Anda di halaman 1dari 11

RESUME

SOSIOLOGI HUKUM

Teori Hukum Kritis (Critical Legal Studies)


Menurut Roberto M. Unger
PEMBAHASAN

A. Teori Hukum Kritis (Critical Legal Studies)

Critical Legal Studies (Teori Hukum Kritis) yang kemudian akan disingkat

CLS berkembang di Amerika Serikat pada dasawarsa 1970an, terutama melalui

Conference on Critical Legal Studies pertama yang diselenggarakan pada

tahun 1977 yang mendapat dukungan dari Critique du Droit di Perancis dan

Critical Legal Conference di Inggris. Gerakan CLS tumbuh dan berkembang

dalam periode kekecewaan era pasca perang Vietnam untuk mengembangkan

gagasan mengenai hukum dan lembaga hukum dengan menciptakan suatu

pandangan alternatif mengenai hukum dan masyarakat guna meningkatkan visi

subtantif mengenai kepribadian manusia (A.Mukhtie Fadjar: 2014). Aliran atau

teori CLS ini memiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut :

1) CLS ini mengeritik hukum yang berlaku yang dalam kenyataannya

memihak ke politik dan sama sekali tidak netral.

2) CLS ini mengeritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu

3) CLS ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan individual dengan

batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan

emansipasi kemanusiaan.

4) CLS ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan

pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran CLS ini menolak

keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum.


5) CLS ini menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga

perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value), yang merupakan

karakteristik dari paham liberal. Dengan demikan, aliran CLS ini menolak

kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih menekankan pada teori

yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial yang praktis

(Munir Fuady 2003).

Menurut Pendapat Ahli Hukum Amerika Serikat yang dikenal sebagai

pencetus CLS yakni Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis atau CLS sangat

concern mengeritik hukum yang dilahirkan dari birokrasi (bureaucratic law) atau

dalam bahasa CLS disebut Hukum Pengatur (regulartory law). Hukum birokratis

menurut CLS terdiri dari peraturan-peraturan eksplisit yang ditetapkan dan

ditegakkan oleh pemerintah yang sah. Dimanapun hukum birokratis muncul,

ada satu negara yang relatif secara efektif menentukan kekuasaan berbagai

kelompok yang boleh dilaksanakan terhadap satu sama lain. Keadaan ini

konsisten dengan pengakuan bahwa dari perspektif yang lebih luas, relasi-

relasi kekuasaan di antara kelompok-kelompok ini dapat menentukan seperti

apa pemerintahannya dan apa yang dapat diperbuat pemerintahan itu (Roberto

M. Unger: 2008)
B. Pendekatan Peraturan perundang-undangan dan Peradilan yang
Otonom

Hukum pengatur (bureaucratic law) tidak memiliki karakteristik universal

kehidupan sosial, hukum ini hanya terbatas pada situasi-situasi yang

memisahkan negara dengan masyarakat. Sebagian standar perilaku berbentuk

preskripsi (peraturan yang mengikat) eksplisit, larangan atau izin yang ditujukan

pada kategori umum orang dan tindakan. Tipe seperti ini merupakan ciri utama

hukum birokratis karena hukum ini menjadi bagian dari wilayah administrasi

penguasa terpusat dan pejabat-pejabat khususnya. Hukum seperti ini sengaja

diberlakukan oleh pemerintah, bukan tercipta secara spontan oleh masyarakat

(Roberto M. Unger: 2008). Dengan kata lain Pemerintah yang mewakili

birokrasi sering kali mengeluarkan peraturan yang sangat tidak relevan dengan

kondisi masyarakat terkini atau cenderung merugikan masyarakat, dan disinilah

CLS bekerja untuk mengkritik dan membongkar serta memperbaiki buruknya

implementasi hukum birokrasi.

Lebih lanjut Roberto M. Unger menjelaskan bahwa Teori Hukum umum

seringkali digunakan sebagai perlindungan ideologis bagi keputusan-keputusan

yang diperintahkan oleh kekuasaan dan pemeliharaan ketidakadilan. Dari

ketimpangan teori hukum umum tersebut muncul berbagai pertentangan-

pertentangan yang dapat mengakibatkan keputusan menjadi melantur.

Selanjutnya apabila kita mengamati apa yang diajarkan oleh aliran CLS,

ternyata premise yang dikembangkan oleh aliran legal realisme juga juga

menjadi inspirasi penganut CLS. Menurut penganut CLS karena hukum bukan
berdasarkan kebenaran yang objektif, melainkan hanya berdasarkan

kekuasaan, maka hukum hanya merupakan alat kekuasaan bagi penguasa

(Munir Fuady 2003).

C. Hukum dengan Ideologi dan Politik

Pada saat lahirnya CLS, para penganutnya mengkritik pandangan

tradisional atas hukum dalam kenyataannya, baik hukum di negara maju seperti

hukum di tempat lahirnya ajaran ini, yaitu Amerika Serikat, tetapi juga

sebenarnya lebih terasa kritikannya itu untuk hukum yang belum berkembang di

negara-negara dunia ketiga, termasuk hukum yang ada di Indonesia. Karena itu

tidak mengherankan jika semua pandangan kaum fundamentalis dalam hukum

yang dalam hal ini dikritik oleh CLS jelas berlaku juga di Indonesia. Bahkan

anggapan kaum fundamentalis hukum seperti hukum itu objektif, tertentu dan

netral, yang menjadi bulan-bulanan kritikan dari CLS tersebut sebenarnya

bukan merupakan hukum dalam kenyataan di Indonesia. Atau dengan kata lain

hukum di Indonesia jelas tidak objektif, tidak tertentu dan tidak netral (Munir

Fuady 2003).

Para teoritisi postmodern percaya, pada prinsipnya hukum tidak

mempunyai dasar yang objektif dan tidak ada yang namanya kebenaran

sebagai tempat berpijak dari hukum. Dengan kata lain, hukum tidak mempunyai

dasar berpijak, yang ada hanya kekuasaan. Akhir-akhir ini, mereka yang

disebut juga dengan golongan antifoundationalistis, telah mendominasi pikiran-

pikiran tentang teori hukum dan merupakan pembela gerakan Critical Legal
Studies. Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral

atau tidak bermoral melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan

dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling berkuasa.

D. Kritik terhadap Teori Hukum Kritis

Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada

tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan kelanjutan dari

aliran hukum realisme Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang

berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini

yang bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi penggerak Critical Legal

Studies adalah Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Mark

Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz, dan yang lainnya.

Perbedaan utama antara Critical Legal Studies dengan pemikiran hukum

lain yang tradisional adalah bahwa Critical Legal Studies menolak pemisahan

antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik. Tidak ada pembedaan model

logika hukum; hukum adalah politik dengan baju yang berbeda. Hukum hanya

ada dalam suatu ideologi. Critical Legal Studies menempatkan fungsi

pengadilan dalam memahami hukum sebagai perhatian utama.

Walaupun menolak dikatakan sebagai tipe pemikiran Marxis yang

membedakan antara suprastruktur dan infrastruktur serta hukum sebagai alat

dominasi kaum kapitalis, Critical Legal Studies mendeklarasikan peran untuk

membongkar struktur sosial yang hierarkhis. Struktur sosial merupakan wujud

ketidakadilan, dominasi, dan penindasan. Tugas kalangan hukum adalah


membawa perubahan cara berpikir hukum dan perubahan masyarakat.

Pemikiran ini terinspirasi pemikiran filsafat kritis dari Jurgen Habermas, Emil

Durkheim, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, Antonio Gramsci, dan lain-lain.

Jurgen Habermas, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, dan Antonio Gramsci

adalah tokoh-tokoh utama mahzab kritis.

Fokus sentral pendekatan critical legal studies adalah untuk mendalami

dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum dan

praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem hubungan-

hubungan yang oppressive (bersifat menindas) dan tidak egaliter. Teori kritis

bekerja untuk mengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajagi

peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan sosial yang

dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan (Peter Fitzpatrict dan

Alan Hunt: 1987). Dalam perkembangan lebih lanjut, pendekatan critical legal

studies telah melahirkan generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran

dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk merekontruksi kembali

realitas sosial yang baru.

Aliran critical legal studies memiliki beberapa karakterisik umum sebagai

berikut (Peter Fitzpatrict dan Alan Hunt: 1987):

1. Mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan

sama sekali tidak netral.

2. Mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu.


3. Mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual sesuai

dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak

berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan. Karena hal itulah, maka

tidak mengherankan apabila pada perkembangannya di kemudian hari

Critical Legal Studies ini melahirkan pula Feminist Legal Theory dan

Critical Race Theory.

4. Kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan

pengetahuan yang benar-benar objekif. Karena itu, ajaran ini menolak

keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum. Aliran critical legal

studies menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum,

dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan

kepastian hukum yang objektif, sehingga mereka mengubah haluan

hukum untuk kemudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan

emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.

5. Menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga

perbedaan antara fakta dan nilai yang merupakan karakteristik dari

paham liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori

murni (pure teory), tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki

daya pengaruh terhadap transfomasi sosial yang praktis. Sejalan dengan

hal itu, namun dalam kalimat yang berbeda, Gary Minda dengan

mengutip pendapat dari James Boyle mengatakan bahwa, “Critical Legal


Studies offered not merely a theory of law, but a hopeful self-conception

of a politically active, socially responsible [vision] of a noble calling”.

Pada prinsipnya, critical legal studies menolak anggapan ahli hukum

tradisional yang mengatakan sebagai berikut (Munir Fuady: 2010) :

1. Hukum itu objektif. Artinya, kenyataannya adalah tempat berpijaknya

hukum.

2. Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang

pasti dan dapat dimengerti.

3. Hukum itu netral, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.

Di samping menolak ketiga anggapan tersebut, para penganut ajaran

critical legal studies mengajukan pandangannya sebagai berikut (Munir Fuady:

2010) :

1. Hukum mencari legitimasi yang salah; Dalam hal ini, hukum mencari

legitimasi dengan cara yang salah yaitu dengan jalan mistifikasi, dengan

menggunakan prosedur hukum yang berbelit, dan bahasa yang susah

dimengerti, yang merupakan alat pemikat sehingga pihak yang ditekan

oleh yang punya kuasa cepat percaya bahwa hukum adalah netral.

2. Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi; Dalam hal ini, pihak

penganut critical legal studies percaya bahwa setiap kesimpulan hukum

yang telah dibuat selalu terdapat sisi sebaliknya, sehingga kesimpulan

hukum tersebut hanya merupakan pengakuan terhadap pihak

kekuasaan. Dengan hukum yang demikian, mereka akan berseru ”pilih


sisi/pihakmu, tetapi jangan berpura-pura menjadi objektif”. Dalam hal ini,

hakim akan memihak pada salah satu pihak (yang kuat) yang dengan

sendirinya akan menekan pihak lain.

3. Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum; Ahli hukum

yang tradisional percaya bahwa prinsip yang mendasari setiap hukum

adalah ”pemikiran yang rasional”. Akan tetapi menurut penganut aliran

ini, pemikiran rasional itu merupakan ciptaan masyarakat juga, yang

merupakan pengakuan terhadap kekuasaan. Karena itu, tidak ada

kesimpulan hukum yang valid yang diambil dengan jalan deduktif

maupun dengan verifikasi empiris.

4. Hukum Tidak Netral; Penganut critical legal studies berpendapat bahwa

hukum tidak netral, dan hakim hanya berpura-pura atau percaya secara

naif bahwa dia mengambil putusan yang netral dan tidak memihak

dengan mendasari putusannya pada undang-undang, yurisprudensi atau

prinsip-prinsip keadilan. Padahal mereka, selalu bisa dan selalu

dipngaruhi oleh ideologi, legitimasi, mistifikasi yang dianutnya untuk

memperkuat kelas yang dominan.


DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo. Satjipto. Ilmu Hukum. Cet 6. Citra Aditya Abadi, Bandung, 2006.
HS. Salim. Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Rajawali Pers, Jakarta,
2009.
Syahrani. H. Riduan. Kata Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum. Alumni,
Bandung, 2009.
Dansur. Peranan Hakim Dalam Penemuan Hukum. Makalah, 1 Nopember
2006.
H. R. Otje Salman S., & Anton F. Susanto. Teori Hukum, Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama.
Peter Fitzpatrict dan Alan Hunt. Critical Legal Studies. Basil Blackwell Ltd,
New York, 1987.
Fuady. Munir. Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum).
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Fadjar, A.Mukhtie. Teori-Teori Hukum Kontemporer. Cet. II. Malang, Setara
Press, 2014.
Unger, Roberto M. Teori Hukum Kritis. Cet. II. Bandung, Nusa Media, 2008.

Anda mungkin juga menyukai