Anda di halaman 1dari 20

Makalah

Kekuasaan Kehakiman
“Tugas ini untuk memenuhi Nila Mata Kuliah Hukum Tata Pemerintahan “
Dosen Pengampu : Novian Nurmanto, SH,MH

Kelompok 4.

1. Samsul Ma’arif. – NPM 2065201015


2. Ade Ahmad Qurtubi. – NPM 2065201027
3. Ayu Zakiyah DN. – NPM 2065201051
4. Herliman. – NPM 2065201026
5. Yugi Septia N. – NPM 2065201023

Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Dan ilmu

Politik Tasikmalaya
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga makalah yang berjudul “Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah” ini dapat diselesaikan
dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas kelompok mata kuliah Hukum Tata Pemerintahan. Kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Dan
kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu
dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta
bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena
kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai
manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Tasikmalaya , 07 April 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

BAB I PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Batasan Kekuasaan Kehakiman......................................................2


B. Peradilan Agama ................................................................................ ....................6
C. Peradilan Militer.................................................................................................... 10
A. Peradilan Tata Usaha Negara................................................................................. 11

BAB III PENERIMAAN, PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIN PERKARA

A. PROSEDUR PENERIMAAN GUGATAN DI PTUN.........................................................13


B. PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN............................................................. 14
C. PENYELESAIAN PERKARA.......................................................................................... 17
D. UPAYA HUKUM......................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

Pengertian dan Batasan Kekuasaan Kehakiman

Pengertian Kekuasaan Kehakiman


Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang dinyatakan dalam
penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu
bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan
campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-
Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin
oleh Undang-Undang. Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim
yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif .
Batasan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU no.4 tahun 2004 yang menggantikan UU no.14 tahun
1970. Pasal 1 UU no.4 tahun 2006 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra
yudisiil dan bebas menemukan hukum dan keadilannnya. Akan tetapi kebebasannya tidak mutlak , tidak
ada batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem
pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasaan
hakim dibatasi atau diawasi oleh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya
kebebasan hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak luput dari
kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu
dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good
judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.

B. Fungsi dan Tugas Pokok Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 UndangUndang
Dasar pasca Amandemen). Dengan demikian maka hakim berkewajiban untuk menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

C. Badan-Badan Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman

Sesuai dengan isi dari UUD 1945 maka kekuasaan kehakiman di Indonesia berada di tangan Mahkamah
Agung danMahkamah Konsititusi.

1. Mahkamah Agung (MA)


Mahkamah Agung (MA) adalah salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yaitu
kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1).
Kewenangan MA adalah mengadili pada tingkat kasasi atas setiap perkara yang diajukan kepadanya,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang dan wewenang lain yang diberikan
oleh undang-undang (Pasal 24A ayat 1).
Sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga pengadilan Negara tertinggi maka MA membawahi empat
lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Walaupun pengadilan yang ada dalam empat
lingkungan peradilan itu berada di bawah Mahkamah Agung bukan berarti MA dapat mempengaruhi
putusan badan peradilan di bawahnya. Kedudukan badanbadan peradilan di bawah Mahkamah Agung
itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya dapat membatalkan atau memperbaiki putusan badan
peradilan di bawahnya dalam tingkat kasasi. Sedangkan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang (Pasal 24 ayat 3). Badan-badan lain yang
dimaksud dalam ketentuan ini adalah misalnya kejaksaan, kepolisian, advokat/pengacara dan lain-lain.

2. Mahkamah Konstitusi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk menjaga kemurnian konstitusi
(the guardian of the constitution) . Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan kekuasaan negara
yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan
negara harus dilandasi dan berdasarkan konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi
dapat diuji dan diluruskan oleh Mahkamah konstitusi melalui proses peradilan yang diselenggarakan
oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang oleh UUD 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD;
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
3. Memutus pembubaran partai politik; dan
4. Memutus sengketa pemilu;
5. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau
Wakil Presiden menurut UUD.

Hakim konstitusi terdiri dari 9 orang yang ditetapkan oleh Presiden dari calon yang diajukan masing-
masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Dengan demikian 9 orang hakim
konstitusi itu mencerminkan perwakilan dari tiga cabang kekuasaan negara yaitu kekuasaan yudikatif,
legislatif dan eksekutif.

D. Hubungan Antara Kekuasaan Kehakiman dengan Hukum (Perdata) Materiil dan Formil

Hukum perata materiil adalah pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana selayaknya
warga masyarakat tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Akan tetapi hukum bukanlah
hanya sebagai pedoman saja, namun harus dilaksanak. Setiap orang dapat melaksanakan hukum
tersebut meskipun kadang-kadang mereka tidak menyadarinya. Hukum perdata formil adalah
peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata
materiil. Untuk melaksanakan aturan-aturan dan menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil maka
diperlukan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini badan peradilan. Peraturan-peraturan hukum perdata
formil tersebut hanya dapat dilaksanakan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. Tanpa adanya
kekuasaan kehakiman maka hukum perdata formil tidak dapat dilaksankan dan hukum perdata materiil
tidak dapat dijamin pelaksanaannya.
E. Kaitan Kekuasaan Kehakiman dengan Hakim

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk
menegakkan, menerapkan hukum dan keadilan tidak hanya atas nama UndangUndang, akan tetapi
juga keadilan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan mengadili diartikan sebagai
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur
dalam undang-undang.

F. Yang Harus Dimiliki Dari Pribadi Hakim

Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya Negara hukum. Oleh
karena itu, terdapat beberapa sifat yang harus dimiliki oleh penyandang profesi hakim dalam
menjalankan tugasnya. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tanpa Pamrih. Sifat tersebut menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi seorang hakim,
karena profesi harus dipandang sebagai pelayanan;
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai
luhur;
3. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik;
4. Intelektual;
5. Menjunjung tinggi martabatnya.
Pengadilan Umum adalah pengadilan yg bertugas di lingkungan peradilan yang menjalankan kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan.

Pengadilan Umum

Pengadilan umum meliputi :


**--Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi
wilayah kabupaten / kota bertugas utk memeriksa dan memutuskan perkara tinggkat pertama dari
segala perkara sipil untuk semua golongan penduduk (warga negara dan orang asing). setiap perkara
dalam pengadilan negeri diadili oleh sekurang-kurangnya tiga orong hakim yang dibantu oleh
seorang panitera. pengadilan negeri memiliki kewenangan nisbi, kewenangan nisbi adalah
kewenangan untuk memeriksa gugatan atas tuntutan berdasarkan tempat tinggi tergugat.

**--Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah
provinsi.
Fungsi n Wewenang Pengadilan Tinggi adalah sebagai berikut :
1. Memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa wewenang
danmengadiliantarpengadilan negeri dalam daerah hukumnya (provinsi)
2. Memeriksa ulang semua perkara perdata dan pidana sepanjang dimungkinkan untuk dimintakan
banding
3. Memimpin pengadilan-pengadilan negeri dalam daerah hukum
4. Melakukan pengawasan terhadap jalannyapengadilan dalam daerah hukumnya dan menjagaagar
peradilan tersebut diselenggarakan dengan saksama dan sewajarnya
5. Mengawasi perbuatan hakim pengadilan negeri dengan daerah hukumnya secara teliti. **--
Mahkamah Agung (MA) merupakan badan kehakiman tertinggi di berbagai negara (termasuk
Indonesia) dan merupakan pengadilan terakhir di mana putusannya tidak dapat diajukan banding. MA
berkedudukan di ibu kota Republik Indonesia (Jakarta).
Fungsi dan tugasnya adalah sbb:
1. Memutuskan pada pemeriksaan pertama dan tingkat tertinggi mengenai
perselisihanperselisihan yurisdiksi antarpengadilan negeri, pengadilan tinggi yang sama, pengadilan
tinggi dan pengadilan negeri, pengadilan sipil dan pengadilan militer.
2. Memberi atau membatalkan kasasi atau keputusan hakim yang lebih rendah. Kasasi dapat
diajukan apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau terdapat kesalahan pada pelaksanaannya
dan peradilan tidak dilaksanakan menurut undang-undang
3. Memberi keputusan dalam tingkat banding atas keputusan-keputusan wasit atau pengadilan
arbiter (pengadilan swasta yang terdapat dalam dunia perdagangan dan diakui oleh pemerintah)
4. Mengadakan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan dan memberi
keterangan,pertimbangan, dan nasihat tentang soal-soal yang berhubungan dengan hukum, apabila hal
itu diminta oleh pemerintah.

TINGKATAN LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (UU No. 4 tahun 2004 Bab 1 pasal 1)

1. Peradilan Agama

A. Pengertian Peradilan Agama


Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA. Pengadilan Agama
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undangundang ini. Dengan demikian keberadaan
Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.

B. Unsur Peradilan dan Syarat Menjadi Hakim


Dalam literatur Fiqih Islam untuk berjalannya peradilan dengan baik dan normal, diperlukan
adanya enam unsur, yakni:
1. Hakim atau Qadhi
Yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat
menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
2. Hukum
Yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Hukum ini adakalanya
dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim berkata saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah
uang. Ada yang berpendapat bahwa putusan ilzam ini ialah menetapkan sesuatu dengan dasar yang
menyakinkan seperti berhaknya seseorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang
qadha istiqaq ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari ijtihad, seperti seorang
tetangga mengajukan hak syuf’ah.
3. Mahkum Bihi
Di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang diharuskan oleh qadhi si tergugat harus memenuhinya.
Dan didalam qadha tarki ialah menolak gugatan. Karena demikian maka dapat disimpulkan bahwa
mahkum bihi itu adalah suatu hak.
4. Mahkum Alaih (si terhukum)
Yaitu orang yang dijatuhkan hukuman atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’ adalah yang
diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang diharapkan kepadanya. Baik tergugat ataupun bukan,
seorang ataupun banyak.
5. Mahkum Lahu
Yaitu orang yang menggugat suatu hak. Baik hak itu yang murni baginya atau terdapat dua hak tetapi
haknya lebih kuat.
6. Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan)
Dari pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang
diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya dengan mengemukakan gugatangugatan yang dapat
diterima. Oleh karena itu, sesuatu yang bukan merupakan peristiwa tapi masuk dalam bidang ibadah
tidak masuk dalam bidang peradilan.
Dalam hal pengangkatan seorang hakim dalam literature-literatur fiqih, para ahli memberikan syarat-
syarat untuk mengangkat seseorang menjadi hakim, walau ada perbedaan dalam syaratsyarat yang
mereka berikan, namun ada pula yang disepakati. Syarat yang dimaksudkan ada enam yaitu:
1. Laki-laki yang merdeka.
2. Berakal (mempunyai kecerdasan)
3. Beragama Islam.
4. Adil.
5. Mengetahui Segala Pokok Hukum dan Cabang-Cabangnya.
6. Mendengar, Melihat dan Tidak Bisu.
C. Undang-Undang Peradilan Agama
Peradilan Agama telah ada sejak agama Islam datang ke Indonesia, itulah yang kemudian diakui dan
dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura tahun 1882, di Kalimantan Selatan tahun 1937 dan di
luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan pada tahun 1957, dan namanya sekarang Pengadilan Agama.
Penyatuan nama ini dilakukan dengan keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 (ketika Menteri H.
Alamsah Ratu Perwira Negara). Semuanya berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung RI dalam
menyelenggarakan peradilan dan pembinaannya.
Semula ada beberapa masalah yang melekat pada peradilan agama sehingga tidak mampu
melaksanakan tugasnya melakukan kekuasaan kehakiman secara mandiri seperti yang dikehendaki oleh
Undang-Undang NO. 14 tahun 1970 waktu itu yang menjadi induknya (yang kini tidak berlaku lagi), tapi
kini dengan keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama berarti telah
hilanglah masalah susunan, masalah kekuasaan dan masalah acara peradilan agama yang selama ini
dianggap menjadi masalah. Waktu itu ketika UndangUndang Peradilan lainnya telah selesai dibentuk
sedangkan Undang-Undang Peradilan Agama belum, maka dalam rangka melaksanakan Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (yang sekarang tidak
berlaku lagi), maka Menteri Agama atas nama pemerintahan menyampaikan naskah Rancangan
Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama kepada DPR untuk disetujui.
Setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) itu disetujui dan disahkan oleh presiden tanggal 29
Desember 1989 dengan demikian tercapailah:
1. Terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, terutama yang disebut dalam Pasal 10 ayat
1 dan pasal 12.
2. Terjadi pembaruan hukum dalam makna peningkatan dan penyempurnaan pembagunan hukum
nasional di bidang Peradilan Agama.
3. Peradilan Agama sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman akan mampu melaksanakan sendiri
keputusan-keputusannya karena sudah mempunyai kelengkapan hukum acara dan perangkat hukum
lainnya. Kini kedudukannya benar-benar sejajar dan sederajat dengan pengadilan-pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, militer, dan tata usaha Negara.
4. Kini pengadilan agama telah mempunyai kewenangan yang sama di seluruh Indonesia kecuali
peradilan Islam lainnya.
5. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama yang telah digunakan sebagai pegangan oleh
semua pihak. Baik hakim maupun para pihak. Dengan demikian, berarti telah memungkinkan
terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintika keadilan dalam lingkungan peradilan
agama.
6. Lebih memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum melalui yurisprudensi
dalam hubungan ini termasuk asas-asas dan kaidah hukum Islam sebagai salah satu bahan baku dalam
penyusunan dan pembangunan hukum nasional.
Undang-udang Peradilan Agama terdiri dari tujuh bab yakni 108 Pasal dengan meliputi: Bab I memuat
tentang ketentuan-ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan dan
pembinaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab II mengatur tentang susunan peradilan
agama dan pengadilan tinggi agama, Bab III mengatur tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama, Bab IV menyebut soal biaya perkara yang diatur oleh Menteri Agama dengan
persetujuan Mahkamah Agung berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bab V
menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim,
panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Bab VI mengenai ketentuan-ketentuan
peralihan, Bab VII tentang ketentuan penutup. Di sini ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya
Undang-Undang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan
dan Timur dan di bagian lain wilayah RI dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sejak Islam masuk ke Indonesia, Peradilan
Agama telah ada. Tahun 1882 itu adalah tahun pengakuan Belanda sebagai penjajah terhadap peradilan
agama. Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, berarti peradilan
agama dalam melaksanakan tugasnya telah mandiri dalam melakukan kekuasaan kehakiman.

2. Peradilan Militer

A. Sejarah Peradilan Militer


Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undangundang ini
lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan
sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970
tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan
peradilan militer yang terdiri dari; a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi
c. Pengadilan Militer Utama
d. Pengadilan Militer Pertempuran.

Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 tentang susunan
dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah
diubah dengan UU. No. 22 PNPS tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan UU
No. 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah
dengan UU No 1 Drt tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.

B. Yurisdiksi Peradilan Militer di Indonesia.


Sesuai Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, diakitkan dengan Pasal
1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), maka Peradilan Militer mengadili tindak
pidana didasarkan pada subyeknya, yaitu prajurit (militer) atau yang dipersamakan. Dengan kata lain,
selama ia militer, dan melakukan tindak pidana apa saja, baik tindak pidana militer (murni), seperti
desersi, insubordinasi, dan lain-lain juga tindak pidana umum, seperti perampokan, pemerkosaan,
pembunuhan, atau pencurian, dan lain-lain maupun tindak pidana khusus, seperti penyalahgunaan
psikotropika/shabu-shabu, narkotika, korupsi, dan lain-lain diadili di peradilan militer yang tidak ada
kaitannya sama sekali dengan tugas-tugas/jabatan kemiliteran.
Meskipun bukan prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit melakukan tindak pidana, dan tindak
pidana tersebut merugikan kepentingan militer serta dilakukan semata-mata dengan militer (perkara
koneksitas) dapat diadili di peradilan militer. Apabila orang sipil (di luar PNS TNI) dapat diadili oleh
peradilan militer, maka PNS TNI yang melakukan tindak pidana yang merugikan TNI seharusnya dapat
diadili oleh peradilan militer.
Sebagaimana ketentuan yang mengatur tentang koneksitas, maka titik berat diadilinya seseorang
warga sipil (civilian) di peradilan militer, karena unsur (kerugian) militer melebihi unsur sipil,
sebagaimana Penjelasan Pasal 22 Undang-undang Nomor : 14 Tahun 1970, sebagai berikut :
Penyertaan pada suatu delik militer yang murni oleh seorang bukan militer dan perkara penyertaan, di
mana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan
Pengadilan lain dari pada Pengadilan Umum, ialah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara
demikian.
Dengan demikian, selama akibat tindak pidana tersebut dapat dibuktikan merugikan
kepentingan militer, misalnya pencurian senjata/amunisi di gudang senjata, membunuh caraka untuk
memperoleh data/informasi militer, membakar gedung arsip/dokumen militer, dan lainlain, maka
pelaku akan diadili di Peradilan Militer.
Diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer di masa depan dapat merujuk kepeda kewenangan
Peradilan Militer jaman Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu Krijgsraad berwenang memeriksa dan
mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang-orang sipil
yang bekerja di lingkungan kemiliteran. Orang-orang sipil tersebut, saat ini dapat diartikan sebagai
Pegawai PNS TNI, karena kenyataannya bekerja di lingkungan TNI atau orang-orang sipil lainnya bukan
PNS TNI tetapi bekerja di lingkungan TNI atau setidak-tidaknya memperoleh gaji dari TNI. Selain itu,
untuk mendukung dapat diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer, sebagai contoh adalah pelanggaran
lalu lintas oleh PNS TNI, yaitu apabila PNS TNI mengemudikan kendaraaan dinas TNI, kemudian diberi
bukti pelanggaran (tilang) oleh polisi Militer (POM) karena kedapatan tidak membawa SIM atau STNK,
maka ia akan diproses oleh POM, Mengingat tugas-tugas (pokok) TNI juga bergantung pada PNS TNI,
maka sudah selayaknya PNS TNI yang melakukan tindak pidana karena jabatannya/tugas-tugasnya juga
yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI dapat dijadikan yurisdiksi peradilan militer. Selain
itu, keutuhan atau kekuatan suatu bangsa (negara) juga bergantung pada keutuhan atau kekuatan
militernya. Sebagaimana disampaikan oleh Kasad, yaitu untuk menghancurkan suatu negara.
Dari penyampaian tersebut dapat dikatakan, ada korelasi positif antara tentara (militer) yang
kuat, utuh dan solid dengan eksistensi suatu negara (bangsa). Demikian pula sebaliknya, apabila
tentara suatu negara lemah, terpecah-pecah, maka dapat dipastikan negara tersebut akan mudah
hancur.
Dimungkinkannya PNS TNI yang melakukan tindak pidana berkaitan dengan
tugas-tugas/jabatannya atau yang dapat diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI atau dengan
kata lain merugikan unsur (kepentingan) militer, diproses melalui Sistem Peradilan Pidana Militer
(SPPM), maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian.
Demikian halnya apabila PNS TNI melakukan tindak pidana tidak berkaitan dengan
tugas/jabatannya, tetapi tempat kejadian perkara (locus delicti) terjadi di dalam markas/pangkalan
atau yang dipersamakan dengan markas/pangkalan (military property), apakah penyidik sipil (Polri)
dapat diijinkan melakukan penyelidikan di dalam markas/pangkalan tersebut. Mengingat sampai saat
ini, belum ada Undang-Undang yang mengatur dan adanya resistensi, sebagaimana dinyatakan oleh
Laksa Mahmilgung, yaitu : Tradisi keprajuritan seperti, cepat bereaksi, L’esprit de corps, loyalitas,
kesetiakawanan, berani dan rela berkorban ini menjadikan setiap prajurit sangat rawan dalam
kecenderungan menolak bahkan melawan terhadap orang lain (bukan prajurit) yang masuk untuk
menangani masalahmasalah yang menyangkut prajurit atau kesatuannya. Lebih rentan lagi, karena
tugasnya, prajurit membawa senjata.
Mengingat masih adanya kesulitan-kesulitan di lapangan nantinya, disarankan diadakan
diskusi-diskusi atau tukar pikiran (curah pendapat) terlebih dahulu dengan pejabatpejabat PNS,
khususnya di lingkungan TNI juga dari Departemen dibawah Menpan berkaitan dengan tindak pidana
yang dilakukan PNS TNI berkaitan dengan tugas/jabatannya untuk diadili di Pengadilan Militer. Selain
itu, perlu diadakan amandemen (perubahan) Undangundang Nomor 31 Tahun 1997, khususnya Pasal 9
angka 1 dan diletakan menjadi huruf e dengan bunyi : PNS TNI berkaitan dengan tugas jabatan atau
tidak berkaitan dengan tugas jabatan tetapi dilakukan didalam Markas TNI atau yang dipersamakan
dengan Markas TNI. Lebih dari itu, mengingat peran PNS TNI bukan lagi sebagai suplemen Prajurit TNI
tetapi sudah menjadi komplemen, dan semata-mata untuk kepentingan tugas pokok TNI, maka sudah
saatnya PNS (pejabat PNS TNI atau mereka yang memahami peran-peran PNS TNI) diberikan
kesempatan untuk memberikan semacam penyuluhan (hukum) kepada prajurit TNI berkaitan dengan
keberadaan PNS TNI dalam organisasi TNI, peran, hubungannya dengan tugas-tugas pokok TNI dan
prajurit TNI status, pendidikan, karir, dan lain-lain, karena (diperkirakan) masih banyak prajurit TNI
yang belum memahami atau belum mengetahui peran-peran PNS TNI sebagaimana tersebut di atas.
3. Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, diuraikan tentang pengertian-pengertian yang
berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai berikut:
1. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi
untukmenyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakanurusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan olehBadan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
4. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata UsahaNegara
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Gugatan Tata Usaha Negara adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan
atauPejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan.
6. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusanberdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat
oleh orang atau badan hukum perdata.
7. Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004 adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
8. Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam manasatu
orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri
dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau
dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud (Pasal 1 huruf a Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002)
2. Subyek Peradilan Tata Usaha Negara
Subyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering disebut dengan para pihak, yaitu: a.
Penggugat
Dari pengertian penggugat diatas dapat ditentukan bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:
o Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN); o Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN).
b. Tergugat
Yang dapat digugat atau dijadikan tergugat sebagaimana diuraikan dalam pengertian tergugat diatas
adalah jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan
wewenang dari Badan TUN itu atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti
bahwa bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat kepada orang
tersebut. Misalnya; Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng, Bupati Buleleng dan lain-lain, sehingga
tidak akan menjadi masalah ketika terjadi pergantian orang pada jabatan tersebut.
Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat menjadi pihak
Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan menjadi:
a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif.
b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan eksekutif yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan.
c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.
d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan (SitiSoetami,
2005: 5).

3. Obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara


Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.

BAB II
PENERIMAAN, PEMERIKSAAN DAN PENYELESAIN PERKARA

1. PROSEDUR PENERIMAAN GUGATAN DI PTUN


UU PTUN tidak mengatur secara tegas dan terperinci tentang prosedur dan penerimaan Perkara
Gugatan di PTUN yang harus ditempuh oleh seseorang atau Badan Hak Perdata yang akan
mengajukan /memasukkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun pokokpokok yang dapat
diuraikan adalah sebagai berikut:
a. Penerimaan Perkara
Gugatan yang telah disusun / dibuat ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasanya, kemudian
didaftarkan di Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang sesuai dengan ketentuan Pasal
54.
Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat
Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan
tidak dalam satu faerah Hukum Pengadilan, Gugatan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara
Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan
tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Penggugat selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang
bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat
Ayat (5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri,
Gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
Ayat (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, Gugatan
diajukan kepada Pengadilan ditempat kedudukan Tergugat.

b. Administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara


Panitera yang telah menerima Pengajuan Gugatan tersebut kemudian meneliti Gugatan apakah secara
formal telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56 UU No.5 tahun 1986,
apabila ada kekurang lengkapan dari Gugatan tersebut Panitera dapat menyarankan kepada Penggugat
atau Kuasanya untuk melengkapinya dalam waktu yang telah ditentukan paling lambat dalam waktu 30
hari baik terhadap Gugatan yang sudah lengkap ataupun belum lengkap selanjutnya Panitera menaksir
biaya panjer ongkos perkara yang harus dibayar oleh Penggugat atau Kuasanya yang diwujudkan dalam
bentuk SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) atau antara lain: Biaya Kepaniteraan
Biaya Materai
Biaya Saksi
Biaya Saksi Ahli
Biaya Alih Bahasa
Biaya Pemeriksaan Setempat
Biaya lain untuk Penebusan Perkara
Gugatan yang telah dilampiri SKUM tersebut kemudian diteruskan ke Sub bagian Kepaniteraan Muda
Perkara untuk penyelesaian perkara lebih lanjut.
Atas dasar SKUM tersebut kemudian Penggugat atau kuasanya dapat membayar di kasir (dibagian
Kepaniteraan Muda Perkara) dan atas pembayaran tersebut kemudian dikeluarkan, kwitansi
pembayarannya. Gugatan yang telah dibayar panjer biaya perkara tersebut kemudian didaftarkan
didalam buku register perkara dan mendapat nomor register perkara.
Gugatan yang sudah didaftarkan dan mendapat nomor register tersebut kemudian dilengkapi dengan
formulir-formulir yang diperlukan dan Gugatan tersebut diserahkan kembali kepada Panitera dengan
buku ekspedisi penyerahan berkas.
Selanjutnya berkas perkara gugatan tersebut oleh Panitera diteruskan / diserahkan kepada Ketua
Pengadilan untuk dilakukan Penelitian terhadap Gugatan tersebut, yaitu dalam proses dismissal ataupun
apakah ada permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, beracara
cepat maupun ber-acara Cuma-Cuma.

2. PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN


Di Pengadilan Tata Usaha Negara suatu gugatan yang masuk terlebih dahulu harus melalui beberapa
tahap pemeriksaan sebelum dilaksanakan Pemeriksaan didalam Persidangan yang terbuka untuk umum.
Apabila dilihat dari Pejabat yang melaksanakan pemeriksaan ada 3 (tiga) Pejabat yaitu Panitera, Ketua
dan Hakim/Majelis Hakim, akan tetapi apabila dilihat dari tahaptahap materi gugatan yang diperiksa ada
4 tahap pemeriksaan yang harus dilalui:
Tahap I
Adalah Tahap penelitian administrasi dilaksanakan oleh Panitera atau Staf panitera yang ditugaskan
oleh Panitera untuk melaksanakan Penilaian administrasi tersebut
Tahap II
Dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan pada tahap ke-II tersebut Ketua
memeriksa gugatan tersebut antara lain:
i. Proses Dismissal: yaitu memeriksa gugatan tersebut apakah gugatannya terkena dismissal.
Apabila terkena maka berdasar pasal 62 UU PTUN, artinya gugatan tidak diterima dan Ketua dapat
mengeluarkan Penetapan Dismissal. Sedangkan apabila tidak, ternyata gugatan tersebut tidak
ii. Ketua dapat juga memeriksa apakah didalam gugatan tersebut ada Permohonan Penundaan
Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat atau tidak dan sekaligus dapat mengeluarkan
penetapan.
iii. Ketua dapat juga memeriksa apakah ada permohonan
Pemeriksaan dengan Cuma-Cuma dan mengeluarkan Penetapan
iv. Ketua dapat juga memeriksa apakah dalam gugatan tersebut ada
permohonan untuk diperiksa dengan acara cepat ataukah tidak.
v. Ketua dapat pula menetapkan bahwa gugatan tersebut diperiksa
dengan acara biasa dan sekaligus menunjuk Majelis Hakim yang memeriksanya.
Tahap III
Setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara sesuai dengan Penetapan Penunjukan Majelis Hakim
yang menyidangkan perkara tersebut yang dikeluarkan oleh Ketua PTUN.
Tahap IV
Setelah dilaksanakan Pemeriksaan Penetapan terhadap gugatan kemudian Majelis menetapkan untuk
Pemeriksaan gugatan tersebut didalam persidangan yang terbuka untuk umum.
Proses pemeriksaan di muka Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksudkan untuk menguji apakah
dugaan bahwa KTUN yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak. Gugatan sifatnya tidak
menunda atau menghalangi dilaksanakannya KTUN yang digugat tersebut, selama hal itu belum
diputuskan oleh pengadilan maka KTUN itu harus dianggap menurut hukum. Hal ini dikarenakan Hukum
Tata Usaha Negara mengenal asaspraduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid) = praesumptio
instae causa terhadap semua tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, termasuk KTUN yang
telah dikeluarkan (Suparto Wijoyo, 1997: 54).
3. PENYELESAIAN PERKARA
Saat berkas gugatan masuk dalam meja persidangan, maka sengketa tersebut akan melalu
beberapa tahapan-tahapan pokok, yaitu:
1. Tahap pembacaan isi gugatan dari penggugat dan pembacaan jawaban dari tergugat.
Pasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa ”Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan
dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada surat jawaban, pihak
tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya”. Dalam prakteknya bisa saja hakim tidak
membacakan gugatan atas persetujuan tergugat, mengingat tergugat sudah mendapatkan salinan
gugatan. Begitu juga terhadap jawaban gugatan dari tergugat bisa saja tidak dibacakan oleh hakim tetapi
hanya diserahkan salinannya kepada penggugat.
2. Tahapan Pangajuan Reflik
Replik diartikan penggugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap jawaban yang telah
diajukan oleh tergugat. Sebelum penggugat mengajukan replik, atas dasar ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 75 ayat (1), penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya, asal disertai
alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat. Replik diserahkan oleh penggugat
kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada tergugat.
3. Tahapan Pengajuan Duplik
Duplik diartikan tergugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap replik yang telah diajukan
oleh penggugat. Dalam hal ini, sebelum mengajukan duplik tergugat juga diberikan kesempatan untuk
mengubah alasan yang mendasari jawabannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan penggugat (Pasal 75 ayat (2)). Duplik diserahkan oleh tergugat kepada Hakim Ketua Sidang
dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada penggugat
4. Tahapan pengajuan Alat Bukti
Pada tahap pengajuan alat-alat bukti, baik penggugat maupun tergugat sama-sama mengajukan alat-
alat bukti yang terbatas berupa:
a. Surat atau tulisan (Pasal 100 ayat (1) huruf a);
b. Keterangan ahli (Pasal 100 ayat (1) huruf b); dan
c. Keterangan saksi (Pasal 100 ayat (1) huruf c)
5. Tahapan Kesimpulan
Pada tahap pengajuan kesimpulan ini, pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara sudah
selesai. Masing-masing pihak mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan dari hasil
pemeriksaan di sidang pengadilan mengenai sengketa Tata Usaha Negara antara penggugat dengan
tergugat, yang intinya adalah sebagai berikut:
a. Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang dikeluarkan oleh tergugat agar
dinyatakan batal atau tidak sah.
b. Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah dikeluarkan adalah sah.
6. Tahap Penjatuhan Putusan
Setelah penggugat dan tergugat mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan
sidang ditunda, karena Majelis Hakim akan mengadakan musyawarah untuk mengambil putusan (Pasal
97 ayat (2)). Putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 108 ayat (1)),
artinya siapapun dapat hadir untuk mendengarkan putusan yang diucapkan. Sebagai akibat dari putusan
yang diucapkan tidak dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusan tersebut tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum (Pasai 108 ayat (3)). Disamping itu putusan harus dituangkan dalam bentuk
tertulis.
Secara garis besar dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal dua Jenis putusan, yaitu: a. Putusan
yang bukan putusan akhir
Putusan yang bukan putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum pemeriksaan
sengketa TUN dinyatakan selesai, yang ditujukan untuk memungkinkan atau mempermudah pelanjutan
pemeriksaan sengketa TUN di sidang pengadilan. Mengenai putusan yang bukan putusan akhir ini dapat
dilihat dari beberapa ketentuan pasal, misalnya:
i. Pasal 113 ayat (1) yang menyatakan bahwa: ”Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir
meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya
dicantumkan dalam berita acara sidang”.
ii. Pasal 124 yang menyatakan bahwa: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan
putusan akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir”.

Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, yang termasuk putusan yang bukan putusan akhir,
misalnya:
- Putusan Hakim Ketua Sidang yang memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat
untukdatang menhadap sendiri ke pemeriksaan sidang pengadilan, meskipun sudah diwakili oleh
seorang kuasa (Pasal 58);
- Putusan Hakim Ketua Sidang yang mengangkat seorang ahli alih bahasa atau seseorangyang
pandai bergaul dengan Penggugat atau saksi sebagai juru bahasa (Pasal 91 ayat (1) dan Pasal 92 ayat
(1));
- Putusan Hakim Ketua Sidang yang menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli
ataspermintaan Penggugat dan Tergugat atau Penggugat atau Tergugatatau karena jabatannya (Pasal
103 ayat (1));
- Putusan Hakim Ketua Sidang mengenai beban pembuktian (Pasal 107). b. Putusan akhir
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa TUN selesai
yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat pengadilan tertentu. Sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 97 ayat (7), diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa:
1. Gugatan ditolak
Putusan yang berupa gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa KTUN yang
menimbulkan sengketa TUN adalah KTUN yang tidak dinyatakan batal atau dinyatakan sah.
2. Gugatan dikabulkan
Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang menyatakan bahwa KTUN yang
menimbulkan sengketa TUN adalah KTUN yang dinyatakan batal atau tidak sah. Dalam hal gugatan
dikabulkan maka dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (9), berupa:
- pencabutan KTUN yang bersangkutan, atau
- pencabutan KTUN bersangkutan dan penerbitan KTUN yang baru, atau- penerbitan KTUN baru.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (10) bahwa kewajiban yang dilakukan oleh Tergugat
tersebut dapat disertai pembebanan ganti kerugian. Disamping pembebanan ganti kerugian terhadap
gugatan dikabulkan berkenaan dengan kepegawaian dapat juga disertai rehabilitasi atau kompensasi.
- Ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata
atasbeban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya
kerugian materiil yang diderita oleh penggugat.
- Rehabilitasi adalah memulihkan hak penggugat dalam kemapuan dan kedudukan, harkatdan
martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula sebelum ada putusan mengenai KTUN yang
disengketakan.
- Kompensasi adalah pembayaran sejumlah uang berdasarkan keputusan Pengadilan TataUsaha
Negara akibat dari rehabilitasi tidak dapat atau tidak sempurna dijalankan oleh Badan Tata Usaha
Negara.
3. Gugatan tidak dapat diterima
Putusan yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang menyatakan bahwa syaratsyarat
yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh penggugat.
4. Gugatan gugur
Putusan yang berupa gugatan gugur adalah putusan yang dijatuhkan hakim karena penggugat tidak
hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil dengan patut atau penggugat telah
meninggal dunia.
Terhadap putusan pengadilan tersebut, penggugat dan/atau tergugat dapat menentukan sikap sebagai
berikut:
a. Menerima putusan pengadilan;
b. Menolak Putusan
1. mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding, jika yang menjatuhkan
putusanadalah Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 122)
2. mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, jika yang menjatuhkan putusanadalah
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama (Pasal 51 ayat (4)).
Pikir-pikir dalam tenggang waktu 14 hari setelah diberitahukan secara sah putusan pengadilan, apakah
menerima putusan pengadilan atau mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding atau
kasasi.

C. UPAYA HUKUM
a. Banding
Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama
(PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan
pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PTTUN).
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus
diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding
dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas
perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti
kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan
memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera
Pengadilan (Pasal 126).
Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang
hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha
Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan
tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan
pemeriksaan tambahan.
Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang
bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-
surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya
meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127).
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum
sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya
pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan,
walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal
129).
b. Kasasi
Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah
Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan
tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo.
UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh
Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan
yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha
Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.
Untuk dapat mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, Pasal 143 UU No 14 Tahun 1985
menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan jika pemohon terhadap perkaranya telah
menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undangundang.
Menurut Pasal 46 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985, permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi harus
diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada
permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang berperkara, maka menurut Pasal 46 ayat (2) UU
Nomor 14 Tahun 1985 ditentukan bahwa pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan.
Mengingat pemberitahuan adanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu dilakukan dengan
menyampaikan salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan surat tercatat oleh
Panitera kepada penggugat atau tergugat, maka perhitungan 14 hari itu dimulai esok harinya setelah
penggugat atau tergugat menerima surat tercatat yang dikirim oleh Panitera yang isinya salinan putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Alasan pengajuan kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 jo UU No
5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena:
i. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
ii. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
iii. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
c. Peninjauan Kembali
Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim
Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan
Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132, yang
menyebutkan bahwa :
Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”
Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”
Dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 UU No 14 Tahun 1985, dapat diketahui
bahwa permohonan peninjauan kembali terhadap putusan perkara sengketa TUN yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya dapat diajukan berdasarkan alasanalasan sebagai berikut:
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yangdiketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti baru yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu;
2. Apabila perkara setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukanyang
pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkansebab-
sebabnya;
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu hal yang sama, atas dasar yangsama,
oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu
dengan yang lain;
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Daftar Pustaka

Ini daftar pustaka yang buku hukum tata negara.


Anggriani, Jum;. (2012). Hukum tata negara. Yogyakarta: Graha ilmu.
HR, Ridwan;. (2013). Hukum administrasi negara. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai