Anda di halaman 1dari 3

Poligami di Indonesia diatur oleh hukum pernikahan yang berlaku di negara ini, yaitu Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 3 dari undang-undang ini menyatakan bahwa "setiap
perkawinan harus didasarkan atas atas persetujuan yang bebas antara kedua mempelai dan dilakukan
secara sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan".

Dalam praktiknya, hukum pernikahan di Indonesia mengakomodasi poligami, namun dengan syarat dan
ketentuan yang sangat ketat. Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
seorang pria hanya dapat menikah lagi dengan izin dari pengadilan agama, yang dapat diberikan jika istri
yang sedang ada memberikan persetujuan dan suami dapat membuktikan bahwa ia mampu memenuhi
kebutuhan semua istri dan anak-anak yang dihasilkan.

Selain itu, Kementerian Agama juga menerbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 1983
tentang Poligami yang menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan poligami,
seperti harus memiliki keadaan finansial yang mencukupi, adil dalam memperlakukan istri-istri, dan tidak
membahayakan kesehatan fisik dan psikologis dari semua pihak yang terlibat.

Meskipun diizinkan dalam beberapa kondisi tertentu, poligami tetap menjadi kontroversial di Indonesia
dan sering menjadi sumber konflik dalam hubungan suami istri. Ada pihak-pihak yang mengkritik praktik
poligami karena merugikan perempuan dan anak-anak, serta dapat menciptakan ketidakseimbangan
dalam hubungan suami istri.

Di Indonesia, poligami yang dilakukan tanpa izin dari pengadilan agama dan tanpa memenuhi syarat-
syarat yang telah ditetapkan dapat dianggap sebagai tindakan melawan hukum.

Pasal 284 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) juga menyatakan bahwa setiap orang yang
melakukan perkawinan yang dilarang oleh undang-undang, termasuk poligami yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau denda
paling banyak Rp. 7.500.000.

Selain itu, Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menyatakan bahwa
"setiap pelanggar ketentuan Pasal 3 ayat (2) dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)".
Selain sanksi pidana, pelaku poligami yang melanggar ketentuan yang berlaku juga dapat dikenakan
sanksi perdata seperti gugatan cerai dari istri yang merasa dirugikan atau mengalami perlakuan yang
tidak adil dan tidak setara dengan istri lainnya.

Dalam pandangan agama Islam, pernikahan dengan lebih dari 4 istri (poligami) diizinkan dengan syarat-
syarat tertentu yang telah diatur dalam Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Namun,
poligami dianggap sebagai hal yang sangat terbatas dan hanya diperbolehkan dalam situasi-situasi
tertentu.

Berdasarkan Al-Quran, poligami diizinkan dalam Surat An-Nisa' ayat 3, yang berbunyi: "Dan jika kamu
khawatir tidak akan bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, maka kawinilah perempuan-
perempuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak akan bisa
berlaku adil, maka hanya satu atau yang menjadi milikmu (budakmu)".

Dalam praktiknya, poligami tidak diwajibkan dalam agama Islam, tetapi hanya diizinkan sebagai solusi
dalam situasi-situasi tertentu seperti untuk melindungi kehormatan wanita yang menjadi janda, untuk
memenuhi kebutuhan seksual dan reproduksi suami yang tidak dapat dipenuhi oleh istri satu-satunya,
atau untuk mempererat tali persaudaraan antara keluarga.

Namun, poligami juga memiliki syarat-syarat yang sangat ketat dalam agama Islam. Seorang suami yang
ingin melakukan poligami harus mampu memenuhi hak dan kebutuhan semua istri dan anak-anak yang
dilahirkan dari pernikahan tersebut dengan adil dan merata. Jika suami tidak mampu memenuhi hak dan
kebutuhan semua istri dan anak-anaknya, maka poligami tidak diperbolehkan.

Selain itu, seorang suami juga harus mendapatkan izin dari istri pertamanya dan harus memperoleh
persetujuan dari pengadilan agama setempat. Jika tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka
poligami dianggap sebagai pelanggaran hukum dan bisa dikenai sanksi hukum dan sosial.

Iya, menikah lebih dari 4 istri di Indonesia melanggar hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 3 UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan antara
satu pria dengan satu wanita. Dengan demikian, poligami yang dilakukan dengan menikahi lebih dari
satu wanita tanpa izin yang sah atau melampaui batas maksimal empat istri yang diatur dalam agama
Islam dan syarat-syarat peraturan pernikahan di Indonesia, dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Sanksi atas pelanggaran tersebut dapat berupa pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan Pasal 285
KUHP tentang Perkawinan Terlarang dan Pasal 282 KUHP tentang Bigami. Sanksi perdata juga bisa
diterapkan berupa tuntutan ganti rugi oleh istri yang merasa dirugikan atau dibohongi oleh suaminya
yang melakukan poligami secara tidak sah. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia, kita harus
patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan tidak melakukan
tindakan yang melanggar hukum.

Di Indonesia, poligami hanya diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu yang telah diatur dalam UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Batasan poligami di Indonesia
adalah sebagai berikut:

Poligami hanya boleh dilakukan oleh pria Muslim yang telah mencapai usia dewasa dan mampu
memenuhi kewajiban sebagai suami terhadap semua istri dan anak-anaknya secara adil dan merata.

Poligami hanya boleh dilakukan dengan persetujuan istri pertama dan harus mendapatkan izin dari
pengadilan agama setempat.

Poligami hanya boleh dilakukan maksimal dengan empat istri.

Suami yang ingin melakukan poligami harus mampu membuktikan bahwa ia mampu memenuhi
kewajiban dan tanggung jawab sebagai suami terhadap semua istri dan anak-anaknya secara adil dan
merata.

Jika suami yang telah memiliki istri ingin melakukan poligami tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut
atau melampaui batas maksimal empat istri, maka poligami tersebut dianggap melanggar hukum dan
dapat dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi perdata. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia,
kita harus mematuhi aturan yang berlaku dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Anda mungkin juga menyukai