Anda di halaman 1dari 4

Nama : Putu Galuh Luwihati Arkananda

Nim : 1904551129

Kelas : C / Reguler Pagi

UAS HUKUM ISLAM

1. Apakah seorang pria muslim (beragama Islam) boleh mempunyai istri lebih dari 1 (satu)
prang? Jelaskan dengan mengacu pada komplikasi hukum islam
Jawab :
Menurut KHI, suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin
dari Pengadilan Agama. Jika perkawinan berikutnya dilakukan tanpa izin dari Pengadilan
Agama, perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 56 KHI).
Sama seperti dikatakan dalam UU Perkawinan, menurut Pasal 57 KHI, Pengadilan
Agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
jika:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain alasan untuk menikah lagi harus jelas, Kompilasi Hukum Islam juga memberikan
syarat lain untuk memperoleh izin Pengadilan Agama. Syarat-syarat tersebut juga
merujuk pada Pasal 5 UU Perkawinan, yaitu: (Pasal 58 KHI)

a. adanya persetujuan istri;


b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-
anak mereka.

Pasal 58 KHI ini juga merujuk pada Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“PP
9/1975”), yang mengatakan bahwa persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan
secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
Jika si isteri tidak mau memberikan persetujuan, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di
persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI).

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 43 PP 9/1975 yang menyatakan bahwa:
”Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih
dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri
lebih dari seorang”.

2. Apakah Talak Cerai yang diucapkan suami terhadap istrinya diluar siding Pengadilan
Agama mempunyai kekuatan Hukum dan menentukan sahkan perceraian ?
Jawab :
Pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUP, bahwa perceraian hanya bisa dilakukan melalui
proses sidang di pengadilan, dalam hal ini untuk orang yang beragama Islam di
Pengadilan Agama. Pasal 39 ayat (1) UUP menyatakan: “Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan”. Di dalam hukum yang berlaku di Indonesia yang
mengatur tentang perkawinan, tidak diatur dan tidak dikenal pengertian talak di bawah
tangan. Pengertian talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Pasal 117 KHI
menyatakan: “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 129, 130, dan 131”.
Dengan demikian, talak menurut hukum adalah ikrar suami yang diucapkan di depan
sidang pengadilan agama. Sedangkan apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar
pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah secara
hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang pengadilan agama. Akibat dari
talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri
tersebut belum putus secara hukum, atau dengan kata lain, baik suami atau istri tersebut
masih sah tercatat sebagai suami-istri.
3. Apa syaratnya mewakafkan tanah hak milik pribadi untuk pembangunan tempat ibadah
dapat dikatakan sah menurut Hukum Islam ?
Jawab :
Menurut hukum Islam, wakaf dikatakan sah apabila memenuhi dua persyaratan. Pertama,
tindakan atau perbuatan yang menunjukkan pada wakaf. Kedua, mengungkapkan niatan
untuk wakaf baik lisan maupun tulisan. Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk melakukan wakaf secara sah.
a. Al-Waqif
Pewakaf harus cakap bertindak dalam memakai hartanya. Yang dimaksud dengan
cakap bertindak antara lain merdeka, berakal sehat, dewasa, dan tidak dalam keadaan
bangkrut.
b. Al-Mauquf
Harta benda yang diwakafkan dianggap sah jika memenuhi syarat berikut ini:
- Benda yang diwakafkan harus berharga atau bernilai.
- Benda tersebut adalah milik pewakaf sepenuhnya.
- Benda yang diwakafkan harus diketahui kadarnya.
- Benda tersebut dapat dipindahkan kepemilikannya dan dibenarkan untuk
diwakafkan.
c. Al-Mauquf ‘Alaih
Berdasarkan klasifikasi, ada dua macam pihak yang menerima manfaat wakaf
(nadzir), yaitu pihak tertentu (mu’ayyan) dan pihak tidak tertentu (ghaira mu’ayyan).
Maksud dari pihak tertentu adalah penerima manfaat merupakan seorang atau
sekumpulan orang tertentu saja dan tidak boleh diubah. Sedangkan yang tidak tertentu
adalah manfaat wakaf yang diberikan tidak ditentukan secara terperinci, contohnya
kepada fakir miskin, tempat ibadah, dan lain-lain.
d. Sighah
Ini adalah syarat yang berhubungan dengan isi ucapan pada saat melakukan wakaf
atau pernyataan pewakaf sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harta bendanya.
Syaratnya antara lain:
- Ucapan harus mengandung kata-kata yang menunjukkan kekal, karena akan
menjadi tidak sah jika ucapan mengandung batas waktu tertentu.
- Ucapan bisa direalisasikan segera, tanpa ada syarat-syarat tambahan.
- Ucapan bersifat pasti.
- Ucapan tidak mengandung syarat yang bisa membatalkan
4. Apakah seorang anak yang beragama Hindu berhak atas warisan ibunya yang beragama
Islam ? jelaskan dan hak apa saja yang dapat diterima oleh anak itu terkait dengan harta
warisan ibunya !
Jawab :
Di dalam Hukum Waris Islam ada 3 hal yang menghalangi seseorang mewaris, yaitu :
- yang membunuh pewaris
- yang berbeda agama dengan Pewaris, dan
- karena perbudakan.
Kedudukan anak non muslim terhadap harta warisan pewaris beragama Islam
adalah bukan sebagai ahli waris. Hukum Waris Islam pada prinsipnya tidak
mengakui anak yang non muslim untuk dapat mewaris dari orang tuanya yang
merupakan seorang muslim. Hukum Islam menentukan bahwa pewarisan
bertujuan untuk memelihara harta dan keturunan sebagaimana merujuk pada konsep
maqashid al-syariah (tujuan diturunkannya syariat Islam).

Anda mungkin juga menyukai