Anda di halaman 1dari 34

INDEPENDENSI DAN KEWENANGAN RANGKAP JAKSA DALAM

SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Sistem Peradilan Pidana


(Dosen: Dr. Haeranah, S.H.,M.H.)

OLEH:
HASDIWANTI
B012212024

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tiada henti tercurah untuk Allah SWT. yang
senantiasa melimpahkan hidayah dan karunianya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul, “Independensi dan Kewenangan
Rangkap Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia” sebagai
tugas mata kuliah Sistem Peradilan Pidana. Serta shalawat dan salam kita
panjatkan kepada junjukan kita Rasulullah Muhammad SAW. yang telah
menuntun kita dari alam yang gelap menuju alam yang terang benderang.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
terdapat beberapa kesalahan yang perlu diperbaiki. Karenanya penulis
memohon kritik maupun saran serta masukan dari dosen pengampu mata
kuliah terkait dengan makalah ini.

Makassar, 26 Mei 2022


Penulis

Hasdiwanti
B012212024

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 6
C. Tujuan Penulisan ..................................................................... 7
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN .......................................................... 8
A. Independensi Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana ...... 8
B. Hubungan Kejaksaan Dengan Subsistem Peradilan Pidana
Lainnya .................................................................................... 16
C. Kewenangan Jaksa Sebagai Penyidik Sekaligus Sebagai Jaksa
Penuntut Umum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi . 22
BAB III PENUTUP ............................................................................... 28
A. Kesimpulan .............................................................................. 28
B. Saran ........................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem peradilan pidana meliputi tahap penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan di pengadilan dan pelaksanaan putusan. melihat pada

tahapan tersebut maka komponen dalam sistem peradilan pidana meliputi

kepolisian, kejaksaan,pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. salah

satu yang paling sering menjadi sorotan dari keempat lembaga penegak

hukum tersebut selain kepolisian, yakni kejaksaan.

Kejaksaan merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan di

bidang penuntutan. Sedangkan Jaksa dalam hal-hal menjalankan

fungsinya serta bekerja atas nama rakyat dalam melakukan tugasnya

menuntut seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Hal ini

dipertegas melalui Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004, yaitu: Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta

wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka bisa dikatakan tugas

Kejaksaan di dalam penyelenggaraan negara kita sangatlah penting,

karena selaku institusi tempat bernaungnya seluruh Jaksa, Kejaksaan

mempunyai peran penting selaku penghubung antara masyarakat dengan

1
negara dalam menjaga tegaknya hukum dan norma yang berlaku di

masyarakat. Kedudukan Ke jaksaan dalam sistem ketatanegaraan di

Indonesia banyak mengalami perubahan baik secara kelembagaan

maupun pengaturannya di dalam peraturan perundangundangan.

Dewasa ini kejaksaan adalah badan negara yang sudah lama ada

sebelum kita merdeka, demikian pula aturan-aturannya. Sehingga pada

dasarnya Kejaksaan RI adalah meneruskan apa yang telah diatur di

dalam Indische Staatsregeling, yang dalam hal ini kedudukannya

menempatkan Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah

Agung. Ketentuan-ketentuan di dalam Indische Staatsregeling yang

mengatur kedudukan Kejaksaan, pada dasarnya adalah sama dengan

ketentuan di dalam UUD negeri Belanda.

Sejak awal berdiri, kedudukan Kejaksaan RI mengalami

perkembangan dalam system ketatanegaraan di Indonesia. Pada awal

masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 19

Agustus 1945, Rapat PPKI memutuskan mengenai kedudukan Kejaksaan

tersebut berada didalam lingkungan Departemen Kehakiman. Perubahan

besar terjadi ketika Presiden Soekarno membacakan Dekrit Presiden 5

Juli 1959. Konsekuensi dari perubahan politik yang terjadi adalah

Presiden menata ulang lembaga-lembaga dan institusi pemerintahan

dengan keadaan yang baru. Setahun setelah dikeluarkannya Dekrit

Presiden, pemerintah dan DPR mensahkan UU Kejaksaan yang pertama

dalam sejarah Negara kita, yakni UU No. 15 Tahun 1961 tentang Pokok-

2
Pokok Kejaksaan RI. Di dalam UU No. 15 Tahun 1961 tentang Pokok-

Pokok Kejaksaan RI disebutkan bahwa Kejaksaan merupakan alat negara

penegak hukum dan alat revolusi yang tugasnya sebagai Penuntut

Umum.1

Kejaksaan dari awal terbentuk hingga sekarang memanglah suatu

institusi yang berada di bawah ranah eksekutif dan proses pengangkatan

dan pemberhentian Jaksa Agung berada di tangan Presiden walaupun

pernah melalui usul Menteri Kehakiman namun tetap saja secara

pengangkatannya tetap ada di tangan Presiden. Kedudukan Kejaksaan di

Sistem Tata Negara Indonesia Melihat kedudukan Kejaksaan Agung yang

berada di ranah eksekutif menimbulkan banyak perdebatan, apakah

Kejaksaan selaku institusi penegak hukum yang seharusnya di ranah

yudikatif namun secara praktiknya ditempatkan di dalam ranah eksekutif

ini sesuai dengan perspektif hukum tata Negara atau tidak. Melihat Pasal

24 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa “Badan-badan lain yang

fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-

undang”. Berdasarkan pasal tersebut maka banyak pihak yang

berpendapat bahwa Kejaksaan merupakan salah satu badan yang

fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, sehingga banyak

yang beranggapan bahwa Kejaksaan seharusnya berada di ranah

yudikatif dan kedudukan Kejaksaan seharusnya lepas dari pengaruh

eksekutif. Ketentuan pasal 24 ayat (3) UUD 1945 semakin diperkuat di

1 Khairul Umam, Sri Setiadji, Arif Darmawan, “Kedudukan Subsistem Kejaksaan

Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Akrab Juara, Volume 6, Nomor 3, Agustus 2021,
hal. 6

3
dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 bahwa yang dimaksud

dengan “badan-badan lain” antara lain Kepolisian, Kejaksaan, Advokat

dan Lembaga Permasyarakatan Disebutkan bahwa Kejaksaan termasuk

di dalam badan-badan lain yang terkait dengan kekuasaan kehakiman

menyebabkan banyak pihak yang berependapat sebaiknya Kejaksaan

berada di dalam ranah peradilan bukan di dalam ranah eksekutif.

Namun, ketika kemudian kita berangkat pada posisi kejaksaan

sebagai salah satu subsistem peradilan pidana, maka kejaksaan dituntut

untuk selalu menjaga independensinya dari campur tangan pihak

manapun termasuk eksekutif. Namun nampaknya kejaksaan akan sulit

untuk terbebas dari campur tangan eksekutif karena secara struktural,

kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Bagaimana pun juga,

Jaksa Agung sebagai pemimpin lembaga kejaksaan secara struktural

harus tunduk kepada atasannya, yaitu Presiden sebagai pemegang

tertinggi kekuasaan eskekutif.

Pada saat melaksanakan tugas, jaksa haruslah bebas dan tidak

terikat dari intervensi kekuasaan pemerintah atau kekuasaan lain demi

terciptanya tujuan hukum seperti keadilan, kepastian hukum serta

kemanfaatan didalamnya dengan mengalihkan norma agama, kesopanan,

kesusilaan serta harus mencari dan menemukan nilai-nilai yang hidup

didalam masyarakat.2 Peran jaksa sebagai penuntut umum harus tidak

diikutcampurkan pada kekuasaan manapun supaya dapat mencapai

2 Anwar Yesmil, Adang, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Widya


Padjadjaran), 2011, hal. 204.

4
tujuan dalam penegakan hukum dan bisa digiring untuk menjalankan

tugas berdasarkan aturan yang berlaku supaya terwujudnya supremasi

hukum, melindungi kepentingan umum, menegakan hak asasi manusia

serta pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme.

Posisi jaksa pada peradilan pidana sangat menentukan nasib dari

terdakwa karena jaksa sebagai penuntut umum merupakan jembatan

penghubung antara tahap penyidikan dengan peradilan. Hal ini didasari

paa doktrin hukum yang mejelaskan bahwa penuntut umum punya hak

monopoli penuntutan. Maksudnya, seseorang baru bisa diadili bila terlebih

dahulu dengan adanya tuntutan pidana dari penuntut umum. Oleh karena

itu lembaga kejaksaan sebagai penuntut umum berwenang dalam

menuntut terdakwa di sidang pengadilan.3

Kedudukan Jaksa seharusnya menjadi lembaga yang independen

dengan memiliki acuan peran sentral (pivotal position) di dalam sistem

peradilan pidana (criminal justice system). Untuk itu tugas jaksa adalah

menuntut seorang tersangka dengan berdasarkan pada kesalahan hukum

(legal guilt) yang ada pada tersangka, Jaksa merupakan aparat penegak

hukum yang mempunyai kedudukan sentral (pivotal position) sehingga

jaksa dapat menentukan apakah seseorang tersangka tersebut dapat

dilakukan penahanan ataupun diteruskan dengan penuntutan di muka

pengadilan atau hanya dapat dibebaskan saja.

3 Appludnopsanji, Pujiyono, “Restrukturisasi Budaya Hukum Kejaksaan Dalam

Penuntutan Sebagai Independensi di Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Jurnal Sasi,


Volume 26, Nomor 4, Desember 2020, hal. 573

5
Selain terkait dengen independensinya, hal menarik dari

kejaksaan yakni dengan rangkap wewenangnya dalam sistem peradilan

pidana. Dimana, terdapat spesialisasi kewenangan dalam hal penyidikan

yang dilakukan oleh Kejaksaan, yaitu Jaksa memiliki kewenangan untuk

melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana khusus salah

satunya adalah korupsi. Adanya kewenangan tersebut membuat beberapa

masalah muncul yaitu bagaimana pengawasan antar lembaga demi

tercapainya SPPT, dan bagaimana pembatasan kewenangan kejaksaan

dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.

Sejatinya, kedua hal tersebut di atas, merupakan permasalahan

dalam tubuh kejaksaan yang saling berhubungan. Baik itu

independensinya maupun rangkap wewenangnya. Maka berdasarkan hal

tersebut, penulis tertarik untuk menulis makalah dengan judul

“Independensi dan Rangkap Wewenang Kejaksaan Dalam Sistem

Peradilan Pidana”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan

masalah yang akan diulas dalam makalah ini yakni:

1. Bagaimana independensi kejaksaan dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia?

2. Bagaimana hubungan antara kejaksaan dengan subsistem

peradilan pidana yang lain?

6
3. Bagaimana kewenangan jaksa sebagai penyidik sekaligus

sebagai jaksa penuntut umum dalam penanganan tindak pidana

korupsi?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang

ingin dicapai dari penulisan makalah ini yakni:

1. Untuk mengetahui independensi kejaksaan dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia.

2. Untuk mengetahui hubungan antara kejaksaan dengan kepolisian,

pengadilan, dan KPK.

3. Untuk mengetahui kewenangan jaksa sebagai penyidik sekaligus

sebagai jaksa penuntut umum dalam penanganan tindak pidana

korupsi.

7
BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

A. Independensi Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana

Menurut R. Tresna, nama jaksa atau yaksa berasal dari India dan

gelar itu di Indonesia diberikan kepada pejabat yang sebelum pengaruh

hukum Hindu masuk di Indonesia, sudah biasa melakukan pekerjaan yang

sama.4 Selanjutnya, menurut Lampiran Surat Keputusan Jaksa Agung

Republik Indonesia Tahun 1978 mengatakan bahwa: Jaksa asal kata dari

Seloka Satya Adhywicaksana yang merupakan Trapsila Adhyaksa yang

menjadi landasan jiwa dan raihan cita-cita setiap warga Adhyaksa dan

mempunyai arti serta makna sebagai berikut. Satya, kesetiaan yang

bersumber pada jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri

pribadi dan keluarga maupun sesama manusia. Adhi, kesempurnaan

dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab

baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa terhadap keluarga dan terhadap

sesama manusia. Wicaksana, bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku

khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.5

Kemudian, kata jaksa berasal dari kata adhyaksa kata ini diambil

dari bahasa Sansekerta. Menurut Djoko Prakoso, I Ketut Murtika

menjelaskan, bahwa dahulu, adhyaksa tidaklah sama tugasnya dengan

tugas utama ”penuntut umum” dewasa ini. Lembaga penuntut umum

4 R. Tesna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya

Paramita), 1978, Cet. Ke-3,hal. 158.


5 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2020, hal. 69.

8
seperti sekarang ini tidak bertugas sebagai hakim seperti adhyaksa

dahulu kala tetapi keduanya mempunyai persamaan tugas yaitu

penyidikan perkara, penuntutan, dan melakukan tugas sebagai Hakim

Komisaris.

Berdasarkan arti kata yang diungkapkan di atas jelas bahwa sejak

dahulu jaksa merupakan jabatan yang mempunyai kewenangan luas,

fungsinya senantiasa dikaitkan dengan bidang yudikatif. Setelah

berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka jaksa bertindak sebagai

penuntut umum dan melaksanakan penetapan hakim.

Hal ini telah dijelaskan di dalam Pasal 1 butir 6 (a), dan (b)

KUHAP yang berbunyi:

(a) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang

ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap;

(b) Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim.

Menurut rumusan di atas dapat dijelaskan bahwa pengertian jaksa

dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan pengertian penuntut

umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melaksanakan suatu

penuntutan dalam persidangan. Apabila diamati pada KUHAP, Kejaksaan

9
sebagai pengemban kekuasaan negara di bidang penuntutan, sehingga

Kejaksaan melakukan penuntutan pidana. Adapun tugas dan wewenang

aparat Kejaksaan di Indonesia telah tercantum dalam Pasal 30 Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Pasal 30 menyatakan bahwa:

1. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan

pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan

lepas bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan

pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan

dengan penyidik.

2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan

kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar

pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan

turut menyelenggarakan kegiatan:

10
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. pengawasan peredaran barang cetakan;

d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara;

e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik criminal.

Kekuasaan eksekutif memang menjadi ancaman bagi kekuasaan

penuntutan. Menurut beberapa pendapat ahli mengenai kejaksaan tidak

dapat di subordinasi dari kekuasaan eksekutif, namun dalam hal ini ahli

memiliki pendangan lain bahwa kejaksaan merupakan bagian dari

lembaga eksekutif yang menjalankan peradilan yang independent apabila

terdapat jaminan secara normatif. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam

melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Maka lebih lanjut akan di

tentukan oleh Jaksa Agung yang memilik itanggung jawab terhadap

tuntutan yang dilakukan tanpa intervensi pihak lain.6

Didalam ketentuan “Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan menyatakan bahwa ayat (1) Kejaksaan Republik

Indonesia untuk selanjutnya disebut sebagai Kejaksaan merupakan

lembaga Pemerintah yang bertugas melaksanakan Kekuasaan Negara

dalam hal penuntutan serta memiliki wewenang lain yang di tentukan

6 Ook Mufrohim, Ratna Herawati, “Independensi Lembaga Kejaksaan sebagai

Legal Structure di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) di


Indonesia”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Volume 2, Nomor 3, 2020, hal. 376.

11
menurut Undang-Undang, Ayat (2) menyatakan bahawa kekuasaan

Negara yang dimaksud dalam ayat (1)maka selanjutnya akan dilakukan

secaramerdeka”.

Terkait dengan independensi kejaksaan, dalam makalahnya yang

disampaikan pada 6th International Criminal Law Congress di Melbourne

pada tahun 1996, John McKechnie QC, hakim agung Australia

mengungkapkan:7

“The potential for ultimate dismemberment of the office by a

government is so obvious it barely needs stating. If a government or a

parliament really wishes to destroy a prosecution service, each is capable

of doing so. Parliament can abolish courts. Governments can withhold

funding. Ministers can decline to reappoint troublesome directors who are

therefore not immune from destruction.”

Ungkapan John Mc Kechnie di atas menunjukkan bahwa

kejaksaan adalah institusi yang rawan terhadap intervensi dari pihak

legislatif dan eksekutif. Jika eksekutif atau legislatif benar-benar ingin

menghancurkan kejaksaan, maka dengan mudah kedua lembaga tersebut

untuk melakukannya. Legislatif dapat bermain melalui perumusan

Undang-Undang, sedangkan eksekutif dapat bermain di wilayah

administratif, misalnya melakukan penahanan dana atau bahkan

memberhentikan Jaksa Agung.

7 Nicholas Cowdery, “Independence ff The Prosecution.” Makalah disampaikan

pada (Conference of Rule of Law: The Challenges of a Changing World, 2007) di


Brisbane pada tanggal 31 August 2007, hal. 6.

12
Secara teoritis sudah sejak lama para pakar hukum

mengkhawatirkan adanya campur tangan kekuatan politik terhadap

penegakan hukum (law enforcement). Mereka meyakini benar bahwa

ketika hukum dihadapkan pada kekuatan politik, maka hukum akan lebih

banyak kalahnya. Masalah ini banyak terjadi di Indonesia, sehingga

seringkali penegakan hukum tidak berdaya jika dihadapkan dengan elit

politik, pejabat atau sesama penegak hukum sendiri.8 Padahal jika pejabat

atau penegak hukum sendiri yang melanggar hukum, maka seharusnya

hukumannya lebih berat.

Dengan melihat kondisi yang demikian, kemudian muncul

gagasan dari berbagai pihak untuk memasukkan institusi kejaksaan di

bawah kekuasaan kehakiman agar bisa independen. Kejaksaan

merupakan kuasa hukum (legal representative) dari kepolisian karena

institusi ini yang berwenang menjelaskan hasil penyidikan kepolisian di

pengadilan. Selain itu, kejaksaan juga dapat mengambil peran sebagai

konsultan hukum (domestic legal adviser) yang berwenang memberikan

nasehat hukum kepada kepolisian mengenai prosedur penegakan hukum.

Di lain sisi, kejaksaan juga merupakan pihak yang utama dalam

menerapkan hukum-hukum terhadap suatu kasus melalui penuntutan.

Perannya yang sangat strategis tersebut melahirkan dilemma keberadaan

kejaksaan, apakah sebagai badan publik untuk memenuhi tugas eksekutif

8 M. Thalhah, “Penegakan Hukum oleh Kejaksaan dalam Paradigma Hukum

Progresif, Jurnal Magister Hukum, Volume 1, Nomor 1, Januari 2005, hal. 87

13
atau kekuasaan kehakiman.9 Adanya persoalan ini malahirkan gagasan

untuk melepaskan kejaksaan dari kekuasaan eksekutif dan

menempatkannya di bawah kekuasaan kehakiman.

Terhadap independensi kejaksaan Marwan Effendy memberikan

gagasan sebagai berikut, Pertama, Kejaksaan harus di tetapkan sebagai

badan hukum yang mandiri dan independen dengan tugas melaksanakan

kekuasaan Negara dalam penuntutan dan berkaitan dengan kewenangan

lain yang berdasarkan atas peraturan Perundangundangan. Kedua, Jaksa

Agung di angkat oleh Presiden dalam kedudukan nya sebagai kepala

Negara dengan berdasarkan persetujuan dari Dewan Perwakiran Rakyat.

Ketiga, kejaksaan harus mempertanggungjwabkan kewenangan dan

tanggungjawab dalam penegakan hukum kepada publik dan

melaporkannya kepada Dewan Perwakiran Rakyat. Keempat, seorang

Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Presiden dalam Kedudukannya

sebagai kepala Negara pada saat mewakili Negara dalam kasus tertentu

baik dalam ranah hukum public maupun perdata., yang dikarenakan

Undang-Undang Kejaksaan dapat menjadi wakil Negara atau wakil dari

public di pengadilan apabila diberikan kuasa kepadanya. Kelima

Tanggungjawab Kejaksaan dalam teknis yustisial akan bermuara kepada

Mahkamah Agung sebagai “the last corner stone” penegakan hukum.10

9 Ilham Endra, “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia (Kekuasaan


Penuntutan”, http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/
Diakses pada 25 Mei 2022.
10 Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2005, hal. 20.

14
Sebagai upaya untuk menjamin independensi kejaksaan perlu

untuk di buatkan legitimasi yang kuat sehingga berguna untuk menjamin

independensi kejaksaan, Legitimasi tersebut seharusnya dinyatakan

dengan tegas di dakam konstitusi dan di turunkan dalam suatu peraturan

perundangundangan secara relevan.Maka jika ada pihak-[ihak tertentu,

terutama eksekutif, yang melakukan intervensi kepada pelaksana

kewenangan dan tugas dari kejaksaan,dengan ini lembaga kejaksaan

memiliki kejaksaan yuridis yang kuat untuk menolak. Eksistensi kejaksaan

yang hanya diberikan legitimasi melalui peraturan Perundang-undanggan

adalah kurang tepat, perlu di ingat sebagai suatu lembaga yang memiliki

kewenangan untuk melakukan penuntutan, kejaksaan seharusnya perlu

adanya proteksi yang dapat menjaga integritas lembaga kejaksaan dan ke

independensian lembaga kejaksaan itu sendiri. Apabila di bandingkan

dengan komponen lain di dalam criminal justice system maka yang

diberikan legitimasi konstitusional adalah Kepolisian dan Badan

Peradilan.11

Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, sudah diatur secara

jelas terdapat di dalam UndangUndang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1)

yang menyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan.” Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan: “Kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

11 Indriyanto Adji, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum, (Jakarta:

Kompas), 2009, hal. 25.

15
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Selain membutuhkan legitimasi yang kuat dalam konstitusi,

kejaksaan juga harus melakukan perubahan terhadap budaya militerisme

ditubuh kejaksaan sendiri karena sangat mengganggu independensi

pencari keadilan. Demikian itu sehingga dapat terlihat mengenai seragam

budaya, cara hormat sertaproses pengambilan keputusan, misalnya dalam

penyusunan rentut (rencana penuntutan) yang semuanya tergantung ke

atas dan dalam beberapa hal bergantung kepada Jaksa Agung.

Sejatinya, independensi kejaksaan adalah salah satu jawaban

untuk terciptanya penagakan hukum yang baik dan benar-benar sesuai

dengan apa yang dicita-citakan oleh negara kita. Terlebih dengan kondisi

saat ini dimana setiap lembaga terlihat seolah saling berlomba untuk

saling menguasai atau menyetir lembaga yang lain dengan kekuasaan

yang dimilikinya. Tentunya hal tersebut berpotensi untuk merusak tatanan

hukum yang sudah diatur dengan sedemikian rupa selama ini.

B. Hubungan Antara Kejaksaan Dengan Kepolisian dan KPK

1. Hubungan Kejaksaan Dengan Kepolisian

Kepolisian (Penyidik POLRI) dengan Kejaksaan dua instansi

penegak hukum yang dimiliki hubungan fungsional sangat erat.

Keduanya seharusnya dapat bekerja sama dan melakukan koordinasi

dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini. Akan tetapi dalam

16
prakteknya sering miskoordinasi sehingga berpengaruh terhadap

melakukan penuntutan tergantung dari hasil penyidikan yang tepat

dan dukungan alat bukti yang cukup. Adapun hubungan Penyidik

POLRI dengan Kejaksaan dalam hal sebagai berikut:

a. Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut

umum Pasal 8, Pasal 14 huruf a, Pasal 110 ayat (1) KUHAP.

b. Penuntut umum memberikan perpanjangan penahanan atas

permintaan penyidik Pasal 14 huruf c, Pasal 24 ayat (2)

KUHAP.

c. Dalam hal penuntut umum berpendapat hasil penyidikan

belum lengkap, ia segera mengembalikan kepada penyidik

disertai petunjuk dan wajib melengkapinya dengan melakukan

penyidikan tambahan Pasal 14 huruf b, Pasal 110 ayat (2) dan

(3) KUHAP.

d. Dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan/

pemeriksaan. Memberitahukan hal itu kepada penuntut umum

Pasal 109 ayat (1) KUHAP.

e. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan,

memberitahukan hal itu kepada penuntut umum Pasal 109

ayat (2), sebaliknya dalam hal penuntut umum menghentikan

penuntutan, ia memberitahukan turunan surat ketetapan

kepada penyidik Pasal 140 ayat (2) huruf c KUHAP.

17
f. Penuntut umum memberikan turunan surat pelimpahan

perkara, surat dakwaan kepada penyidik Pasal 143 ayat (3),

demikian pula dalam hal penuntut umum mengubah surat

dakwaan ia memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu

kepada penyidik Pasal 144 ayat (3) KUHAP.

g. Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa

penuntut umum (demi hukum), melimpahkan berkas perkara

dan menghadapkan terdakwa, saksi/ ahli, juru bahasa dan

barang bukti pada sidang pengadilan.

Hubungan penyidik POLRI dengan Kejaksaan terjadi ketika

penyidik melakukan penyidikan dan memberitahukan ke Kejaksaan,

maka harus dilakukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku

dan sehingga sesuai dengan asas peradilan cepat, biaya ringan dan

sederhana. Dalam praktek, pelaksanaan fungsi penyidikan dan

penuntutan sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Keputusan

Menteri Kehakiman masih sering ditemui berbagai permasalahan

sebagai berikut dalam penegakan hukum sering dijumpai

permasalahan mengenai penyerahan SPDP disertai dengan

penyerahan berkas perkara tahap pertama, hal tersebut menjadi

pertanyaan bahwa mana bisa penyidikan telah selesai dilakukan dan

harus kepada penuntut umum Pasal 110 ayat (1) Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada waktu itu bersamaan

dikeluarkannya SPDP. Hal sebaliknya tidak berlaku bagi penyidik yang

18
seharusnya setelah 14 hari menerima pengembalian berkas perkara

beserta petunjuk penuntut umum harus kembali, sering kali penyidik

tidak mengirim berkas perkara kepada penuntut umum dan kondisi ini

tidak ada konsekuensi bagi penyidik sehingga penyelesaian berkas

perkara semakin lama, dalam hal bolak balik berkas perkara tidak bisa

ketemu dan tidak dapat memberikan petunjuk untuk mengeluarkan

surat perintah penghentian penyidikan (SP3).12

2. Hubungan Kejaksaan Dengan KPK

KPK dalam kaitannya dengan kompetensi tugas dan fungsi di

lapangan dipandang sebagai Lembaga Negara Terkuat (Super Body).

Status dan sifat KPK yang terkesan Super Body tersebut antara lain

dikarenakan tiga ciri dominan. Pertama, KPK sebagai lembaga

Negara (Special State Agency) yang secara khusus melakukan tugas

dalam tindakan pidana korupsi. Kedua, keberadaan KPK melebihi

peran dan fungsi yang berada pada lembaga penegak hukum, antara

Polisi, Kejaksaan, dan bahkan dengan lembaga-lembaga negara

lainnya. KPK memiliki kewenangan untuk tidak saja melakukan

kordinasi dan supervisi dengan institusi penegak hukum dan lembaga

negara lainnya dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, KPK dapat

menyatukan tugas dan fungsi yang berada dalam kewenangan

Kepolisian untuk penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan dalam hal

penyidikan dan penuntutan. KPK dalam (pasal 11) membatasi segala

12 Arwinsyah Putra Napit, “Kajian Terhadap Hubungan Penyidik Polri Dan

Kejaksaan Menurut Pasal 110 Dan 138 KUHAP”, Jurnal Lex et Societatis, Volume 4,
Nomor 9, Desember 2016, hal. 106

19
tugas dan kewenanganya terhadap kasus kerugian negara dengan

mominal RP 1.000.000.000,- (Satu Milyar). Namun, tiadanya sanksi

hukuman yang lebih berat, seperti adanya hukuman mati diberlakukan

berbagai negara seperti China adalah merupakan alat pengerem

kejahatan korupsi juga termurah yang melemahkan keberadaan

Undang-Undang KPK. Bahwa kewenangan KPK untuk melakukan

penyadapan dan merekam pembicaraan terhadap seseorang (tidak

berlaku utuk semua orang) yang diduga melakukan tindak pidana

korupsi adalah semata-mata untuk mengungkap tindak pidana

korupsi, karena jika dilakukan dengan model dan cara konvesional,

maka untuk mengunkap tindak pidana korupsi dalam rangka mencari

bukti awal yang cukup sangatlah sulit dilakukan.13

Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, sering para

penegak hukum sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan

main yang ada, dalam artian aturan main yang formal. Pembagian

tugas dan wewenang serta sinergi antara lembaga lembaga penegak

hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, antara

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Kejaksaan dan

Kepolisian.

Kejaksaan dan Kepolisian RI merupakan lembaga penegak

hukum di Indonesia. Kejaksaan khususnya, memiliki kedudukan

sentral dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, kejaksaan

13 Ermansjah Djaja, Mendesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta:

Sinar Grafika), 2010, hal. 257.

20
merupakan salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana di

Indonesia. Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) di

Indonesia hanya mengenal 4 (empat) subsistem, yaitu Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Tugas dan

kewenangan kejaksaan dalam lingkup peradilan semakin dipertegas

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), dimana posisi Kejaksaan sebagai lembaga

penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Namun dalam perkara

tindak pidana korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk

menyidik perkara tersebut. Kejaksaan juga dianggap sebagai

pengendali proses perkara dikarenakan hanya institusi kejaksaan

yang dapat menentukan suatu kasus dapat dilimpahkan ke pengadilan

atau tidak, disamping itu kejaksaan juga merupakan satu-satunya

institusi pelaksana putusan pidana.

Pembentukan KPK dan Pengadilan khusus korupsi dalam

pelaksanaannya tidak semudah yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan karena dalam praktek baik yang sudah terjadi

atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja KPK

dan terbentuknya Pengadilan Khusus Korupsi terbentur banyak

kendala. Kendala tersebut antara lain, KUHAP mengatur bahwa

proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan. Pasal

8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK

mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan dan

21
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang

dilakukan oleh kejaksaan. Disisi lain kejaksaan juga mempunyai

kewenangan sebagai eksekutor terhadap penanganan perkara tindak

pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, dilihat dari hal tersebut maka

KPK dengan kejaksaan akan selalu mempunyai hubungan koordinasi,

baik dalam penanganan perkara korupsi maupun dalam hal eksekusi

terhadap perkara yang ditangani oleh KPK, tetapi dengan adanya

dualisme kewenangan tersebut maka hubungan kejaksaan dengan

KPK cenderung dapat menjadi kurang harmonis.

Kewenangan KPK untuk dapat melakukan penuntutan pun

tentunya tidak akan terlepas dari kejaksaan, dimana KPK harus

merekrut jaksa penuntut umum dari kejaksaan yang akan

dinonaktifkan sementara dari kejaksaan. Hal ini lagi-lagi tentu saja

untuk menghindari interfensi di tubuh kejaksaan dalam melakukan

penuntutan terhadap perkara korupsi.

C. Kewenangan Jaksa Sebagai Penyidik Sekaligus Sebagai Jaksa

Penuntut Umum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi

Kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan terdapat pada

Pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf b UU Kejaksaan. Pengaturan

penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh

kejaksaan secara umum tertuang pada KUHAP dan lebih khusus lagi

diatur pada UU TIPIKOR serta UU Kejaksaan. Kejaksaan dipandang

sebagai pemegang dominus litis (penguasa perkara), jika berdasarkan

22
KUHAP koordinasi antara penyidik dan penuntut umum hanya sebatas

koordinasi fungsional. Seperti yang dikatakan oleh Kapuspenkum

Kejaksaan RI Tony bahwa kejaksaan hanya berpedoman pada KUHAP,

jadi kejaksaan tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan supervisi

suatu penyidikan perkara karena adanya asas diferensiasi fungsional.

Beberapa literatur menyatakan bahwa sistem peradilan pidana

memiliki hubungan yang kuat dengan penyidikan dan penuntutan.14

penyidikan yang dilakukan menentukan keberhasilan di tahap penuntutan,

oleh karena itu di institusi kejaksaan mengikuti proses penyidikan adalah

hal yang penting mengingat semestinya surat dakwaan serta pembuktian

dalam bersidangan akan bergantung pada penyidikan yang dilakukan.

Hubungan yang erat antara penyidikan dan penuntutan membuat

penuntut umum diharuskan mengetahui secara detail tahap penyidikan

yang tidak hanya tergambar dalam BAP (berita acara pemeriksaan),

melainkan juga harus mengetahui bagaimana cara penyidik mendapatkan

barang bukti dan alat bukti dalam suatu penanganan perkara. Selain itu

Jaksa dalam melaksanakan tugasnya perlu memahami berkas penyidikan

yang menjadi bahan baku penuntutannya. Tanpa ia mengetahui atau

menguasai penyidikan atas perkara itu maka jaksa akan menjadi lemah

dalam melakukan penuntutan. Menurut beberapa ahli yaitu Luhut

Pangaribuan, Bisma Siregar dan Loebby Loqman menyatakan hubungan

antara penyidik dan penuntut umum lebih kuat pada saat HIR, dan ketiga

14 Andi Hamzah, “Hukum Aacra Pidana Indonesia”, (Jakarta, Sinar Grafika),

2006, hal.159

23
pakar tersebut sepakat bahwa penyidikan dan penuntutan tidak boleh

terpisah-pisah secara tegas.15

Pendapat lain mengenai asas diferensiasi fungsional datang dari

Yahya Harahap yang sepakat dengan diterapkannya asas diferensiasi

fungsional karena dengan adanya asas tersebut penyelidikan, penyidikan,

penuntutan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan terjalin adanya

hubungan fungsi yang berkelanjutan dengan mekanisme adanya kontrol

antara penegak hukum.

Berdasarkan dari uraian di atas maka penulis dapat memberikan

analisa bahwa KUHAP tidak menaruh perhatian yang besar terkait

kewenangan kejaksaan sebagai dominus litis suatu perkara. Sebelumnya

posisi dan fungsi kejaksaan sebagai dominus litis tergambar jelas dalam

ketentuan HIR. Pada waktu HIR masih berlaku suatu penyidikan

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penuntutan dan

menjadikan jaksa sebagai koordinator penyidikan sekaligus penuntutan

sehingga jaksa menempati posisi sebagai instansi key (key figure) dalam

keseluruhan proses dari awal sampai akhir.

SPPT dapat dilihat dari struktur, substansi dan kultur. Menurut

substansi hukum terlihat bahwa kenyataan adanya instansi penyidik di

luar kepolisian menunjukkan tidak adanya sinkronisasi dengan desain

yang ditata dalam KUHAP Tahun 1981 sebagai induk hukum acara

pidana. Sedangkan dari sudut kelembagaan, hal tersebut kurang

15 Yudi Kristiana, “Teknik Penyidikan dan Pemberkasan Tindak Pidana Korupsi”,

(Yogyakarta: Thafa Media), 2018, hal. 35

24
menggambarkan adanya sebuah struktur yang mandiri dan terpadu

karena terdapat beragam institusi yang masing-masing memiliki

struktur organisasi sendiri dan sudah pasti juga memiliki tujuan

sendirisendiri karena faktor tekanan organisasi itu sendiri dan lain

sebagainya.16

Dampak lebih jauh dari keadaan yang demikian itu adalah nilai-

nilai, pandangan-pandangan dan sikapsikap dari mereka yang terlibat

dalam proses itu akan mempengaruhi kinerja yang cenderung bersifat

instansi centris, dan hal ini sangat tidak menguntungkan jika dilihat dari

sudut usaha membangun kultur masyarakat untuk sadar hukum yang

bisa berperan aktif dalam proses penegakan hukum pidana.

Berdasarkan tahapan mulai dari penyidikan hingga sampai pada

persidangan di pengadilan terlihat jelas adanya koordinasi antara penyidik

dan juga penuntut umum. Koordinasi dalam penanganan tindak pidana

korupsi merupakan hal yang utama dan merupakan pelaksanaan dari

SPPT namun masih dijumpai kasus yang penyidikan, penuntutan dan

saksi pelapornya adalah orang yang sama. Jika demikian maka tidak ada

control seperti apa yang sudah tercantum di peraturan kejaksaan dan jauh

dari kata objektif dan rawan penyalahgunaaan keweanangan, terlebih lagi

mengenai penyidik yang menjadi saksi pelapor.

Mengenai saksi verbalisan sebenarnya belum diatur di KUHAP

maupun peraturan perundnagundangan lainnya di Indonesia. Pengertian

16 Rusli Muhammad, “Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, (Yogyakarta: UII Pess),

2011, hal. 15

25
saksi verbalisan sendiri adalah seorang penyidik yang kemudian menjadi

saksi atas suatu perkara pidana karena terdakwa menyatakan bahwa

Berita Acara Pemeriksaan (“BAP”) telah dibuat di bawah tekanan atau

paksaan. Dengan kata lain, terdakwa membantah kebenaran dari BAP

yang dibuat oleh penyidik yang bersangkutan. Sehingga, untuk menjawab

bantahan terdakwa, penuntut umum dapat menghadirkan saksi verbalisan

ini.

Yang menjadi permasalahan adalah dengan adanya kewenangan

jaksa yang sebelumnya menjadi penyidik, penuntut umum kemudian juga

merangkap menjadi saksi pelapor penanganan perkaranya menjadi tidak

objektif, terlebih lagi penyidik yang menjadi saksi akan membenarkan hasil

penyidikannya sehingga penanganan korupsi tidak dapat berjalan dengan

maksimal. sebagaimana yang dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra dalam

artikel Yusril: Tidak Patut Penyidik Dihadirkan sebagai Saksi yang kami

akses dari laman media Sindonews.com, mengatakan bahwa seorang

penyidik tidak tepat dihadirkan sebagai saksi fakta karena dipastikan akan

membenarkan hasil penyidikannya. Tentu saja hal tersebut akan

mempengaruhi pemberantasan tindak pidana korupsi.17

Beranjak dari pembahasan permasalahan di atas, penulis

memberikan analisa penulis bahwa SPPT yang dianut KUHAP telah

membagi menjadi beberapa sub sistem yaitu, sub sistem penyidikan, sub

17 Tri Jata Ayu Pramesthi, “Apakah Penyidik dapat dijadikan Saksi di

Persidangan”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/
ulasan/lt569a106763c69/apakah-penyidikdapat-dijadikan-saksi-di-persidangan/ dikases
pada 25 Mei 2022.

26
sistem penuntutan, dan sub sistem pengadilan. Dengan adanya

pembagian tersebut maka sudah jelas di lingkup kejaksaan dalam

penanganan tindak pidana korupsi sudah terbagi antara penyidikan dan

penuntutan sehingga hal tersebut meminimalisir terjadinya kewenangan

rangkap. Jika dalam penangananannya masih ditemukan adanya

kewenangan rangkap maka perlu dipertegas lagi bagaimana

pengawasannya.

27
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Independensi Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana telah di

aturdi dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 yang dalam

menjalankan tugas dan kewenangannya dalam hal penuntutan, kejaksaan

memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan secara merdeka tanpa

adanya intervensi dari pihak manapun, jaminan yang telah di berikan oleh

Undang-Undnag tersebut kepada Kejaksaan sebagai bagian dari legal

structure seharunya berimplikasi pada hasil penuntutan yang berkeadilan

dan berkemanusiaan agar terciptanya tertib hukum dan tegaknya

supremasi hukum di Indonesia.

Terkait dengan kedudukan lembaga kejaksaan di dalam sistem

peradilan pidana Indonesia, kejaksaan merupakan lembaga yang

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dan posisi kejaksaan secara

eksekutif tidak mengakibatkan lembaga kejaksaan untuk tidak melakukan

penuntutan secara independen, melainkan lembaga kejaksaan

berdasarkan fungsinya harus menjalankan tugas dan kewenangannya

dalam melakukan penuntutan harus secara independen dan tidak dapat di

ikut campur tangani pihak lain ataupun dari pemerintah.

Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut KUHAP telah

membagi menjadi beberapa sub sistem yaitu, sub sistem penyidikan, sub

28
sistem penuntutan, dan sub sistem pengadilan. Dengan adanya

pembagian tersebut maka sudah jelas di lingkup kejaksaan dalam

penanganan tindak pidana korupsi sudah terbagi antara penyidikan dan

penuntutan sehingga hal tersebut meminimalisir terjadinya kewenangan

rangkap. Jika dalam penangananannya masih ditemukan adanya

kewenangan rangkap maka perlu dipertegas lagi bagaimana

pengawasannya.

B. Saran

1. Untuk menjaga independensinya, kejaksaan perlu diberikan

legitimasi yang kuat dengan dinyatakan secara tegas dalam

konstitusi.

2. Sejatinya sistem peradilan pidana terpadu harus dijalankan dan

dilaksanakan dengan baik tanpa menyimpangi apapun yang telah

diatur dengan sedemikian rupa.

29
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andi Hamzah. 2006. Hukum Aacra Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Anwar Yesmil, Adang. 2011. Sistem Peradilan Pidana. Bandung: Widya
Padjadjaran.
Ermansjah Djaja. 2010. Mendesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Sinar Grafika.
Indriyanto Adji. 2009. Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum.
Jakarta: Kompas.
Ishaq. 2020. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Marwan Effendy. 2005. Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari
Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
R. Tesna. 1978. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Rusli Muhammad. 2011. Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Yogyakarta:
UII Pess.
Yudi Kristiana. 2018. Teknik Penyidikan dan Pemberkasan Tindak Pidana
Korupsi. Yogyakarta: Thafa Media.

Jurnal
Appludnopsanji, Pujiyono, “Restrukturisasi Budaya Hukum Kejaksaan
Dalam Penuntutan Sebagai Independensi di Sistem Peradilan
Pidana Indonesia”, Jurnal Sasi, Volume 26, Nomor 4, Desember
2020.
Arwinsyah Putra Napit, “Kajian Terhadap Hubungan Penyidik Polri Dan
Kejaksaan Menurut Pasal 110 Dan 138 KUHAP”, Jurnal Lex et
Societatis, Volume 4, Nomor 9, Desember 2016.
Khairul Umam, Sri Setiadji, Arif Darmawan, “Kedudukan Subsistem
Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Akrab Juara,
Volume 6, Nomor 3, Agustus 2021.
M. Thalhah, “Penegakan Hukum oleh Kejaksaan dalam Paradigma Hukum
Progresif, Jurnal Magister Hukum, Volume 1, Nomor 1, Januari
2005.
Ook Mufrohim, Ratna Herawati, “Independensi Lembaga Kejaksaan
sebagai Legal Structure di dalam Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System) di Indonesia”, Jurnal Pembangunan
Hukum Indonesia, Volume 2, Nomor 3, 2020.

Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

30
Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lain-lain
Ilham Endra, “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia
(Kekuasaan Penuntutan”,
http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/27/kekuasaan-
penuntutan/ Diakses pada 25 Mei 2022.
Nicholas Cowdery, “Independence ff The Prosecution.” Makalah
disampaikan pada (Conference of Rule of Law: The Challenges of a
Changing World, 2007) di Brisbane pada tanggal 31 August 2007.
Tri Jata Ayu Pramesthi, “Apakah Penyidik dapat dijadikan Saksi di
Persidangan”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt569a106763c69/
apakah-penyidikdapat-dijadikan-saksi-di-persidangan/ dikases pada
25 Mei 2022.

31

Anda mungkin juga menyukai