabang-cabang kekuasaan negara di lapangan legislatif dan
eksekutif. Hans Kelsen mengemukakan, bukan hanya isi undang-undang, tetapi semua norma lain dari
tata hukum, seperti keputusan-keputusan pengadilan dan administratif ditentukan oleh konstitusi3 4

Dewan Konstitusi Perancis (Conseil Constitutionnel)


Perancis sejak tahun 1958, berdasarkan Konstitusi Republik Kelima (La Constitution du 4
octobre 1958), membentuk Conseil Constitutionnel (selanjutnya disebut Dewan Konstitusi) untuk
melengkapi lembaga peradilan tertinggi di bidang hukum administrasi (Conseil d’Etat). Dewan
Konstitusi sering dikaitkan sebagai mahkamah konstitusi walaupun Dewan Konstitusi memiliki
perbedaan dengan model mahkamah konstitusi yang lazim di banyak negara. Perbedaan tersebut
disebabkan Dewan Konstitusi bukanlah suatu lembaga yudisial, tetapi lebih tepat disebut sebagai
lembaga kuasi-yudisial sebagaimana model The Constitutional Law Committee of Parliament di
Finlandia. Pemilihan model kuasi-yudisial disebabkan penolakan gagasan pengujian konstitusionalitas
undang-undang oleh hakim. Ketika kemudian gagasan tersebut diterima, Perancis mencoba

4
Somardi (Alih Bahasa), Hans Kelsen: Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukam Empirik-
Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta, 1995, hlm. 127.
merumuskan bentuknya sendiri. Oleh karena itu model yang dipakai berupa dewan, bukan lembaga
yudisial seperti mahkamah konstitusi pada umumnya. 5
Berdasarkan konstitusi Perancis, Cour de’Cassation terpisah keberadaannya dari Dewan
Konstitusi. Cour de’ Cassation adalah Mahkamah Agung, lembaga peradilan; sedangkan Dewan
Konstitusi bukan lembaga peradilan, melainkan lembaga politik. Karena itu sebutannya bukan ‘cour’
(pengadilan) tetapi ‘conseil’ (dewan). Perbedaan karakter politik atau hukum dari kedua lembaga ini
jelas terlihat pula dalam pola susunan keanggotaan keduanya. Jika di Mahkamah Agung, seluruh
anggotanya adalah ahli hukum dan berprofesi sebagai hakim, maka dalam susunan keanggotaan
Dewan Konstitusi tidak demikian. Anggotanya dapat berasal dari partai politik atau birokrat dan
sebagainya, meskipun sebagian terbesar di antaranya selalu para ahli hukum. 6 Memang pada
hakikatnya fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga pengawal konstitusi ini bukanlah fungsi-fungsi
peradilan dalam arti yang lazim. Dalam sistem konstitusi Perancis, lembaga ini lebih bersifat kuasi-
yudisial.

Secara umum tugas Komisi Yudisial antara lain adalah: rekruitmen hakim, penempatan,
pelatihan (training), mutasi, promosi, pengawasan (kontroling), managemen dan administrasi,
anggaran belanja dan keuangan, perbaikan nasib hakim (penghasilan)
Tugas utama dari komisi YudisiaI secara umum adaIah menjaga dan mempertahankan
kebebasan hakim (Yudisial independent), agar supaya seIalli obyektif di daIam memeriksa dan
memutus perkara. Hal itu terlihat dari perumusan Pasal 24B Perubahan ketiga UUD 1945, tentang
wewenang Komisi Yudisial, yang antara lain menyebutkan: " ... Mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran marta bat, serta prilaku hakim ... ". Berbeda
dengan di Perancis yang melatarbelakangi terbentuknya "Conseil Superiour de la Magistrature (CSM)"
adalah untuk mencegah otonomi yang terlalu besar dari lembaga peradilan yang independen. Akan
tetapi, bukan berarti independensi peradilan tidak dijamin di sana. Konstitusi menjamin hal itu, terutama
dari campur tangan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Adanya lembaga "Corps Judiciaire", khususnya
"Setting Magistrote" yang juga memperoleh jaminan kebebasan dalam konstitusi Perancis.

5
Munculnya konsep Dewan Konstitusi tersebut tidak dapat dilepaskan dari keinginan untuk membatasi supremasi parlemen
agar eksekutif lebih leluasa dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari (day-to-day administration). Ahmad Syahrizal,
Peradilan Konstitusi (Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif),
Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, h. 228 – 237.
6
Pada praktiknya di era kepemimpinan Charles de Gaulle komposisi Dewan Konstitusi didominasi politisi dari kelompok
Gaullist (loyalis Charles de Gaulle). Walaupun banyak yang merupakan ahli hukum, tetapi pendidikan hukum formal bukan
suatu keharusan. Ibid, h. 239.
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2004. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945 ,
(Yogyakarta: FH UII Press)
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali press)
Somardi (Alih Bahasa), Hans Kelsen. 1995. Teori Hukum Murni Dasar-DasarIlmu Hukum Normatif
sebagai Ilmu Hukam Empirik-Deskriptif, ( Jakarta: Rimdi Press)
Syahrizal, Ahmad. 2006. Peradilan Konstitusi (Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif) , Jakarta: Pradnya Paramita

Anda mungkin juga menyukai