Anda di halaman 1dari 12

ASAS-ASAS HUKUM ISLAM

Pengertian asas berasal dari bahasa Arab, yaitu asasun. Arti dari kata
asasun adalah dasar, basis, dan fondasi sehingga asas dalam hukum
adalah landasan berpikir yang paling mendasar. Asas dalam hukum adalah
kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat
yang berakibat pada penegakan dan pelaksanaan hukum.

Sebelumnya, kita sudah mempelajari sumber hukum Islam. Asas-


asas dalam hukum Islam dapat ditemukan dalam sumber-sumber hukum
Islam. Tidak hanya itu, asas-asas dalam hukum Islam juga dibagi menjadi
dua, yaitu asas-asas yang berlaku umum dan asas-asas yang berlaku
khusus. Asas-asas yang berlaku khusus bergantung pada perbuatan
hukum yang dilakukan karena dalam hukum Islam, setiap bidang hukum
memiliki asas-asas hukumnya masing-masing.

1. Asas-Asas Umum

a. Asas Keadilan

Asas keadilan merupakan asas terpenting dalam penegakan


hukum. Hal ini disebabkan berjalannya sebuah hukum bergantung
pada integritas para penegak hukum dan masyarakat dalam
menegakkan keadilan. Keadilan adalah asas, titik tolak, proses, dan
sasaran hukum Islam. Menurut A.M. Saefuddin, kata keadilan disebut
lebih dari 1000 kali dalam Al-Qur’an, terbanyak setelah Allah dan ilmu
pengetahuan.

b. Asas Kepastian Hukum

Asas ini menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan yang


dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan hukum atau peraturan
perundang-undangan yang sudah berlaku dan ada untuk perbuatan
tersebut.

c. Asas Kemanfaatan
Penegakan kedua asas di atas harus dilengkapi dengan asas
kemanfaatan. Asas kemanfaatan maksudnya adalah dalam
melaksanakan atau menegakkan hukum, sebuah peraturan harus
memiliki manfaat bagi seluruh masyarakat. Misalnya, terdapat kasus
pembunuhan. Hukum Islam mengajarkan bahwa perbuatan
pembunuhan seharusnya dihukum mati. Pelaksanaan aturan tersebut
memang memenuhi asas kepastian hukum. Kemudian, yang harus
dilakukan oleh para penegak hukum adalah memastikan apakah
hukuman tersebut akan memberikan manfaat bagi pelaku, korban,
keluarga korban, dan masyarakat pada umumnya. Jika iya, sudah
seharusnya hukuman itu diterapkan. Akan tetapi, jika malah
merugikan salah satu pihak, aturan tersebut dapat disimpangi dengan
membayar denda kepada keluarga korban.

2. Asas-Asas Hukum Perkawinan

a. Asas kesukarelaan

Kesukarelaan yang dimaksud di sini bukan hanya untuk calon


mempelai wanita dan calon mempelai pria. Akan tetapi, juga termasuk
kedua orang tua kedua belah pihak. Kesukarelaan orang tua yang
menjadi wali nikah bagi calon mempelai wanita merupakan asas
penting dan ditegaskan dalam hadist Nabi SAW.

b. Asas Persetujuan Kedua Belah Pihak

Pernikahan dalam Islam tidak boleh berdasarkan keterpaksaan.


Hal ini merupakan akibat atau konsekuensi logis dari asas pertama.
Persetujuan calon mempelai wanita harus ditanyakan secara jelas,
baik melalui perkataan maupun perilaku sebagaimana dalam hadis.
Perilaku yang dimaksud dalam hadis adalah diamnya si calon
mempelai wanita ketika ditanya persetujuannya. Diam di sini tetap
mempertimbangkan gerak-gerik dan guratan wajah si calon mempelai
wanita tersebut.

Persetujuan kedua belah pihak merupakan syarat yang harus


dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Hal ini tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Apabila
syarat ini tidak dipenuhi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan memberikan jalan keluar untuk mencegah atau
membatalkan perkawinan yang nantinya akan diputus oleh pengadilan
agama. Bentuk persetujuan calon mempelai dan wali nikah sudah
diatur secara spesifik oleh Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :

KOMPILASI HUKUM ISLAM


Calon Suami dan Istri Kedua Orang Tua
- Persetujuan Materiil (Ps. 16): - Wali nikah sebagai rukun
bentuk persetujuan calon mempelai perkawinan.
wanita, dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan,
lisan, atau isyarat, tetapi dapat juga
berupa diam dalam arti tidak ada
penolakan yang tegas.

- Persetujuan formil (Ps. 17): - Wali tidak setuju: berlaku


pernyataan di hadapan PPN. ketentuan wali adhal(Ps. 23
(2)).

- Bagi calon mempelai yang menderita


tunawicara atau tunarungu,
persetujuan dapat dinyatakan

dengan tulisan atau isyarat yang


dapat dimengerti (Ps. 17)

- Salah satu pihak tidak setuju,


maka perkawinan tidak
dilangsungkan (Ps. 17).

c. Kebebasan Memilih

Asas ini berasal dari sunah Nabi SAW yang diceritakan oleh
Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika, seorang gadis bernama Jariyah
dinikahkan oleh ayahnya dengan orang yang tidak disukainya.
Berdasarkan aduan Jariyah tersebut, Nabi SAW menegaskan bahwa
Jariyah boleh memilih apakah ia mau meneruskan perkawinan atau
membatalkan perkawinannya dengan laki-laki tersebut. Artinya, dalam
melangsungkan perkawinan, calon mempelai wanita dalam hukum
Islam memiliki hak untuk memilih siapa yang berhak menjadi
suaminya.

d. Kemitraan Suami-Istri

Kemitraan suami-istri adalah suami-istri memiliki hak dan


kewajiban sesuai dengan kodratnya masing-masing yang harus
ditunaikan untuk membangun rumah tangganya. Hak dan kewajiban
tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 77—84 Kompilasi Hukum
Islam.

KOMPILASI HUKUM ISLAM


Kewajiban Bersama Kewajiban Masing-masing
- Menegakkan rumah tangga. -Suami menjadi kepala keluarga,
istri menjadi kepala dan
penanggung jawab pengaturan
rumah tangga.
- Cinta-mencintai, hormat- -Masing-masing berhak untuk
menghormati, setia dan memberi melakukan perbuatan hukum.
bantuan satu sama lain. -Suami menanggung nafkah,
- Mengasuh dan memelihara anak- pakaian, tempat kediaman, biaya
anak mereka. rumah tangga, biaya perawatan,
- Memelihara kehormatan. pengobatan, dan biaya
pendidikan
bagi anak.
Jika suami atau istri melalaikan Kewajiban suami dan istri ini
kewajibannya, masing-masing berlaku setelah mereka
dapat mengajukan gugatan kepada melakukan hubungan suami dan
pengadilan agama. Istri secara sempurna.

e. Untuk Selama-lamanya/Asas Mempersulit Perceraian


Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dalam Islam
dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta
serta kasih sayang selama hidup. Perkawinan yang dilakukan hanya
untuk waktu tertentu tidak diperbolehkan dalam Islam. Menurut Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Konsekuensi pasal
ini adalah perkawinan baru dapat putus apabila memenuhi syarat
yang terdapat dalam undang-undang sebagai berikut :

1) Perceraian dapat dilakukan untuk kondisi tertentu yang sulit agar


dapat tercapainya tujuan perkawinan ;
2) Perceraian harus berdasarkan pada alasan-alasan yang sah dan
dilakukan di hadapan sidang pengadilan.

f. Monogami Terbuka

Seorang muslim dibolehkan atau boleh beristri lebih dari


seorang asal memenuhi semua syarat yang ada. Salah satu syaratnya
adalah berlaku adil. Oleh karena sulit berlaku adil bagi seorang
manusia, Allah menegaskan bahwa lebih baik seorang muslim
menikah dengan seorang istri saja. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pun demikian. Pada asasnya, seorang
muslim hanya boleh memiliki satu istri. Akan tetapi, terbuka
kemungkinan untuk menikah dengan istri lebih dari seorang dengan
cara mendapatkan izin dari pengadilan agama. Izin tersebut dapat
dikeluarkan apabila memenuhi alasan dan syarat sebagai berikut :

Alasan (Ps. 4 ayat 2) Syarat (Ps. 5)

- Istri tidak dapat menjalankan − Harus mampu berlaku adil.


kewajiban sebagai istri.

- Istri mendapat cacat badan atau − Harus ada persetujuan istri.


penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
- Istri tidak dapat melahirkan
keturunan. −Harus mampu menjamin
keperluan hidup istri dan anak-
anak.

3. Asas-Asas Hukum Kewarisan


a. Bilateral/Parental
Seseorang menerima hak kewarisan, baik dari keluarga laki-
laki maupun keluarga perempuan. Asas ini tidak membedakan garis
keturunan/nasab laki-laki dan perempuan dari segi kewarisan.

b. Ahli Waris Langsung dan Pengganti


Ahli waris langsung adalah ayah, ibu, anak, dan janda/duda
(Vide Pasal 174 KHI). Ahli waris pengganti adalah keturunan ahli waris
anak yang meninggal dunia sebelum pewaris (Vide Pasal 185 KHI serta
SEMA Nomor 3 Tahun 2015).

c. Ijbari

Saat seseorang meninggal dunia, kerabat yang disebabkan


adanya pertalian darah atau perkawinan secara langsung menjadi ahli
waris karena tidak ada hak bagi kerabat tersebut untuk berpikir
apakah ia akan menerima atau menolak sebagai ahli waris.
Penghitungan juga akan diporsikan sebagaimana yang sudah diatur
oleh Allah SWT sehingga pewaris tidak perlu membagi sendiri. Terlebih
pewaris tidak tahu kapan waktu pewaris meninggal dunia.

d. Individual

Harta warisan dibagi kepada ahli waris sesuai dengan bagian


masing-masing. Pengecualiannya adalah adanya kesepakatan di antara
seluruh ahli waris untuk tidak membagi harta warisan, tetapi
membentuk usaha bersama yang memiliki bagian saham sesuai
dengan porsi harta warisan masing-masing.

e. Keadilan Berimbang

Asas ini mengatur bahwa laki-laki dan perempuan bagiannya


adalah 2 : 1. Hal ini disebabkan seseorang mendapatkan jumlah harta
waris sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Hukum
Islam mengatur bahwa pada dasarnya harta peninggalan yang diterima
ahli waris merupakan satu bentuk tanggung jawab melanjutkan
tanggung jawab pewaris pada keluarganya. Oleh karena itu, bagian
lakilaki dan perempuan dibedakan karena laki-laki memiliki tanggung
jawab untuk menghidupi keluarganya atau mencukupi kebutuhan
anak dan istrinya. Asas ini dapat dikecualikan dengan cara seluruh
ahli waris sepakat untuk membagi harta waris secara rata atau 1:1.
Syaratnya, seluruh ahli waris harus mengetahui jumlah harta waris
yang seharusnya ia dapatkan berdasarkan penghitungan 2:1 atau
menurut hukum Islam.

f. Waris karena Kematian

Peralihan hak kebendaan berlaku setelah pewaris meninggal


dunia.

g. Hubungan Nasab atau Hubungan Perkawinan

Proses pewarisan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang


yang memiliki hubungan darah yang lahir dari perkawinan sah dengan
pewaris, akibat perkawinan syubhat, dan atas pengakuan anak melalui
istilhaq atau anak temuan yang tidak diketahui nasabnya.

h. Wasiat Wajibah
Anak angkat dan ayah angkat dapat secara timbal balik
melakukan wasiat tentang harta masing-masing. Apabila tidak ada
wasiat dari ayah angkat atau anak angkatnya, pengadilan agama dapat
memberikan wasiat wajibah secara ex-officio maksimal 1/3 bagian
(Vide Pasal 209 KHI). Dalam perkembangannya, wasiat wajibah tidak
hanya untuk ayah angkat dan anak angkat saja.

i. Egaliter
Kerabat karena hubungan darah yang memeluk agama selain
Islam mendapat wasiat wajibah maksimal 1/3 bagian dan tidak boleh
melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengannya.

j. Retroaktif Terbatas

Apabila harta waris sudah dibagi secara riil sebelum KHI


berlaku, keluarga yang merupakan ahli waris pengganti tidak dapat
mengajukan gugatan waris. Apabila harta waris belum dibagi dan
pewaris meninggal dunia sebelum KHI berlaku, KHI berlaku surut.

4. Asas-Asas Hukum Muamalah Khusus

Muamalah khusus yang akan dibahas adalah hubungan perdata.


Berikut adalah asas-asas hubungan perdata :

a. Asas Kebolehan atau Mubah


Hubungan perdata pada dasarnya boleh dilakukan, kecuali
sudah ditentukan lain dalam Al-Qur’an dan sunah. Hal ini
menunjukkan adanya kesempatan yang luas bagi seseorang untuk
melakukan hubungan perdata sesuai dengan perkembangan zaman.

b. Asas Kemaslahatan Hidup


Seluruh hubungan perdata hukum asalnya adalah boleh selama
memperhatikan ketentuan dalam hukum Islam serta mendatangkan
kebaikan, bermanfaat bagi orang banyak, sekalipun hubungan
tersebut tidak ada aturannya dalam Al-Qur’an dan sunah.

c. Asas Kebebasan dan Kesukarelaan


Kebebasan para pihak dalam melakukan hubungan keperdataan
harus diperhatikan. Tidak boleh ada pihak yang terpaksa dalam
melakukan hubungan keperdataan.

d. Asas Menolak Mudarat dan Mengambil Manfaat


Hubungan keperdataan harus menghindari adanya kerusakan
dan harus mengutamakan meraih kebaikan dan kebermanfaatan.

e. Asas Kebajikan (Kebaikan)


Hubungan keperdataan yang dilakukan sudah seharusnya
mendatangkan kebaikan, baik untuk para pihak, pihak ketiga,
maupun masyarakat pada umumnya, sesuai dengan anjuran Islam.

f. Asas Kekeluargaan atau Asas Kebersamaan yang Sederajat


Hubungan muamalah khusus atau perdata harus didasarkan
pada rasa hormatmenghormati, kasih-mengasihi, tolong-menolong,
dan mencapai tujuan bersama.

g. Asas Adil dan Berimbang


Hubungan perdata tidak boleh mengandung unsur-unsur
penipuan, penindasan, dan pengambilan kesempatan pada waktu
pihak lain sedang kesempitan.
h. Asas Mendahulukan Kewajiban dari Hak
Hukum Islam mengajarkan orang baru bisa memperoleh
haknya ketika ia sudah melaksanakan kewajiban. Penunaian
kewajiban terlebih dahulu juga meminimalisasi adanya wanprestasi.

i. Asas Larangan Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain


Asas ini mengandung maksud bahwa seseorang dalam
membuat hubungan keperdataan tidak boleh merugikan diri sendiri
dan orang lain karena tidak dibenarkan dalam hukum Islam.

j. Asas Kemampuan Berbuat atau Bertindak


Hukum dasarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk
berbuat atau bertindak dalam hubungan muamalah atau perdata.
Batasan seseorang dalam bertindak dalam hukum Islam adalah
mukallaf, yaitu mereka yang mampu memikul hak dan kewajiban,
sehat jasmani, serta sehat rohani. Apabila ada seseorang yang tidak
tergolong mukallaf melakukan hubungan keperdataan, hubungan
keperdataannya batal.

k. Asas Kebebasan Berusaha


Asas ini mengandung bahwa seseorang pada dasarnya bebas
melakukan usaha dalam bentuk apa pun selama tidak bertentangan
dengan syariat Islam dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Asas ini juga mengandung arti setiap orang memiliki
kesempatan untuk berusaha tanpa batasan apa pun, kecuali yang
sudah ditentukan dalam hukum Islam.

l. Asas Mendapatkan Hak karena Usaha dan Jasa


Seseorang bisa mendapatkan hak atas apa yang diusahakan
atau dikerjakannya dengan cara yang sah dan halal. Hak yang
mengandung unsur kejahatan, keji, dan kotor tidak dibenarkan oleh
hukum Islam dan tidak ada perlindungannya.

m. Asas Perlindungan Hak


Asas ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi
setiap orang yang memiliki semua hak yang diperoleh dengan cara
yang sah dan halal. Jika di kemudian hari pemilik hak dirugikan oleh
pihak lain, ia dapat menuntut haknya ke pengadilan.

n. Asas Hak Milik Berfungsi Sosial


Pemanfaatan hak milik yang dimiliki seseorang dalam Islam
harus diarahkan pula untuk kepentingan kesejahteraan sosial. Hal ini
juga terkait dengan adanya kewajiban zakat bagi umat muslim yang
memiliki kepemilikan benda-benda tertentu.

o. Asas yang Beriktikad Baik Harus Dilindungi


Asas ini berkaitan dengan asas lain bahwa seseorang
menanggung risiko sesuai dengan perbuatannya sehingga apabila
terdapat salah seorang yang tidak mengetahui adanya cacat
tersembunyi dan mempunyai iktikad baik, kepentingannya wajib
dilindungi dan memiliki hak untuk menuntut ganti rugi apabila ia
dirugikan karena iktikad baiknya.

p. Asas Risiko Dibebankan pada Harta, Tidak pada Pekerja


Jika sebuah perusahaan mengalami kerugian, kerugian
tersebut hanya ditanggung oleh pemilik perusahaan dan/atau
penanam modal saja. Para pekerja tidak boleh dilibatkan dalam
kerugian tersebut sehingga para pekerja tetap harus dipenuhi
hakhaknya untuk mendapatkan upah.
q. Asas Mengatur dan Memberi Petunjuk
Pada umumnya, ketentuan-ketentuan dalam sebuah hukum
hanya memberikan petunjuk kepada para pihak. Akan tetapi, para
pihak diperbolehkan untuk memilih hendak menggunakan ketentuan
apa selama ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
r. Asas Tertulis atau Diucapkan di Depan Saksi
Asas ini mengandung makna bahwa perjanjian hendaknya
dituangkan secara tertulis di hadapan para saksi-saksi, kecuali dalam
keadaan tertentu, perjanjian dapat dilakukan secara lisan.

Anda mungkin juga menyukai