Anda di halaman 1dari 30

A.

Judul

Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menolak serta Mengabulkan Pemberian

Nafkah Iddah kepada Mantan Istri yang Dikategorikan Nusyuz

B. Latar Belakang

Berpasang pasangan merupakan salah satu sunnatullah atas seluruh

ciptaan-Nya, tidak terkecuali manusia, hewan dan tumbuh tumbuhan. Berpasang

pasangan merupakan pola hidup yang ditetapkan oleh Allah SWT. Bagi umat-Nya

sebagai sarana untuk memperbanyak keturunan dan mempertahankan hidup

setelah Dia membekali dan mempersiapkan masing masing pasangannya agar

dapat menjalankan peran mereka untuk mencapai tujuan tersebut dengan sebaik

baiknya.1

Sarana yang diberikan oleh Allah terhadap laki-laki dan perempuan untuk

menjalin hubungan yang sah tercakup dalam sebuah ikatan yang sakral berupa

pernikahan, yang berdasarkan ridha keduanya. Dari ikatan tersebut akan

memunculkan rasa kasih sayang, cinta mencintai antara laki laki dan perempuan

tersebut. Pernikahan adalah salah satu satu sunnah dan menyebabkan ikatan lahir

batin melalui akad dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia.

Perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 pasal (1) adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengn seorang wanita sebagai suami istri

dengn tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yag bahaga dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Menurut Hukum Islam pernikahan

1
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Aulia Rahma,
Cet II, Jakarata: PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013, hlm.193
2
Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan
Di Indonesia , Jakarta: Djambatan 1985 , hlm. 3

1
ialah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi

sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual

dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kash sayang, kebajikan dan

saling menyantuni.3

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 perkawinan

adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholidzan untuk menaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.4 Tidak hanya bernilai ibadah

kepada Allah saja, namun mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak

dan kewajiban antara suami dan istri. Oleh karena itu, antara hak dan kewajiban

merupakan hubungan timbal balik antara suami dengan istrinya. 5 Hak dan

kewajiban suami istri dalam Undang Undangperkawinan diatur di dalam pasal 30-

34. Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 77-84. Pengaturan tentang

hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam lebih

sistematis dibandingkan dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.6

Namun, dalam menjalani bahtera rumah tangga itu tidak selalu mulus,

pasti ada kesalah pahaman, kekhilafan dan pertentangan. Percekcokan dalam

menangani permasalahan keluarga ini, ada pasangan yang dapat mengatasinya.

Namun, percekcokan itu perlu ada ditengah dinamika keluarga sebagai bumbu

keharmonisan dan variasi rumah tangga, tentunya dalam porsi yang tidak terlalu

3
Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991, hlm. 62
4
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, cet 4 , jakarta: CV Akademika Presindo, 2010
hlm. 114
5
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,cet, II , Jakarta : Sinar Grafika,2007,
hlm. 51
6
A.rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia , Jakarta: Rajawali Press, 2013, hlm.148-
149

2
banyak. Namun ada juga keluarga yang tidak dapat mengatasi percekcokan yang

terjadi di dalam keluarga tersebut. Jika keutuhan keluarga tersebut dipertahankan,

baik suami atau istri akan mengalami penderitaan. Dimana masing-masing

pasangan merasa teraniaya oleh yang lainnya.7

Talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan

sebuah ikatan perkawinan, dengan demikian ikatan perkawinan dapat putus dan

tatacaranya telah diatur didalam fiqh maupun didalam Undang-Undang nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Talak yang diucapkan oleh suami merupakan

pelepasan ikatan pernikahan. Ucapan talak ini terjadi dikarenakan oleh beberapa

sebab salah satunya yaitu terjadinya nusyuz oleh istri. Nusyuz dalam artian

kedurhakaan yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi

dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan, dan hal-hal yang dapat

mengganggu keharmonisan rumah tangga. Talak yang terjadi dalam hal tersebut

adalah talak raj’i yaitu talak dimana suami diberi hak untuk kembali kepada

istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya itu masih dalam massa iddah.

Para ulama bersepakat bahwa wanita yang dicerai dengan talak raj’i memiliki hak

nafkah dan tempat tinggal, mengingat bahwa statusnya sebagai istri belum lepas

semuanya karenanya tetap memiliki sebagian hak-hak sebagai istri. Kecuali ia

dianggap nusyuz (melakukan hal hal yang dianggap durhaka yakni melanggar

kewajiban taat kepada suaminya) maka ia tidak berhak apa-apa.

7
Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : PT
Semesta Rakyat Merdeka,2012,hlm. 172-173

3
Hal ini pun dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu dalam pasal

152 yang berbunyi “Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas

suaminya, kecuali bila nusyuz”

Serta dalam pasal 149 huruf (b) KHI yang berbunyi “Apabila terjadi perceraian

suami wajib memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama

masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam

keadaan tidak hamil”

Dalam praktiknya banyak sekali para suami mengajukan permohonan

cerai talak ke pengadilan Agama setempat, dengan berbagai alasan yaitu salah

satunya dengan alasan istri melakukan nusyuz.

Sebagai contoh Putusan Pengadilan Agama Amuntai nomor

70/Pdt.G/2013/PA.Amt. Dimana pemohon mengajukan permohonan cerai

dikarenakan termohon tidak taat pada pemohon untuk diajak tinggal di rumah

orangtua pemohon, lalu termohon sebagai penggugat rekonvensi menggugat

nafkah iddah sebesar Rp. 1.000.000, namun dalam pertimbangannya hakim

menolak permintaan tersebut dikarenakan termohon/penggugat rekonvensi telah

terbukti nusyuz dengan tidak menaati perintah suami untuk tinggal di rumah orang

tua pemohon, dengan ini penggugat rekonvensi dalam haknya mendapat nafkah

iddah gugur sesuai dengan pasal 149 huruf (b) jo pasal 152 Kompilasi Hukum

Islam.

Namun berbeda halnya dalam Putusan lain :

1. Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor 98/Pdt.G/2016/PTA Smg.

Yang membatalkan putusan PA Kudus. Dimana dalam putusan tersebut

4
pembanding/penggugat rekonvensi menggugat nafkah iddah kepada

terbanding/tergugat rekonvensi karena pembanding keberatan atas putusan

Pengadilan Agama Kudus yang menetapkan bahwa pembanding

merupakan istri yang nusyuz dengan keluar rumah makan bersama laki-

laki lain dengan tidak meminta izin terlebih dahulu oleh suami, sehingga

tidak berhak atas nafkah iddah. Hakim setelah membaca dan meneliti

perkara yang ada maka memutuskan menguatkan putusan Pengadilan

Agama Kudus bahwa pembanding merupakan istri yang nusyuz, namun

hakim juga mengabulkan tentang nafkah iddah bagi pembanding dengan

menghukum terbanding membayar nafkah iddah sebesar Rp. 4.500.000 ,

karena menurut pertimbangan hakim nafkah iddah dapat ditetapkan

terlebih dahulu sebelum terjadi perceraian, jika demikian iddah belum

dijalani sehingga bekas istri belum dapat dinilai apakah nantinya nusyuz

atau tidak.

2. Pengadilan Tinggi Agama Surabaya No. 160/Pdt.G/2009/PTA.Sby. Yang

membatalkan putusan PA Kabupaten Kediri. Dimana dalam putusan

tersebut pembanding menyatakan keberatan dengan putusan hakim tingkat

pertama yang menurut pembanding seharusnya dengan hak ex officio

hakim tingkat pertama mempertimbangkan beberapa haknya yaitu nafkah

iddah. Setelah mempelajari memori banding dalam pertimbangannya.

hakim membenarkan bahwa pembanding telah dikategorikan sebagai istri

yang nusyuz karena telah berselingkuh dengan laki laki lain meskipun

dalam hubungan badan itu kelamin kelamin laki-laki lain belum masuk ke

vagina pembanding karena ketauan terbanding dan pembanding mengakui

5
di dalam persidangan, tetapi hakim juga memberi hak nya sebagai istri

yang ditalak oleh suami yaitu memberi nafkah iddah sebesar Rp.

1.350.000 dengan pertimbangan bahwa nafkah iddah dapat ditetapkan

terlebih dahulu sebelum terjadi perceraian, jika demikian iddah belum

dijalani sehingga bekas istri belum dapat dinilai apakah nantinya nusyuz

atau tidak.

Contoh dua kasus diatas terbukti bahwa hakim dalam memberi putusan tentang

nafkah iddah kepada istri yang nusyuz tidak sesuai dengan aturan hukum positif di

Indonesia yaitu dalam pasal 149 huruf (b) jo pasal 152 Kompilasi Hukum Islam.

Adanya perbedaan pertimbangan hakim antara putusan diatas, hakim

melakukan interpretasi yang berbeda beda dalam memutuskan kasus yang sama

tentang nafkah iddah, yang mana akan peneliti analisis pada Putusan Pengadilan

Agama Amuntai nomor 70/Pdt.G/2013/PA.Amt, putusan Pengadilan Tinggi

Agama Semarang nomor 98/Pdt.G/2016/PTA.Smg dan putusan Pengadilan Tinggi

Agama Surabaya nomor 160/Pdt.G/2009/PTA.Sby. Perbedaan antara putusan

tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai

permohonan nafkah iddah. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik

untuk meneliti lebih lanjut dengan judul “DASAR PERTIMBANGAN HAKIM

DALAM MENOLAK SERTA MENGABULKAN PEMBERIAN NAFKAH

IDDAH KEPADA MANTAN ISTRI YANG DIKATEGORIKAN NUSYUZ”

Berikut adalah tabel penelitian terdahulu yang berkaitan dan mempunyai

kemiripan tema dengan penelitian yang dilakukan penulis.

Tabel 1

6
Daftar Penelitian Terdahulu

No Tahun Nama Peneliti Judul Penelitian Rumusan Keterangan


. Penelitian dan Asal Masalah
Peneliti
1. Januari Irfan Nur Pandangan Hakim 1. Apakah Persamaan dengan
2016 Hasan, Terhadap Hak korban KDRT penulisan
(Fakultas Nafkah Iddah Pada (bekas istri) sebelumnya adalah
Syariah dan Kasus Cerai Gugat mendapatkan membahas terkait
Hukum Karena KDRT hak (nafkah pemberian nafkah
Universitas iddahnya) iddah.
Islam Negeri dalam perkara Perbedaannya
Syarif cerai gugat adalah membahas
Hidayatullah) karena KDRT? pemberian nafkah
2. Bagaimana iddah kepada istri
Pandangan yang dikategorikan
para hakim nusyuz.
Pengadilan
Agama Bekasi
terhadap
nafkah iddah
yang diberikan
oleh mantan
suami kepada
mantan istri
yang
mengajukan
cerai gugat
dengan alasan
KDRT?

C. Rumusan Masalah

Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menolak serta mengabulkan pemberian

nafkah iddah kepada mantan istri yang dikategorikan nusyuz telah sesuai dengan

Kompilasi Hukum Islam?

D. Tujuan Penelitian

7
Untuk menganalisis mengenai dasar hukum pertimbangan hakim dalam

pemberian nafkah iddah kepada mantan istri yang dikategorikan nusyuz telah

sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dengan dilakukannya penelitian ini yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan

menambah kontribusi pengetahuan khususnya dalam bidang perceraian

mengenai hak-hak istri ketika terjadi perceraian dan hal-hal yang dapat

menggugurkan hak-hak tersebut.

2. Manfaat Praktis

2.1 Bagi Akademisi

Diharapkan hasil dalam penelitian ini dapat memberikan informasi

mengenai dasar dan pertimbangan hakim dalam menolak serta

mengabulkan pemberian nafkah iddah kepada mantan istri yang

dikategorikan nusyuz.

2.2 Bagi Hakim

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu masukan

dalam memberikan penetapan maupun putusan dalam lingkup hukum

perdata di waktu yang akan datang mengenai pemberian nafkah iddah

kepada mantan istri yang dikategorikan nusyuz.

2.3 Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pengetahuan

baru bagi masyarakat dalam mengetahui pertimbangan hakim tentang

8
pemberian nafkah iddah kepada mantan istri yang dikategorikan

nusyuz.

F. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Pertimbangan Hakim

1.1 Pengertian Pertimbangan Hakim

Salah satu nilai penting dalam penentuan putusan hakim yang

mengandung kepastian, keadilan dan kemanfaatan adalah

pertimbangan hakim. Pengadilan Tinggi ataupun Mahkamah Agung

dapat membatalkan putusan yang berasal dari pertimbangan hakim

apabila hakim tersebut tidak teliti dan tidak cermat. 8 Hakim sebagai

penegak hukum wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

yang ada dalam masyarakat.9 Dalam memutus atau menetapkan suatu

perkara, hakim mempertimbangkan dengan cara menghubungkan

ketentuan perundang-undangan dan hukum yang hidup di tengah

masyarakat. Ketika berada dalam masyarakat yang menggunakan

hukum tidak tertulis, hakim harus terjun di dalam masyarakat untuk

mengenal hukum tersebut sehingga hakim dapat memeberi keputusan

yang sesuai dan menjunjung rasa keadilan.

Rechtfinding dapat digunakan oleh hakim ketika kasus yang

dihadapi belum ada hukumnya atau undang-undang yang mengatur

tidak jelas. Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim merupakan

kewajiban hakim yang berkaitan dengan asas ius curia novit yaitu

8
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar
Cetakan V, Yogyakarta, 2004, hlm. 140
9
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan
Kehakiman

9
hakim dianggap mengetahui hukum. Pembentuk undang-undang

berpendirian bahwa hukum tidak hanya dilakukan melalui hukum

positif tetapi dapat diperoleh dari putusan pengadilan.10

Pada dasarnya suatu pertimbangan hakim hendaknya memuat tentang:

1. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil yang tidak

disangkal

2. Ada analisis yuridis terhadap putusan yang menyangkut fakta

atau bukti dalam persidangan.

3. Adanya semua bagian dari petitum penggugat harus

dipertimbangkan atau diadili satu demi satu sehingga hakim

menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidak dan dapat

dikabulkan atau tidak tuntutan tersebut dalam amar putusan.

2. Tinjauan Umum Tentang Nusyuz

2.1 Pengertian Nusyuz

Nusyuz secara bahasa berasal dari kata nazyaya-yansyuzunasyazan

wa nusyuzan, yang berarti meninggi, menonjol, durhaka, menentang,

atau bertindak kasar.11 Sikap tidak patuh dari salah seorang diantara

suami dan isteri atau perubahan sikap suami atau isteri.

Dalam pemakaiannya, arti kata annusyuuz ini kemudian

berkembang menjadi al-’ishyaan yang berarti durhaka atau tidak

patuh.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2009, hal 47


10

11
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta :
Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1418-1419

10
Menurut terminologis, nusyuz mempunyai beberapa pengertian di

antaranya: Menurut fuqaha Hanafiyah seperti yang dikemukakan

Saleh Ganim mendefinisikanya dengan ketidaksenangan yang terjadi

diantara suami-isteri. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa

nusyuz adalah saling menganiaya suami isteri. Sedangkan menurut

ulama Syafi’iyah nusyuz adalah perselisihan diantara suami-isteri,

sementara itu ulama Hambaliyah mendefinisikanya dengan

ketidaksenangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan

pergaulan yang tidak harmonis.

Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah “Mengetahui dan meyakini

bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah

dari pada taat kepada suami”.

Nusyuz menurut Slamet Abidin dan Aminudin adalah kedurhakaan

yang dilakukan istri terhadap suaminya. Apabila istri menentang

kehendak suami tanpa alasan yang dapat diterima menurut hukum

syara’, maka tindakan itu dipandang durhaka.

Isteri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam

didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau

melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan

batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan

dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-

baiknya.

2.2 Macam-macam Nusyuz

Ada 2 macam nusyuz, yaitu:

11
a. Nusyuz isteri terhadap suami

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan oleh isteri

terhadap suaminya, hal ini bisa terjadi dalam rumah tangga dengan

bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang

menganggu keharmonisan rumah tangga.12

Wajib bagi suami pada saat itu untuk mencari sebab terjadinya

perubahan istri, ia berterus terang dengannya mengenai apa yang

terjadi, maka diharapkan istri dapat menjelaskan sebab yang

membuatnya marah, yang tidak dirasakan oleh suami. Oleh karena itu,

bagi suami jika telah jelas baginya bahwa nusyuz karena berpalingnya

perilaku istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan

melakukan dosa dan permusuhan, kesombongan dan tipu daya.

Berangkat dari Surat An Nisa ayat 34. Al Qur’an

memberikan opsi sebagai berikut:13

Pertama, Isteri diberi nasihat dengan cara yang ma’ruf agar ia

segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya. Memperingatkan

isteri pada suatu yang layak dan patut dan menyebutkan dampak-

dampak nusyuz, di antaranya bisa berupa perceraian yang berdampak

pada keretakan eksistensi keluarga dan telantarnya anak-anak.

Kemudian, memberikan penjelasan kepada isteri tentang apa yan

mungkin terjadi di akhirat, bagi perempuan yang ridha dengan

Tuhannya dan taat kepada suaminya. Pemberian nasihat menurut Al-

Qur’an begitu pula hadits-hadits Nabi dan juga para ulama tafsir tidak
12
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm..209
13
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, Jakarta:Amzah, 2010. hlm. 302

12
membatasi, fiqh terhadap yang terlihat selama waktu tertentu.

Seharusnya bagi suami untuk terus memberi nasihat kepada isterinya

dan mengutamakan hal tersebut sebelum berpindah pada fase

pemecahan masalah selanjutnya.

Kedua, pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman

psikologis bagi isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat

melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya. Berpisah dari tempat

tidur yaitu suami tidak tidur bersama isterinya, memalingkan

punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika isteri mencintai

suami maka hal itu, tersa bersat atasnya sehingga ia kembali baik.

Kemudian, jika ia masih marah maka hal itu jelas diketahui bahwa

nusyuz berawal dari nya. Dalam pandangan ulama hal ini berakhir

selama sebulan sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW

ketika menawan Hafshah dengan perintah sehingga ia membuka diri

tentang Nabi kepada Aisyah dan mereka berdua mendatangi Nabi.

Sebagaimana berpisah itu telah bermanfaat dengan meninggalkan

tempat tidur saja, tanpa meninggalkan berbicara dengannya secara

mutlak.

Ketiga, Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya

adalah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting

untuk dicatat, yang boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak

membahayakan si istri seperti batasnya.

13
Rasulullah Bersabda “ Pukullah perempuan-perempuan itu jika ia

mendurhakaimu dalam kebaikan dengan pukulan yang tidak

menyakitkan ”14

Dalam pelaksanaan hukumannyapun, suami sendiri yang

melaksanakannya, bukan penguasa. Bahkan Allah menetapkan hal itu

tanpa proses pengadilan, tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini

Allah betul-betul percaya kepada para suami dalam menangani istri-

istrinya.15

b. Nusyuz Suami Terhadap Istri

Kemungkinan nusyuz tidak hanya dari pihak isteri namun, dapat

juga dari pihak suami. Selama ini, disalahpahami bahwa nusyuz hanya

dari pihak istri saja. Padahal di dalam Al Qur’an juga menyebutkan

adanya nusyuz dari suami seperti yang terlihat dalam surat An Nisa’

ayat 128 “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap

tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya

mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu

lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya

kikir. Dan juga kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan

memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka

sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan.”

14
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Keluarga dalam Islam, Jakarta:
Remaja Rosdakarya, 2012, hlm. 309
15
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman, Jakarta: Qisthi Press, 2010, hlm.
360

14
Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya

terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi

atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri

diantaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli istrinya dengan

baik. Yang terakhir ini mengandung arti yang luas, yaitu segala

sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk,

seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak

melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan

lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik.16

Dalam hadist Rasul SAW, diantara kewajiban suami terhadap isteri

adalah Pertama, memberi sandang dan pangan. Kedua, tidak memukul

wajah jika isteru sedang nusyuz, ketiga, tidak mengolok-olok dengan

mengucapkan hal-hal yang dibencinya. Keempat, tidak menjauhi isteri

atau menghindari isteri kecuali didalam rumah.17

2.3 Dasar Hukum

Timbulnya konflik dalam rumah tangga tersebut pada akhirnya

kerap kali mengarah pada apa yang disebut dalam fiqh nusyuz. Nusyuz

hukumnya haram.18 Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita

yang melakukan nusyuz jika ia tidak mempan dinasehati. Hukuman

tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal-

hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib

16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 193.
17
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ,
hlm. 211
18
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7 ,Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1999, hlm. 129

15
dilakukan. Hal ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa

ayat 34:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka).Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuz nya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-
cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar”
Kemudian ayat selanjutnya Allah berfirman dalam surat An Nisa

ayat 128 yang berbunyi:

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan juga
kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Hadits yang berkaitan dengan nusyuz adalah sebagai berikut,

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,

Ketika seorang sahabat Rasulullah salah seorang guru Naqib


mengajarkan agama kepada kaum Anshar, bernama Sa’ad bin Rabi’i
bin Amr, berselisih dengan isterinya bernama Habibah binti Zaid bin
Abi Zuhair. Suatu ketika Habibah menyanggah Nusyuz terhadap
suaminya, lalu Sa’ad menempeleng muka isterinya itu. Maka
datanglah Habibah ke hadapan Rasulullah SAW ditemani oleh
ayahnya sendiri, mengadukan hal tersebut. Kata ayahnya:
Disekatidurinya anakku, lalu ditempelengnya. Serta merta Rasulullah
menjawab: biar dia balas (qishash). Artinya Rasulullah SAW
mengizinkan perempuan itu membalas memukul sebagai hukuman,
tetapi ketika bapak dan anak perempuannya telah melangkah pergi
maka berkatalah Rasulullah SAW: Kemauan kita lain, kemauan Tuhan
lain, maka kemauan Tuhan lah yang baik.19

19
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzuk 5,Jakarta: Gema Insani, 2017, hlm. 63

16
Dalam Kompilasi Hukum Islam, soal nusyuz juga diatur. Beberapa

pasal menegaskan hak dan kewajiban suami dan istri.

Pasal 80

1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya,


akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-
penting diputuskan oleh suami dan isteri.
2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup beruma tangga sesuai dengan kemampuannya.
3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan pengahsilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak;
c. biaya pendidikan bagi anak.20

Pasal 83
1) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin
kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam;
2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga
dengan sebaik-baiknya;21

Pasal 84
1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali
dengan alasan yang sah.
2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya
tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal
untuk kepentingan anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali
setelah isteri tidak nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus
didasarkan atas bukti yang sah.22

20
Pasal 80 KHI
21
Pasal 83 KHI
22
Pasal 84 KHI

17
3. Tinjauan Umum Nafkah Iddah

3.1 Pengertian tentang Nafkah Iddah

Nafkah adalah pemberian berupa harta benda kepada orang yang

berhak menerimanya, seperti: istri, anak, orang tua dan sebagainya.23

Menurut bahasa, nafkah berasal dari nafaqah. Istilah itu menurut

Kamal Mukhtar dapat diartikan dengan belanja atau kebutuhan

pokok.24

Nafaqah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam

bentuk materi. Nafaqah jika dihubungkan dengan perkawinan

mengandung arti, sesuatu yang dikeluarkannya dari hartanya untuk

kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi

berkurang. Dengan demikian, nafaqah istri berarti pemberian yang

wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa

perkawinannya.25

Adapun yang dimaksud di sini pemberian nafaqah untuk istri

adalah demi memenuhi keperluannya (istri) berupa makanan, pakaian,

tempat tinggal sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan yang berlaku

pada masyarakat sekitar pada umumnya. Sedangkan iddah yaitu masa

menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan suaminya

(cerai hidup atau cerai mati), gunanya supaya diketahui kandungan

berisi atau tidak.26


23
H. Moch. Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di
Pengadilan Agama, Bandung: CV Diponegoro, 1991 hlm. 119
24
Kamal Mukhtar, Azas-Azas Islam Tentang Perkawinan, Jakarta; Bulan Bintang,
1974, hlm. 167
25
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 165
26
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam ,Attahiriyah: Jakarta, 1976, hlm. 414

18
Melihat definisi nafaqah dan iddah di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa pengertian dari nafaqah iddah adalah segala sesuatu yang

diberikan oleh seorang suami kepada istri yang telah diceraikannya

untuk memenuhi kebutuhannya, baik itu berupa pakaian, makanan

maupun tempat tinggal.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf (b) juga dijelaskan

bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib

memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istrinya selama

dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhkan talak ba’in atau

nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

Kewajiban memberikan nafaqah oleh suami kepada istrinya,

bahwa suami itu adalah pencari rezeki, rezeki yang telah diperoleh itu

menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami

berkedudukan sebagai pemberi nafaqah. Nafaqah disini yaitu belanja

untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok pakaian

dan perumahan atau dalam bahasa sehari-hari disebut sandang, pangan,

dan papan.27

Dalam hal ini, tentang pemberian nafkah iddah istri yang dalam

gugatannya tidak meminta atau menuntut dan berpedoman pada pasal

178 HIR yakni “Hakim tidak dizinkan menjatuhkan keputusan atas

perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang

digugat”, selaku hukum formilnya. Tetapi walaupun tanpa dituntut hak

nafkah tersebut melekat dengan sendirinya karena hak tersebut sudah

diatur dalam ketentuan hukum materil yakni pasal 41 huruf (c)


27
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam ,Attahiriyah: Jakarta, 1976, hlm. 166

19
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan pasal 149 huruf

(b) KHI. jadi, nafkah iddah tersebut diminta atu tidak diminta pihak

istri tetap harus diberikan, karena penyelesaian perkara cerai talak

diatur secara khusus (lex specialis) dalam beracara di Peradilan

Agama, karena itu teknis pelaksanaan putusannya pun harus mengikuti

aturan khusus yakni Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan.

3.2 Dasar hukum Nafkah Iddah

Hukum membayar nafaqah untuk istri, baik dalam bentuk

perbelanjaan, pakaian atau yang lainnya adalah wajib. Kewajiban itu

bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan

rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa

melihat ke pada keadaan istri.28

Adapun dasar di wajibkannya memberi nafaqah iddah menurut

firman Allah SWT dalam Qs. al-Baqarah ayat 233:

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua


tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan
cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.29

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, Bandung: Al-Ma’arif, 1997, hlm. 147


28

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV Pustaka Agung


29

Harapan, 2006, hlm. 29

20
Di dalam Al-Qur’an juga di jelaskan juga ketentuan mengenai nafaqah

dan iddah, yaitu dalam surat al-Thalaq ayat 6 dan 7:

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat


tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-
isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan
rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.30

Agama menetapkan bahwa suami bertanggung jawab mengurus

kehidupan istrinya, karena itu suami diberi derajat setingkat lebih

tinggi dari istrinya, sebagaimana firman Allah SWT, surat al-Baqarah

ayat 228:

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri


(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.31

Dari ayat di atas bahwasanya suami harus memenuhi hak dan

kewajiban terhadap istrinya, karena laki-laki sebagai pemimpin dalam

30
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV Pustaka Agung
Harapan, 2006, hlm. 446
31
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV Pustaka Agung
Harapan, 2006, hlm.28

21
rumah tangga dan sebagai pembimbing menuju jalan kebaikan.

3.3 Gugurnya Kewajiban Memberi Nafkah Iddah

Hak istri untuk menerima nafkah menjadi gugur apabila:

1. Akad nikah mereka batal atau fasid (rusak), seperti di kemudian hari

ternyata kedua suami istri itu mempunyai hubungan mahram dan

sebagainya, maka istri wajib mengembalikan nafkah yang telah

diberikan suaminya jika nafkah itu diberikan atas dasar keputusan

pengadilan. Bila nafkah itu diberikan tidak berdasarkan keputusan

pengadilan, maka pihak istri tidak wajib mengembalikannya.

2. Istri masih belum baligh dan ia masih tetap di rumah orang tuanya.

Menurut Abu Yusuf istri berhak menerima nafkah dari suaminya jika

istri telah serumah dengan suaminya, karena dengan serumah itu

berarti istri telah terikat di rumah suaminya

3. Istri dalam keadaan sakit. Karena itu ia tidak bersedia serumah

dengan suaminya. Tetapi jika ia bersedia serumah dengan suaminya ia

tetap berhak mendapat nafkah.

4. Bila istri melanggar larangan Allah yang berhubungan dengan

kehidupan suami istri, seperti meninggalkan tempat kediaman bersama

tanpa seizin suami, bepergian tanpa izin suami dan tanpa disertai

mahram, dan sebagainya.

5. Bila istri nusyuz, yaitu tidak lagi melaksanakan kewajiban-

kewajiban sebagai istri.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

22
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif. Pemilihan jenis

penelitian ini lebih memperhatikan dan melihat secara mendalam terkait

norma pemberian nafkah iddah kepada mantan istri yang nusyuz dalam

Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf (b) jo pasal 152.

2. Pendekatan Penelitian

Terdapat dua macam pendekatan di dalam penelitian ini, yaitu:

a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan legislasi dan regulasi 32

Melalui cara menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi

yang berhubungan dengan isu hukum yang diteliti. Penulis ingin

menganalisis dan menemukan hubungan antara satu dengan yang lain

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang saling

terkait dengan pertimbangan hakim dalam pemberian nafkah iddah

kepada mantan istri yang dikategorikan nusyuz.

b. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan studi terhadap kasus

tertentu dari berbagai aspek hukum33 yaitu kasus yang terdapat dalam

Putusan Pengadilan Agama Amuntai nomor 70/Pdt.G/2013/PA.Amt,

putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang nomor

98/Pdt.G/2016/PTA.Smg dan putusan Pengadilan Tinggi Agama

Surabaya nomor 160/Pdt.G/2009/PTA.Sby yang membahas tentang

pertimbangan hakim dalam menolak serta mengabulkan pemberian

nafkah iddah kepada mantan istri yang dikategorikan nusyuz.


32
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2014, hlm. 134
33
Ibid., hlm. 134

23
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

A. Jenis Bahan Hukum

A.1 Jenis Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang memiliki

sifat mengikat dan autoritatif memiliki otoritas. Bahan hukum primer

terdiri dari peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, catatan

resmi atau risalah dalam pembuat peraturan perundang-undangan dan

putusan hakim.34 Bahan hukum primer berkaitan dengan judul yang

diangkat, yaitu dasar dan pertimbangan hakim dalam menolak serta

mengabulkan pemberian nafkah iddah kepada mantan istri yang

dikategorikan nusyuz dengan isu hukum yang ditangani adalah:

1. Putusan Nomor 70/Pdt.G/2013/PA.Amt

2. Putusan Nommor 98/Pdt.G/2016/PTA.Smg

3. Putusan Nomor 160/Pdt.G/2009/PTA.Sby

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

5. Kompilasi Hukum Islam

A.2 Jenis Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menunjang dan

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum

sekunder berguna sebagai pemberi petunjuk ke arah mana peneliti

melangkah dengan tetap berdasar teori dan asas hukum yang relevan

untuk dijadikan acuan terkait pembahasan permasalahan yang diteliti.

Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini

34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 13

24
adalah buku literatur, hasil penelitian terdahulu, jurnal hukum dan

pendapat para ahli.

A.3 Jenis Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan bermakna

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder atau sebagai

penunjang untuk menganalisis apa yang ada dalam bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus hukum dan Kamus

Besar Bahasa Indonesia.

B. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, sumber bahan hukum primer

sekunder maupun tersier diperoleh melalui studi kepustakaan dengan

mengumpulkan, mengelompokkan, dan mengolah bahan hukum antara

lain:

1) Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya

2) Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya

3) Perpustakaan Umum Kota Malang

4) Penelusuran situs internet

4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Teknik penelusuran dalam penelitian ini terhadap bahan hukum primer

yaitu dengan cara melakukan penelusuran dan menelaah berbagai

peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan isu hukum

yang diangkat yaitu mengenai dasar dan pertimbangan hakim dalam

25
menolak serta mengabulkan pemberian nafkah iddah kepada mantan

istri yang dikategorikan nusyuz.

b. Bahan Hukum Sekunder

Teknik penelusuran dalam penelitian ini terhadap bahan hukum

sekunder dilakukan dengan cara melalui studi pustaka dan

dokumentasi dengan cara membaca, mengutip, mencatat, menganalisis

dan menyimpulkan dari berbagai buku, tulisan, jurnal, pendapat para

ahli, hasil penelitian terdahulu, dan kamus hukum yang berkaitan

dengan isu hukum yang diangkat. Selain itu juga menggunakan cara

browsing internet dan membaca jurnal secara online.

c. Bahan Hukum Tersier

Pengumpulan bahan hukum tersier menggunakan kamus cetak maupun

online yang tersedia di internet.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini penulis menganalisis suatu masalah hukum melihat

dari ratio decidendi atau alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim

terhadap putusan Nomor 70/Pdt.G/2013/PA.Amt, putusan Nomor

98/Pdt.G/2016/PTA.Smg, putusan Nomor 160/Pdt.G/2009/PTA.Sby,

selain itu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim kemudian

dikaitkan dengan aturan yang berlaku dan pendapat para ahli yang

berkaitan dengan isu hukum yang dibahas.

Adapun teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah:

1) Interpretasi Gramatikal

26
Interpretasi ini merupakan cara penjelasan yang paling sederhana

untuk mengetahui makna ketentuan peraturan perundang-undangan

dan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyi, arti

atau makna ketentuan peraturan perundang-undangan dijelaskan

menurut bahasa sehari-hari yang umum.35 Pada intinya interprerasi

gramatikal harus logis untuk menjelaskan peraturan perundang-

undangan dari segi bahasa dengan acuan bahasa yang dipergunakan

sehari-hari.

2) Interpretasi Sistematis

Interpretasi sistematis merupakan metode untuk menafsirkan ketentuan

peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari keseluruhan sistem

peraturan perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan

peraturan perundang-undangan yang lain.36 Penafsiran ini

mentitikberatkan bahwa suatu peraturan tidak ada yang berdiri sendiri

terlepas dari peraturan lain dan memiliki korelasi antara peraturan

dengan peraturan lainnya.

H. Definisi Konseptual

1. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim adalah pendapat dan pemikiran seorang hakim dalam

mewujudkan suatu putusan atau penetapan dalam suatu permasalahan

yang diajukan oleh pemohon untuk memberikan kepastian, keadilan serta

kemanfaatan bagi para pihak.


35
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013, hlm. 14
36
Ibid, hlm. 16

27
2. Pengertian Nusyuz

Nusyus adalah kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya.

Apabila istri menentang kehendak suami tanpa alasan yang dapat diterima

menurut hukum syara’.

3. Pengertian Nafkah Iddah

Nafkah iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seorang suami

kepada istri yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhannya, baik

itu berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal.

4. Pengertian Gugatan Ditolak

Gugatan ditolak adalah gugatan yangmana penggugat tidak berhasil

membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang ditanggung atas

kegagalan membuktikan dalilnya tersebut yaitu gugatannya ditolak.

5. Pengertian Gugatan Dikabulkan

Gugatan dikabulkan adalah gugatan dimana penggugat dapat

membuktikan dalil gugatannya sesuai alat bukti sehingga meyakinkan

hakim untuk menerima seluruh ataupun sebagian yang diminta oleh

penguggat.

I. Sistematika Penulisan

Berikut ini adalah sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bagian pendahuluan, penulis akan menjelaskan latar belakang disertai

penjabaran kasus secara garis besar yang akan diangkat dalam penelitian.

28
Kemudian dijelaskan juga mengenai rumusan permasalahan yang akan diteliti,

tujuan, serta manfaat dari penelitian ini.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini, penulis menjelaskan mengenai konsep-konsep umum mengenai

pertimbangan hakim, pengangkatan anak, serta pembatalan pengangkatan anak

yang perlu diketahui pembaca mengenai penelitian ini, serta terkait teori-teori

hukum yang berkaitan dengan penelitian sebagai bahan analisa yang akan

digunakan oleh peneliti dalam menjawab rumusan masalah.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bagian bab metode penelitian, penulis menjelaskan mengenai jenis

penelitian, pendekatan penelitian, jenis bahan hukum dan sumber hukum, teknik

pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini, penulis menjelaskan mengenai kronologi kasus secara mendalam

serta diikuti dengan hasil analisis penulis untuk menjawab rumusan masalah yang

diteliti.

BAB V : PENUTUP

Pada bagian penutup, penulis menjelaskan mengenai kesimpulan dari penelitian

ini yang disertai juga dengan saran-saran dari penulis.

J. Daftar Pustaka

Literatur Buku

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,


Yogyakarta :Pustaka Progressif, 1997

29
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, Jakarta:Amzah, 2010
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media, 2004
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV Pustaka
Agung Harapan, 2006
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzuk 5,Jakarta: Gema Insani, 2017
Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan
Perkawinan Di Indonesia ,Jakarta: Djambatan,1985
Kamal Mukhtar, Azas-Azas Islam Tentang Perkawinan, Jakarta; Bulan
Bintang, 1974
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2014
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Aulia
Rahma, Cet II Jakarata: PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013
Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2013
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman, Jakarta: Qisthi Press, 2010
Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam,
Jakarta : PT Semesta Rakyat Merdeka,2012

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam

30

Anda mungkin juga menyukai