Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PROFIL IDEAL HAKIM


Disusun untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Etika Profesi Hukum
Dosen Pengampu : Agus Salide, S.H, M.H

Oleh :
Nurnazila : 1173010055
Firda Nisa Syafithri : 1173010057
Alfi Khoiri Faizin : 11730100
Alvi Alvani Riza Fauzi : 1173010156
M. Pahrulroji : 1173010090
M. Hafiz Ummul Husni : 1173010096

PI-A/V
PRODI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada kehadirat Allah SWT, yang mana telah
melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahnya kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah tentang Profil Ideal Hakim ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak dosen
matakuliah Etika Profesi Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum
Saya menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan karena
keterbatasan pengetahuan yang saya miliki. Untuk itu saran atau kritik yang bersifat
membangun dari pembaca selalu saya harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Akhirnya, harapan saya mudah-mudahan makalah yang sederhana ini ada manfaatnya
khusunya bagi saya dan umumnya bagi para pembaca. Aamiin

Bandung 21, Oktober 2019

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan
tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara ini,
fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga- lembaga yang
telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk
dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2),
hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan
penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki kewenangan
tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur
penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya
pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan
kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu,
posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi
mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat
mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara,
dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya
kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan
pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan
keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia,
Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya
dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan
pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi

iii
hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk
mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.
.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana profesi hakim dan karakteristiknya ?
b. Bagaimana pola rekrutmen dan kualitas hakim?
c. Bagaimana hakim yang berintegritas ?

C. Tujuan Penulisan

a. Menjelaskan apa profesi hakim dan karakteristiknya


b. Menyebutkan pola rekrutmen dan kualitas hakim
c. Menjelaskan hakim yang berintegritas

iv
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profesi Hakim dan Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi
hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan
negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk


menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak
memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam
undang-undang.

Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara
hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh
penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan
sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik
lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi
dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah
sebagai berikut.

1. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk
menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar
keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak
boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah.
Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara
horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila

1
hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya
hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja
sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-
kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para
hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
5. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya.
Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap
sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada
masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat
(1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."
6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal
29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam
pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-
pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan
terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan
sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi
luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan
pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya
terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut.
B. Pola Rekrutmen dan Kualitas Hakim

Bagaimana mekanisme perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim


akan menentukan kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yang sejak awal
memang memiliki kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah selayaknya
terjaring dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yang nantinya duduk di muka
ruang pengadilan sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim yang berkualitas
terbaik. Faktanya, berbagai putusan pengadilan yang kontroversial terus bermunculan

2
sehingga berbagai pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa
keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum pada putusan yang
dikeluarkan oleh para hakim bisa jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola
rekrutmen hakim yang selama ini diterapkan di Indonesia.

Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus


Buloggate yang membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak
kelemahan dari segi hukum dan amat mencederai perasaan hukum dan keadilan
sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yang memutus perkara
tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari partai
politik, sedangkan sisanya adalah hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni
Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan perkara korupsi
dana non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas
putusan kasus ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut
menggambarkan adanya disparitas kualitas antara hakim karir dan hakim non- karir.

Dalam buku "The Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli perbandingan
hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem Civil LaW) cenderung
memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri dan pemikiran yang
mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau takut untuk membuat
keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik yang besar. Hal ini
berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common Law yang sebelum
menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, atau akademisi.

Menurut Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik lulusan The University
of Melbourne, pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu individu hakim,
harus menjadi fokus agar sumber daya manusia (SDM) dapat berkontribusi dalam
meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan pengadilan).

Dalam artikelnya, "Pengembangan Integritas Profesi Hakim", Reza


memaparkan kondisi yang ada dalam dunia peradilan berkaitan dengan kualitas
profesi hakim seperti di bawah ini.

1. Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (dan para pemangku otoritas
hukum pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika
Serikat pun mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak usainya Perang Sipil di
negara itu. Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama bersumber dari tidak

3
adanya model kompetensi yang menjadi acuan mengenai karakter ideal yang
sepatutnya dipunyai oleh setiap individu hakim.
2. Dalam survei yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC) tahun 2006, saat ditanyakan kepada para hakim, banyak hakim yang
menyebutkan bahwa penambahan jumlah hakim dan staf pendukung sebagai
prasyarat efektif kedua—dari tujuh faktor— terpenting dalam rangka peningkatan
kualitas peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti justru menyimpulkan bahwa
kualitas personel lembaga kehakiman tidak dipengaruhi oleh jumlah aparat
peradilan. Mutu putusan para hakim berbanding lurus dengan peningkatan
profesionalisme mereka.
C. Pengembangan Integritas Profesi Hakim

Reza menguraikan dua hal yang dapat menjadi alternatif solusi untuk
mengembangkan integritas hakim sebagai berikut.

1. Sebagai sumber daya manusia, para hakim juga idealnya dikenakan perlakuan SDM
(HR/human resources treatment) secara terintegrasi, komprehensif, dan
berkesinambungan. Ini artinya, penilaian ketat tidak hanya diterapkan pada para
kandidat hakim. Setelah menjabat, para kandidat terpilih harus diberikan penilaian
secara berkala pula. Prinsipnya, semakin sentral peran SDM terhadap kinerja suatu
organisasi, semakin ketat pula idealnya manajemen SDM diberlakukan pada
organisasi tersebut.
2. Ke depan perlu dirumuskan acuan kinerja (performance standards atau distinct job
manual) dan perangkat aturan organisasi lainnya sebagai pedoman pengembangan
karir para hakim.

4
BAB III
PENUTUP
   Kesimpulan
Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai
profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan
formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami
secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan
hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan
istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.

5
Daftar Pustaka

Kamil, Iskandar. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of
Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.

 Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta:
Pradnya Pramita, 1996

Suyuthi, Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama" dalam
Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan.
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.

Tasrif, S. "Kemandirian Kekuasaan Kehakiman" dalam Kemandirian Kekuasaan Kehakiman.


Editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia, 1989.

Anda mungkin juga menyukai