Anda di halaman 1dari 66

tami, Nofi Sri. 2011.

Mediasi Dalam Persidangan Izin Poligami di Pengadilan Agama Kota


Malang. Skripsi, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang. Pembimbing (1) Prof. Dr. H. Suko Wiyono, S.H.,
M.H. (II) Nuruddin Hady, S.H., M.H

Kata Kunci : Mediasi, Persidangan Izin Poligami, Pengadilan Agama Kota Malang

Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang dapat memberikan akses yang lebih
besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa
keadilan. Sebelum dilakukan pelaksaanaan mediasi maka pelaku harus memenuhi persyaratan
mediasi yang ditentukan oleh pengadilan, dalam pelaksanaan mediasi masih banyak pelaku izin
poligami yang belum mengerti akan keefektifan dilakukanya mediasi. Berkaitan dengan itu,
maka diperlukan pembahasan mengenai mediasi dalam persidangan izin poligami.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan beberapa hal yang mencakup
Faktor-faktor yang mendorong seorang suami untuk melakukan izin poligami, keefektifan
mediasi dalam persidangan izin poligami di Pengadilan Agama Kota Malang, pelaksanaan
mediasi dalam proses persidangan di Pengadilan Agama Kota Malang, keberhasilan mediasi
dalam proses persidangan izin poligami di Pengadilan Agama Kota Malang.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian yang
berupa paparan data permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Kota Malang tahun 2010.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara dan observasi. Instrumen
yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa instrumen manusia, yaitu peneliti sendiri.
Untuk menjaga keabsahan data, dilakukan kegiatan trianggulasi data. Kegiatan analisis data
dimulai dari tahap penelaah data, tahap identifikasi data, dan tahap evaluasi data.
Berdasarkan hasil analisis data tersebut, diperoleh empat simpulan hasil penelitian sebagai
berikut. Pertama, masalah Faktor-faktor yang mendorong seorang suami untuk melakukan izin
poligami. Banyak faktor yang mendorong seorang melakukan poligami meliputi istri tidak mau
dicerai, suami merasa mampu secara materi, negara membolehkan poligami serta dalam islam
tidak dilarang. Dengan faktor tersebut maka seorang suami melakukan poligami.
Kedua, masalah keefektifan mediasi dalam persidangan izin poligami di Pengadilan Agama
Kota Malang. Mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Kota Malang sangatlah efektif.
Dimana keefektifan ini ditunjukan dengan kejelasan para pihak mengenai hak dan kewajiban

yang harus dilakukan saat melakukan poligami sehingga para pihak yang melakukan izin
poligami tidakada yang dirugikan karena sama-sama mengetahui kemauan masin-masing.
Ketiga, masalah pelaksanaan mediasi dalam proses persidangan di Pengadilan Agama Kota
Malang. Pelaksanaan mediasi ada 2 tahap yaitu tahap pramediasi dan pelaksanaan mediasi.
Dimana pramediasi merupakan tahap dimana pelaku izin poligami mendapatkan tawaran
mediator dari pengadilan serta melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan dalam melakukan izin
poligami sedangan pelaksanaan mediasi merupakan tahap dimana pelaku izin poligami bertemu
secara langsung yang dipimpin oleh seorang mediator yang telah dipilih oleh pelaku izin
poligami maupun ditentukan oleh pengadilan.
Keempat, masalah keberhasilan mediasi dalam persidangan izin poligami di Pengadilan Agama
Kota Malang. Mediasi dikatakan berhasil jika pelaku-pelaku poligami tidakada yang keberatan
dengan dilakukanya poligami dan hakim telah melaksanakan tugasnya menjadi mediator dengan
memberikan nasehat-nasehat yang baik kepada pelaku poligami. Jika mediasi dinyatakan
berhasil maka Pengadilan Agama akan membuatkan akta perdamaian yang disetujui oleh para
pihak izin poligami kemdian digunakan sebagai bukti untuk menikah lagi. Sedangkan jika gagal
maka akan dilanjutkan ke tahap persidangan.

rosedur Poligami yang Sah


Saya ingin menanyakan bagaimana cara mendapatkan status istri sah (istri kedua) jika calon
suami sudah beristri, menurut agama dan menurut hukum? Dalam hal ini istri pertama tidak
menyetujui suami menikah lagi. Terima kasih.
dian agustin
Jawaban:
Letezia Tobing, S.H., M.Kn.
Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut, hukum Perkawinan Indonesia berasaskan monogami.
Asas monogami lebih ditegaskan lagi di dalam bunyi Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatakan bahwa
pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Di mana seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami. Ini berarti sebenarnya yang disarankan oleh undang-undang adalah
perkawinan monogami.
Akan tetapi, UU Perkawinan memberikan pengecualian, sebagaimana dapat kita lihat Pasal 3 ayat (2) UU
Perkawinan, yang mana Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka si suami wajib mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat [1] UU Perkawinan). Dalam Pasal 4 ayat (2) UU

Perkawinan dijelaskan lebih lanjut bahwa Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada si suami untuk beristeri
lebih dari satu jika:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain hal-hal di atas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk beristeri lebih dari satu orang, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Pasal 5 ayat [1] UU Perkawinan):
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan isteri/isteri-isterinya tidak diperlukan jika isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan
(Pasal 5 ayat [2] UU Perkawinan).
Anda tidak menyebutkan agama apa yang Anda maksud. Dalam hal ini, kami akan membahasnya menurut hukum
Islam. Dalam Hukum Islam pengaturan tentang poligami merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Ketentuan KHI menyangkut poligami tidak jauh berbeda dengan UU Perkawinan. Hanya saja di dalam KHI
dijelaskan antara lain bahwa pria beristeri lebih dari satu diberikan pembatasan, yaitu seorang pria tidak boleh
beristeri lebih dari 4 (empat) orang. Selain itu, syarat utama seorang pria untuk mempunyai isteri lebih dari satu
adalah pria tersebut harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anaknya (Pasal 55 KHI).
Menurut KHI, suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama.
Jika perkawinan berikutnya dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, perkawinan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum (Pasal 56 KHI).
Sama seperti dikatakan dalam UU Perkawinan, menurut Pasal 57 KHI, Pengadilan Agama hanya memberi izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang jika:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain alasan untuk menikah lagi harus jelas, Kompilasi Hukum Islam juga memberikan syarat lain untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama. Syarat-syarat tersebut juga merujuk pada Pasal 5 UU Perkawinan, yaitu:
(Pasal 58 KHI)
a. adanya persetujuan istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
Pasal 58 KHI ini juga merujuk pada Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975), yang mengatakan bahwa
persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.

Jika si isteri tidak mau memberikan persetujuan, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin
setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI).
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 43 PP 9/1975 yang menyatakan bahwa: Apabila Pengadilan
berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan
putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Menurut Mukti Ali Jalil, S. Ag., M.H., Wakil Panitera Pengadilan Agama Bengkalis, dalam eseinya Tinjauan SosioFilosofis Urgensi Pemberian Izin Poligami Di Pengadilan Agama (diunduh dari www.pt-bengkalis.go.id), izin
berpoligami oleh Pengadilan Agama dapat diberikan apabila alasan suami telah memenuhi alasan-alasan alternatif
sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dan syarat-syarat kumulatif yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1)
UU Perkawinan sebagaimana tersebut di atas.
Menurut Mukti Ali, kedudukan izin untuk berpoligami menurut ketentuan di atas adalah wajib, sehingga apabila
dilakukan tanpa lebih dahulu mendapat izin, maka perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan
demikian perkawinan itu juga tidak sah karena dianggap tidak pernah telah terjadi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
3. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Referensi:
Mukti Ali Jalil, S. Ag., M.H.,Tinjauan Sosio-Filosofis Urgensi Pemberian Izin Poligami Di Pengadilan Agama,
diunduh pada 18 Maret 2013 dari http://www.pa-bengkalis.go.id/images/stories/berita/Data/Tinjauan-poligami.pdf.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.

PERJANJIAN, PERKAWINAN WANITA HAMIL DAN POLIGAMI DLAAM


HUKUM PERKAWINAN

A. PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN

Perjanjian dlaam pelaksanaan perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yakni
sebagai berikut:
(1)

Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2)

Pernjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan

(3)

Pernanjian tersebut berlaku sejak perkawinana dilangsungkan

(4)

Selama perkawinana berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Penjelasan Pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik
talak. Namun Pasal 11 dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 menyebutkan suatu
peraturan yang bertentangan. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:

(1) Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
islam
(2) Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangi
oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan
(3) Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama
Isi Pasal 11 tersebut, dirinci oleh Pasal 45 sampai Pasal 52 KHI, yiatu kedua calon mempelai
dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: a) taklik talak; dan b) perjanjian lain
yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Perjanjian perkawinan yang dijelaskan oleh Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, telah diubah atau
setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu perjanjian perkawinan dalam
Kompilasi Hukum Islam seperti dijelaskan dibawah ini.
Pasal 46 KHI
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam
(2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan
sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya
ke Pengadilan Agama
(3) Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinana, akan
tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Ayat (3) KHI di atas bertentangan dengan Pasal 29 ayat 4 UU No. 1 Tahun 1974 yang
mengungkapkan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah kecuali
ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah, maka dalam
penjelasannya disebutkan tidak termasuk taklik talak. Sebab, naskah perjanjian taklik talak,
dilampirkan dalam salinan Akta Nikah yang sudah ditandatangani oleh suami. Oleh karena itu,
perjanjian taklik talak tidak dapat dicabut kembali. Dapat dipahami bahwa sebelum pelaksanaann
akad nikah Pegawai Pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang
dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun teknis
bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka besama. Selama perjanjian itu berupa taklik
talak, Menteri Agama telah mengaturnya. Sebagai ccontoh dapat diungkapkan teks taklik talak
sebagai berikut:

Sesudah akad nikah, saya bin berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati
kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama binti
dengan baik (mu'asyarah bil ma'ruf) menurut aaran syariat Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas istri saya itu seperti berikut:
Sewaktu-waktu saya:
(1) Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut
(2) Atau saya tidak memberi nafkah waktu kepadanya tiga bulan lamanya
(3) Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu
(4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas
yang diberi hak pengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh
pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,00
(sepuluh ribu rupiah) sebagai iwad (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu
kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang
iwad (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.
Palu, 28 September 2005
Suami,

...........................................
Tanda Tangan dan Nama
Naskah taklik talak terseubt perlu diperiksa secara teliti oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
berdasarkan Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. hal itu, diungkapkan
sebagai berikut:

(1) Apabila pada waktu pemeriksaan nikah calon suami istri telah menyetujui adanya taklik talak
sebagai dimaksudkan Pasal 11 ayat 3 peraturan ini, maka suami mengucapkan dan
menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya itu setelah akad nikah dilangsungkan.
(2) Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah
akad nikah suami tidak mau mengucapkannya, maka hal ini segera diberitahukan kepada pihak
istrinya
Ketika menerima gugatan perceraian dari pihak istri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam
taklik talak, Pengadilan Agama harus benar-benar meneliti apakah sang suami menyetuji dan
mengucapkan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan
sighat taklik talak dapat dilihat pada akta nikahnya, meski tidak atau belum sepenuhnya dapat
dijamin kebenarannya.
Kalau suami menandatangi di bawah sighat taklik talak, ia dianggap menyetujui dan membaca
sighat tersebut, kecuali ada keterangan lain.
Apabila memperhatikan sighat taklik talak, dapat dipahami bahwa maksud yang kandungannya
amat baik dan positif kepastian hukumnya, yaitu melindungi perempuan dari kesewenangwenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, yang merupakan hak-hak sang istri yang harus
diterimanya. Meskipun sang istri sudah mendapat hak baik hak khulu' (gugat cerai) maupun hak
fasakh. Oleh karena itu, amat penting untuk memperhatikan persetujuan suami yang dibuktikan
dnegan membubuhi tanda tangan atau tidak setuju membubuhkan tanda tangan ada sighat taklik
talak. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekeliruan dan kesulitan dalam
menyelesaikan persoalan yang muncul dari sighat dimaksud.

Selain itu, perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh kedua belah pihak mengenai harta
bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian
perkawinan diatur oleh Pasal 47 s/d 52 KHI.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam
(3) Di samping ketentuan dalam ayat 1 dan 2 di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan
kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan atas harta pribadi dan harta bersama atau
harta syarikat.
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat,
maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat 1 dianggap
tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung
biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat 1 dapat juga diperjanjikan bahwa
percampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan
dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama
perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50 KHI
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung
mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan
wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami istri tetapi terhadap pihak
ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami istri
dalam suatu surat kabar setempat.
(4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan,
pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boelhmerugikan perjanjian yang telah
diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51 KHI
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri meminta pembatalan nikah
atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama
Pasal 52 KHI
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat, boleh
diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang
akan dinikahinya itu.

B. PERKAWINAN WANITA HAMIL


Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah,
kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Oleh karena itu, masalah kawin dengan
perempuan yang hamil diperlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana terutama oleh Pegawai
Pencatat Nikah. Hal itu dimaksudkan adanya fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran
masyarakat muslim terhadap kaidah-kaidah moral, agama dan etika sehingga tanpa ketelitian
terhadap perkawinan wanita hamil memungkinkan terjadinya seorang pria yang bukan
megnhamilinya tetapi ia menikahinya. Pasal 53 KHI mengatur perkawinan, sebagaimana
diungkapkan dibawah ini.
(1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang mengahamilinya
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu
lebih dahulu kelahiran anaknya
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidka diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dasar pertimbangan KHI terhadap perkawinan wanita hamil adalah Surah An-Nur (24) ayat 3
yang berbunyi:

T#9$# w x3Zt w) puR#y rr& Zpx.B


puR#9$#ur w !$ygs3Zt w) Ab#y rr& 8B 4
tPhmur y79s n?t tZBsJ9$#
Artinya: "Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin"
Ayat al-Qur'an diatas, menunjukkan bahwa kebolehan perempuan hamil kawin dengan laki-laki
yang menghamilinya merupakan pengecualian. Oleh karena itu, laki-laki yang menghamili itulah

yang tepat menjadi suaminya. Selain itu, pengidentifikasian dnegan laki-laki musyrik
menunjukkan keharaman wanita yang hamil dimaksud menjadi syarat larangan terhadap laki-laki
yang baik untuk mengawininya. Persyaratan tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat penutup
pada ayat al-Qur'an dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 221 (wahurrima dzalika 'ala almu'minin)
bahwa selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil diharamkan oleh Allah untuk
menikahinya.
Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah seorang perempuan yang hamil sebagai akibat zina
dinikahi oleh seorang laki-laki yang bukan menghamilinya (dalam bahasa Bugis disebut
passampo siri). Ketentuan ini tidak diatur oleh UU Perkawinan maupun KHI. Dengan demikian
penulis berpendapat bahwa kalau hal ini terjadi maka anak yang lahir adalah anak zina dan
sesudah ibunya melahirkan sebaiknya dinikahkan ulang dengan laki-laki yang mengawininya
ketika ia hamil.
C. ALASAN, SYARAT DAN PROSEDUR POLIGAMI
1. Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin
beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974).
Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UU
Perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut:
Pengadilan Agama memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila;
a.

Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c.

Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Apabila diperhatikan alasna permberian izin melakukan poligami diatas, dapat dipahami bahwa
alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah dan rahmah)
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa
suami istri maka dapat dianggaprumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga
bahagia (mawaddah dan rahmah).
2. Syarat-Syarat Poligami
Pasal 5 UU No 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri
lebih dari seorang sebagai berikut:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat 1 undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.

Adanya persetujuan dari istri/istri-istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka
c.

Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri/istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidakdapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan
Agama
3. Prosedur Poligami

Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyebutkan
bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan eprmohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam
Pasal 56, 57, dan 58 KHI sebagai berikut.
Pasal 56 KHI
(1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana
diatur dalam BAB VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
(3) Perkawinan yang dilakuan dnegan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum
Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya membeirkan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a.

Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.

Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Kalau pengadilan agama sudah menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memeriksa
berdasarkan Pasal 57 KHI:
a.

Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi

b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, apabila
persetujuan itu merupakan persetuuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang
pengadilan

c.

Ada atua tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak,
dengan memperlihatkan:
i.

Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat
bekerja atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan
iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan
Pasal 58 ayat 2 KHI

Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun
telah ada persetujuan tertulis persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang
Pengadilan Agama.
Adapun tata cara teknis pemeriksaannya menurut Pasal 42 PP No. 9 Tahun 1975 adalah sebagai
berikut:
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus
memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan
(2) Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Apabila terjdai sesuatu dan lain hal, istri atau istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya
atua tidak dapat menjadi pihak dlama perjanjian, UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat 2
menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri/istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidka ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-kurangnya 2

(dua) tahun atua karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim
Pengadilan (bandingkan juga Pasal 58 KHI). Namun, bila pengadilan berpendapat bahwa cukup
alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya
yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 43 PP No. 9 Tahun 1975).
Kalau sang istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih
dari satu orang berdasarkan salah satu alasan ynag diatur dalam Pasal 55 ayat 2 dan Pasal 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri
yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau
suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan
Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat Nikah dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pegnadilan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP No. 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di atas
mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dna pegawai pencatat
perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas
dikenakan sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam BAB IX Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975:
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat
3, 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggitingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah)

b. Pegawai Pencatat yang melanggar yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat 1,


11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh
ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat 1 diatas merupakan pelanggaran.
Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin
Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan dimaksud,
terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan
abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang diridai oleh Allah swt. Oleh karena itu, segala
persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan
tersebut, sehingga mesti dihilangkan atau setidaknya dikurangi.
Status hukum poligami adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternatif untuk beristri hanya
sebatas 4 (empat) orang istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut:
(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri
lebih dari seorang.
Dasar pertimbangan KHI adalah hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Ahmad,
at-Tirmizi dan Ibn Hibban yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Gilan ibn Salamah masuk
Islam dan ia mempunyai 10 (sepuluh) ornag istri. Mereka bersama-sama dia masuk Islam. Maka
Nabi Muhamad saw memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja di antaranya dan
menceraikan yang lainnya.

Perjanjian Perkawinan Tentang Larangan Bagi Suami Untuk Berpoligami


A. Kedudukan Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam BAB V pasal 29, yaitu
sebagai berikut:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan
kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari bunyi pasal ini sebenarnya tidak begitu jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut.
Menurut Martiman Prodjohamidjodjo, perjanjian dalam pasal 29 ini lebih sempit karena hanya
meliputi perikatan yang bersumber dari persetujuan (perjanjian) saja dan pada perbuatan yang
tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi perikatan yang bersumber pada undang-undang.
Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk
di dalamnya taklik talak sebagaimana yang termuat dalam surat nikah. Hal ini sebagaimana
penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik
talak.
Selanjutnya menurut Henry Lee A Weng di dalam disertasinya menyatakan bahwa perjanjian
perkawinan bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga
meliputi syarat-syarat atau keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak
sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
Dari pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, perjanjian perkawinan itu:
1. Persetujuan perjanjian perkawinan tersebut diperbuat secara tertulis.
2. Perjanjian perkawinan tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
3. Sejak pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, isi ketentuan perjanjian tersebut
menjadi sah kepada suami isteri dan juga terhadap pihak ketiga, sepanjang isi ketentuan yang
menyangkut pihak ketiga.
4. Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak tanggal hari perkawinan dilangsungkan.
5. Perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah selama perkawinan, jika perubahan tersebut
dilakukan secara sepihak. Tetapi jika perubahan atas kehendak bersama maka dapat dilakukan.
6. Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi ketentuan perjanjian itu melanggar
batas-batas hukum Agama dan kesusilaan.
Adapun Menurut Sayyid Sabiq sifat perjanjian itu dapt dibedakan menjadi:
1. Syarat yang wajib dipenuhi, yaitu yang termasuk dalam rangkaian dan tujuan perkawinan dan
tidak mengandung hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya. Misalnya:
mensyaratkan untuk menggauli istri dengan baik, memberikan belanja, pakaian, dan tempat
tinggal yang pantas, tidak membelanjakan harta suaminya kecuali dengan izinnya dan lain
sebagainya.
2. Syarat yang tidak wajib dipenuhi, yaitu syarat yang menyalahi hukum perkawinan, seperti:
suami mensyaratkan untuk tidak memberi belanja, tidak mau bersetubuh atau kawin tanpa mahar
dan lain sebagainya.

3. Syarat-syarat yang menguntungkan isteri seperti: suami tidak boleh menyuruh isterinya keluar
dari rumah atau kampung halamannya, bepergian dengannya (isteri) atau istri tidak mau
dipoligami. Ulama sepakat akan sahnya perkawinan dengan syarat semacam ini akan tetapi
mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya memenuhi syarat yang telah diperjanjikan.
Ikhtilaf tersebut antara lain:
a. Madzhab Abu Hanifah, Syafii, dan sebagian besar ulama. Menurut mereka syarat-syarat
tersebut tidak berlaku dan suaminya tidak harus memenuhinya. Alasan mereka sebagai berikut:
1) Sabda Rasulullah Saw:

Orang Islam itu terkat dengan syarat mereka kecuali kalau syarat tadi menghalalkan yang
haram, atau mengharamkan yang halal
Menurut pendapat pertama poligami, melarang pergi dari rumah, dan pergi bersama dihalalkan
oleh agama sehingga perkawinan dengan syarat tidak dipoligami, tidak boleh melarang keluar,
atau pergi bersama sebagaimana disebutkan di atas samahalnya dengan mengharamkan sesuatu
yang haram.
2) Sabda Rasulullah Saw:

Tiap-tiap syarat yang tdak ada dalam kitab Allah adalah batal, sekalipun ada seratus syarat
Mereka mengatakan bahwa syarat-syarat tersebut tidak ada dalam kitab Allah karena memang
tidak ada ketentuannya dalam agama.
3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak mengandung kemaslahatan dalam perkawinan dan tidak
pula termasuk dalam rangkaiannya.
b. Umar bin Khattab, Saad bin Abi Waqash, Muawiyah, Amru bin Ash, Umar bin Abdul Azis,
Jabir bin Zaid, Thawus, Auzai, Ishaq, dan golongan Hanbali. Menurut mereka apa yang sudah
disyaratkan kepada isterinya wajib dipenuhi. Alasan mereka sebagai berikut:
1) Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 1:
Wahai orang-orang yang beriman! Sempurnakan janji-janjimu
2) Sabda Rasulullah Saw:

Orang Islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian) mereka
3) Hadits Bukhari, Muslim dan lain-lain yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, Rasulullah
Saw. Bersabda:

Perjanjian yang paling patut ditunaikan yaitu yang menjadikan halalnya hubungan kelamin
bagi kamu
4) Diriwayatkan oleh Atsram dengan sanadnya sendiri bahwa pernah ada seorang laki-laki
menikah dengan seorang perempuan dengan janji tetap tinggal dirumahnya (perempuan),
kemudian suminya bermaksud mengajaknya pindah, lalu keluarganya mengadukan perkara ini
kepada Umar bin Khattab, maka Umar memutuskan bahwa perempuan itu berhak atas janji
suaminya. (Hak suami atas isteri batal karena ada perjanjian).
5) Janji-janji yang diberikan oleh suami kepada isterinya mengandung manfaat dan maksud,
asalkan maksudnya tadi tidak untuk menghalangi perkawinan maka sah hukumnya sebagaimana
kalau perempuan mensyaratkan agar suaminya mau membayar maharnya lebih tinggi.
Ibnu Qudamah menguatkan pendapat yang kedua dan melemahkan pendapat yang pertama.
Beliau mengatakan bahwasanya para sahabat pada masanya tidak ada yang berbeda pendapat
mengenai syarat ini, bahkan sudah menjadi ijma.

Lebih lanjut Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa Sabda Rasulullah ()


maksudnya adalah syarat yang tidak ada dalam hukum Allah dan agamanya. Padahal masalah ini
hukumnya boleh sebagaimana telah djelaskan olehnya di atas beserta dalil-dalilnya. Mengenai
perkataan mereka yang mengatakan bahwa perjanjan seperti di atas itu mengharamkan yang
halal, maka dijawab oleh Sayyid sabiq bahwa maksudnya bukanlah untuk mengharamkan yang
halal akan tetapi untuk memberikan kepada perempuan hak meminta fasakh jika suami tidak
dapat memenuhi persyaratan yang diterimanya. Dan perjanjian semacam ini bukanlah perjanjian
yang tak ada maslahatnya, bahkan merupakan maslahat bagi si isteri, karena apa yang bisa
menjadi maslahat bagi satu pihak yang berakad berarti pula menjadi maslahat di dalam akadnya.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebab perbedaan pendapat di atas adalah karena
mempertentangkan dalil yang umum dengan dalil yang khusus. Dalil yang umum yaitu hadits
Aisyah (... ) dan dalil yang khusus yaitu hadits Uqbah bin Amir
(....) . kedua hadits ini sahih dan kedua-duanya diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, tetapi menurut ahli ushul fiqh yang masyhur terpakai adalah memenangkan dalil yang
khusus, yaitu memenuhi janji-janj yang diadakan dalam perkawinan.
4. Syarat-syarat yang dilarang agama
Syarat-syarat yang oleh agama dilarang dan diharmkan untuk menepatinya, yaitu perempuan
yang mensyaratkan kepada suaminya agar mentalak madunya.
B. Hak Poligami bagi Suami dengan Adanya Perjanjian Perkawinan
Pada dasarnya Praktek Poligami diperbolehkan oleh agama dan negara. Meskipun di Indonesia
dalam hal perkawinan menganut asas monogami. Berkenaan dengan poligami, Allah SWT.
berfirman:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 juga mengatur tentang praktek poligami. Dalam pasal 3 ayat
(2) yang berbunyi, Pengadilan dapat memberi izin kelpada seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan. Kompilasi Hukum Islam
pada pasal 55 juga mengatur tentang poligami. Isi pasal tersebut menjelaskan bahwa praktek
poligami hanya diperbolehkan terbatas sampai empat istri dan suami dapat berlaku adil terhadap
istri dan anak-anaknya.
Hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaanya agar poligami dapat
dilaksanakan, akan tetapi di Indonesia teknis tentang pelaksanaan poligami sudah tertata rapi
tersirat dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Komplasi Hukum Islam.
Adanya perjanjian perkawinan untuk tidak berpoligami merupakan hak istri dan syarat seperti itu
sah. Muhammad Hasbi Ash Siediqiy berpendapat pada keharusan memenuhi segala syarat yang
manfaatnya kepada wanita, sehingga dia mau dinikahi.
Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa suami mempunyai tanggung jawab kepada
isterinya. Artinya, isteri telah mensyaratkan kepada suami untuk menepati janji yang telah
diucapkan atau ditepati pada waktu akad nikah, bila tidak ditepati, maka suami akan melanggar
hak isteri atau suami meniggalkan kewajiban.
Perjanjian untuk tidak berpoligami ada sedikit perbedaan pendapat mengenai kebolehannya.
Sebagaimana tertulis dalam kitab Al-Umm, Imam Syafii berpendapat, sebuah persyaratan yang

tidak ada dalam kitab Allah adalah batal, karena Rasulullah SAW, membatalkan setiap
persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batal, beliau juga beralasan bahwa Allah
Swt menghalalkan kepada seorang laki-laki mengawini empat orang wanita, apabila isterinya
mensyaratkan padanya. Bahwa suami tidak boleh kawin lagi, maka isteri itu melarang hak suami
tentang apa yang telah dilapangkan oleh Allah SWT kepadanya.
Kami sebagai pemakalah berpendapat bahwa keberadaan perjanjian untuk tidak berpoligami
merupakan suatu yang absah, sehingga hak poligami bagi sang suami terhalang dengan adanya
perjanjian tersebut. Pada hakikatnya perjanjian tersebut disepakati oleh kedua belah pihak. Jadi,
antara suami dan istri pasti memahami konsekuensinya. Janji-janji yang diberikan oleh suami
kepada isteri, begitu pula sebaiknya terdapat manfaat dan maksud, yang asalkan maksudnya tadi
tidak menghalangi tujuan substansial perkawinan, maka sah hukumnya.
Ketika adaperjanjian untuk tidak berpoligami dianggap mengharamkan suatu yang halal,
pemakalah mencoba mengutip pendapat Ibnu Qudamah, beliau berpendapat, bukan
mengharamkan yang halal, akan tetapi maksudnya untuk memberikan kepada perempuan hak
meminta fasakh bila mana si suami tidak dapat memenuhi persyaratan yang diterimanya. Dan
jika ada yang menganggap bahwa hal itu tidak ada maslahatnya, Ibnu Qudamah berpendapat,
hal itu merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuannya. Karena apa yang bisa menjadi suatu
maslahat bagi satu pihak yang mengadakan akad berarti pula menjadi suatu maslahat didalam
akadnya.
C. Akibat Pelanggaran Perjanjian Perkawinan
Setiap perjanjian harus ditepati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Sebagaimana firman Allah yang artinya sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janjimu. (Q.S. Al Maidah: 1)
Perjanjian yang dilanggar, pasti ada konsekuensi yang diterima. Dalam hal pelanggaran
perjanjian untuk tidak berpoligami, Sayid Sabiq berpendapat bahwa ketika penjanjian untuk
tidak dimadu itu dilanggar, maka si istri berhak menuntut fasakh kepada sang suami.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 51 yang menjelaskan tentang pelanggaran suatu perjanjian
perkawinan, pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta
pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Hamdani
.
Risalah
Nikah.
Jakarta:
Pustaka
Amani,
1989
Idris Asyafii, Muhammad Ibnu. al-Umm. Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1973
Meliala, Djaja S. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan. Bandung:
Penerbit
Nuansa
Aulia,
2008
Nuruddin, H. Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana,
2004
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Sayyid Sabiq,
Fiqh Sunnah Juz II. Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, 2006
Tutik, Titik Triwulan dan Trianto. Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2007
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN (PERJANJIAN
PRANIKAH) SERTA AKIBAT HUKUMNYA BAGI PELAKU DIHUBUNGKAN DENGAN

HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG


PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis, suku, agama dan golongan. Sebagai
salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara yang kompleks dan plural.
Berbagai masyarakat ada di sini. Namun Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang
teguh adat ketimuran yang terkenal sopan dan sifat kekeluargaan yang tinggi. Namun dengan
bergulirnya zaman dan peradaban, kehidupan masyarakat kini semakin kompleks dan rumit.
Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun sebagai mahkluk
sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena manusia sejak lahir, hidup berkembang dan
meninggal dunia selalu di dalam lingkungan masyarakat dan menjadi kodrat manusia untuk
hidup berdampingan dengan sesama manusia dan berusaha untuk meneruskan keturunan dengan
cara melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan
setiap manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita akan
menimbulkan akibat lahir maupun batin antara mereka, terhadap masyarakat dan juga
hubungannya dengan harta kekayaan yang diperoleh di antara mereka baik sebelum, selama
maupun sesudah perkawinan berlangsung.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga
sejahtera bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab.
Bagaimanapun juga suatu perkawinan yang sukses tidak dapat diharapkan dari mereka yang
masih kurang matang, melainkan menuntut kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan
psikis dan mental, untuk itu suatu perkawinan haruslah diawali dengan suatu persiapan yang
matang pula.
Perkawinan menurut hukum Islam yang disebut dengan Nikah, yaitu salah satu asas hidup yang
utama dalam masyarakat beradab dan sempurna, karena menurut Islam bahwa perkawinan bukan
saja salah satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan,
tetapi juga sebagai salah satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum
lainnya. Menurut Hukum Islam, nikah merupakan suatu akad yaitu akad yang menghalalkan
pergaulan (hubungan suami isteri) dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong
antara laki-laki dan seorang perempuan yang dua-duanya bukan muhrim, artinya apabila seorang
pria dan seorang perempuan bersepakat diantara mereka untuk membentuk suatu rumah tangga,
maka hendaknya kedua calon suami isteri tersebut terlebih dahulu melakukan akad nikah.
Calon pasangan suami isteri sebelum melangkah ke jenjang perkawinan ada kalanya membuat
suatu perjanjian kawin. Perjanjian perkawinan lebih sering dilakukan pada golongan penduduk
yang tunduk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata saja, tetapi dengan keluarnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai Undang-undang Perkawinan yang bersifat
Nasional dan tidak membedakan tentang penggolongan penduduk, maka skripsi ini membahas
tentang perjanjian perkawinan sehubungan dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan nomor
1 Tahun 1974 tersebut.
Perjanjian perkawinan ini dicantum dalam Undang-undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974,
maka anggapan masyarakat bahwa perjanjian perkawinan tersebut hanya ada di Kitab Undangundang Hukum Perdata (BW) adalah tidak benar. Isi yang diatur di dalam perjanjian kawin
tergantung pada pihak-pihak calon suami-calon istri, asal tidak bertentangan dengan undangundang, agama dan kepatutan atau kesusilaan. Bentuk dan isi perjanjian kawin, sebagaimana
halnya dengan perjanjian pada umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan (sesuai

dengan asas hukum kebebasan berkontrak) asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan atau tidak melanggar ketertiban umum.
Kondisi masyarakat yang makin demokratis dan kritis, isi perjanjian perkawinan pun mengalami
perkembangan, yang dicantumkan tak lagi hanya urusan pemisahan harta dan piutang, tapi juga
urusan pembagian biaya keluarga, penyelesaian perselisihan dalam rumah tangga, kebiasaan
mengoleksi barang langka yang tergolong mahal, mengatur terhadap profesi masing-masing
calon suami istri selama perkawinan berlangsung, hingga klausul tentang kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Semua itu kini bisa dimasukkan sebagai bagian dari perjanjian kawin.
Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 bukan hanya mengatur masalah harta benda dan akibat perkawinan saja melainkan juga
meliputi hak-hak/kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang perjanjian itu
tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Di samping itu dalam
penjelasan Pasal 29 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, ditegaskan bahwa
perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 29 tersebut tidak termasuk talik talak. Sedang di dalam
Hukum Islam mengenai perjanjian perkawinan tidak diatur secara khusus seperti halnya
perjanjian perkawinan yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan
demikian sah menurut hukum yang berlaku dan sah pula menurut hukum Islam. Maka disini
kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Talik Talak, dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
Akibat dari suatu perkawinan memiliki dimensi yang cukup luas antara lain sosial dan hukum,
mulai pada saat perkawinan, selama perkawinan maupun setelah perkawinan, karena dalam suatu
perkawinan banyak hal yang akan terjadi maupun yang akan didapatkan seperti; masalah harta,
keturunan, dimana apabila tidak ada ketentuan yang jelas khususnya masalah pembagian harta
peninggalan dari yang meninggal maupun yang melakukan perceraian, termasuk juga masalah
harta bawaan masing-masing akan menimbulkan suatu persoalan.
Perjanjian kawin harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan dibuat sebelum perkawinan
berlangsung, serta mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian itu dilekatkan pada
pada akta nikah dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian
perkawinan dibuat atas persetujuan atau kehendak bersama, dibuat secara tertulis, disahkan oleh
pegawai catatan sipil, serta tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.
Perkembangan yang terjadi di masyarakat sekarang ini banyak terjadi permasalahan yang
mungkin dihadapi oleh suami atau istri terutama menjalankan kehidupan perkawinan, maka
perjanjian perkawinan dapat dijadikan sebuah solusi untuk melindungi harta masing-masing.
Sebagai gambaran seorang calon istri yang melangsungkan perkawinan tidak melakukan
perjanjian perkawinan ternyata selama perkawinan perilaku si suami sering melakukan kesalahan
yang dapat merugikan istri dan harta kekayaan milik bersama, misalnya suami suka berjudi,
mabuk-mabukan sehingga sering menghabiskan uang dari harta bersama, hal itu tentunya akan
merugikan istri dan harta bersama selama perkawinan atau sebaliknya istri yang terlalu boros
dalam memakai harta bersama sehingga tentunya akan merugikan suami yang sudah bekerja
keras mengumpulkan harta tersebut.
Gambaran lain dalam bidang hukum keperdataan yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1995
Tentang Perseroan Terbatas yang diperbaharui oleh Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas, seorang suami atau istri bekerja dalam jabatannya sebagai Direksi suatu
perusahaan Perseroan Terbatas bertanggung jawab penuh atas kerugian Perseroan Terbatas
sampai harta kekayaan pribadi jika yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalakan tugasnya,

keadaan ini mulai dirasakan oleh para pasangan suami istri sangat merugikan bagi harta bersama
mereka, sehingga memberikan implikasi terhadap pasangan suami isteri membuat perjanjian
kawin setelah perkawinan mereka.
Gambaran tersebut di atas pasangan suami-istri ini mengkhawatirkan akan adanya risiko dari
perilaku suami-istri atau risiko pekerjaan suami-istri selama perkawinan terhadap harta bersama
mereka, hal ini berkaitan dengan pihak ketiga yang menjadi kreditur agar kepastian terlunasinya
piutang. Jika suami-istri kawin dengan persatuan bulat harta kekayaan perkawinan, maka utang
yang dibuat oleh suami atau istri dapat dituntut pelunasannya dari harta persatuan. Sebaliknya
jika suami-istri dengan perjanjian kawin pisah mutlak harta kekayaan perkawinan maka utang
suami hanya dapat ditagih dari harta pribadi suami, demikian pula utang yang dibuat oleh istri.
Kasus yang menimpa Dina, 25 tahun, karyawati swasta di Jakarta, ketika akan menikah, calon
suaminya mengusulkan untuk mengatur perjanjian pranikah. Ternyata Dina kaget, sakit hati dan
meragu karena belum apa-apa sudah mengatur harta gono-gini bila terjadi perceraian. Beberapa
poin yang tercantum dalam perjanjian tersebut antara lain, bila nanti bercerai, Dina tidak berhak
menuntut uang dengan jumlah tertentu dari calon suaminya karena sudah diatur cara pengelolaan
uang Dina dan uang suaminya. Sebelum menikah calon suami sudah membicarakan perceraian,
apalagi kesannya dia hitung-hitungan sekali dalam mengatur keuangan sewaktu menikah nanti,
sehingga Dina sakit hati. Dengan demikian, Dina kecewa dan berpikir untuk mempertimbangkan
kembali rencana pernikahan dengan kekasihnya itu.
Saya (WNI) berencana menikah dengan warga negara Amerika di Jerman bulan Juni Tahun
2009. Kami beragama Kristen, kami berencana untuk menikah secara hukum dan
melangsungkan perkawinan menurut hukum agama (pernikahan di gereja). Apa yang harus kami
lakukan agar pernikahan kami ini bisa dianggap Sah secara hukum pernikahan di Indonesia?
Apakah kami bisa mendaftarkan pernikahan kami ini ke kedutaan besar masing-masing di
Jerman? Apakah konsulat bisa membantu dalam hal pengesahan akte nikah kami? karena kami
berencana akan tinggal di Jerman selama beberapa tahun. Dengan kondisi tersebut, berdasarkan
hukum negara mana sebaiknya kami membuat perjanjian perkawinan? Misalnya Indonesia,
apakah betul hal tersebut hanya mungkin dilaksanakan sebelum atau bersamaan dengan
pendaftaran catatan sipil?, atau jika saya sudah mendaftarkan catatan sipil, lalu setelahnya ingin
membuat perjanjian perkawinan, ini tidak dapat dilaksanakan menurut hukum Indonesia?
Selanjutnya, apakah perjanjian perkawinan berdasarkan hukum Indonesia hanya dapat dibuat di
Indonesia, dan dihadiri/tanda tangani di Indonesia? Atau apakah sebaiknya dibuat berdasarkan
hukum Amerika, karena kami akan tinggal di Jerman selama beberapa tahun. Sebaiknya
perjanjian perkawinan dibuat berdasarkan hukum Indonesia. Kenapa demikian, umum hukum
keluarga anglo saxon (Matrimonial America Law) menganut asas patrilineal (hukum mengikuti
garis bapak) sementara Indonesia lebih cenderung menganut asas matrilineal (hukum mengikuti
garis Ibu). Artinya, jika memang dikemudian hari terdapat suatu masalah, perjanjian perkawinan
yang dilangsungkan berdasarkan hukum Indonesia lebih membantu dan memihak kepada Anda.
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan : (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga. Berdasarkan pasal 29 tsb maka perjanjian perkawinan dapat dilakukan

pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan dapat dilakukan
dimana saja, tidak harus di Indonesia, hanya untuk kepentingan legalitasnya (kekuatan sebagai
bukti hukum), dokumen tersebut harus dilegalisir di keduataan/ KBRI setempat jika anda berada
di luar negeri.
Keadaan tersebut di atas membawa dampak terhadap pasangan suami istri membuat perjanjian
kawin setelah perkawinan yaitu pertama, jika terjadi pemberian hibah atau testamen dari orang
tua kepada suami atau istri dengan maksud agar tidak dimasukan dalam pencampuran harta
bersama selama perkawinan mereka. Kedua, melindungi perekonomian keluarga. Jika bisnis
suami atau istri hancur, maka bisnis si istri atau suami tak perlu ikutan jadi korban sehingga
masih ada modal untuk membiayai pendidikan anak serta menata ulang kehidupan. Ketiga,
sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kerugian lebih besar. Terutama kepada
pihak suami atau istri yang bekerja dalam jabatannya sebagai direktur suatu perseroan terbatas
yang mempunyai utang kepada pihak bank sehingga apabila terjadi kesalahan atau kelalaian
maka hanya harta pribadi suami atau harta pribadi istri dapat ditagih pelunasannya.
Pada mulanya keberadaan perjanjian kawin di Indonesia kurang begitu popular dan mendapat
perhatian, karena mengadakan perjanjian kawin mengenai harta antara calon suami istri
dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sesuatu hal yang kurang pantas dan dapat dianggap
menyinggung satu sama lainnya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya tidak mustahil
suatu kebutuhan yang mutlak yang sekiranya perlu mendapatkan pemikiran sejak awal, sebab
perkembangan bidang perkawinan menyimpang dari pola yang ditetapkan sehingga munculnya
perkembangan baru akan senantiasa aktual dan kadang menimbulkan polemik (pro dan kontra).
Perjanjian kawin juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk meminimalkan perceraian. Hal ini
ditujukan salah satunya memberikan perlindungan hukum terhadap harta bawaan isteri. Bila
sejak awal diperjanjikan ada perceraian maka salah satu pihak dibebani dengan kewajibankewajiban maka ia akan berpikir ulang untuk mengajukan cerai. Sebab perceraian adalah hal
yang tidak diinginkan dalam rumah tangga. Orang yang memang hanya mengincar harta akan
berfikir panjang jika disodorkan perjanjian kawin. Tentu ia akan menolak klausul tersebut karena
tujuannya tidak akan tercapai dan tentu saja dapat dikategorikan melanggar kesusilaan.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Ramadhan Wira Kusuma (2010) mengenai Pembuatan
Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Terhadap Pihak Ketiga (Studi
Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor. 207/Pdt.P/2005/PN.Jkt.Tmr dan
Penetapan Pengadilan Negeri Nomor.459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr). Dari hasil penelitian ini
disimpulkan, bahwa dasar dan pertimbangan Hakim mengabulkan permohonan pembuatan
perjanjian kawin setelah perkawinan adalah adanya persetujuan kedua belah pihak suami istri,
adanya kealpaan dan ketidaktahuan mereka tentang ketentuan pembuatan perjanjian kawin yang
harus dibuat sebelum perkawinan, dan adanya yurisprudensi dari penetapan sebelumnya. Hal ini
ditempuh karena Pengadilan Negeri sebagai instansi hukum yang dijunjung tinggi, dimana
produk hukumnya harus dipatuhi oleh siapapun. Akibat hukum pembuatan perjanjian kawin
setelah perkawinan adalah mengikat kedua belah pihak yaitu suami istri, akibat hukum terhadap
kedudukan harta menjadi terpisah satu dengan yang lainnya, sedangkan untuk pihak ketiga,
mempunyai kekuatan yang mengikat, sepanjang penetapan tersebut pihak ketiga tidak merasa
dirugikan.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Ria Desviastanti (2010) mengenai Perlindungan Hukum
Terhadap Harta Dalam Perkawinan Dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin. Hasil penelitian
dengan adanya perjanjian kawin akan memberi perlindungan hukum terhadap harta dalam
perkawinan bagi suami istri. Dalam pelaksanaan perjanjian kawin ada kendala dalam memicu

perselisihan bagi para pihak. Wewenang dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta yang
dibuatnya adalah sebatas isi perjanjian kawin yang telah memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik membahas mengenai Tinjauan Yuridis Tentang
Perjanjian Perkawinan (Perjanjian Pranikah) Serta Akibat Hukumnya Bagi Pelaku Dihubungkan
Dengan Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang penulisan skripsi ini, maka akan diangkat
pokok permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah status dan kedudukan perjanjian perkawinan berdasarkan Hukum Islam
dikaitkan dengan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam?
2. Bagaimana akibat hukum dari perjanjian perkawinan berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, maka tujuan yang hendak dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai status dan kedudukan perjanjian perkawinan
berdasarkan Hukum Islam dikaitkan dengan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai akibat hukum dari perjanjian perkawinan
berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoretis memberikan informasi tentang perjanjian perkawinan yang telah diatur dalam
Hukum Islam dan Hukum Perdata sesuai dengan hukum yang berlaku bagi golongan masingmasing. Dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974, maka Hukum
Perkawinan yang ada sebelumnya dihapuskan sepanjang yang telah ada diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 dan didalam pelaksanaannya.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kepentingan
negara, masyarakat, dan pembangunan khususnya bidang hukum perkawinan.
E. Kerangka Pemikiran
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai
perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus juga merupakan perikatan
kekerabatan dan ketetanggaan. Sebagai mana tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Wirjono, bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian jika, seorang perempuan dan
seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain, ini mereka saling
berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan
kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan
mengenai kedudukan dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya.
Di dalam KUHPerdata pengertian perkawinan tidak dengan tegas diatur dalam salah satu pasal,

namun dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan seperti
Pasal 26 memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata dan Pasal 27
perkawinan menganut prinsip monogami. Pasal 103 menyatakan bahwa suami dan isteri harus
saling setia-mensetia, tolong menolong dan bantu membantu. Meskipun tidak dijumpai sebuah
definisi-pun tentang perkawinan, akan tetapi ilmu hukum berusaha membuat rumusan
perkawinan sebagai berikut ;
Perkawinan merupakan suatu ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui sah oleh
perundang-undangan negara dan bertujuan untuk membentuk dan membina kehidupan keluarga
yang kekal dan abadi.
Berdasarkan rumusan tersebut di atas dapat ditemukan unsur perkawinan sebagai berikut :
1. Suatu perkawinan, supaya menjadi sah, harus dilangsungkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. Perkawinan menurut KUHPerdata berasaskan monogami (Pasal 27 KUHPerdata), sehingga
bigami dan poligami dianggap bertentangan dengan KUHPerdata;
3. Perkawinan pada asasnya harus berlangsung kekal dan abadi.
Hal tersebut berarti pemutusan perkawinan hanya dapat terjadi karena kematian, undang-undang
memberikan suatu pengecualian yang sejauh mungkin harus dihindari, KUHPerdata menganggap
perceraian sebagai sesuatu hal yang terpaksa dilakukan karena suami isteri itu tidak dapat
dimungkinkan tetap hidup bersama.
Perkawinan menurut KUHPerdata adalah merupakan hubungan hukum antara subjek-subjek
yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan
diantara mereka dan mengikat. Persetujuan yang dimaksud bukan sebagaimana yang dimaksud
dalam Buku III KUHPerdata, tetapi ada perbedaannya yaitu dalam hal bentuk dan isi.
Perkawinan dapat dianggap sebagai suatu perjanjian (persetujuan), asalkan adanya kehendak
yang sesuai antara seorang pria dengan seorang wanita serta adanya kehendak tersebut (Pasal 28
KUH Perdata).
Berdasarkan pendapat Scholten merumuskan pengertian perkawinan adalah suatu hubungan
antara seorang pria dan dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui
oleh negara. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, salah satu ayat yang biasanya
dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan pernikahan dalam Al-Quran adalah
(artinya) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih sayang.(Q.S.30:21 ). Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam
menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah
tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan
menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Dalam agama Islam perkawinan diartikan pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqah
galidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah dan perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaadah dan rahmah
(tenteram, damai, cinta dan kasih sayang). Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam,
yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat
21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam ayat tersebut, dikaitkan
dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah
(al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah
suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak
menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.

Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah tiap perjanjian kawin yang dilangsungkan sesuai
ketentuan undang-undang antara calon suami isteri mengenai perkawinan mereka, tidak
dipersoalkan apa isinya. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata perjanjian kawin diartikan sebagai
suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan perjanjian itu.
Dengan demikian kata perjanjian sebagai perhubungan hukum, apabila berhubungan dengan kata
perkawinan akan mencakup pembahasan mengenai janji kawin, sebagai perjanjian luhur antara
mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan, pengertian talik talak sebagai perjanjian atau
janji setia dari seorang suami kepada isteri, dan pengertian persatuan dan atau pemisahan harta
kekayaan pribadi calon suami isteri yang menjadi objek perjanjian. Dalam perkembangan
terakhir, Perjanjian Kawin dibuat tak hanya berfokus pada soal harta, tapi juga kepedulian
seberapa banyak dan seberapa lama dukungan yang akan didapat dari pasangan. Termasuk di
dalamnya, memulai pernikahan dengan keterbukaan dan kejujuran, kesempatan saling
mengungkapkan keinginan masing-masing, dan hal-hal yang terkait dengan masalah keuangan.
Persyaratan untuk sahnya suatu perjanjian sebenarnya sudah tercermin pada syarat perjanjian
yang tersebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 45-46 Kompilasi Hukum Islam. Hanya
dalam KUH Perdata terdapat pemisahan yang cukup tajam antara pelanggaran terhadap
persyaratan subyektif dan persyaratan obyektif. Pelanggaran atau tidak terpenuhinya persyaratan
subyektif akan berakibat perjanjian dapat dibatalkan sedangkan pelanggaran terhadap
persyaratan obyektif akan berakibat perjanjian batal demi hukum, tetapi dalam fikih Islam
pelanggaran terhadap syarat subyektif dan obyektif akan berakibat batalnya perikatan.
Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum fikih Islam Indonesia terlihat kurang memperhatikan
akibat yang timbul dengan tidak terpenuhinya persyaratan subyektif pada saat melakukan
perjanjian perkawinan yang disebut dengan talik talak. Hal ini terjadi karena Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang Perkawinan Jo Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam memberikan syarat kepada
wanita mencapai umur 16 tahun dan pria mencapai umur 19 tahun untuk melangsungkan
perkawinan.
Permasalahan yang berhubungan dengan persyaratan subyektif muncul akibat ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 24 ayat (1). PMAKPPN yang menempatkan persetujuan mengadakan
perjanjian talik talak pada saat pemeriksaan nikah, bukan setelah akad nikah dilangsungkan
konsekuensinya adalah apabila kedua mempelai atau salah satu diantaranya menikah dengan
terlebih dahulu mendapat dispensasi kawin dari Pengadilan Agama, maka pada saat melakukan
persetujuan mengadakan perjanjian talik talak tersebut kedua mempelai atau salah satu di antara
mereka belum dewasa, karena orang dewasa adalah orang yang sudah berumur 21 tahun atau
sudah pernah kawin. Perbuatan hukum yang dapat dilakukan hanya sepanjang yang telah diberi
dispensasi oleh Undang-undang. Ini berarti calon suami dan calon isteri yang akan menikah dan
harus terlebih dahulu mendapat dispensasi kawin dari Pengadilan Agama, maka persetujuan
tentang adanya perjanjian talik talak calon suami dan atau calon isteri diberikan pada saat belum
memenuhi syarat subyektif untuk melakukan perbuatan hukum selain perkawinan dan perbuatan
hukum melakukan perjanjian talik talak digolongkan kepada perjanjian yang tidak memenuhi
syarat subyektif. Oleh karena itu calon suami dan atau calon isteri yang belum cakap bertindak
untuk melakukan perjanjian tersebut harus didampingi oleh wali. Ketentuan seperti ini juga
dijumpai dalam ketentuan perjanjian perkawinan dalam KUH Perdata.
Perjanjian talik talak yang telah melembaga di Indonesia, bukan hanya dilihat dari sudut
pandang suatu peraturan yang mengandung nilai dasar manfaat, keadilan dan kepastian hukum,

tetapi mengandung nilai yang sifatnya transendental berupa hikmah. Perjanjian talik talak dapat
ditambah, jika ada permintaan dari pihak isteri, umpamanya sang isteri tidak akan dimadu, jika
dimadukan dan jika si isteri tidak sabar, sang isteri dapat meminta fasakh kepada Pengadilan
Agama dan sang suami membayar sejumlah kerugian. Disamping talik yang boleh dan sah ada
pula talik yang tidak boleh, yaitu yang bertentangan dengan Hukum Islam, bertentangan dengan
akhlak, moral dan susila, yaitu dalam talik disebutkan bahwa suami memberikan hak kepada
istri untuk berkunjung ketempat-tempat yang tidak sopan, atau istri dalam perkawinan tidak
dapat belanja dari suami atau jika suami atau istri meninggal dunia tidak saling pusaka
mempusakai.
Dalam perjanjian perkawinan yang ditentukan dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan No.1
Tahun 1974, bahwa dapat mencegah permaduan dengan membuat perjanjian perkawinan antara
calon suami dan calon isteri, yaitu calon suami tidak akan melakukan perkawinan dengan
perempuan yang kedua dan seterusnya tanpa setahu atau seizin dari isteri pertama.
Dalam Islam telah mensyaratkan boleh berpoligami asalkan adil dan terbatas empat orang saja,
berarti memberikan kepada perempuan atau walinya untuk mensyaratkan kepada suaminya agar
tidak dimadu. Jika syarat yang diberikan oleh isteri ini dilakukan ketika ijab qabulnya supaya ia
tidak dimadu, maka syaratnya ini sah dan mengikat dan ia berhak untuk rnembatalkan
perkawinan jika syarat ini tidak dipenuhi oleh suaminya dan hak membatalkan perkawinan ini
tidak hilang selagi tidak dicabutnya dan rela akan pelanggaran suaminya. Oleh sebab itu
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh isteri lebih wajib dipenuhi.
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian dengan
melukiskan fakta-fakta yang berupa data sekunder seperti bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tertier. Penelitian deskriptif analitis untuk memberikan gambaran
secara lengkap dan sistematis mengenai
2. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang dilakukan adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu hukum
dikonsepsikan sebagai norma, kaidah, asas atau dogma-dogma
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan melalui dua tahap sebagai berikut :
a. Penelitian kepustidakaan, yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier yang berkaitan dengan
b. Penelitian lapangan yang dilakukan melalui wawancara dengan responden, ahli syariah , dan
ahli hukum khususnya dalam bidang ilmu Hukum Islam
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini secara analisis kualitatif yuridis yang dilakukan dengan
memperhatikan tiga hal yaitu:
a. Peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak boleh saling bertentangan ;
b. Memperhatikan hirarkis peraturan perundang-undangan ;
c. Mencari dan memperhatikan kepastian hukum.
5. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada lokasi sebagai berikut :
a. Lokasi Kepustakaan meliputi :

1) Perpustakaan Pascasarjana Universitas Padjadjaran jalan Dipati Ukur Nomor 35 Bandung ;


2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran jalan Dipati Ukur Nomor 35
Bandung ;
3) Pusat Sumber Daya dan Informasi Ilmiah dan Perpustakaan Universitas Padjadjaran jalan
Dipati Ukur Nomor 35 Bandung
4) Perpustakaan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat jalan Diponegoro Bandung
5) Perpustakaan Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Barat jalan Sudirman Bandung
6) Perpustakaan Pusat Dakwah Islam Jawa Barat Jalan Surapati Bandung
7) Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati di Bandung jalan Raya Cileunyi
Bandung
8) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Jalan Tamansari No. 1 Bandung
b. Lokasi Lapangan meliputi :
1) Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Barat di Jl. RE Martadinata Bandung
2) Kantor Urusan Agama Kecamatan Arcamanik, di Jalan Cisaranteun Kulon, Bandung
3) Pengadilan Agama Bandung, di Jl. Terusan Jakarta Bandung
4) Kantor Notaris
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab akan diuraikan
mengenai pokok-pokok pentingnya saja adapun uraian bab-bab tersebut adalah :
Bab I Pendahuluan, merupakan bab pendahuluan berisi latar belakang masalah, identifikasi
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan
sistematika penulisan. Bab ini merupakan bab yang berisi latar belakang mengenai permasalahan
yang dihadapi berkaitan dengan judul yang dipilih, yaitu Tinjauan Yuridis Tentang Perjanjian
Perkawinan (Perjanjian Pranikah) Serta Akibat Hukumnya Bagi Pelaku Dihubungkan Dengan
Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia.
Bab II Tinjauan Pustaka, merupakan bab yang tersusun atas teori tinjauan umum terhadap
perkawinan dan perjanjian perkawinan, yang merupakan dasar-dasar pemikiran yang akan
penulis gunakan dalam menjawab permasalahan. Teori-teori umum ini merupakan kumpulan
pendapat para ahli di bidang hukum perkawinan atau merupakan bahan dari hasil penelitian
sebelumnya.
Bab III Obyek Penelitian, merupakan bab yang berisi tentang pelaksanaan perjanjian pranikah di
Indonesia.
Bab IV Pembahasan, merupakan bab yang tersusun atas hasil-hasil penelitian yang merupakan
kumpulan data-data yang penulis peroleh di lapangan dan pembahasan yang merupakan hasil
analisis penulis terhadap permasalahan yang dihadapi dikaitkan dengan landasan teori dan hasil
temuan di lapangan guna menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini. Yang
berisi tentang Tinjauan Yuridis Tentang Perjanjian Perkawinan (Perjanjian Pranikah) Serta Akibat
Hukumnya Bagi Pelaku Dihubungkan Dengan Hukum Islam Dan Undang-undang Perkawinan di
Indonesia.
Bab V Penutup, merupakan bab yang berisi kesimpulan dan saran.
Suka Komentari
HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN

HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN


(Realitas Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Hukum Nasional)

1. Pengertian Perkawinan dan Tujuan Perkawinan


a. Perkawinan dan Tujuan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974
Semua peraturan yang ada dalam suatu undang-undang tidak terlepas dari
hal-hal yang memang sudah diatur dalam suatu agama, seperti adanya peraturan
mengenai perkawinan yang merupakan suatu persoalan yang tidak pernah terlepas
dari kehidupan manusia. Perkawinan merupakan ikatan antara seorang laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan isi
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengaturnya. Jadi,
segala perilaku yang dilakukan manusia tidak terlepas dari aturan agama dan
negara yang mengaturnya.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah:
Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1[1]

Negara yang berdasarkan Pancasila, sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama
atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau
jasmani, tetapi juga unsur batin atau rohani yang juga mempunyai peranan yang
penting. Membentuk keluarga yang bahagia, mempunyai keturunan memang

1[1] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1.

merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan merupakan hak dan


kewajiban orangtua.2[2]
Apabila definisi perkawinan tersebut ditelaah, maka terdapatlah lima unsur
perkawinan didalamnya yaitu:
1) Ikatan lahir batin
Suatu perkawinan memiliki ikatan lahir yang merupakan ikatan yang dapat dilihat
dan mengungkapkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup
bersama sebagai suami istri. Sedangkan ikatan batin adalah hubungan non formal
yang tidak dapat dilihat, karena hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang
mengikatkan diri pada ikatan perkawinan karena ikatan batin adalah dasar ikatan
lahir, sehingga dijadikan fondasi yang kokoh dalam membentuk dan membina
keluarga yang kekal dan bahagia.
2) Antara seorang pria dan seorang wanita
Ikatan perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya
diperuntukkan untuk sepasang laki-laki dan perempuan dan mengandung asas
perkawinan monogami.
3) Sebagai suami istri
Persekutuan suami istri dianggap sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang, baik syarat intern maupun syarat ekstern. Syarat
intern adalah syarat yang menyangkut pihak yang melakukan perkawinan yaitu
kesepakatan mereka, kecakapan, dan adanya izin dari pihak lain yang harus
diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern adalah
syarat yang menyangkut formalita kelangsungan perkawinan.
4) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Membentuk keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan keturunan yang
merupakan tujuan dari perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan
merupakan hak dan kewajiban orang tua. Untuk mencapainya, diharapkan kekal
dalam perkawinan yaitu sekali orang melakukan perkawinan tidak akan melakukan
perceraian untuk selamanya kecuali cerai karena kematian.
5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan perkawinan menurut undang-undang ini adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, suami istri perlu
saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.3[3]
Berdasarkan uraian diatas, bahwa perkawinan haruslah berlangsung seumur
hidup, walaupun pada akhirnya harus bercerai maka harus melalui syarat yang ketat
dan hal itu merupakan jalan terakhir. Suatu keluarga dianggap bahagia, apabila telah
2[2] Departemen Agama R.I, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta, 2004, h. 134.
3[3] Titik Triwulan, Pengantar Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka,
2006, h. 110-112.

memenuhi dua kebutuhan pokok yaitu kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah.
Kebutuhan jasmaniah adalah sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.
Sedangkan kebutuhan rohaniah adalah seorang anak yang akan menjadi buah hati
mereka sendiri.4[4]
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundangan yang berlaku. Bagi suatu Negara dan bangsa seperti Indonesia adalah
mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung
prinsip-prinsip dan memberi landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi
pegangan dan telah berlaku untuk berbagai golongan dalam masyarakat kita. 5[5]
Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
merupakan ikatan yang sangat kuat antara suami dan istri yang bertujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa
karena sebagai orang yang beragama tentulah harus mengikuti peraturan yang
ada. Suatu keluarga haruslah memenuhi kebutuhan pokok yang mendasar dalam
kehidupan yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Apabila semua itu terpenuhi,
maka akan tercapailah apa yang menjadi tujuan dari perkawinan tersebut sesuai
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
b. Perkawinan dan Tujuan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan dalam Islam yang disebut pernikahan merupakan akad yang
sangat penting karena menyangkut relasi hubungan suami istri yang setara sebagai
dua subjek yang berdiri dalam posisi yang sama. Sejatinya sebuah perkawinan
4[4] Ibid., h. 115.
5[5] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2002, h. 54-55.

harus didasari pemahaman akan posisi masing-masing pihak yang sejajar

tanpa

ada yang merasa lebih tinggi dan lebih berkuasa. Mereka harus menyadari bahwa
yang mempersatukan seorang laki-laki yang akhirnya menjadi suami dan seorang
wanita menjadi istri adalah akad. Sebab akadlah yang menjadikan suami boleh
berhubungan badan dengan seorang perempuan. 6[6]
Pengertian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3
menyebutkan: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya merupakan ibadah.

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 7[7]


Akad nikah tersusun daripada sighot (susunan kata) yang berarti ijab, yakni
penyerahan dari pihak pertama dan qobul, yakni penerimaan dari pihak kedua atas
pertalian

nikah

yang

dimaksud.

Rumusan

tentang

ketentuan

pelaksanaan

perkawinan dalam konteks ini adalah perkawinan dalam lingkup keberlakuan bagi
penganut Islam, yaitu sebelum dilakukan pesta perkawinan, maka kedua calon
mempelai

wajib

melakukan

akad

nikah.

Adapun

pengertian

akad

berarti

pelaksanaan nikah dengan ijab dan kabul. Jadi, akad nikah merupakan perjanjian
antara seorang wanita dan seorang pria, guna mengikat diri dalam suatu
perkawinan melalui rangkaian ijab-kabul yang dilakukan oleh kedua belah pihak
dengan mahar yang telah ditentukan, dengan menghadirkan dua orang saksi. 8[8]
6[6] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU Nomor 1 Tahun1974 Sampai
KHI, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 48-49.
7[7]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2010, h.114.
8[8] Mulida H.Syaiful Tency dan Ibnu Elmi, Kekerasan Seksual dan Perceraian,
Malang: Intimedia, 2009, h 9-11.

Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon
gholidzon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah. Sebagai perbandingan dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 2 disebutkan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Menurut Yahya Harahap
bahwa Kompilasi Hukum Islam mempertegas filosofis perkawinan Islam, tanpa
mengurangi landasan filosofi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Landasan filosofi itu dipertegas dan diperluas dalam Pasal 2 Kompilasi
Hukum Islam di atas Undang-undang berisi inti-inti.
Perkawinan semata-mata mentaati perintah Allah.
Melaksanakan perkawinan adalah ibadah.
3) Ikatan perkawinan bersifat mitsaqan ghalidzan.9[9]
Nikah adalah suatu perjanjian untuk mensahkan hubungan kelamin antara seorang
pria dengan seorang wanita untuk melanjutkan keturunan. Nikah secara Islam
dilaksanakan menurut ketentuan yaitu melaksanakan ikatan persetujuan (akad)
antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan
kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuanketentuan yang sudah diatur oleh agama.10[10]
Sahnya perkawinan menurut hukum Islam harus memenuhi rukun-rukun dan syaratsyarat sebagai berikut :
1) Syarat umum
Perkawinan haruslah sesuai dengan peraturan-peraturan yang termaktub dalam
Alquran.
2) Syarat khusus
Adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dan haruslah seagama, akil baligh,
sehat baik rohani maupun jasmani.
3) Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin
4) Harus ada Wali Nikah
5) Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa, dan adil
6) Bayarlah mahar
7) Sebagai proses akhir dan lanjutan dari akad nikah ialah pernyataan Ijab dan qabul.
Itulah syarat dan rukun untuk sahnya perkawinan menurut Islam. Hal ini untuk
menegaskan secara resmi dalam masyarakat, disunatkan untuk mengadakan walimah

1)
2)

9[9] Abd. Shomad, Op. Cit. h. 276-277.


10[10] I.A. Sadnyini, Poligami Dan Kesengsaraan Perempuan. Tesis, h. 4, t.d.
(online 26 oktober 2010).

atau pesta perkawinan sebagai rasa syukur sekaligus pengumuman terhadap khalayak
ramai mengenai perkawinan tersebut.11[11]
Perkawinan dalam Islam adalah pernikahan yang bertujuan untuk memenuhi
tuntutan hajat kemanusiaan, hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih
sayang, dan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah. 12[12]
c. Perkawinan dan Tujuan Perkawinan Menurut Para Ahli Hukum
Perkawinan menurut hukum adat berarti suatu ikatan antara seorang pria dan
wanita

sebagai

suami

istri

dengan

maksud

mendapatkan

keturunan

dan

membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, dan juga berarti
suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan
dari pihak suami.13[13] Serta menurut hukum adat, perkawinan adalah ikatan
perkawinan baik untuk pria dan wanita yang belum cukup dewasa maupun yang
sudah dewasa dan mampu untuk mandiri dan orangtua, keluarga dan kerabat
kedua belah pihak ikut campur terhadap pelaksanaannya. Perkawinan yang
dilakukan sendiri tanpa campur tangan orangtua dan kerabat kedua belah pihak
menurut pandangan masyarakat adat adalah perkawinan yang bertentangan
dengan hukum adat. Sedangkan perkawinan yang didasarkan pada hukum agama
semata-mata adalah tanggung jawab dari yang bersangkutan. 14[14]
11[11] Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit. h.50-53.
12[12] Isnandar, Fiqh HAM dalam Perkawinan, CV Fauzan Inti Kreasi, 2004, h. 29.
13[13] Hilman Hadikusumah, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1995, h. 70.
14[14] Ibid., h. 23.

Perkawinan sebagai peristiwa hukum haruslah mendapat tempatnya dalam


tata hukum, perbuatannya harus terang bagi para kepala persekutuan yang
bersangkutan, hal ini juga menerima imbalan jasa atas legalisasinya. Hukum adat
tidak dapat membenarkan terjadinya perkawinan antara pria dan wanita tanpa
adanya campur tangan orang tua, walaupun anak-anak sudah dewasa. Bertindak
melakukan perjanjian perkawinan sendiri dihadapan hakim agama berarti segala
sesuatunya merupakan tanggung jawab sendiri. Hal ini dapat dilakukan di kalangan
masyarakat adat yang tidak berdasarkan ikatan kekerabatan, atau adanya
kemungkinan untuk itu oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan,

tetapi

di

kalangan

masyarakat

adat

kekerabatan

melakukan

perkawinan sendiri tanpa diketahui orang tua merupakan perbuatan tercela, karena
bertentangan dengan hukum adat. 15[15]
Soebekti menyatakan perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.16[16]Soemiyati
menjelaskan perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat
penting, karena peraturan-peraturan tentang perkawinan diatur dan diterangkan
dengan jelas dan terperinci. Hukum perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya
mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga mengatur segala
persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan. Misalnya, hak-hak dan
kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara

15[15] Ibid., h. 42.


16[16] Isnandar, Op. Cit, h. 4.

untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan setelah putusnya
perkawinan dan lain-lain.17[17]
Menurut Quraisy Shihab perkawinan merupakan lembaga suci yang dapat
dibuktikan dari tata cara melangsungkannya, tata cara hubungan suami istri, cara
melakukan dan menyelesaikan perceraian yang pokok-pokok pengaturannya
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Firman Allah dalam Alquran surat An-Nisa
ayat 1.

18

[18]

Artinya:Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu


saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. 19[19]
Setidaknya ada tiga alasan mengapa nikah dimisalkan sebagai ikatan yang kokoh:
1)

Ikatan pernikahan melibatkan hampir seluruh potensi yang dimiliki manusia.


Melibatkan pikiran, emosi, perasaan, fisik, materiil, bahkan roh yang berbaur
menjadi satu ikatan.
2) Konsekuensi yuridis dan metafisisnya yang tidak pudar begitu saja, meski telah
putus ikatan karena perceraian atau kematian. Seorang anak (gadis) misalnya
menjadi buah pernikahan, ia tetap membutuhkan ayah kandungnya untuk menjadi
wali pernikahannya meski ayahnya telah bercerai dari ibunya. Seluruh anak
berkewajiban hormat dan tetap mendoakan meskipun kedua orangtuanya telah
meninggal dunia. Sedemikian kompleks hubungan terjalin dalam ikatan pernikahan
dan sedemikan jauh implikasi yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, salah besar
bila seseorang menghitung pernikahan hanya dengan pertimbangan-pertimbangan
material apalagi hanya pertimbangan kesenangan sesaat. Memutuskan untuk
mengikat diri dengan tali pernikahan artinya mengambil tugas dan tanggung jawab
tetapi mulia karena melaksanakan perintah Allah dan meneladani Rasulullah.
3) Pandangan syariat Nabi Besar Muhammad SAW, akad nikah tidak semata-mata
ikatan dua individu antara seorang laki-laki dan perempuan. Akad nikah juga
17[17] Ibid.
18[18] Annisa [4] :1.
19[19] Departemen Agama Republik Indonesia. Op. Cit. h. 114.

mempertemukan dua buah keluarga yang mungkin mempunyai latar belakang adat
dan kebudayaan yang berbeda. Terbukti, kedua keluarga juga diberi peran secara
proposional dalam rangka menjaga dan mempertahankan keutuhan rumah tangga
anaknya bila terjadi konflik antara kedua putranya. 20[20]
Menurut ahli ushul, arti nikah terdapat 3 macam pendapat, yakni:
1) Menurut ahli ushul golongan Hanafi, arti aslinya adalah setubuh dan menurut
majazi (metaphoric) adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin
antara pria dan wanita.
2) Menurut ahli ushul golongan Syafii, nikah menurut arti aslinya adalah akad yang
dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan
menurut arti majazi adalah setubuh.
3) Menurut Abul Qasim Azzajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan sebagian ahli ushul
dari sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah, bersyarikat artinya antara akad dan
setubuh.
Menurut Abdullah Sidik, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki
dan seorang perempuan yang hidup bersama (bersetubuh) dan yang tujuannya
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinaan dan
menjaga ketentraman jiwa atau batin.21[21]
Agama Islam mensyariatkan perkawinan dengan tujuan sebagai berikut:
1) Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung cita-cita,
membentuk keluarga dan dari keluarga dibentuk umat, ialah umat Nabi Muhammad
SAW umat Islam. Firman Allah SWT:











22
[22] .





Artinya:Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki

20[20] Isnandar. Op. Cit. h. 10-11.


21[21] Abd. Shomad. Op. Cit. h. 273-274.
22[22] An-Nahl [16] : 72.

dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah ?"23[23]
2) Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah sesuai dengan
hadist :












) .





(

Artinya: Dari Abdullah bin Masud, ia telah berkata kepada kami Rasulullah SAW: Hai
sekalian pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantara kalian kawin, maka
hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan
(kepada yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatan. Barang siapa
yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa. Maka sesungguhnya puasa itu adalah
perisai baginya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
3) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, menimbulkan rasa kasih
sayang antara orangtua dengan anak-anaknya dan adanya rasa kasih sayang
antara sesama anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga akan
dirasakan pula dalam masyarakat atau umat, sehingga terbentuklah umat yang
diliputi cinta dan kasih sayang. Firman Allah SWT:























24
[24]

Artinya:Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.25[25]
23[23] Departemen Agama Republik Indonesia. Op. Cit. h. 412.
24[24] Ar-Rum [30]: 21.
25[25] Departemen Agama Republik Indonesia. Op. Cit. h.644.

4) Untuk menghormati sunnah Rasulullah SAW. Beliau mencela orang-orang yang


berjanji akan berpuasa setiap hari, akan bangun dan beribadat setiap malam dan
tidak kawin-kawin. Beliau bersabda:

( ) .







Artinya:Maka barangsiapa yang benci kepada sunnahku bukanlah ia termasuk (umat)
ku. (H.R. Bukhari dan Muslim)
5) Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas ayah, kakek
dan sebagainya hanya diperoleh dengan perkawinan. Dengan demikian jelaslah
orang-orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara
dan mendidiknya sehingga menjadilah ia seorang muslim yang dicita-citakan.
Karena itu agama Islam mengharamkan zina, tidak mensyariatkan poliandri,
menutup segala pintu yang mungkin melahirkan anak yang diluar perkawinan yang
tidak jelas asal usulnya.26[26]

2. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian


a. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh
kedua belah pihak atau lebih dan dibubuhi materai, yang meliputi hak dan
kewajiban timbal balik, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang telah
tersebut dalam persetujuan dan menerima tembusan perjanjian tersebut sebagai
bukti keikutsertaannya dalam perjanjian itu. 27[27]
Pada Pasal 1313 BW disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Pengertian perjanjian mengandung unsur:
26[26] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1987, h. 12-15.
27[27] Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Artikel Janji,
Jombang: Lintas Media, h.453.

1) Perbuatan
Penggunaan kata Perbuatan pada perumusan tentang perjanjian ini lebih tepat
jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan
tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
2) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadaphadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok atau pas satu sama lain.
Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
3) Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada
pihak yang lain. Pada perjanjian tersebut orang yang terikat dalam perjanjian, maka
dia memiliki akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. 28[28]
b. Dasar Hukum Perjanjian
Pada Buku III Pasal 1313 BW menyebutkan suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih. Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian
perjanjian

yang

menggambarkan

tentang

adanya

dua

pihak

yang

saling

mengikatkan diri. Pengertian ini juga menerangkan tentang adanya dua pihak yang
saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa
satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah yang
dimaksud hanyalah perjanjian sepihak, tetapi kalau disebutkan juga tentang adanya
dua pihak yang saling mengikatkan diri, maka perjanjian ini meliputi baik perjanjian
sepihak maupun perjanjian dua pihak.29[29]
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian
harus memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu:

28[28] Http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/perjanjian.pdf, (Online 26 Oktober


2010).
29[29] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, h. 63-64.

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


Kesepakatan yang dimaksud adalah persesuaian kehendak antara pihak, yaitu
bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai
dengan berbagai cara, baik yang tertulis maupun secara tidak tertulis.
2) Cakap untuk membuat perikatan;
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan:
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang dibawah pengampuan
c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang,

dan30[30]
3) Suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
perjanjian itu batal demi hukum.
4) Suatu sebab atau causa yang halal.
Halal yang dimaksudkan disini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian
tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-undang.31[31] Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan
syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru,
paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek

30[30] Ibid., h. 67-68.


31[31] Ibid., h. 69.

mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan


keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. 32[32]
Pada Pasal 1338 berisi:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk
itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Pada pasal ini khususnya ayat (1) atau alinea (1), sebenarnya ada tiga hal yang
pokok yang terkandung didalamnya yaitu :
a.

Pada kalimat semua perjanjian yang dibuat secara sah menunjukkan asas
kebebasan berkontrak;
b. Pada kalimat berlaku sebagai undang-undang menunjukkan asas kekuatan
mengikat atau yang disebut asas pacta sunt servanda;
c. Pada kalimat bagi mereka yang membuatnya menunjukkan asas personalitas.
Ayat (2) atau alinea (2) pasal ini menentukan bahwa perjanjian tidak boleh
dibatalkan secara sepihak tana persetujuan pihak lain. Hal ini sangat wajar, agar
kepentingan pihak lain terlindungi karena ketika perjanjian dibuat adalah atas
kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan
kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika
ada alasan yang cukup oleh undang-undang.
Ayat (3) atau alinea (2), ini merupakan sandaran asas iktikad baik, yaitu bahwa
setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. 33[33]
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan
bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Dari pasal ini dapat disimpulkan adanya
asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang
32[32] Http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/perjanjian.pdf, (online 26 oktober
2010).
33[33] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. Cit, h. 78-79.

sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati
hukum yang sifatnya memaksa.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu
perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga. 46
c.

Pengertian

Perjanjian

Perkawinan

dan

Dasar

Hukum

Perjanjian

Perkawinan
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri
sebelum atau pada saat perkawinan yang dilangsungkan untuk mengatur akibat
perkawinan terhadap harta benda mereka. 34[34] Perjanjian perkawinan sebagai suatu
perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan untuk dibuat dan
diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh
Undang-undang..35[35]
Sedangkan menurut hukum Islam mengutip pendapat Gatot Supramono bahwa
perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon
isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian dilakukan

34[34] Titik Triwulan. Op. Cit. h. 128.


35[35] Zulvanovriyendi, Akibat Hukum Pendaftaran Perjanjian Perkawinan Terhadap
Pihak Ketiga, Tesis Magister, Semarang: Universitas Dipenegoro,2008,h. 15, t.d
( online 26 oktober 2010).

secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan isinya juga berlaku
terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.36[36]
Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan:
1) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu
pihak daripada pihak lain.
2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup besar.
3) Masing-masing mempunyai usaha sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh
atau bangkrut, yang lain tidak tersangkut.
4)

Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing pihak


bertanggungjawab untuk melunasinya sendiri. 37[37]

Pada Pasal 45 Kompilasi disebutkan kedua calon mempelai dapat mengadakan


perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1) Talik talak, dan
2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.38[38]

Maksud dan tujuan calon suami istri membuat janji-janji perkawinan adalah
untuk

mengesampingkan

berlakunya

persatuan

mutlak

harta

perkawinan,

menyimpang dari ketentuan dari pengelolaan harta kekayaan perkawinan atau


untuk memenuhi kehendak pihak ketiga sebagai pewaris atau penghibah. Perjanjian
kawin yang berisi penyimpangan terhadap persatuan biasanya dibuat oleh calon

36[36] File:///C:\Documents and Settings\acer\My Documents\ Makalah Bu


Rahmi\Perjanjian Perkawinan Hukum Barat dan Hukum Indonesia. doc
37[37] Titik Triwulan. Op. Cit. h. 129.
38[38] Abdurrahman. Op. Cit h. 72.

suami atau istri yang jumlah kekayaan tidak berimbang, calon suami kaya sekali
sedangkan calon istri tidak punya atau sebaliknya..39[39]
Mengenai perjanjian kawin ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Pasal 29 yang berbunyi :
1)

Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut,
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan,
3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.40[40]
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, perjanjian dalam Pasal 29 ini jauh lebih
sempit, karena hanya meliputi verbintenissen yang bersumber pada persetujuan
saja (overenkomsten), dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak
meliputi verbintenissen uit de wet allen (perikatan yang bersumber pada undangundang) dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undangundang ini tidak termasuk di dalamnya talik talak sebagaimana yang termuat
dalam surat nikah.41[41]
Persamaannya antara hukum BW dan hukum Islam adalah dilakukan secara
tertulis, sedangkan perbedaannya terletak pada keabsahan perjanjian perkawinan
tersebut, kalau menurut BW harus dilaksanakan dihadapan notaris sedangkan
39[39] Aan Supriyanto, Op. Cit, h. 44.
40[40] Kitab Undang-undang Hukum Perdata BAB V, pasal 29 Tentang Perjanjian
Perkawinan.
41[41] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op. Cit. h.137.

menurut hukum Islam cukup dihadapan Pegawai Pencatat Nikah. Kemudian berlaku
mengikat terhadap pihak ketiga jika sudah didaftarkan pada kepaniteraan
Pengadilan Negeri tempat dimana perkawinan dilangsungkan demikian menurut
BW, sedangkan menurut hukum Islam berlaku mengikat terhadap pihak ketiga
sepanjang termuat dalam klausula atau diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan
tersebut.42[42]
Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditentukan bahwa :
Dengan janji-janji kawin, calon suami-istri berhak mengadakan penyimpanganpenyimpangan dari ketentuan persatuan harta, dengan syarat :
1) Tidak menyalahi kesusilaan
2) Tidak melanggar ketertiban umum
3) Mengindahkan peraturan-peraturan atau tidak melanggar ketentuan hukum yang
berlaku.43[43]
Menurut Henry Lee A Weng

didalam disertasinya menyatakan perjanjian

perkawinan bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan,


melainkan juga meliputi syarat-syarat atau keinginan-keinginan yang harus
dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum,
agama, dan kesusilaan.44[44]

42[42] File:///C:\Documents and Settings\acer\My Documents\ Makalah Bu Rahmi\Perjanjian


Perkawinan Hukum Barat dan Hukum Indonesia. doc

43[43] Kitab Undang-undang Hukum Perdata BAB VII, Pasal 139 Tentang Perjanjian
Perkawinan.

44[44] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op. Cit. h.138.

Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk


meminta

pembatalan

nikah

atau

mengajukannya

sebagai

alasan

gugatan

perceraian ke Pengadilan Agama. 45[45]


d. Kedudukan dan Akibat Hukum Perjanjian dalam Perkawinan Adat
Kedudukan perjanjian dalam perkawinan baik perkawinan adat maupun
perkawinan berdasarkan hukum Islam sangatlah penting dan merupakan hal vital
karena pada dasarnya perkawinan itu sendiri adalah perwujudan perjanjian antara
dua orang yang menjadikan mereka terikat dan merupakan syarat sahnya
hubungan mereka sebagai suami isteri.
Penghormatan terhadap perjanjian menurut Islam hukumnya wajib, melihat
pengaruhnya yang positif dan perannya yang besar dalam memelihara perdamaian
dan melihat urgensinya dalam mengatasi kemusykilan, menyelesaikan perselisihan
dan menciptakan kerukunan. Allah SWT memerintahkan agar memenuhi janji, baik
itu terhadap Allah maupun sesama manusia, Firman Allah dalam surah al Maidah:

[46]46

Artinya:Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu 47[47]


Kata (aufu) ditafsirkan dengan memberikan sesuatu yang sempurna, dalam

arti melebihi kadar yang seharusnya. Sedangkan kata (al uqud) jamak dari aqad
yang pada mulanya berarti mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak
menjadi bagiannya dan tidak terpisah dengannya. Seperti akad pernikahan yang
dengannya wanita dan pria terikat dengan ketentuan-ketentuan, sehingga pria
dapat berhubungan seks dengannya, dan wanita yang dinikahinya terikat pula

45[45] Mohd. Idris Ramulyo. Op. Cit. h. 81.


46[46] Al Maidah [5] : 1.
47[47] Departemen Agama Republik Indonesia, Op. Cit. h. 156.

sehingga tidak boleh menikahi pria lain, kecuali ikatan itu dilepas lantaran satu dan
lain sebab.
Perintah ayat ini menunjukkan betapa alquran sangat menekankan perlunya
memenuhi akad dalam segal bentuk dan maknanya dengan pemenuhan sempurna.
Ini karena rasa aman dan bahagia manusia secara pribadi atau kolektif tidak dapat
terpenuhi kecuali mereka memenuhi ikatan-ikatan perjanjian yang mereka jalin.
Sedemikian tegas alquran mewajibkan seorang muslim memenuhi akad, walaupun
hal tersebut merugikannya. Kerugian akibat kewajiban memenuhi perjanjian
terpaksa ditetapkan demi memelihara rasa aman dan ketenangan seluruh anggota
masyarakat,

dan

kepentingan

umum

harus

didahulukan

atas

kepentingan

perorangan.48[48]
Aqad (perjanjian) mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian
yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Dalam bentuk apapun,
pelanggaran terhadap janji dianggap dosa besar yang perlu diberikan sanksi dan
kemurkaan.

Semua

penjegalan

janji

yang

dilakukan

manusia,

akan

dipertanggungjawabkan dan dihisab di muka Allah.49[49] Dalam firman Allah dalam


surah al Isra: 34



.




Artinya:Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu diminta pertanggung jawabnya. [51]
[50]

50

51

Dalam pepatah melayu dikatakan:


Jika kerbau dipegang tali hidungnya, jika manusia dipegang kata-katanya. Artinya:
sedangkan kerbau jika tali hidungnya dipegang ia akan menurut, apalagi manusia, apa
yang telah dikatakannya seharusnya dapat dipercaya. Kiasannya: jika berjanji peganglah
teguh.
48[48] M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran
jilid 3, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 7.
49[49] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 11, Bandung: PT Al Maarif, h. 190-191.
50[50] Al Isra [17] : 34.
51[51] Departemen Agama Republik Indonesia, Op. Cit h. 429.

Apabila seseorang mengadakan perjanjian, maka ia berkewajiban untuk


memenuhi dan melaksanakannya sesuai dengan isi perjanjian yang dibuatnya.
Seseorang yang ingkar janji patut untuk meminta maaf atau mengganti kerugian
pada pihak yang dirugikan karena ingkar janji itu. Jika tidak ibarat pepatah sekali
lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya. Barang siapa membuat
perjanjian maka berarti ia membebani diri dengan hak dan kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu menurut hukum yang berlaku. Salah satu pihak ingkar
janji, maka ia wajib meminta maaf atau mengganti kerugian pihak lainnya.
Persetujuan adalah hukum bagi pembuatnya. Walaupun sesungguhnya hubungan
hukum mengenai perjanjian itu sudah ada ketentuannya, namun yang lebih
mengikat dalam suatu perjanjian yang dibuat adalah apa yang disepakati oleh
kedua belah pihak dalam membuat perjanjian itu. 52[52]
Jelaslah kedudukan perjanjian perkawinan adat dalam kehidupan merupakan
sesuatu yang sangat penting karena bersifat mengikat dan memaksa sehingga
haruslah dipenuhi dan tidak boleh dilanggar. Perjanjian membebani dan menjadi
tanggung jawab pihak yang terikat didalamnya. Dan apabila terdapat pelanggaran
dalam perjanjian tersebut, maka wajib untuk mengganti kerugian yang disebabkan
sesuai dengan ketentuan yang ada.
3. Pokok Pikiran Teori Resepsi dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum Islam
Pada perkembangan pengkajian hukum Islam di Indonesia terdapat teori-teori
tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia. Tergambarkan ada enam teori, yaitu :
a.
b.
c.
d.

Ajaran Islam tentang penataan hukum,


Teori penerimaan otoritas hukum
Teori receptie in complexu
Teori receptie
52[52] Hilman Hadikusumah, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Bandung: PT.
Citra Aditya Bhakti, 1980, h. 82-83.

e.
f.

Teori receptie exit dan


Teori receptie a contrario.
Adanya teori-teori tersebut menggambarkan betapa akrabnya hukum Islam
dengan penduduk Islam dan penduduk Indonesia, negara Republik Indonesia,
masyarakat Indonesia dan hukum nasional Indonesia. 53[53] Penulis hanya memberi
kilasan mengenai beberapa teori yang berkembang yang berhubungan dengan
hukum Islam di Indonesia, akan tetapi penulis hanya fokus mengenai teori receptie

atau teori resepsi dan teori penerimaan otoritas hukum Islam.


a. Pokok Pikiran Teori Receptie
Teori Receptie diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronye. Dalam teori ini
Hurgronye mengatakan, bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum
adat, hukum Islam berlaku apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh
masyarakat sebagai hukum adat.
Menurut Suparman Usman bahwa hukum Islam tidak otomatis berlaku dalam
masyarakat muslim, tetapi terlebih dahulu mendapat penerimaan dari masyarakat
yang meyakininya. Jadi, hukum Islam berlaku bagi orang Islam, apabila sudah dapat
diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat. 54[54] Pada teori inilah yang
akan penulis pakai untuk menganalisis rumusan masalah satu.
Jadi, pada dasarnya hukum adat memiliki pengaruh yang kuat dalam
mengaplikasikan hukum Islam dalam suatu masyarakat. Karena hukum adat
mampu memberikan pencerahan yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
Sebagaimana yang dikemukakan El-Awa, bahwa dalam teori hukum Islam, aturan53[53] Rachmat Djatnika dkk, Hukum Islam di Indonesia (Perkembangan dan
Pembentukan), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet ke-2, 1994, h. 100.
54[54] Ibnu Elmi A.S Pelu, Gagasan, Tatanan dan Penerapan Ekonomi Syariah dalam
Perspektif Politik Hukum, Malang: SETARA PRESS, 2008, h. 42.

aturan yang berasal dari adat harus diukur lewat kriteria keinginan masyarakat.
Serta hukum adat didalamnya terdapat unsur-unsur agama, sebagaimana yang
telah kita lihat dalam hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dan hubungan manusia
dengan manusia seperti dalam bidang perkawinan.
b. Pokok Pikiran Teori Penerimaan Otoritas Hukum Islam
Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis
Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Ternds of Islam, seperti dikutip H.
Ichtijanto bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan
menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara
sosilogis orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat
dalam menjalankan syariat Islam. Namun ketaatan ini akan berbeda satu dengan
lainnya dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing. 55[55]
Teori ini menggambarkan pula bahwa di dalam masyarakat Islam ada hukum
Islam yang ditaati oleh orang-orang Islam. Orang-orang Islam menaati hukum Islam
karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, kalau mereka telah
menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas hukum
Islam terhadap dirinya. Bagi orang Islam, hukum Islam adalah kehendak dan
tatanan Allah dan tradisi rasul. Dalam teori inilah yang akan penulis pakai untuk
menganalisis rumusan masalah tiga.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari
agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam. Sebagaimana
dikatakan Gibb, hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya
55[55] Dilema penerapan hukum Islam di Indonesia oleh Rullyasrul83s blog-mozilla
firefox

masyarakat Islam. Hukum Islam adalah aparat yang paling utama bagi kehidupan
masyarakat Islam, jika telah menerima Islam sebagai agamanya, ia akan langsung
mengakui dan menerima otoritas serta kekuatan mengikat hukum Islam terhadap
mereka.56[56]

Diposkan oleh Jefry Tarantang di 17.53


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Tidak ada komentar:
MEDIASI DALAM PERSIDANGAN IZIN POLIGAMI
DI PENGADILAN AGAMA KOTA MALANG

Artikel Skripsi

Oleh
Nofi Sri Utami
NIM 107811402064

Abstrak

Utami, Nofi Sri. 2011. Mediasi Dalam Persidangan Izin Poligami di Pengadilan
Agama Kota Malang. Skripsi, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Program
Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang. Pembimbing
(1) Prof. Dr. H. Suko Wiyono, S.H., M.H. (II) Nuruddin Hady, S.H., M.H
56[56] Ibid.

Kata Kunci : Mediasi, Persidangan Izin Poligami, Pengadilan Agama Kota Malang

PENDAHULUAN
Poligami bisa berarti Poligini (perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari
seorang perempuan) namun secara umum istilah Poligami dipergunakan untuk
poligini. Poligami sebagai perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa
perempuan pada waktu yang sama, atau antara seorang perempuan dengan lakilaki pada waktu yang sama (Sunarto, 2000) dalam yeni (2010).
Sejak dahulu kala, Poligami telah dilakukan secara luas oleh masyarakat, baik
lingkungan masyarakat Hindu, Persia, Romawi, Eropa dan Arab Jahiliyah dengan
tidak ada pembatasan jumlah perempuan yang diperistrinya. Islam sebagai agama
samawi terkahir dan penyempurna syariat agama samawi sebelumnya,
menyempurnakan aturan tentang poligami tersebut, yang dalam istilah Islam
disebut Taadud az-Zaujat. Islam mengatur soal poligami dengan bijaksana demi
kebaikan kaum wanita, keturunan, keadaan masyarakat dan kemampuan laki-laki.
Islam membatasi poligami dengan sebanyak-banyaknya hanya empat orang istri
dengan persyaratan yang sangat ketat. Diantara syarat untuk melakukan poligami
adalah suami harus dapat berlaku adil. Seorang suami berlaku adil dalam
bermuamalah dengan para istrinya, yaitu dengan memberikan kepada masingmasing istri hak-haknya, tidak curang, yaitu memberikan kepada seseorang
kekurangan hak yang dipunyainya dan mengambil dari yang lain kelebihan hak
yang dimilikinya. Jadi adil berarti persamaan, yaitu menyamakan hak yang ada
pada para istri dalam hal-hal yang memungkinkan untuk disamakan (Faqih, 2006).
Poligami telah ada sebelum Islam namun ia berjalan tanpa adanya batasan
dan aturan di dalamnya sehingga sering kali terjadi kezhaliman terhadap kaum
wanitanya. Kemudian Islam datang dengan syariatnya yang mengatur
permasalahan ini dengan memberikan batasan dan persyaratan. Poligami di dalam
Islam dibolehkan sebagai sebuah jalan keluar dalam pembentukan suatu
masyarakat yang baik dan mulia. Dibolehkan bagi seorang suami untuk menikah
dengan lebih dari seorang wanita namun tetap dengan persyaratan mampu berlaku
adil terhadap semua istrinya.
Namun poligami ini dilarang terhadap seorang laki-laki yang tidak mampu berlaku
adil terhadap istri-istrinya. Untuk itu hendaknya seorang laki-laki yang ingin
berpoligami betul-betul mempertimbangkan segala sesuatunya sehingga tujuan
dari poligami dapat tercapai
Berdasarkan Fakta di seputar poligami menunjukan banyaknya penderitaan
yang dialami oleh istri akibat poligami. Penderitaan tersebut dialami baik terhadap
istri pertama juga istri yang lainya serta anak-anak mereka. Dari 58 kasus mengenai

poligami yang didampingi lembaga bantuan hukum (LBH APIK) selama kurun 2001
sampai juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka, mulai dari penelantaran istri dan anak-anak, penganiayaan fisik.
Sementara banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas berjumlah 35 kasus.
Sedangkan dari pemberitaan yang ada, poligami mendorong tingginya tingkat
perceraian yang diajukan istri (warta kota dalam LBH APIK, 2011)
Dengan demikian diberikan solusi dengan melakukan mediasi sebelum
melakukan poligami khususnya di Pengadilan Agama Kota Malang. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa mediasi adalah proses mengikutsertakan
pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat, Sedangkan
mediator adalah perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang
bersengketa. Disamping itu mediasi merupakan sebagai salah satu mekanisme
penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan. Kata mediasi berasal dari
bahasa inggris mediation yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan
pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi,
yang menengahinya dinamakan mediator. Disamping itu Mediasi merupakan salah
satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat
memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian
yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Mediasi di Pengadilan Agama
adalah suatu proses usaha perdamaian antara suami dan istri yang telah
mengajukan permohonan perkaranya , dimana mediasi ini dijembatani oleh seorang
Hakim yg ditunjuk di Pengadilan Agama sebagai mediator. Dalam pasal (1) PERMA
No.1 Tahun 2008 dijelaskan, bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan di
bantu mediator.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan beberapa hal yang mencakup Faktor-faktor yang mendorong
seorang suami untuk melakukan izin poligami, keefektifan mediasi dalam
persidangan izin poligami di Pengadilan Agama Kota Malang, pelaksanaan mediasi
dalam proses persidangan di Pengadilan Agama Kota Malang, keberhasilan mediasi
dalam proses persidangan izin poligami di Pengadilan Agama Kota Malang.

METODE PENELITIAN
Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian kwalitatif merupakan suatu pendekatan penelitian yang


mengungkapkan situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara
benar, dibentuk oleh kata kata berdasarkan tehnik pengumpulan data dan
analisisnya yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah (Djaman &Aan,
2009:25) dalam yeni (2010). Penelitian kualitatif berusaha mengungkapkan gejala
secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik kontekstual) melalui
pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri. Dalam penelitian
kualitatif akan diperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang
diteliti (Poerwandri, 2005). Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kwalitatif deskriptif, Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian
yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa
adanya. Tujuan penelitian deskriptif yaitu menggambarkan secara sistematis fakta
dan kerakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat (Sukardi, 2003: 157)
dalam yeni (2010)

Kehadiran Peneliti
dalam penelitian kualitatif peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain
merupakan alat pengumpul data utama. Peneliti selalu hadir dalam setiap
pengumpulan data sehingga dapat mengetahui perubahan-perubahan atau hal-hal
yang mungkin muncul saat pengumpulan data (Moleong, 2007) dalam yeni (2010).
Penelitian ini menempatkan peneliti sebagai instrumen kunci. Peneliti dalam
penelitian ini sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, penganalisis,
penafsir data, dan pelapor hasil penelitian. Keterlibatan peneliti sebagai instrumen
kunci bersifat langsung diseluruh penelitian, mulai dari awal sampai akhir
penelitian. Melalui hal tersebut diharapkan data yang diperoleh akan lebih valid.

Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian proses mediasi dalam persidangan izin poligami di
Pengadilan Agama Kota Malang yang berlokasi di jalan R. Panji Suroso No.1 Kota
Malang. Alasan memilih lokasi di Pengadilan Agama Kota Malang karena kasus
mediasi dalam persidangan izin poligami di Pengadilan Agama sangat banyak.
Adapun tempat pemilihan lokasi tersebut dikarenakan peneliti merupakan
mahasiswa hukum &kewarganegaraan, sehingga dapat bermanfaat bagi peneliti
untuk peningkatan pengetahuan di bidang hukum& kewarganegaraan
yang
bersangkutan.

Sumber Data

Pengumpulan data dapat menggunakan sumber data primer dan sumber data
sekunder.sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada peneliti, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak
langsung memberikan data kepada peneliti, seperti melalui dokumen maupun
dengan memanfaatkan orang lain(Lofland,1984) dalam yeni (2010).
1. Data primer adalah data yang berupa teks hasil wawancara dan diperoleh
melalui wawancara dengan informan yeng sedang dijadikan sumber data
dalam penelitian. Dalam penelitian ini yang termasuk data primer
yaitu:mediator,suami,istri-istri dalam mediasi izin poligami. Data dapat
direkam atau dicatat oleh peneliti
2. Data sekunder adalah data yang berupa data-data yang sudah tersedia
dan dapat diperoleh oleh peneliti dengan cara membaca, melihat atau
mendengarkan. Yang termasuk dalam kategori data sekunder ialah:hasil
rekaman,dokumentasi
Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu persiapan dan
pelaksanaan. Tahap persiapan digunakan untuk mempersiapkan alat alat atau bahan yang akan
digunakan pada waktu penelitian. Tahap pelaksanaan untuk mendapatkan data-data hasil setelah
pelaksanaan penelitian.
Dalam pengumpulan data peneliti mengunakan tehnik observasi,wawancara
mendalam. Dimana dalam observasi peneliti melihat secara langsung proses
mediasi izin poligami di Pengadilan Agama,setelah melihat proses mediasi secara
langsung peneliti melakukan wawancara terhadap suami &istri serta calon istri
mengenai proses mediasi yang telah dilakukan.

1. Wawancara Mendalam
Dalam penelitian ini jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang
dilakukan adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam berusaha
mengumpulkan informasi berupa opini, dan sikap dari partisipan peneliti. Wawancara
ini dilaksanakan dengan menggunakan pedoman wawancara (protokol wawancara),
yaitu petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar
poko-pokok yang direncanakan dapat tercakup seluruhnya. Dalam penelitian kwalitatif,
pedoman wawancara bukanlah sesuatu yang bersifat ketat, tetapi tetap diberikan
peluang terhadap adanya perubahan atau pengembangan materi wawancara ketika
berada di lokasi penelitian (Suyanto, 2005) dalam yeni (2010)
2. Observasi selama wawancara

Tehnik observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data tambahan
untuk melengkapi hasil wawancara. Observasi dalam penelitian ini memfokuskan
pengamatan pada tingkah laku yang terjadi secara alami.
Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menguji kesesuaian antara data yang satu
dengan data yang lain (Gay, 1987:211) dalam yeni (2010).

1. Induksi, dalam hal ini maksudnya adalah ketika peneliti mengumpulkan dan
menyajikan tumpukan data sebagai tahap awal. Peneliti menyajikan data
berupa kutipan langsung dari pandangan partisipan dalam bahasa atau
kalimat partisipan yang bersangkutan.
2. Reduksi data, maksudnya adalah membuang data-data dari hasil
wawancara dan observasi yang tidak mempunyai makna apapun
sehubungan dengan penelitian dan mengumpulkan data yang punya
makna. Reduksi data merupakan proses pengumpulan data penelitian,
selama proses reduksi data peneliti data dapat melanjutkan meringkas,
mengkode, menemukan tema, reduksi data berlangsung selama penelitian
dilapangan sampai pelaporan penelitian selesai. Reduksi data merupakan
analisis yang menajamkan untuk mengorganisasikan data, dengan demikian
kesimpulanya dapat diverifikasi untuk dijadikan temuan penelitian terhadap
masalah yang diteliti (Iskandar, 2009) dalam yeni (2010)
3. Kategorisasi, maksudnya menyusun kategori dengan cara memilah milah
setiap satuan data kedalam kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan.

Pengecekan Keabsahan Temuan


1. Ketekunan Pengamatan
Dalam penelitian kualitatif ketekunan pengamatan peneliti sangat
diperlukan, untuk menemukan ciri-ciri fenomena atau gejala sosial dalam
situasi yang sangat relevan, sehingga peneliti dapat memusatkan perhatian
secara rinci dan mendalam (Iskandar, 2009) dalam yeni (2010)
ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur
dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang
dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
Teknik ini menyediakan kedalaman, bukan lingkup. Peneliti hendaknya
mengadakan pengamatan secara teliti dan rinci secara berkesinambungan
terhadap faktor-faktor yang menonjol (Moleong, 2002:177)
2. Generalisasi Emperis
Menunjukan keabsahan suatu data dapat dilakukan dengan cara
menciptakan generalisasi dari suatu fakta. Data hasil penelitian berupa
fakta-fakta yang digeneralisasikan tersebut dapat berupa data yang sama
dari partisipan yang berbeda atau data yang berbeda dari partisipan yang
berbeda pula. Data-data tersebut kemudian digeneralisasikan secara
emperis sehingga dapat menunjukan keabsahan data penelitian.
Generalisasi emperis dapat membantu dalam memperluas teori sehingga

bisa lebih luas dan umum penerapanya dan memiliki daya kejelasan serta
daya prediksi yang lebih besar.
3. Triangulasi
Penelitian yang menggunakan tehnik trianggulasi dalam pemeriksaan
melalui sumbernya artinya membandingkan atau mengecek ulang derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berada (Moleong, 2001:1).
Tahap-Tahap Penelitian
Dalam melakukan penelitian di pengadilan agama, peneliti memiliki tahaptahap yang akan ditempuh dalam penelitian.

1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan yang dilakukan meliputi:

a. Persiapan peralatan penelitian ( buku tulis, bolpoint, instrumen penelitian)


b. Pembuatan surat ijin penelitian ke pengadilan agama kota malang
c. Menyerahkan surat ijin ke pengadilan agama ke bagian receptionis
d. Menunggu panggilan pengadilan agama untuk penelitian
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap Pelaksanaan dalam penelitian ini meliputi:
a. Setelah ada panggilan dari pengadilan, maka peneliti harus bergegas datang ke
pengadilan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
b. Masuk keruang mediasi bersama dengan mediator yang telah ditunjuk.
c. Melakukan Observasi kemudian wawancara terhadap mediator, suami dan istri,
calon istri
3. Tahap analisis data
Tahap analisis data ini meliputi beberapa langkah, yaitu:
a. Mengolah seluruh data dari hasil wawancara dan observasi
b. Reduksi data yaitu membuat rangkuman penelitian dengan
mengumpulkan dan mengklasifikasiikan data-data dari hasil wawancara
dan observasi sesuai dengan fokus penelitian
c. Menyusun dalam satuan-satuan (kodifikasi)dengan cara penandaan
sumber satuan catatan lapangan yaitu dengan mencantumkan nomor
halaman sumber penandaan jenis responden, penendaan lokasi
responden, penandan cara pengumpilan data.
d. Memeriksa keabsahan yaitu mengkonfirmasikan data dari sumber
primer yaitu suami, istri pertama, calon istri dan orang orang terdekat
partisipan yang dirasa mampu untuk memberikan keterangan mengenai
kondisi partisipan primer.
e. Melakukan pembahasan dan menjelaskan data-data yang didapat dari
hasil wawancara dan observasi untuk disesuaikan dengan teoti-teori

proses mediasi izin poligami, kemudian


kesimpulan.
4. Tahap penyelesaian
a. Penyusunan hasil laporan penelitian
b. Revisi laporan penelitian

ditarik

menjadi

suatu

HASIL PENELITIAN

Faktor-faktor yang Mendorong Seorang Suami Untuk Melakukan Izin Poligami


Dalam melakukan poligami seorang suami memiliki faktor-faktor yang medorongnya
untuk melakukan poligami. Diantaranya yaitu: (1) karena istri tidak mau dicerai, (2) seorang
suami mampu secara materi, (3) negara membolehkan poligami, (4) dalam islam tidak dilarang.
Dengan alasan itulah seorang suami melakukan poligami sehingga pengadilan berkewajiban
untuk membuatkan akta izin poligami yang telah dilakukan. Sehingga bisa digunakan oleh
pemohon untuk menikah lagi.
Keefektifan Mediasi Dalam Persidangan Izin Poligami di Pengadilan Agama
Mediasi dalam persidangan izin poligami yang dilakukan di Pengadilan Agama sangatlah
efektif dimana dalam melaksanakan mediasi para pihak yang akan melakukan mediasi harus
datang, sehingga menjadi mengerti kewajiban dan hak masing-masing yang harus dilakukan
ketika melakukan poligami. Dan apabila salah satu pihak tidak datang maka proses mediasi tidak
dapat dilaksanakan.
Disamping itu dengan mediasi maka seseorang bisa berfikir kembali mengenai keputusan
poligami yang akan dilakukan dan para pihak yang melakukan izin poligami tidak ada yang
dirugikan karena sama-sama mengetahui kemauan masing-masing pihak sehingga mediasi izin
poligami berakhir dengan baik.
Pelaksanaan Mediasi Dalam Proses Persidangan di Pengadilan Agama
Pelaksananaan mediasi dalam proses persidangan di pengadilan terdapat 2
tahap yaitu pramediasi dan pelaksanaan mediasi. Dimana tahap pramediasi adalah
tahap dimana para pihak mendapatkan tawaran dari hakim untuk menggunakan
jalur mediasi dan para pihak menunjuk mediator sebagai pihak ketiga yang akan
membantu menyelesaikan sengketa mereka. Sedangkan tahap pelaksanaan yaitu
dimana pelaksanaan mediasi dilakukan setelah ada mediator.
Dalam pelaksanaan mediasi, seorang mediator memberikan saran serta
nasehat-nasehat mengenai poligami yang akan dilakukan. Sehingga pihak yang
akan melakukan poligami menjadi mengerti hak dan kewajiban masing-masing.
Keberhasilan Mediasi Dalam Proses Persidangan Izin Poligami di
Pengadilan Agama

Setelah mediasi dilakukan, maka mediator wajib melaporkan keberhasilan atau tidaknya
mediasi yang telah dilakukan. Keberhasilan Mediasi Dalam Proses Persidangan Izin Poligami di
Pengadilan Agama Dan hasil keberhasilan mediasi yang dilakukan wajib dibuatkan akta
perdamaian/izin poligami oleh Pengadilan Agama.

Sedangkan mediasi dikatakan gagal jika salah satu pihak ada yang keberatan dengan
dilakukanya poligami. Sehingga tidakada kesepakatan antara para pihak maka proses akan
dilanjutkan ke persidangan.
PEMBAHASAN

Faktor-Faktor yang Mendorong Seorang Suami Untuk Melakukan Izin Poligami


Secara umum faktor-faktor yang membolehkan seorang suami untuk
melakukan izin poligami tercantum pada Udang-Undang No.1 tahun 1974
tentang perkawinan yang intinya berbunyi Pengadilan hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seseorang apabila:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Sedangkan faktor-faktor yang mendorong seorang suami melakukan
poligami yaitu karena istri tidak mau dicerai, suami mampu secara materi dan
fisik. Mampu secara materi dimana seorang suami memiliki harta yang lebih
serta pekerjaan yang manjanjikan sehingga dia mampu untuk menghidupi istriistrinya. Mampu secara fisik berarti seorang suami harus sehat jasmani dan
rohaninya, negara membolehkan poligami serta dalam islam tidak dilarang.
Sehingga suami melakukan poligami. Dimana Poligami adalah seseorang yang
memiliki istri lebih dari satu, seseorang yang akan melakukan poligami harus
mendapatkan izin terlebih dahulu dari Pengadilan.

Keefektifan Mediasi Dalam Persidangan Izin Poligami di Pengadilan Agama Kota


Malang
Mediasi di Pengadilan Agama Kota Malang adalah suatu proses usaha
perdamaian antara suami dan istri yang telah mengajukan izin poligami,

dimana mediasi ini dijembatani oleh seorang Hakim yg ditunjuk oleh


Pengadilan Agama Kota Malang. Proses mediasi ini dapat dikatakan baru
dilaksanakan dalam Pengadilan Agama pada tahun 2008 berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 ( PERMA No. 1/2008).
Setiap proses penyelesaian izin poligami di Pengadilan Agama Kota
Malang baik tanpa pengacara maupun menggunakan pengacara akan
melewati proses mediasi. Dimana proses mediasi merupakan proses yang
dilaksanakan sebelum persidangan serta proses mediasi ini berfungsi untuk

memberikan kesempatan kepada pemohon maupun termohon untuk berfikir


kembali mengenai poligami yang akan dilakukan.
Mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Kota Malang sangat efektif
karena dengan dilakukanya mediasi maka para pihak bisa mengetahui hak dan
kewajiban masing-masing. Dan dengan adanya PERMA No.1 Tahun 2008
tentang prosedur mediasi di pengadilan Agama, yang disahkan tanggal 31 juli
2008, maka telah terlaksana dua asas sederhana yaitu cepat dan biaya
ringan. Dalam pelaksanaan mediasi izin poligami di Pengadilan Agama
mempunyai
parameter yaitu jika mediasi yang dilakukan di pengadilan
berhasil yang berarti para pihak sepakat dengan dilakukanya mediasi serta
tidak ada yang tersakiti dengan dilakukanya izin poligami dan seorang
mediator telah melaksanakan tuganya dalam memberikan nasehat-nasehat
seputar poligami maka mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama bisa
dikatakan efektif. Tetapi jika dalam mediasi terdapat para pihak yang tidak
setuju dengan dilakukanya poligami dan salah satu pihak ada yang tersakiti
maka mediasi yang dikatakan gagal sehingga mediasi yang dilakukan tidak
efektif.

Mediasi merupakan instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di


pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
menyelesaikan sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat memutus(adjudikatif)
( Syahrizal Abbas, 2009).
Ada banyak sekali keuntungan yang diperoleh dari mediasi, antara lain: (a)
penyelesaian bersifat informal, (b) yang menyelesaikan sengketa para pihak sendiri, (c)
jangka waktu penyelesaian pendek, (d) biaya ringan, (e) aturan pembuktian tidak perlu, (f)
hubungan para pihak bersifat kooperatif, (g) komunikasi dan fokus penyelesaian, (h) hasil
yang dituju sama-sama menang, (i) bebas emosi dan dendam( Syahrizal abbas, 2009).
Pelaksanaan Mediasi Dalam Proses Persidangan di Pengadilan Agama Kota Malang
Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008, tentang prosedur pelaksanaan
mediasi di Pengadilan Agama adalah penyempurnaan terhadap peraturan mahkamah agung
RI No.2 Tahun 2003, tentang prosedur mediasi di Pengadilan Agama. Mahkamah Agung
mengeluarkan PERMA No.1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah, dan
mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada
pencari keadilan.
Kehadiran PERMA No.1 Tahun 2008 dimaksudkan untuk memberikan kepastian,
ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu
sengketa perdata. Dalam pelaksanaan mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Kota
Malang sudah sesuai dengan dengan Perma No.1 Tahun 2008 tentang prosedur
pelaksanaan mediasi. Dimana dalam Perma No.1 Tahun 2008, menjelaskan bahwa
pelaksanaan mediasi ada 2 tahap yaitu pramediasi dan pelaksanaan mediasi.
Mediasi di Pengadilan Agama Kota Malang dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pra
mediasi dan tahapan pelaksanaan mediasi. Tahap pramediasi adalah tahap dimana para
pihak mendapatkan tawaran dari hakim untuk menggunakan jalur mediasi dan para pihak
menunjuk mediator sebagai pihak ketiga yang akan membantu menyelesaikan sengketa
mereka. Sedangkan tahap pelaksanaan mediasi yaitu dimana dilaksanakan mediasi dengan

mediator yang telah ditunjuk oleh Pengadilan Agama maupun kedua belah pihak yang akan
melakukan izin poligami di Pengadilan Agama Kota Malang dan ini sudah sesuai dengan
PERMA No.1 Tahun 2008 tentang proses pelaksanaan mediasi.
Keberhasilan Mediasi Dalam Proses Persidangan Izin Poligami di Pengadilan Agama
Kota Malang
Mediasi merupakan suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Dalam mediasi seorang
mediator berkewajiban memberikan nasehat dan nasehat mengenai poligami yang akan
dilakukan. Mediasi ini merupakan salah satu cara yang dipakai di dalam ruang lingkup
pengadilan untuk mendamaikan para pihak yang berperkara.
Dalam PERMA NO.1 Tahun 2008 pasal 17, mengenai Mediasi Mencapai
Kesepakatan. Kesepakatan ini didapat jika para pihak tidakada yang keberatan dengan
dilakukanya poligami. Sehingga kesepakatan perdamaian didapat sehingga pengadilan
berkewajiban untuk membuat akta perdamaian poligami, yang dibuat dan disepakati oleh
pelaku poligami.
Sedangkan Dalam PERMA NO.1 Tahun 2008 Pasal 18, mengenai mediasi
dikatakan tidak mencapai kesepakatan. Ini terjadi jika para pihak ada yang keberatan
dengan dilakukanya poligami sehingga kasus dilanjutkan ke persidangan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-Faktor yang mendorong seorang suami untuk melakukan poligami yaitu karena istri
tidak mau dicerai, suami mampu secara materi dan fisik. Mampu secara materi dimana
seorang suami memiliki harta yang lebih serta pekerjaan yang manjanjikan sehingga dia
mampu untuk menghidupi istri-istrinya. Mampu secara fisik berarti seorang suami harus
sehat jasmani dan rohaninya, negara membolehkan poligami serta dalam islam tidak
dilarang. Seorang suami bisa melakukan poligami dengan mendapatkan izin dari istri
terlebih dahulu.
2. Dalam pelaksanaan mediasi izin poligami di Pengadilan Agama mempunyai
parameter yaitu jika mediasi yang dilakukan di pengadilan berhasil yang berarti
para pihak sepakat dengan dilakukanya mediasi serta tidak ada yang tersakiti
dengan dilakukanya izin poligami dan seorang mediator telah melaksanakan
tuganya dalam memberikan nasehat-nasehat seputar poligami maka mediasi
yang dilakukan di Pengadilan Agama bisa dikatakan efektif. Tetapi jika dalam
mediasi terdapat para pihak yang tidak setuju dengan dilakukanya poligami dan
salah satu pihak ada yang tersakiti maka mediasi yang dikatakan gagal
sehingga mediasi yang dilakukan tidak efektif.

3. Pelaksanaan mediasi dalam proses persidangan di Pengadilan Agama sudah diatur dalam
PERMA No.1 tahun 2008. Pada Pengadilan Agama Kota Malang pelaksanaan mediasi izin
poligami ini sudah sesuai dengan PERMA No.1 Tahun 2008. Sebelum kasus persidangan
maka mediasi wajib dilakukan di pengadilan, dengan seorang mediator yang dipilih sendiri
oleh pelaku poligami atau ditentukan oleh pengadilan.

4. Mediasi dalam proses persidangan izin poligami di Pengadilan Agama Kota


Malang bisa dikatakan berhasil jika pelaku poligami bisa mengerti hak dan
kewajiban masing-masing yang harus dilakukan dalam melakukan poligami,
sedangkan hakim dikatakan berhasil dalam sebuah mediasi jika hakim telah
memberikan sebuah nasehat-nasehat yang akan bermanfaat nantinya. Dan jika
kesepakatan tidak di dapat maka proses akan dilanjutkan ke tahap persidangan.
Saran
Adapun saran-saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh adalah;

1. Poligami
Dalam melakukan poligami maka seseorang harus menerapkan prinsip adil dan
kebersamaan. Karena dengan adil dan kebersamaan maka seseorang yang melakukan
poligami, rumah tangganya bisa berjalan sesuai yang diharapkan.
2. Pengadilan Agama
Alangkah baiknya jika Pengadilan Agama Kota Malang memaksimalkan kinerja mediator
dalam proses mediasi. Yaitu dengan cara memberikan calon-calon mediator yang handal,
terampil serta berwawasan luas sehingga dalam menjadi penengah dalam menyelesaikan
masalah dapat teratasi. Disamping itu seharusnya data permohonan izin poligami di
kelompokan khusus poligami tidak dicampur dengan data perkara yang lain. Karena biar
jelas dan mudah untuk mencarinya.
3. Mediator
Mediator tidak hanya bisa menyelesaikan tetapi mediator harus memiliki wawasan luas serta
terampil dalam segala hal. Sehingga dalam menyelesaikan masalah mediator memiliki
berbagai cara yang harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi tanpa
menyakiti perasaan pihak yang lain. Disamping itu mediator juga harus luwes dalam
menyelesaikan masalah, seorang mediator tidak boleh memihak salah satu pihak. Seorang
mediator harus berlaku adil dalam menyelesaikan masalah serta memberikan solusi yang
sesuai dengan kondisi dari kedua belah pihak.
DAFTAR RUJUKAN

Buku-Buku
Abbas Syahrizal. 2009. Mediasi dalam perspektif hukum syariah, hukum adat &
hukum nasional. Jakarta: Kencana Prenada Group.

Moleong, lexy, j. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung : Rosada Karya.

Poerwandri, E. Kristi. (2005). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia.


Depok : lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran& Pendidikan Psikologi.
Regan, Pamela. 2003. The Mating Game: A primer on love, Sex, and Marriage. USA: Sage
Publications
Marita, Yesi Sevien. 2010. Coping Stress Istri Pertama Dalam Pernikahan Poligami.
Skripsi Tidak diterbitkan. Malang : Psikologi UM.

Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) No.1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974.

Sumber Sumber lain


LBH APIK. 2010. Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Yang Paling Nyata Atas Harkat
Dan Martabat Perempuan Sebagai Manusia Di Dalam Hukum, Sosial
Budaya Dan Agama, (on line), (http://www.lbh-apik.or.id/srn-perspoligami.htm), diakses 22 januari 2011.

Anda mungkin juga menyukai