Anda di halaman 1dari 4

C.

HUBUNGAN HUKUM POSITIF DENGAN HUKUM FIQIH


Di Indonesia, sistem hukum yang berlaku adalah sistem hukum positif atau hukum
positif Nasional yang didasarkan pada perundang-undangan yang disusun oleh pemerintah
dan lembaga legislatif. Namun, terdapat beberapa aspek hukum yang menggunakan prinsip-
prinsip hukum fiqih, terutama dalam konteks hukum pernikahan, keluarga, dan waris. Hal ini
terkait dengan pengaturan hukum Islam di Indonesia.
A. Hukum pernikahan
Hukum positif perkawinan menurut hukum fiqih (hukum Islam) mencakup
berbagai aspek yang harus dipatuhi oleh umat Islam dalam proses pernikahan.
Berikut adalah beberapa aspek penting dalam hukum perkawinan menurut hukum
fiqih:
1. Syara-syarat perniikahan: hukum fiqih islam mengatur syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk sahnya sebuah pernikahan. Beberapa syarat umum
tersebut adalah:
 Persetujuan calon penganten
Calon penganten wanita dan pria sebelum melangsungkan
pernikahan harus menyetujui pernikahan tersebut secara sukarela
atau tampa adanya paksaan.
 Wali nikah
Wanita yang belum meniikah harus memiliki seorang wali nikah
yang sah yang dapat mewakili dia dalam proses pernikahan.
Adapun yang dapat dijadikan wali nika adalah Ayah, Kakek,
Saudara laki-laki, Paman(saudara ayah atau ibu), Qadhi(hakim
islam), dan wali yang ditunjuk.
 Mahar(mas kawin)
calon penganten pria harus memberikan maskawin kepada calon
penganten wanita sebgai tanda cinta dan komotemen.

2. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian resmi yabg dilakukan di hadapan seorang
saksi yang sah dan wali nikah. Calon penganten wanita menyatakan
persetujuannya untuk menikah dengan calon penganten pria, dan
perjanjian ini dicatat didalam akta nikah.

3. Waktu dan tempat pernikahan


Pernikahan dalam hukum fiqih islam dapat dilaksanakan pada waktu
apapun dan dalam tempat yang sah. Upacara pernikahan biasanya
dilakukan di masjid atau tempat ibadah.
4. Kesepakatan mempelai
Perjanjian perkawinan harus dilakukan dengan persetujuan bebas dan
tampa paksaan dari kedua calon pengantin.
5. Sakisi-saksi
Setidaknya ada dua saksi yang hadir selama akad nikah untuk
memberikan kesasian bahwa pernikahan tersebut telah dilangsungkan
sesuai dengan hukum fiqih.
6. Pemberian mahar
Calon penganten pria harus memberikan maha kepada calon pennganten
wanita sebagai tanda cinta dan komitmen.
7. Pencatatan pernikahan
Pernkahan harus dicatat dalam akta nikah yang sah, yang menjadi bukti
resmi sahnya pernikahantersebut.
8. Penceraian dan poligami
Hukum fiqih islam juga mengatur aturan tentang perceraian dan poligami.
Perceraian haru dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam
hukum islam, dan poligami dibatisi dengan syarat-syarat tertentu, seperti
keadilan dalam memperlakukan istri-istrinya yang ada.

B. Hukum keluarga
Hukum positif keluarga dalam konteks hukum fiqih (hukum Islam) mencakup
berbagai aspek hukum yang mengatur hubungan dan kewajiban anggota keluarga
dalam Islam. Berikut adalah beberapa aspek penting hukum positif keluarga
menurut hukum fiqih:
1. Nikah(perkawinan)
Hukum fiqih islam mengatur perkawinan sebagai instituasi utama dalam
membentuk suatu keluarga. Bebrapa prinsip hukum fiqih yang berlaku
dalam nikah adalah:
 Syarat-syarat penikahan
Pernikahan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti
persetujuan bebas calon penganten, walinikah yang sah, dan akad
nikah yang sah.
 Mahar (mas kawin)
Pihak laiki-laki harus memberikan mahar kkepada pihak
perempuan sebagai bagian dari perjanjian pernikahan.
 Poligami
Hukum fiqih mengizinkan (pernikahn dengan leebih dai satu istri)
dengan syarat-syarat tertentu, seperti keadilan dalam perlakuan
terhadap istri yang ada.

2. Perceraian (talak)
Hukum fiqih juga mengatur presedur perceraian. Peceraian harus
dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam hukum islam,
termasuk engumuman dasn iddah(periode tunggu) bagi istri yang dicerai.

3. Nafkah ( kewajiban materi)


Hukim fiqih menetapkan kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah
kepada isdtri dan anak-anaknya. Nafkah ini mencakup makanan, tempat
tinggal, pakaian, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.
4. Hak asuh anak (hak mendidik anak)
Hukum fiqih mengatur hak asuh anak dan pemeliharaan anak setelah
terjadi percerain. Anak-anak biasanya tetap dibawah asuhan ibu hingga
mereka menncapai usia tertentu, setelah itu hak asuh dapat berubah.

5. Waris (pembagian harta waris)


Hukum fiqih mengatur cara pembaagian harta warisan sesuia dengan jaran
islam. Pembagian ini mencakup ketentuan bagi suami, istri, anak-anak,
orangtua, daan keluarga lainnya.

6. Khulu’ (perceraian atas pernikahan istri)


Hukum fiqih mengizinkan istri untuk memintaa poerceraian (khulu’) jika
ada alasan yang sah, meskipun suami setuju dan persetujuan wali nikah
diperlukan dalam beberapa kasus.

7. Adopsi ( pengasuhan anak)


Hukum fiqih islam mengizinkan adopsi dalam aryi modern, namun
mengizinkan pebgasuhan anak-anak yang bukan keturunan biologis orang
tua yang mengadopsi.

8. Wasiat (pemberian pesan harta)


Hukim fiqih memungkinkan seseorang untuk meninggalkan pesan harta
(wasiat) dalam wasiatnya sebalum meninggal. Namun ada pembatasan
pada bagian harta yang dapat diberikan sebagai wasiat.

C. Hukum pengadilan agama


Pengadilan agama diberikan kewenangan untuk menangani kasus-kasus yang
berkaitan dengan hukum keluarga, pernikahan, perceraian, waris, dan masalah-
masalah hukum lainnya yang melibatkan umat islam.

1. Kewenangan pengadilan agama


Pengadilan agama memiliki kewenangan dalam menangani kasus-kasus
hukum keluarga yang melibatkan umat islam. Ini mencakup petkawinan,
perceraian, hak asuh anak, naafkah, waris, serta masalah hukum lain yang
terkait dengan hukum keluarga dalam islam. Namun kewenangan
pengadilan agama biasnya terbatas pada kasus-kasus yang melibatkan
umat islam.

2. Hukum yang ditetapkan


Pengadilan agama menerapkan prinsip-prinsip hukum fiqih islam dalam
mengambil keputsan. Ini berarti baahwa hukum positif yang digunakan
dalam pengadilan agama didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum
islam yang terkait dengan kasus tersebut. Prinsip-prinsip hukum islam ini
termasuk dalam madzhab (aliran hukum) yang diakui oleh negara.
3. Wali nikah dan saksi-saksi
Dalam pengadilan agama peran wali nikah dalam pernikahan sangat
penting. Wali nikah adalah pihak yang mewakili calon pengantin wanita
dan memberikan persetujuan untuk pernikahan tersebut. Saksi-saksi juga
menjadi penting dalam proses pernikah dan perceraian dalam pengadilan
agama.

4. Pencatatan aktaa nikah


Pengadilan agama biasanya bertanggung jawab atas pencatatan akta nikah.
Ini mencakup mencatat pernikahan dan penceraian dalam catatan resmi,
yang nantinya digunakan sebagai bukti sahnya pernikahan tersebut.

5. Mediasi dan penyelesaian perselisihan


Pengadilan agama sering akli mencoba untuk mencapai mediasi dan
penyelesaian perselisihan diantara pasangan yang mengajukan kasus
hukum keluarga. Ini bertujuan untuk memediasi pertikaian da mencari
penyelesaian yang baik bagi kedua belah pihak sebalum mengambil
langkah-langkah hukum lebih lanjut.

6. Kewenangan pengadilan umum


Dalan beberapa kasus, pengadilan agama juga bias merujuk kasus-kasus
tertent kepengadilan umum, terutama jika ada aspek hukum yang yang
tidak mencakup hukum keluarga atau ppernikahan, seprti masalah
kepemilikan property.

Anda mungkin juga menyukai