Anda di halaman 1dari 8

Tinjauan Yuridis Perkawinan Anak di Bawah umur dan Perlindungan

Hukumnya

Oleh :

Putri Damaiyanti 719411986

PRORGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WIRARAJA MADURA

2021
A. Latar Belakang

Sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945 pasal 28B ayat (1) "Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah." Sejatinya
setiap manusia yang dilahirkan memiliki pasangan untuk kemudian menjalin suatu hubungan
dan memperoleh keturunan. Suatu hubungan yang dimaksud adalah hubungan hukum yang
kemudian hubungan tersebut dinamakan pernikahan. Karenanya suatu pernikahan tidak dapat
terjadi begitu saja, harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pernikahan adalah
suatu perikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dalam suatu hubungan
hukum perdata maupun hukum agama. Pernikahan adalah suatu hal yang sakral yang
dilakukan oleh dua orang untuk menyatukan dua keluarga dan dilakukan dengan hukum
agama yang dipercayai, hal ini berdasarkan atas Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa.

Berdasarkan pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga dijelaskan
bahwa "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." dan dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 2
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni ayat (1) "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Ayat (2) "Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Hal ini berarti
setiap pernikahan sah apabila dilakukan dengan hukum agama dan kepercayaannya masing-
masing, didaftarkan dan dicatat oleh negara. Maka dengan ini pernikahan dianggap sah.

Ada beberapa hal larangan yang jelas di atur dalam Undang-undang perkawinan yakni
tentang pernikahan beda agama dan pernikahan di bawah umur. Secara jelas dan tegas
pernikahan di bawah umur di atur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan di pasal 7 ayat (1) "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun." Yang kemudian diperbarui dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2019 perubahan atas
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, "Perkawinan hanya diizinkan apabila
pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun." Disebutkan pada pasal
sebelumnya bahwa batas usia minimal yang diizinkan untuk bisa menikah pada pihak
perempuan adalah 16 tahun, yang kemudian diperbarui menjadi 19 tahun bagi pria dan
wanita. Batas usia merupakan salah satu syarat yang disebutkan dalam undang-undang untuk
bisa melakukan pernikahan.

Diperbaruinya pasal 7 (1) tentang batas usia menikah yang diperbolehkan, tidak terjadi begitu
saja melainkan karena ada aduan dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI),
Yayasan Kesehatan Perempuan, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Aliansi Remaja Independen yang mengajukan permohonan revisi usia minimal perkawinan
untuk perempuan dari 16 tahun pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi
usia 18 tahun ke MK. MK menolak pengajuan revisi tersebut kecuali hakim MK Maria
Farida yang berbeda pendapat. Implikasi Putusan MK memunculkan konsekuensi tidak
perlunya ada pembedaan batas minimal usia perkawinan baik laki-laki maupun perempuan.

Perbedaan batas usia minimal perkawinan bagi laki-laki memberi ruang lebih banyak bagi
laki-laki untuk menikmati pemenuhan hak-haknya sebagai anak karena batas usia kawin
minimal laki-laki yang melampaui usia minimal anak sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Perlindungan Anak. Sekalipun ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 merupakan kebijakan hukum yang diskriminatif atas dasar jenis kelamin, namun
tidak serta-merta Mahkamah dapat menentukan berapa batas usia minimal perkawinan.
Mahkamah hanya menegaskan bahwa kebijakan yang membedakan batas usia minimal
perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah kebijakan yang diskriminatif, namun
penentuan batas usia perkawinan tetap menjadi ranah kebijakan hukum pembentuk undang-
undang. Mahkamah perlu menegaskan kembali sebagaimana Mahkamah tetap meyakini
bahwa kebijakan terkait penentuan batas usia minimal perkawinan dapat saja berubah
sewaktu-waktu sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan berbagai aspek dalam
masyarakat. Pada saat Mahkamah menentukan batas usia tertentu sebagaimana dimohonkan
oleh para pemohon, hal demikian tentunya akan dapat menghambat pembentuk undang-
undang dalam melakukan perubahan ketika ia harus melakukan penyesuaian terhadap
perkembangan masyarakat.

Selanjutnya terdapat ketidaksingkronan antara batas minimal usia perkawinan bagi anak
perempuan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan usia anak dalam Undang-
undang Perlindungan Anak sehingga secara nyata norma tersebut tidak sinkron. Apabila
diletakkan dalam konteks perlindungan anak, ketidaksinkronan dimaksud justru berdampak
terhadap jaminan dan perlindungan konstitusional hak anak sebagaimana diatur dalam Pasal
28B ayat (2) UUD 1945 yang diatur lebih lanjut melalui Undang-undang Perlindungan Anak.
Terhadap ketentuan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan 16 tahun telah
dimohonkan uji materi dan dikabulkan oleh MK. Putusan MK menyatakan bahwa 16 tahun
sebagai batas usia perkawinan bagi perempuan 16 tahun telah dimohonkan uji materi dan
dikabulkan oleh MK. Putusan MK menyatakan bahwa 16 tahun sebagai batas minimal usia
perkawinan bagi perempuan adalah tidak adil karena berbeda dengan laki-laki yang 19 tahun.
Karenanya MK memerintahkan kepada pembentuk Undang-undang untuk dalam jangka
waktu 3 tahun melakukan perubahan terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1974, khususnya
berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.

Menurut Menteri Agama, batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun dengan syarat
mendapat izin dari orang tua. Klausul mendapat izin dari orang tua harus digarisbawahi,
karena Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur usia perkawinan dalam tiga level
sebagaimana diatur dalam Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan. Level pertama, diatur
dalam pasal 6 ayat (2) bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. Artinya pada level
pertama, pada dasarnya batas minimal usia perkawinan 21 tahun. Boleh menikah di bawah 21
tahun dengan syarat mendapat izin orang tua. Level kedua, perkawinan di bawah usia 21
tahun hanya dimungkinkan jika pihak aki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan
16 tahun dan keduanya mendapat izin dari kedua orang tua (Pasal 7 Undang-undang
Perkawinan).

Level terakhir atau ketiga, jika ada pasangan yang menikah di bawah usia minimal 19 tahun
bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, maka mereka harus meminta dispensasi kepada
pengadilan berdasarkan putusan hakim atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua
pihak laki-laki atau pihak perempuan.

Meskipun sudah secara jelas di cantumkan dalam pasal 7 tentang batas usia yang
diperbolehkan menikah, nyatanya hal ini tidak bisa secara mutlak disebut sebagai larangan
karena pada ayat selanjutnya yakni pasal 7 ayat (2) "Dalam hal terjadi penyimpangan
terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau
orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat
mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup." Menjelaskan bahwa apabila terjadi
penyimpangan terhadap ketentuan umur yakni dalam hal ini umur pria dan atau wanita yang
akan menikah berada di bawah batas usia yang telah ditentukan oleh undang-undang, maka
orang tua dari pihak pria dan atau orang tua pihak wanita dapat meminta permohonan
dispensasi kepada pengadilan, pengadilan agama bagi yang beragama Islam dan pengadilan
negeri bagi yang non-muslim.

Maka Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman mengadili permohonan
dispensasi kawin, dengan menimbang Bahwa perkawinan hanya diizinkan bagi mereka yang
telah memenuhi persyaratan usia, namun dalam keadaan tertentu pengadilan dapat
memberikan dispensasi kawin sesuai peraturan perundang-undangan. Dan bahwa proses
mengadili permohonan dispensasi kawin belum diatur secara tegas dan rinci dalam peraturan
perundang-undangan maka mahkamah agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan.

Tujuan daripada diberikannya batasan usia menikah agar bisa layak dan siap secara mental
(psikologis), secara pendidikan, dan secara ekonomi, di samping itu juga karena faktor
tingginya persoalan kawin cerai. Adanya pembatasan usia untuk menikah ini diharapkan
kepada para pihak yang akan menikah bila siap secara mental agar bisa berpikir lebih dewasa,
dapat mengatur/mengontrol emosi dengan baik, dan bisa menentukan mana yang baik dan
buruk. Jika siap secara pendidikan diharapkan dapat memajukan negara selain itu juga dapat
membimbing keluarganya, dan memberikan pendidikan yang baik untuk anaknya kelak. Jika
siap dan layak secara ekonomi, maka dapat dinyatakan mampu dalam menghidupi
keluarganya kelak, agar tidak kesusahan secara materi. Hal ini juga untuk mencegah dampak
buruk yang terjadi akibat pernikahan di bawah umur, yakni menghambat pendidikan dan
pengembangan diri, cenderungnya apabila anak-anak menikah pada usia dini atau di bawah
umur maka mereka akan terfokuskan dalam kehidupan baru mereka (mencari nafkah,
mengurus rumah tangga) sebagai suami/istri dan hal ini menghambat mereka dalam
mengembangkan potensi dan bakat dalam diri anak. Memicu kekerasan dalam rumah tangga,
seseorang yang menikah dalam usia anak-anak (di bawah umur) memiliki potensi dalam
melakukan KDRT jika tidak ada kematangan emosi yang baik, emosi yang tidak stabil yang
bisa membuat pasangan saling cekcok bahkan berujung pada kekerasan. Meningkatkan
risiko terjadinya penelantaran, akibat dari pernikahan dini yakni adanya ketidakstabilan
emosi dan finansial yang baik dapa menyebabkan terjadinya penelantaran seorang istri
bahkan anak. Masalah kesehatan seksual dan reproduksi, kesehatan reproduksi pada anak
usia muda 12-20 tahun masih rentan karena organ reproduksi masih tahap perkembangan hal
yang bisa terjadi apabila terjadi kehamilan dapat mengakibatkan kematian janin dan ibunya.
dan terakhir dapat berdampak buruk terhadap kesehatan psikologisnya, pernikahan dini bisa
memengaruhi kesehatan mental karena ketidakstabilan emosi membuat pikiran belum dewasa
dan labil, tekanan dalam keluarga harus mengurus diri sendiri, dipaksa menjalani peranan
orang tua apabila ada anak, masalah ekonomi, dan lainnya. hal ini lah yang dapat
menyebabkan stres dan depresi.

Selain itu pada masa pandemi covid-19 ini terjadi peningkatan jumlah pernikahan anak di
bawah umur. Lantaran dipengaruhi oleh keadaan saat ini yang tengah dilanda pandemi dan
mengharuskan masyarakat beraktivitas di dalam rumah. Salah satunya sekolah online (tanpa
tatap muka). Beberapa orang tua berpikiran sempit dengan mengambil keputusan untuk
menikahkan anak mereka yang masih di bawah umur karena menganggap sekolah tak lagi
membantu karena dijalani dari rumah. Mereka berpikir lebih baik anaknya di nikahkan saja
dan menganggap hal itu lebih bermanfaat. Bahkan dari hal itu tak jarang para orang tua
memberhentikan anaknya sekolah karena sudah dinikahkan. Padahal selain ada batasan usia
yang di atur dalam undang-undang perkawinan, dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2014
perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 26 ayat
(1) menjelaskan ;

Pasal 26 (1) : Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;


b) menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
d) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

Dalam Pasal 26 ayat (1) telah dijelaskan bahwa kewajiban dan tanggung jawab orang tua
tidak hanya terletak pada asuh-mengasuh dan pemberian nafkah, akan tetapi juga orang tua
wajib dan bertanggung jawab untuk memelihara, mendidik anak baik dalam pendidikan
karakter dan nilai budi pekerti anak maupun memberikan pendidikan sekolah, sehingga bisa
menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya. Bahkan orang
tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.

Berdasarkan dari uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas mengenai kajian hukum

terhadap anak yang melakukan pernikahan di bawah umur untuk dijadikan skripsi yang
berjudul " Tinjauan Yuridis Perkawinan Anak di Bawah umur dan Perlindungan

Hukumnya"

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana kajian hukum terhadap Pernikahan Anak di Bawah Umur menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan bagaimana pertimbangan hakim dalam
memberikan dispensasi atau izin menikah bagi anak yang masih di bawah umur?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan pernikahan di bawah
umur?

C. Tujuan Penulisan
Di dalam penulisan skripsi ini penulis mempunyai beberapa tujuan pokok yang akan
dicapai di dalam pembahasan skripsi ini. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana kajian hukum terhadap Pernikahan Anak di Bawah
Umur menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan untuk mengetahui apa saja
yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberi izin menikah bagi anak yang
masih di bawah umur.
2. Untuk menganalisis bagaimana perlindungan hukum yang diperoleh anak yang
melakukan pernikahan di bawah umur.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran sebagai
masukan pengetahuan atau literatur ilmiah mengenai hukum terutama tentang bagaimana
hukum mengatur dan melindungi anak yang melakukan pernikahan di bawah umur.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi berbagai kalangan
praktisi hukum, masyarakat umum, dan bagi penulis sendiri agar menjadi acuan atau
informasi dalam mengembangkan rangkaian penelitian-penelitian ke depannya.

Anda mungkin juga menyukai