Anda di halaman 1dari 16

HAKIM: SYARAT-SYARAT, TUGAS DAN

WEWENANG SERTA PENGANGKATAN DAN


PEMBERHENTIANNYA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradilan Agama di Indonesia

Dosen Pembimbing: Andri Nurwandri, S.Sy, M.Ag

Disusun oleh: Kelompok 9

1. Nadia Putri Marpaung (2102050010)


2. Uci Nur Khomsah Indriani (2102050016)
3. Veronica Anggelina (2102050017)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR
AL ULUUM ASAHAN
2023/2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya,
atas anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya
sehingga saya bisa menyusun makalah ini. Di makalah ini, saya sebagai penyusun
hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan judul “ Hakim: Syarat-Syarat,
Tugas dan Wewenang Serta Pengangkatan Dan Pemberhentiannya”.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Kisaran, 07 Desember 2023


Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PEMBAHASAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Posisi Hakim dalam Lembaga Peradilan (Jabatan Fungsional)...................2

B. Syarat-Syarat Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim.............................6

C. Tugas dan Peran Hakim Dalam Menegakkan Hukum dan Keadilan.........10

D. Peranan Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim...............................12

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Konsep peradilan di Indonesia sebagai lembaga Yudisial yang mengatur
kekuasaan kehakiman dalam lingkup empat peradilan meliputi peradilan
umum/niaga, agama, militer dan tata usaha negara yang eksistensinya dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kemudian melalui UU Nomor 50 Tahun 2009, peradilan agama memiliki
kedudukan tersendiri sebagai lembaga peradilan yang dikhususkan bagi pemeluk
agama Islam yang ingin menyelesaikan perkaranya.

Sebagai salah satu lembaga yang memiliki kewajiban menerima,


memeriksa dan mengadili perkara antara pemeluk agama Islam, secara konstruktif
memiliki dimensi penegakan hukum dan keadilan terhadap perkara yang menjadi
kompetensinya. Perkembangan hukum serta jumlah penduduk muslim di
Indonesia menjadi hal yang utama dalam berkembangnya peradilan agama,
sehingga diperlukan kemampuan untuk menekuni materi perkara yang terus
bergulir di masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Posisi Hakim dalam Lembaga Peradilan (Jabatan Fungsional)?
2. Apa saja Syarat-Syarat Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim?
3. Bagaimana Tugas dan Peran Hakim Dalam Menegakkan Hukum dan
Keadilan?
4. Bagaimana Peranan Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Posisi Hakim dalam Lembaga Peradilan (Jabatan Fungsional)

Pada dasarnya hakim dapat diartikan sebagai orang yang bertugas untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang berbuat salah dan
membenarkan orang yang benar. Dan, di dalam menjalankan tugasnya, ia tidak
hanya bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang berperkara saja, dan menjadi
tumpuan harapan pencari keadilan, tetapi juga mem-per-tanggung jawabkan nya
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah dalam tiap-tiap amar putusan hakim
selalu didahului kalimat: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Begitu pentingnya profesi hakim, sampai-sampai ruang lingkup tugasnya
harus dibuatkan Undang-undang.

Sesuai dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan
disesuaikan lagi melalui UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa
“hakim pengadilan di bawah mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman dan tidak dapat merangkap jabatan, kecuali
Undang-Undang menentukan lain”.1 Dalam RUU tersebut dinyatakan bahwa
Penunjukan hakim sebagai Pejabat Negara hanya pada tingkat MA sedangkan
Hakim pada tingkat pertama dan banding sebagai Pejabat Fungsional.

Kemudian, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana


(KUHAP), UU Komisi Yudisial, dan peraturan perundangan lainnya. Bahkan,
dalam menjalankan tugasnya di ruang sidang, hakim terikat aturan hukum, seperti
hal nya pada pasal 158 KUHAP yang mengisyaratkan: Hakim dilarang
menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan disidang tentang keyakinan
mengenai salah atau tidaknya terdakwa. Begitupun dalam menilai alat bukti, UU
telah dengan tegas mengingatkan hakim untuk bertindak arif lagi bijaksana (Pasal
1
Duwi Handoko, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Cet. I (Pekanbaru: Hawa dan
Ahwa, 2015), hlm. 368.

4
188 ayat (3) KUHAP). Tak hanya itu saja, hakim harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di
bidang hukum, demikian bunyi pasal 32 UU No. 4/2004. 2 Profesi hakim
merupakan profesi hukum, karena pada hakekatnya merupakan pelayanan kepada
manusia dan masyarakat dibidang hukum.

Oleh karenanya hakim dituntut memiliki moralitas dan tanggung jawab


yang tinggi, yang kesemuanya dituangkan dalam prinsip-prinsip dasar kode etik
hakim. Kedudukan hakim telah diberikan tempat pada konstitusi Negara kita.
Dalam Amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, Ayat (2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Disamping itu, pada Pasal 25 amandemen UUD 1945 ditentukan bahwa


syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan oleh
undang-undang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar hakim
dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan sungguhsungguh dan memiliki
independensi, secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau
kekuasaan lain dalam masyarakat. Keberadaan suatu pedoman etika dan perilaku
hakim sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Pedoman etika dan perilaku hakim merupakan inti yang melekat pada
profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral,
untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana dikemukakan di atas tidaklah
mudah karena adanya berbagai hambatan. Hambatan itu antara lain timbul dari
dalam badan peradilan sendiri terutama yang berkaitan dengan kurang efektifnya
pengawasan internal, dan cenderung meningkatnya berbagai bentuk penyalah-
gunaan wewenang oleh hakim. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib

2
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1991), hlm. 11.

5
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. (UU Kekuasaan Kehakiman No. 35 thn. 1999 Pasal 27 ayat 1).

Dalam hal ini ketika berada dalam masyarakat yang masih mengenal
hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Hakim
merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan
masyarakat, untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberi keputusan
yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Dalam mempertimbangkan berat ringan nya pidana, hakim wajib


memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh. (UU
Kekuasaan Kehakiman No. 35 thn. 1999 Pasal 27 ayat 2). Dalam hal ini sifat-sifat
yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam
mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi
seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan
seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-
orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.

B. Syarat-Syarat Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim


1. Syarat-Syarat Pengangkatan Hakim
Persyaratan menjadi hakim di semua lingkungan peradilan hampir sama.
Hanya saja ada beberapa ketentuan yang berbeda, perbedaan yang mutlak terletak
pada latar belakang keagamaan. Seorang calon hakim untuk Peradilan Agama
harus berasal dari Agama Islam. Persyaratan lain yang agak berbeda adalah gelar
kesarjanaan. Di Peradilan Agama, calon hakim harus dari sarjana syari’ah atau
sarjana hukum yang mengerti hukum islam. Persyaratan ini tidak di temukan
untuk peradilan lainnya, semua sarjana hukum dapat menjadi hakim di selain
Peradilan Agama.

a. Persyaratan calon hakim yang telah di tetapkan dalam undang-undang

6
Pada Pasal 13 UU Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-
undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, disebutkan secara jelas
syarat-syarat menjadi hakim, yaitu:3

1) Warga Negara Indonesia


2) Beragama Islam
3) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
4) Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
5) Sarjana syari‟ah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam
6) Sehat jasmani dan rohani
7) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
8) Bukan bekas anggota organisasi terlarang partai komunis Indonesia
termasuk organisasi massannya, atau bukan orang yang terlibat langsung
dalam gerakan 30 September/partai komunis Indonesia.

b) Syarat-syarat menjadi hakim menurut Islam

1) Syarat yang pertama laki-laki Syarat ini menghimpun dua sifat sekaligus:
baligh dan tidak wanita.4
2) Syarat kedua, mempunyai akal untuk mengetahui perintah. Ia harus
mempunyai pengetahuan tentang dzaruri (perintah) untuk diketahui,
hingga ia mampu membedakan segala hal sesuatu dengan benar, cerdas,
dan jauh dari sifat lupa. Dengan kecerdasannya, ia mampu menjelaskan
apa yang tidak jelas, dan memutuskan urusanurusan yang pelik.
3) Syarat ketiga, merdeka (tidak budak). Kekuasaan atas dirinya sendiri tidak
sempurna, oleh karena itu ia tidak bisa berkuasa atas orang lain. Selain itu
kesaksian budak dalam kasus kasus hukum tidak diterima, maka sangat
logis kalau status budak juga menghalangi penerapan hukum olehnya dan
pengangkatan dirinya sebagai hakim. Jika budak telah bebas, ia
diperbolehkan untuk menjabat sebagai hakim, kendati perwalian dirinya

3
Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan, (Yogyakarta : LKiS, 2011), hlm.
172.
4
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyyah Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara
Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000), hlm. 122.

7
berada ditangan pemiliknya, karena nasab tidak termasuk keriteria dalam
kekuasan hukum.
4) Syarat keempat, Islam. Karena Islam menjadi syarat diterimanya
kesaksian, orang kafir tidak boleh diangkat menjadi hakim untuk kaum
muslimin, bahkan untuk orang-orang kafir.
5) Syarat kelima, Adil. Syarat adil ini berlaku dalam semua jabatan. Adil
ialah berkata benar, jujur, bersih dari hal-hal yang di haramkan, menjauhi
dosa-dosa, jauh dari sifat ragu-ragu, terkontrol ketika senang dan marah,
serta menggunakan sifat muruah (ksatria) dalam agamanya dan dunianya.
6) Syarat keenam, sehat pendengaran dan pengelihatan. Agar dengan
pengelihatan dan pendengaran yang sehat, ia dapat membedakan
pendakwa dengan terdakwa, membedakan pihak yang mengaku dengan
pihak yang tidak mengaku, membedakan kebenaran dengan kebatilan, dan
mengenali pihak yang benar dan pihak yang salah.

Adapun syarat lainnya adalah calon hakim harus pegawai negeri yang
berasal dari calon hakim dan berumur paling rendah 25 tahun. Jika dianalisis dan
diperbandingkan dengan persyaratan yang ada di dalam fiqh, maka ada kesamaan
pandangan bahwa hakim hendaknya berasal dari mereka yang memiliki
kompetensi memadai dan juga memiliki integritas dan kepribadian yang baik,
serta ada kesesuaian antara kemampuan intelektual dan kecerdasan emosional.
Syarat-syarat tersebut merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon
hakim untuk Peradilan Tingkat Pertama. Sebagaimana telah dijelaskan dalam UU
pokok kekuasaan kehakiman, Peradilan Agama terdiri dari Peradilan Tingkat
Pertama, Peradilan Tingkat Banding, dan Peradilan Tingkat Kasasi.

2. Syarat-Syarat Pemberhentian Hakim


Syarat-syarat pemberhentian hakim diatur dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1991 tentang tata cara pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara serta hak-hak hakim
agung dan hakim yang dikenakan pemberhentian. Khususnya terdapat pada Bab II tentang
Pemberhentian dengan Hormat, Pemberhentian Tidak dengan Hormat dan Pemberhentian
Sementara serta Hak-Hak hakim Agung dan Hakim yang Dikenakan Pemberhentian.

8
a. Syarat pemberhentian hakim secara hormat
yakni terdapat pada pasal 2 yang bunyinya;

1) Hakim Agung dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya


karena:
a) permintaan sendiri secara tertulis;
b) sakit jasmani atau rohani terus-menerus berdasarkan Surat
Keterangan Tim Penguji Kesehatan;
c) telah mencapai batas usia pensiun;
d) ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas;
e) meninggal dunia.
2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diusulkan kepada Presiden oleh:
a) Pimpinan Mahkamah Agung bagi Hakim Agung;
b) Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung bagi Hakim.
3) Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c:
a) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung adalah 65
tahun;
b) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi,
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara serta Pengadilan Tinggi
Agama adalah 63 tahun;
c) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata
Usaha Negara serta Pengadilan Agama adalah 60 tahun.

b. Syarat pemberhentian hakim tidak dengan hormat


Terdapat pada pasal 7 yang bunyinya;
Hakim Agung dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya
dengan alasan :
1) dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
2) melakukan perbuatan tercela;
3) terus-menerus melalaikan kewajiban dalam melaksanakan tugas
pekerjaannya;
4) melanggar sumpah atau janji jabatan;
5) melanggar larangan perangkapan jabatan Hakim Agung atau Hakim.

9
C. Tugas dan Peran Hakim Dalam Menegakkan Hukum dan
Keadilan
Ada tiga tugas hakim ketika memeriksa perkara, yaitu;
1) Mengkonstatir peristiwa hukum yang diajukan oleh para pihak, apakah
peristiwa hukum yang diajukan itu benar-benar terjadi atau tidak. Hakim
berupaya mengetahui dan meyakini apakah peristiwa hukum seperti yang
telah diajukan tersebut benar adanya atau tidak.
2) Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak kepadanya.
Maksudnya, hakim menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi
itu memiliki hubungan hukum tertentu dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hubungan hukum inilah yang dirijuki dan
dijadikan dasar hukum dalam pengambilan keputusan.
3) Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya, atau memberikan putusan
kepada para pihak yang berperkara.5

Tugas hakim dalam memeriksa suatu perkara dengan selalu berpedoman


pada rujukan peraturan perundangan serta Kode etik profesi dan ditambah pula
dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk selalu menggali rasa keadilan di
masyarakat, tidak semua permasalahan ada peraturan perundang-undangannya
yang mengatur masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah hal ini hakim tidak
perlu untuk selalu berpegang pada peraturan-peraturan yang tertulis saja, dalam
keadaan demikian tepatlah apabila hakim diberi kebebasan untuk mengisi
kekosongan hukum.

Adapun peran hakim sebagai penegak hukum yang independen dan adil
dalam sistem peradilan.

1. Penjaga Independensi

Salah satu peran utama hakim adalah menjaga independensi dan netralitas
nya. Hakim harus beroperasi di luar pengaruh politik, tekanan dari pihak-pihak
tertentu, atau intervensi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi.
Independensi hakim merupakan pondasi penting dalam menjamin adanya keadilan

5
Abdul Halim Talli, Integritas dan Sikap Aktif-Argumentatif Hakim Dalam Pemeriksaan
Perkara, dalam Jurnal Al-Daulati, Vol. 3 , No. 1, Juni 2014, hlm. 2-3.

10
yang obyektif, bebas dari segala bentuk campur tangan yang dapat mempengaruhi
putusan hukum. Dengan menjaga independensinya, hakim dapat menetapkan
keputusan berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku, tanpa ada kekhawatiran
tentang akibat politik atau tekanan dari pihak luar.

2. Pemberi Putusan yang Adil

Peran hakim dalam memberikan putusan yang adil sangatlah penting


dalam sistem peradilan. Hakim harus berusaha mempertimbangkan setiap
argumen, bukti, dan hukum yang relevan sebelum membuat keputusan akhir.
Keadilan harus menjadi pijakan dalam setiap putusan hukum yang diberikan,
sehingga hak-hak dan kepentingan semua pihak terpenuhi dengan seadil-adilnya.
Selain itu, hakim juga harus mampu mengabaikan prasangka pribadi dan
memastikan bahwa setiap individu dianggap tidak bersalah sampai terbukti
sebaliknya.

3. Penegak Hukum yang Berintegritas

Integritas adalah kualitas yang esensial bagi hakim. Sebagai penegak


hukum, hakim harus menjunjung tinggi etika dan moralitas dalam menjalankan
tugasnya. Integritas hakim adalah jaminan bahwa setiap keputusan yang diambil
didasarkan pada hukum dan bukti yang ada, tanpa memihak pada siapapun atau
mempertimbangkan kepentingan pribadi. Kepercayaan publik terhadap sistem
peradilan sangatlah tergantung pada integritas hakim, sehingga menjaga dan
mempertahankan tingkat integritas yang tinggi adalah suatu kewajiban bagi setiap
hakim.

4. Mengedepankan Proses Hukum yang Adil dan Transparan

Hakim berperan sebagai pengawas dan pelaksana proses hukum. Oleh


karena itu, hakim harus memastikan bahwa proses hukum berjalan secara adil,
transparan, dan terbuka bagi semua pihak. Semua pihak yang terlibat dalam proses
peradilan harus memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan argumen
dan bukti mereka. Hakim juga harus dapat menjelaskan dengan jelas alasan di

11
balik keputusan yang diambil, sehingga masyarakat dapat memahami dasar
hukum dari setiap putusan.

5. Melindungi Hak Asasi Manusia dan Kedaulatan Hukum

Sebagai penegak hukum, hakim memiliki tanggung jawab besar dalam


melindungi hak asasi manusia dan kedaulatan hukum. Hakim harus mengamankan
hak-hak dasar setiap individu dan mencegah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak-pihak yang berwenang. Putusan hakim juga harus selalu
didasarkan pada hukum yang berlaku, mengukuhkan kedaulatan hukum dan
keadilan bagi semua orang tanpa pandang bulu.

D. Peranan Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim

UUD 1945 telah mengkonstruksi Komisi Yudisial yang bertugas untuk


menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Secara eksplisit dapat ditafsirkan bahwa pengawaan Komisi Yudisial terhadap
hakim dilakukan dalam konteks upaya preventif dan upaya represif. Fungsi
menjaga sebagai upaya preventif dilaksanakan melalui bentuk kegiatan
memberikan pendidikan calon hakim serta pendidikan dan latihan hakim secara
berkala. Sedangkan fungsi menegakkan merupakan upaya represif dalam
mewujudkan terciptanya kehormatan dan keluhuran hakim. Menegakkan
mengandung arti pendisiplinan sehingga dalam praktiknya diikuti
denganpenjatuhan sanksi.6

Dari perspektif yang berbeda, fungsi Komisi Yudisial sebagai pengawasan


itu dimaknai secara progresif dan dinamis. Artinya fungsi pengawasan itu dilihat
sebagai pengawasan yang bersifat represif (posteriori) yang dilakukan setelah
diketahui adanya tindakan penyimpangan atau pelanggaran hakim dan preventif (a
posteriori) yang dilakukan sebelum untuk mencegah penyimpangan itu terjadi.
Fungsi pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial, sebagaimana dimaksud dalam
UUD 1945, lebih memfokuskan pada pengawasan terhadap hakim sebagai

6
Taufiqurrohman Syahuri, Penguatan Fungsi dan Tugas Konstitusional Komisi Yudisial,
(Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia), hlm. 8-9.

12
individu, tidak secara langsung kepada Mahkamah Agung sebagai institusi.
Artinya, Komisi Yudisial tidak melakukan pengawasan terhadap administrasi
pengadilan, seperti: kepegawaian, keuangan, dan administrasi perkara.

Dengan melihat model Komisi Yudisial di beberapa negara, Violaine


Autheman dan Sandra Elena membagi model menjadi dua model Komisi
Yudisial, yaitu: pertama, Komisi Yudisial model Eropa Selatan bersifat mandiri
berdasarkan konstitusi yang berfungsi primer untuk menjaga kemandirian
pengadilan (memberikan nasehat pengangkatan hakim dan menjalankan tindakan
disiplin terhadap hakim); kedua, Komisi Yudisial model Eropa Utara yang selain
memiliki fungsi primer juga memiliki wewenang luas dalam bidang administrasi
dan peran penting dalam hal penganggaran pengadilan. Komisi Yudisial di
Indonesia relevan dengan model Eropa Selatan yang menjalankan tindakan
disiplin terhadap hakim dalam rangka menjaga kemandirian pengadilan.

BAB III

13
PENUTUP

1. Kesimpulan
Sesuai dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan
disesuaikan lagi melalui UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa
“hakim pengadilan di bawah mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman dan tidak dapat merangkap jabatan, kecuali
Undang-Undang menentukan lain”. Persyaratan menjadi hakim di semua
lingkungan peradilan hampir sama. Hanya saja ada beberapa ketentuan yang
berbeda, perbedaan yang mutlak terletak pada latar belakang keagamaan.

Seorang calon hakim untuk Peradilan Agama harus berasal dari Agama
Islam. Persyaratan lain yang agak berbeda adalah gelar kesarjanaan. Di Peradilan
Agama, calon hakim harus dari sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang
mengerti hukum islam. Persyaratan ini tidak di temukan untuk peradilan lainnya,
semua sarjana hukum dapat menjadi hakim di selain Peradilan Agama. Tugas
hakim dalam memeriksa suatu perkara dengan selalu berpedoman pada rujukan
peraturan perundangan serta Kode etik profesi dan ditambah pula dengan upaya
yang sungguh-sungguh untuk selalu menggali rasa keadilan di masyarakat, tidak
semua permasalahan ada peraturan perundang-undangannya yang mengatur
masalah tersebut

DAFTAR PUSTAKA

14
Duwi Handoko, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Cet. I (Pekanbaru: Hawa
dan Ahwa, 2015).

Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia,


(Jakarta: Sinar Grafika, 1991).

Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan, (Yogyakarta : LKiS, 2011).

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyyah Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan


Negara Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000).

Abdul Halim Talli, Integritas dan Sikap Aktif-Argumentatif Hakim Dalam


Pemeriksaan Perkara, dalam Jurnal Al-Daulati, Vol. 3 , No. 1, Juni 2014.

Taufiqurrohman Syahuri, Penguatan Fungsi dan Tugas Konstitusional Komisi


Yudisial, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia).

15

Anda mungkin juga menyukai