C. Duduk Perkara Penggugat dan Tergugat adalah suami-istri yang menikah pada tanggal 20
November 1984 dan telah dikaruniai anak 3 (tiga) orang.
Sejak tahun 2001dirasakan adanya ketidakharmonisan dalam rumah
tangga. Antara tergugat dan Penggugat sering terjadi percekcokan dan
pertengkaran yang berakhir dengan ancaman dari Tergugat. Tergugat
sering melontarkan kata-kata kotor dalam setiap pertengkaran. Bila
terjeadi perselisihan Tergugat sering mengancam Penggugat dengan
senjata tajam yang dapat membahayakan keelamatan Penggugat dan anak-
anak Penggugat.
Kurang lebih 2 (dua) tahun sampai gugatan ini diajukan, tergugat tidak
pernah memberikan nafkah kepada Penggugat. Penggugat telah berusaha
memperbaiki kondisi ekonomi rumah tangga dengan bekerja untuk
membantu tambahan biaya hidup sambil kenunggu adanya pengertian dan
perubahan sikap dari Tergugat, namun Tergugat malahan cemburu dan
mengancam teman kerja Penggugat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon kepada Pengadilan
Agama Bekasi agar menyatakan jatuh talah satu khul’i dari Tergugat
(Jahrudin bin H Sapi’i) terhadap diri Penggugat (Maswanih binti H
Asmawi) dengan iwadl Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)
Pengadilan Agama Bekasi Mengabulkan Gugatan Penggugat, tetapi di
tingkat banding putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi
Agama Bandung; yang menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat
diterima/niet ontvankelijk verklaard (NO)
D. Pertimbangan Judex facti Pengadilan Tinggi Agama Bandung telah salah dalam
G. Komentar/ Dalam cerai talak suami wajib melakukan kewajiban kepada istrinya yang
Analisis diatur dalam pasal 149 KHI ayar 2 “memberi nafkah, maskan, dan ksiwah
kepada bekas isri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dan dijatuhi
talak bain dan nusuz dan dalam keadaan tidak hamil” Sedangkan dalam
cerai gugat sendiri belum terdapat undang-undang yang mengatur
pemberian nafkah iddah.
Ditetapkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 137/K/Ag/2007 sebagai
yurisprudensi menambah warna baru dalam perkembangan hukum Islam di
Indonesia khususnya perkara pemberian nafkah cerai gugat. Hal ini
dikarenakan dalam putusan tersebut Hakim membolehkan memberikan
kewajiban nafkah iddah kepada suami walaupun perceraian diajukan oleh
pihak istri melalui cerai gugat.
Dalam putusan tersebut hakim berhak memberikan hak nafkah iddah
walaupun tidak ada tuntutan dari istri ketika mengajukan cerai dengan
syarat istri tidak nuzyuz.
H. Penutup Dapat disimpulkan bahwa seorang istri yang menggugat cerai suaminya tidak
selalu dihukumkan nusyuz. Meskipun gugatan perceraian diajukan oleh istri
tetapi tidak terbukti istri telah berbuat nusyuz, maka secara ex –officio suami
dapat dihukumkan untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas istrinya,
dengan alasan bekas istri harus menjalani masa iddah, yang tujuannya antara
lain untuk istibra’ yang juga menyangkut kepentingan suami. Pada kasus ini
jelas sekali bahwa Hakim Majelis Mahkamah Agung yang memutus perkara
tersebut telah memuat terobosan hukum baru dan memberikan hak yang sama
antara laki-laki dan perempuan dalam hak cerai. Adapun nusyuz atau tidaknya
seorang istri yang menggugat cerai, harus digali dari fakta-fakta yang
melatarbelaknagi si istri menggugat suaminya bercerai. Apabila faktanya
terpenuhi syarat seorang suami dapat disebut melakukan nusyuz terhadap
istrinya, seperti tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dan
istri dalam hal ini tidak mendapatkan haknya sebagai seorang istri, maka
hakim wajib memberi keputusan yang berkeadilan. Yurisprudensi ini juga
bisa dipakai sebagai tumpuan untuk memutuskan masalah penentuan nafkah
akibat percerain secara ec-officio.