Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Tipe-Tipe Hukum : Hukum Represif, HUkum
Otonom, dan Hukum Responsif” dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan
informasi bagi para pembaca mengenai penyelesaian kasus perdata perihal hukum
kewarisan islam.
Maksud penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Perdata yang diamanatkan oleh Ibu Dedah Jubaedah M. Si. Makalah
ini kami buat berdasarkan buku penunjang yang di miliki dan untuk
mempermudahnya kami juga menyertai berhubungan dengan kemajuan kedepan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini  banyak sekali
kekurangannya baik dalam cara penulisan  maupun dalam isi.
Oleh karna itu kami mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.  Mudah-mudahan
makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis yang membuat dan umumnya
bagi yang membaca makalah  ini. Aamiin

Bandung, 18 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2

C. Tujuan ...................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................3

A. Hukum Represif ………………………………… .................................. 3

B. Hukum Otonom …………………………………………………………5

C. Hukum Responsif ……………………………………………………….6

D. Perbedaan Hukum Represif, Hukum Otonom dan Hukum Responsif.. 13

BAB III PENUTUP .................................................................................................14

A. Kesimpulan .............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 15


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan masyarakat dan hukum terus melaju seakan terus mengikuti


perkembangan zaman. Meskipun kadang perkembangan hukum masih harus tertatih-
tatih mengikuti perkembangan zaman, namun ia berusaha untuk terus memberikan
sumbangsih pada kegiatan dan upaya pengkajian hukum ini. Oleh karena pada
hakekatnya hukum selalu berjalan dibelakang atau hukum selalu tertinggal dari
perkembangan masyarakat, hukum cenderung “tidak mampu” menyelesaikan segala
permasalahan yang ada dalam masyarakat.  Di Indonesia contohnya, kondisi
Indonesia saat ini masih sangat berantakan, masih sangat banyak masalah-masalah
sosial, protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan
kaum urban, penyalahgunaan kekuasaan, dan lain sebagainya.
Hal ini membuktikan bahwa hukum yang ada pada saat ini ternyata tidak
cukup mampu untuk mengatasi segala permasalahan tersebut. Padahal, pada
hakekatnya hukum dituntut untuk bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan
tersebut. Terkait dengan hal itu, penulis mencoba menganalisis teori hukum seperti
apa yang tepat dipergunakan di Indonesia sehingga segala permasalahan tersebut
dapat diatasi. Dalam hal ini penulis mencoba menganalisis teori hukum dari
PhilippeNonet dan Philip Selznick.
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku
dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu
hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal
ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin
pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang
menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya
teori hukum hendaknya tidak “buta” terhadap konsekuensi dan pengaruh sosial
Oleh sebab itu, alangkah baiknya jika dalam merumuskan sebuah ilmu hukum
(aturan hukum khususnya) memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial
dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus
diperhatikan untuk bekerjanya hukumsecara keseluruhan sehingga hukum tidak
hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan belaka. Pendekatan ilmu sosial
memandang dan memberlakukan hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan
kontekstual. Bentuk perubahan pandangan seperti ini dikenal sebagai
perubahanrasionalitas formal menjadi rasionalitas substansif.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat, hukum yang selama ini
ditempatkan pada hukum rasional formal yang hanya memberikan perhatian dan
fungsi pada orientasi pemerintah yang hanya memprioritaskan pada pembangunan
hukum yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyrakat,
agar natinya hukum akan dapat digunakan sebagai instrument untuk orientasi tujuan
dan maksud tertentu. Dengan adanya perubahan pandangan itu maka perlu dilakukan
suatu usaha sebagai “rematerialisasihokum, sehingga terus ada upaya dalam menuju
suatu tatanan hukum modern.
Dengan demikian maka orientasi hukum dan masyarakat harus senantiasa
mendengung-demngungkan hal ini agar program status welfare-regulatory ini akan
berkembang menuju mengacu pada solusi dalam merubah rasionalitas formal ini
menuju rasionalitas substantif, sebab hukum dibentuk tidak untuk hanya kepentingan
hukum itu sendiri, namun untuk kepentingan manusia dan kehidupan masyarakat.
Oleh karena disadari bahwa kehidupan manusia dan masyarakat tanpa aturan hukum
akan kacau atau tidak tertib.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian tipe hukum dalam sosiologi hukum ?
2. Bagaimana perbedaan antara hukum represif, hukum otonom, dan hukum
responsif ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pembagian tipe hukum dalam sosiologi hukum
2. Untuk mengetahui perbedaan antara hukum represif, hukum otonom, dan
hukum responsif
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Represif
Secara sederhana, Hukum Represif dapat diartikan sebagai hukum yang
mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif.
Kekuasaan yang memerintah adalah represif, bilamana ia tidak atau kurang
memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan. Dengan kata
lain, hukum represif adalah alat kekuasaan represif atau menindak. Hukum ini
cenderung tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan rakyat dan atau menolak
legitimasinya. Hukum represif ini sering kali  diwujudkan dalam bentuk penindasan
dan pemaksaan yang terang-terangan dan sebagai ciri utama atau ciri khas hukum
represif ini adalah diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan
rakyat. Singkatnya, hukum represif adalah hukum yang di dalam pelaksanaannya
tidak banyak memasukkan “campur tangan” yang memadai dari masyarakat sehingga
hukum hanya berkembang tanpa dibarengi dengan perkembangan masyarakat
Perhatian paling utama dari hukum represif ini adalah dengan dipeliharanya
atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan
penyelesaian pertikaian dengan cenderung tidak memperhatikan kepentingan rakyat.
Meskipun hukum represif ini memiliki tujuan yang baik seperti menciptakan
keadilan, menciptakan ketertiban umum, menciptakan perdamaian, dan lain
sebagainya, hukum represif ini tidak akan pernah mencapai hakekat dari hukum itu
sendiri karena ia (hukum represif) mengabaikan kepentingan atau kebutuhan dari
masyarakatnya sendiri. Selain itu, hukum represif selalu dihubungkan dengan
kekuasaan, hukum represif ini tidak boleh dilihat sebagai suatu kekuatan kekuasaan
yang terlalu kuat karena akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan
menimbulkan ketidakadilan. Selain itu,   Hukum represif ini tidak menjamin keadilan
substantif sehingga penguasa memiliki potensi atau membuat otoritas penguasa
semakin efektif demi mempertahankan status quo.
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dimana hukum represif
dapat memnifestasikan dirinya yaitu :
 Ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum.
 Pemerintah yang melampaui batas.
 Kebijakan umum yang bert sebelah.
Kebijakan umum yang berat sebelah atau kebijakan yang berpihak ini sering
terjadi dalam masyarakat misalnya saja pembaruan kota-kota dan kebijakan
pengembangan ekonomi di mana program pemerintah cenderung hanya
memperhatikan kepentingan dirinya sendiri atau cenderung memihak pada pihak
investor asing dan mengabaikan atau tidak memperhatikan kepentingan individual
dan kelompok yang lainnya.
Ciri-ciri umum dari hukum represif :
1. Perspektif resmi mendominasi segalanya.
Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dibandigkan
dengan kepentingan masyarakat.
2. Ketiadaan kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan
Masyarakat hanya dapat memeperoleh perlindungan dan jawaban atas
keluhan-keluhannya tetapi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak
mencerminkan keadilan. Apabila ada yang disebut dengan “keadilan” maka
hal itu pun sangatlah terbatas.
3. Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan
mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi social.
4. Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas
kebudayaan.
5. Institusi-Institusi hukum langsung berakses kepada kekuasaan politik, hukum
diidentifikasikan dengan Negara dan tunduk kepada kepentingan dengan
sendiri (rasion d etat)
6. Kelestarian kekuasaan adalah tuga dari pengakuan hukum.
7. Badan-badan pengawasan khusus seperti polisi, menjadi pusar kekuasaan
yang bebas, yang terisolasi dari konteks social yang moderat dan mampu
melawan otoritas politik.
8. Suatu resim “hukum rangkap” melembagakan keadilan kelas, dengan
mengkonsolidasikan dan mengesahkan polah-polah subordinasi social.
9. Peundang-undangpidana mencerminkan dominasi atas adat istiadat dan sangat
menonjolkan moral yang legal (legal moralism)
Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dibandigkan
dengan kepentingan masyarakat.
B. Hukum Otonom
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam
arti ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama
seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk
memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom
memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar
hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu
potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada
kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.
Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah : penekanan kepada
aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan
swasta terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat
dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang
memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat
umum maupun oleh individu-individu swasta.
Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik.
Ahli-ahli hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan
menetapkan hukum, namun isi substantif hukum tidak ditentukan oleh mereka,
melainkan oleh hasil dari tradisi atau keputusan politik. Hukum otonom menunjukkan
tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi potensial hukum untuk memberi
sumbangan kepada keadilan sosial:
Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural
mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-
aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi
terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi. Keadilan
prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan
tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu
mentalitas hukum dan tata tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum
untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif. Kelemahan-kelemahan ini akan
menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang dicita-
citakan. Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk
perkembangan lebih lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.
C. Hukum Responsif
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan
sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat
responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif
konsumen”.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-
institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi
dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur
dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan
yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa
yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi
mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya
dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi
merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep
hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk
mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas. Jawaban dari hukum responsif
adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru.
Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar
hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan
prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-
wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan
ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia
memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif. Dua ciri yang menonjol dari
konsep hukum responsif adalah (a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke
prinsip-prinsip dan tujuan; (b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum
maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam
penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang
kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan
tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial
yang lebih besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada
hasil dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan
yang terikat kepada konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud
memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk
kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang
sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai
terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang
berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada
tempat bagi semua. Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari
suatu etika yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi
kehidupan politik dalam dunia modern. Norma kerakyatan, pertama: membedakan
hukum responsif dari hukum represif dengan memaksakan adanya penampungan bagi
kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang diperintah. Kedua, ia
membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak tuntutan
tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural
yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan integrasi
kepada problem-problem penyelewengan, ketidakpatuhan dan konflik. Ketiga, norma
kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan keputusan.
Salah satu aspek dari penampungan kepentingan manusiawi yang bermacam-
macam adalah penolakan hukum responsif atas moralitas hukum. Nonet dan Selznick
berbicara tentang mengatasi parokhlialisme dan moralitas komunal. Ekspansi dari
partisipasi akan menunjang perkembangan dan implementasinya dari tata tertib
umum. Pada waktu yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Nonet dan Selznick,
partisipasi yang diperluas tidak cukup. Apabila hal ini tidak berjalan bersama-sama
dengan suatu usaha kebijakan pemerintah yang efektif, itu akan dapat mengakibatkan
suatu situasi dalam mana masalah-masalah umum akan dapat mengakibatkan suatu
situasi dalam mana masalah-masalah umum akan diperintah oleh kelompok-
kelompok kepentingan yang kuat dan terorganisasi dengan baik. Mungkin kita dapat
mengatakan bahwa tanpa partisispasi, pemerintah dan administrasi akan menjadi
represif dan tanpa pemerintahan yang baik, maka partisipasi akan menjurus kepada
pemerintahan oleh kepentingan-kepentingan dari pihak yang kuat.
Menuju Hukum yang Memahami Realitas Hukum.
Sebagai bangsa yang telah merdeka selama 63 tahun, predikat sebagai negara
terkorup hingga hari ini masih melekat pada Indonesia. Meningkatnya angka
kemiskinan di setiap tahun masih terus membayangi, ditambah lagi dengan
keburukan moral para elite politik yang kian korup dan memprihatinkan, hingga
berimplikasi pada pesimisme masyarakat terhadap supremasi hukum sebagai garda
depan sebuah bangsa.
Hukum yang ada hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku,
terlalu menekankan pada aspek the legal system, tanpa melihat kaitan antara hukum
dengan persoalan-persoalan masyarakat yang harus ditangani. Di satu sisi, hukum
identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, tapi di sisi lain
terdapat pemahaman hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-
peraturan itu sendiri. Padahal hukum semestinya tidak buta terhadap konsekuensi
sosial-politik yang ada dan tidak kebal terhadap berbagai pengaruh kepentingan.
Memahami kondisi itu, Sabian Utsman, Lektor Sosiologi Hukum STAIN
Palangkaraya, melalui buku ini, berupaya menjawab problematika hukum dewasa ini
yang semakin karut-marut. Dengan mengusung konsep hukum responsif yang
digagas PhilippeNonet dan Philip Selznick, Sabian mengandaikan penerapan sistem
hukum yang responsif di Indonesia. Sebuah sistem hukum yang tidak hanya
mengandung unsur pemaksaan dan penindasan, tapi menekankan aspek pemecahan
problem sosial yang kontekstual, yakni hukum yang memikirkan kenyataan-
kenyataan empiris yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemikiran PhilippeNonet dan Philip Selznick secara garis besar mengupas tiga
klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan
kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu
menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum
sebagai fasilitator dari berbagai respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial
(hukum responsif). Dari ketiga klasifikasi tipe hukum itu, tipe hukum responsiflah
yang paling menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil di Indonesia.
Sehingga model pengembangannya (development model) dapat disusun ulang secara
lebih fokus dan kontekstual.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan
dicapai di luar hukum. Dalam tipe hukum ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan
dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-
nilai tersirat dalam peraturan dan kebijakan, karena pada dasarnya teori hukum
responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan
bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum responsif tidak hanya berorientasi pada rules, tapi juga logika-logika
yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tapi penegakan
hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi
seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa,
hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni
yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat
partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen
masyarakat, baik dari segi individu ataupun kelompok masyarakat, dan juga harus
bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat.
Artinya, produk hukum itu bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan
kekuasaannya.
Dalam model pengembangannya (developmental model), hukum responsif
berupaya memecahkan persoalan mendasar dalam membangun sistem politik-hukum,
di mana tanpa adanya sistem politik-hukum ini mustahil bagi perkembangan hukum
dan politik untuk bergerak ke arah yang lebih baik. Penerapan hukum responsif tidak
terlepas dari integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Wujud dari integrasi yang
sangat dekat ini adalah adanya subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum
terhadap elite-elite yang berkuasa, baik di sektor publik maupun swasta.
Karena selama ini, disadari atau tidak, selain tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat, keberadaan hukum juga menjadi ancaman bagi masyarakat. Pada kondisi
inilah hukum responsif mengisyaratkan bahwa penegakan hukum tidak dapat
dilakukan setengah-setengah. Menjalankan hukum tidak hanya menjalankan undang-
undang, tetapi harus memiliki kepekaan sosial. Sudah waktunya para aparat penegak
hukum responsif sebagai landasan diberlakukannya keadilan sejati dari kenyataan-
kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat.
Dalam buku setebal 108 halaman ini, penulis tidak hanya mengupas wacana
penegakan hukum responsif, tapi juga tentang perbandingan commonlawsystem yang
diterapkan di negara-negara Barat dengan sistem hukum Indonesia yang merupakan
dampak konkordansi dari penjajahan Belanda. Selain itu, pada bagian akhir, penulis
juga menyempurnakannya dengan kajian spiral kekerasan dalam penegakan hukum di
Indonesia.
Hadirnya buku ini sejatinya bukan sekadar untuk menghujat praktik hukum
yang sudah ada yang tampak karut-marut. Tetapi ia mengajak untuk bersikap kritis
sekaligus menawarkan kemungkin solusi terhadap praktek hukum Indonesia sampai
pada aspek yang paling fundamental, yaitu membangun Ilmu Hukum Indonesia
(Indonesian Jurisprudence).
Penegakan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar
untuk menyejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk
kepentingan kaum elite yang berkuasa. Buku ini sekali lagi tidak mengklaim bahwa
hukum responsif adalah pilihan terbaik dari sebuah sistem hukum, meskipun hukum
responsif memberikan tawaran yang menjanjikan atas carut-marutnya kondisi hukum
di Indonesia.
Tipe hukum responsive mengimplikasikan dua hal, yaitu :
1. Hukum harus fungsional pragmatis, berujuan dan rasioal.
2. Tujuan adalan menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang berjalan;
yang berrati tujuan sebagai norma kritik. Dengan demikian mengendalikan
kebebabasan administrative sert amengurangi resiko “kelemahan lembaga”/
Dua cirri yang menonjol dari konsep responsive adalah :
a) Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan.
b) Pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk
mencapainya.
c) Mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan.
d) Dalam model hukum responsive ini, masyarakat dapat menyatakan
ketidaksetujua terhadap doktrin yang dainggap mereka sebagai interpretasi
yang baku dan tidak fleksibel.
e) Dalam perbuatannya produk hukum yang responsif menyerap aspirasi
masyarakat seluas-luasnya (partisipasif), sedangkan produk hukum yang
konservatif lebih di dominasi lembaga-lembaga Negara terutama pihak
eksekutif (sentralistik).
f) Cerminan isi produk hukum yang responsive adalah aspiratif, dalam arti
mencerminkan kehendak-kehendak dan aspirarasi umum masyarakat,
sedangkan produk hukum yang konservatif positifitik-instrumentalistik, dalam
arti mencerminkan kehednak atau memberikan justifikasi bagi kehendak-
kehendak dan program pemerintah.
g) Cakupan isi hukum yang responsive itu biasanya rinci, mengatur hal-hal
secara jelas dan cukup detail, sehinngga tidak dapat ditafsir secara sepihak
oleh lembaga eksekutif, sedangkan pada hukum konservatif biasanya di muat
hal-hal yang poko-pokok dan ambigu (makna ganda), sehingga member
peluang bagi pmerintah untuk membuat penafsiran seacar sepihak melalui
berbagi peraturan pelaksaaan (interpretative).
h) Tujuan hukum berdasar kompetensi.
i) Keadilan subtansi yang di cari.
j) Aturan hukum tunduk kepada prinsip/asas/doktrin dan kebijaksanaan
k) Moralitas kerja sama (moralitas rakyat).
l) Aspirasi hukum dan politik berintegrasi.
Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam
penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara
tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi
merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari
tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya.
Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil dan dengan demikian
membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang terikat kepada
konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan
penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada
fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat
menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai
terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang
berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana
ada tempat bagi semua.
Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika
yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan
politik dalam dunia modern. Norma kerakyatan, pertama: membedakan hukum
responsif dari hukum represif dengan memaksakan adanya penampungan bagi
kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang diperintah. Kedua, ia
membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak tuntutan
tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural
yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan
integrasi kepada problem-problem penyelewengan, ketidakpatuhan dan konflik.
Ketiga, norma kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan
keputusan.
Salah satu aspek dari penampungan kepentingan manusiawi yang bermacam-
macam adalah penolakan hukum responsif atas moralitas hukum. Nonet dan
Selznick berbicara tentang mengatasi parokhlialisme dan moralitas komunal.
Ekspansi dari partisipasi akan menunjang perkembangan dan implementasinya
dari tata tertib umum. Pada waktu yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Nonet
dan Selznick, partisipasi yang diperluas tidak cukup. Apabila hal ini tidak berjalan
bersama-sama dengan suatu usaha kebijakan pemerintah yang efektif, itu akan
dapat mengakibatkan suatu situasi dalam mana masalah-masalah umum akan
dapat mengakibatkan suatu situasi dalam mana masalah-masalah umum akan
diperintah oleh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat dan terorganisasi
dengan baik. Mungkin kita dapat mengatakan bahwa tanpa partisispasi,
pemerintah dan administrasi akan menjadi represif dan tanpa pemerintahan yang
baik, maka partisipasi akan menjurus kepada pemerintahan oleh kepentingan-
kepentingan dari pihak yang kuat.
D. Perbedaan Antara Hukum Represif, Hukum Otonom dan Hukum Responsif.
  HUKUM RESPONSIF HUKUM OTONOM HUKUM RESPONSIF
TUJUAN HUKUM Ketertiban Legitimasi Kompetensi
LEGITIMASI Ketahanan sosial dan Keadilan prosedural Keadilan substansif
tujuan negara
(raisond’etat)
PERATURAN Akeras dan rinci Luas dan rinci; mengikat Subordinat dari prinsif dan
namun berlaku lemah penguasa maupun yang kebijakan
terhadap pembuat dikuasai
hukum
PERTIMBANGAN Ad hoc: memudahkan Sangat melekat pada Purposif (berorientasikan
mencapai tujuan dan otoritas legal; rentan tujuan); perluasan kompetensif
bersifat partikular terhadap formalisme dan kognitif
legalisme
DISKRESI Sangat luas; Dibatasi oleh peraturan; Luas, tetapi tetap sesuai
oportunistik delegasi yang sempit dengan tujuan
PAKSAAN Ekstensif; dibatasi Dikontrol oleh batasan- Pencarian positif bagi berbagai
secara lemah batasan hukum alternatif, seperti intensif,
sistem kewajiban yang mampu
bertahan sendiri
MORALITAS Moralitas komunal; Moralitas kelembagaan; Moralitas sipil; “ kerja sama”
moralisme hukum; yakni dipenuhi dengan
“moralitas integritas proses hukum
pembatasan”
POLITIK Hukum subordinat Hukum “independen” Terintegrasinya aspirasi hukum
terhadap politik politik; pemisahan dan politik; keterpaduan
kekuasaan kekuasaan kekuasaan
HARAPAN AKAN Tanpa syarat; Penyimpangan peraturan Pembangkangan dilihat dari
KETAATAN ketidaktaatan per yang dibenarkan, misalnya aspek bahaya substantif;
se dihukum sebagai untuk menguji validitas dipandang sebagai gugatan
pembangkangan undang-undang atau terhadap legitimasi
perintah

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam
masyarakat, yaitu:
(1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan refresif, (hukum represif),
(2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan refresi dan
melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan
(3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan
aspirasi sosial (hukum responsif).
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan
responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam
beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum
dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-
tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen
bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang
langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus
pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan
tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif
namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.
Perbedaan dari ketiga hukum tersebut dapat dilihat dari segi tujuannya,
legitimasi, peraturan, pertimbangan, diskresi, paksaan, moralitas, politik, dan
harapan akan ketaatan

DAFTAR PUSTAKA
Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa
Transisi, (Terj. Rafael Edy Bosco), HuMa, Jakarta, 2003.

Anda mungkin juga menyukai