Segala puji bagi Allah SWT. Karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya,
atas anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya
sehingga saya bisa menyusun makalah ini. Di makalah ini, saya sebagai penyusun
hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan judul “ Hakim: Syarat-Syarat,
Tugas dan Wewenang Serta Pengangkatan Dan Pemberhentiannya”.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I PEMBAHASAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
1. Kesimpulan................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konsep peradilan di Indonesia sebagai lembaga Yudisial yang mengatur
kekuasaan kehakiman dalam lingkup empat peradilan meliputi peradilan
umum/niaga, agama, militer dan tata usaha negara yang eksistensinya dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kemudian melalui UU Nomor 50 Tahun 2009, peradilan agama memiliki
kedudukan tersendiri sebagai lembaga peradilan yang dikhususkan bagi pemeluk
agama Islam yang ingin menyelesaikan perkaranya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Posisi Hakim dalam Lembaga Peradilan (Jabatan Fungsional)?
2. Apa saja Syarat-Syarat Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim?
3. Bagaimana Tugas dan Peran Hakim Dalam Menegakkan Hukum dan
Keadilan?
4. Bagaimana Peranan Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya hakim dapat diartikan sebagai orang yang bertugas untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang berbuat salah dan
membenarkan orang yang benar. Dan, di dalam menjalankan tugasnya, ia tidak
hanya bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang berperkara saja, dan menjadi
tumpuan harapan pencari keadilan, tetapi juga mem-per-tanggung jawabkan nya
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah dalam tiap-tiap amar putusan hakim
selalu didahului kalimat: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Begitu pentingnya profesi hakim, sampai-sampai ruang lingkup tugasnya
harus dibuatkan Undang-undang.
4
188 ayat (3) KUHAP). Tak hanya itu saja, hakim harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di
bidang hukum, demikian bunyi pasal 32 UU No. 4/2004. 2 Profesi hakim
merupakan profesi hukum, karena pada hakekatnya merupakan pelayanan kepada
manusia dan masyarakat dibidang hukum.
Pedoman etika dan perilaku hakim merupakan inti yang melekat pada
profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral,
untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana dikemukakan di atas tidaklah
mudah karena adanya berbagai hambatan. Hambatan itu antara lain timbul dari
dalam badan peradilan sendiri terutama yang berkaitan dengan kurang efektifnya
pengawasan internal, dan cenderung meningkatnya berbagai bentuk penyalah-
gunaan wewenang oleh hakim. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
2
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1991), hlm. 11.
5
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. (UU Kekuasaan Kehakiman No. 35 thn. 1999 Pasal 27 ayat 1).
Dalam hal ini ketika berada dalam masyarakat yang masih mengenal
hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Hakim
merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan
masyarakat, untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberi keputusan
yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
6
Pada Pasal 13 UU Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-
undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, disebutkan secara jelas
syarat-syarat menjadi hakim, yaitu:3
1) Syarat yang pertama laki-laki Syarat ini menghimpun dua sifat sekaligus:
baligh dan tidak wanita.4
2) Syarat kedua, mempunyai akal untuk mengetahui perintah. Ia harus
mempunyai pengetahuan tentang dzaruri (perintah) untuk diketahui,
hingga ia mampu membedakan segala hal sesuatu dengan benar, cerdas,
dan jauh dari sifat lupa. Dengan kecerdasannya, ia mampu menjelaskan
apa yang tidak jelas, dan memutuskan urusanurusan yang pelik.
3) Syarat ketiga, merdeka (tidak budak). Kekuasaan atas dirinya sendiri tidak
sempurna, oleh karena itu ia tidak bisa berkuasa atas orang lain. Selain itu
kesaksian budak dalam kasus kasus hukum tidak diterima, maka sangat
logis kalau status budak juga menghalangi penerapan hukum olehnya dan
pengangkatan dirinya sebagai hakim. Jika budak telah bebas, ia
diperbolehkan untuk menjabat sebagai hakim, kendati perwalian dirinya
3
Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan, (Yogyakarta : LKiS, 2011), hlm.
172.
4
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyyah Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara
Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2000), hlm. 122.
7
berada ditangan pemiliknya, karena nasab tidak termasuk keriteria dalam
kekuasan hukum.
4) Syarat keempat, Islam. Karena Islam menjadi syarat diterimanya
kesaksian, orang kafir tidak boleh diangkat menjadi hakim untuk kaum
muslimin, bahkan untuk orang-orang kafir.
5) Syarat kelima, Adil. Syarat adil ini berlaku dalam semua jabatan. Adil
ialah berkata benar, jujur, bersih dari hal-hal yang di haramkan, menjauhi
dosa-dosa, jauh dari sifat ragu-ragu, terkontrol ketika senang dan marah,
serta menggunakan sifat muruah (ksatria) dalam agamanya dan dunianya.
6) Syarat keenam, sehat pendengaran dan pengelihatan. Agar dengan
pengelihatan dan pendengaran yang sehat, ia dapat membedakan
pendakwa dengan terdakwa, membedakan pihak yang mengaku dengan
pihak yang tidak mengaku, membedakan kebenaran dengan kebatilan, dan
mengenali pihak yang benar dan pihak yang salah.
Adapun syarat lainnya adalah calon hakim harus pegawai negeri yang
berasal dari calon hakim dan berumur paling rendah 25 tahun. Jika dianalisis dan
diperbandingkan dengan persyaratan yang ada di dalam fiqh, maka ada kesamaan
pandangan bahwa hakim hendaknya berasal dari mereka yang memiliki
kompetensi memadai dan juga memiliki integritas dan kepribadian yang baik,
serta ada kesesuaian antara kemampuan intelektual dan kecerdasan emosional.
Syarat-syarat tersebut merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon
hakim untuk Peradilan Tingkat Pertama. Sebagaimana telah dijelaskan dalam UU
pokok kekuasaan kehakiman, Peradilan Agama terdiri dari Peradilan Tingkat
Pertama, Peradilan Tingkat Banding, dan Peradilan Tingkat Kasasi.
8
a. Syarat pemberhentian hakim secara hormat
yakni terdapat pada pasal 2 yang bunyinya;
9
C. Tugas dan Peran Hakim Dalam Menegakkan Hukum dan
Keadilan
Ada tiga tugas hakim ketika memeriksa perkara, yaitu;
1) Mengkonstatir peristiwa hukum yang diajukan oleh para pihak, apakah
peristiwa hukum yang diajukan itu benar-benar terjadi atau tidak. Hakim
berupaya mengetahui dan meyakini apakah peristiwa hukum seperti yang
telah diajukan tersebut benar adanya atau tidak.
2) Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak kepadanya.
Maksudnya, hakim menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi
itu memiliki hubungan hukum tertentu dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hubungan hukum inilah yang dirijuki dan
dijadikan dasar hukum dalam pengambilan keputusan.
3) Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya, atau memberikan putusan
kepada para pihak yang berperkara.5
Adapun peran hakim sebagai penegak hukum yang independen dan adil
dalam sistem peradilan.
1. Penjaga Independensi
Salah satu peran utama hakim adalah menjaga independensi dan netralitas
nya. Hakim harus beroperasi di luar pengaruh politik, tekanan dari pihak-pihak
tertentu, atau intervensi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi.
Independensi hakim merupakan pondasi penting dalam menjamin adanya keadilan
5
Abdul Halim Talli, Integritas dan Sikap Aktif-Argumentatif Hakim Dalam Pemeriksaan
Perkara, dalam Jurnal Al-Daulati, Vol. 3 , No. 1, Juni 2014, hlm. 2-3.
10
yang obyektif, bebas dari segala bentuk campur tangan yang dapat mempengaruhi
putusan hukum. Dengan menjaga independensinya, hakim dapat menetapkan
keputusan berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku, tanpa ada kekhawatiran
tentang akibat politik atau tekanan dari pihak luar.
11
balik keputusan yang diambil, sehingga masyarakat dapat memahami dasar
hukum dari setiap putusan.
6
Taufiqurrohman Syahuri, Penguatan Fungsi dan Tugas Konstitusional Komisi Yudisial,
(Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia), hlm. 8-9.
12
individu, tidak secara langsung kepada Mahkamah Agung sebagai institusi.
Artinya, Komisi Yudisial tidak melakukan pengawasan terhadap administrasi
pengadilan, seperti: kepegawaian, keuangan, dan administrasi perkara.
BAB III
13
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sesuai dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan
disesuaikan lagi melalui UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa
“hakim pengadilan di bawah mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman dan tidak dapat merangkap jabatan, kecuali
Undang-Undang menentukan lain”. Persyaratan menjadi hakim di semua
lingkungan peradilan hampir sama. Hanya saja ada beberapa ketentuan yang
berbeda, perbedaan yang mutlak terletak pada latar belakang keagamaan.
Seorang calon hakim untuk Peradilan Agama harus berasal dari Agama
Islam. Persyaratan lain yang agak berbeda adalah gelar kesarjanaan. Di Peradilan
Agama, calon hakim harus dari sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang
mengerti hukum islam. Persyaratan ini tidak di temukan untuk peradilan lainnya,
semua sarjana hukum dapat menjadi hakim di selain Peradilan Agama. Tugas
hakim dalam memeriksa suatu perkara dengan selalu berpedoman pada rujukan
peraturan perundangan serta Kode etik profesi dan ditambah pula dengan upaya
yang sungguh-sungguh untuk selalu menggali rasa keadilan di masyarakat, tidak
semua permasalahan ada peraturan perundang-undangannya yang mengatur
masalah tersebut
DAFTAR PUSTAKA
14
Duwi Handoko, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Cet. I (Pekanbaru: Hawa
dan Ahwa, 2015).
15