Asas monogami
Asas monogami merupakan kewajiban bagi seorang pria yang diharuskan hanya memiliki satu
orang istri, dan begitu pula sebaliknya seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami. Pada
dasarnya asas monogami yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ini berlainan dengan asas monogami sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata,
sebab asas monogami yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini masih dimungkinkan
adanya penyimpangan yaitu apabila hukum agama memperkenankan dan memenuhi persyaratan
yang diatur dalam Undang-Undang lain halnya yang diatur dalam Kitab UU Hukum Perdata
bahwasanya asas monogami bersifat mutlak.
Contoh : Pasangan yang sudah menikah tidak diperkenankan untuk memiliki pasangan lagi
( Pasal 27 KUH Perdata ).
2. Asas Konsensual
Asas Konsensual adalah perjanjian itu ada sejak tercapai kata sepakat antara pihak yang
mengadakan perjanjian, hal ini sejalan dengan pasal 1321 KUH Perdata yang mengatur bahwa “
tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan,atau diperolehnya
dengan paksaan atau penipuan. Artinya perkawinan dianggap sah apabila terdapat persetujuan
calon suami – istri yang akan melangsungkan perkawinan.
Contoh : diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak
setuju untuk melaksanakan perkawinan atau dipaksa dalam artian tidak setuju dan tidak ingin
melangsungkan perkawinan.
Contoh : Apabila menikahnya suami-istri maka harta yang dimiliki akan menjadi milik bersama.
Namun jika menilik dari hukum kompilasi islam bahwa harta istri bila diperoleh dari gaji maupun
warisan adalah milik seorang istri tidak terdapat peleburan mengenai harta bersama.
4. Asas Perkawinan Agama
Dalam Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) menyebutkan :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama
dan kepercayaan. Maka asas perkawinan agama artinya perkawinan dianggap sah apabila
dilaksanakan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.
Contoh : Akan berlangsungnya perkawinan antara lelaki muslim dan wanita non-muslim,jika
perkawinan tersebut dilaksanakan maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah karena seorang
wanita yang tidak beragama Islam.
Senada dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam sebagai berikut :
Pasal 61 mengamanatkan “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah
perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien” dan jika
perkawinan tetap dipaksakan maka perkawinan tersebut tidak sah dan melanggar undang-undang.
Contoh : Laki-laki atau pasangan yang sudah menikah sah-sah saja untuk melakukan monogami
terbuka asal sudah mendapat izin dari pasangan sebagai hal utama dan telah memenuhi syarat dari
pengadilan. s
Contoh : Umur yang dimiliki oleh pasangan yang ingin melangsungkan perkawinannya, laki-laki
minimal berusia 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Kisaran umur ini dianggap remaja yang
sedang beranjak dewasa sudah mampu untuk berfikir matang sehingga sudah bisa membina
rumah tangga.
8. Asas Proporsional
Asas proporsional menegaskan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
lingkungan masyarakat.
Contoh : Hak dan kedudukan suami-istri adalah sama, jadi apabila seorang istri berkeinginan
untuk bekerja maka seorang suami tidak berhak untuk melarangnya.
Apabila seseorang hendak untuk menikah maka tiap perwalian hanya terdapat seorang wali,
kecuali apabila seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi,dalam hal mana suaminya menjadi
(medevoogd) atau wali peserta