Anda di halaman 1dari 13

Meningkatnya Kasus Pernikahan Dini di Aceh Barat Daya

(Analisis Yuridis dan Sosiologis)

A. PENDAHULUAN
Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang
mengabulkan permohonan Pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, terkait batas umur
menikah bagi perempuan. Dalam permohonannya, pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7
ayat (1) UU Perkawianan yang berbunyi, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 (enam belas) tahun”, menjadi dasar hukum bagi Negara membolehkan adanya
pernikahan anak (dini), khususnya pada anak perempuan.
Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi tidak menetapkan batasan umur menikah,
dikarenakan hal tersebut adalah open legal policy (kebijakan hukum terbuka) yang
menjadi kewenangan dari lembaga legislatif yaitu pembentuk undang-undang.
Mahkamah juga mengamanahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan
tersebut.
Amanah tersebut akhirnya dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang
dengan disahkannya UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah menaikkan usia minimal nikah perempuan
dari 16 (enam belas) tahun menjadi 19 (sembilan belas) tahun. Dengan demikian, usia
menikah perempuan dan laki-laki disamakan menjadi 19 tahun. Namun, UU Perkawinan
tetap mengatur izin pernikahan di bawah usia 19 tahun. Syaratnya, kedua orang tua calon
mempelai meminta dispensasi ke Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariyyah.
Data pengajuan permohonan dispensasi nikah pada Pengadilan Agama se-Jawa
Tengah, dilansir melalui alamat website PTA Semarang mengalami peningkatan sebesar
286,2% atau penambahan sebanyak 1016 permohonan dengan perbandingan data dari

1
bulan Oktober 2019 sebanyak 355 perkara dan pada akhir november 2019 terdapat
sebanyak 1371 perkara.
Mahkamah Syari’yah Blangpidie dan Sigli juga merasakan dampak penerapan
UU No. 16 Tahun 2019. Melalui alamat website Mahkamah Agung,1 MS Blangpidie
pada januari-oktober 2019 sama sekali belum menerima permohonan dispensasi nikah.
Namun sejak November (sejak berlaku UU No. 16 Tahun 2019), MS Blangpidie sudah
menerima 6 perkara permohonan dispensasi nikah. Sedangkan pada tahun 2020
berjumlah 26 perkara. MS Sigli pada bulan januari-september permohonan dispensasi
nikah hnaya 3 perkara, namun mulai oktober-desember 2019, permohonan dispensasi
nikah berjumlah 22 perkara. Dari angka tersebut, bahwa jumlah permohonan dispensasi
nikah mengalami peningkatan relatif tinggi sejak pemberlakuan UU No. 16 Tahun 2019.
Dari fakta sosiologis tersebut, pertanyaan mendasarnya adalah:
1. Apakah sejak diberlakukannya pembatasan umur menikah pria dan wanita menjadi 19
tahun dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan mampu menurunkan kasus
pernikahan dini di Indonesia, khususnya Kabupaten Aceh Barat Daya?
2. Apa yang menjadi faktor pernikahan dini di masyarakat?
3. Apa dampak pernikahan dini bagi laki-laki dan perempuan?
4. Bagaimana upaya yang harus dilakukan dalam mengatasi pernikahan dini di
Indonesia, khususnya Kabupaten Aceh Barat Daya?

B. PEMBAHASAN
1. Definisi Anak
a. Menurut Perundang-Undangan

Bahwa dalam beberapa Undang-Undang yang dibentuk sebelum dan


setelah perubahan UUD 1945 telah menetapkan bahwa yang dimaksud anak
adalah “setiap orang yang belum berumur 18 (delapan belas tahun), termasuk
anak yang masih dalam kandungan”, ketentuan tersebut ditetapkan antara lain,
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

1
www.mahakamahagung.go.id, diakses pada tanggal 12 Januari 2021 di Aceh Barat Daya.

2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor
21 Tahun 200 tentang Tindak Pidana Perdangan Orang dan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Artinya, setiap orang yang masih
berumur di bawah 18 tahun adalah masuk kategori anak.

b. Menurut Hukum Islam


Definisi anak dalam Islam adalah seseorang yang belum baligh. Para
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batasan umur bagi orang yang
dianggap baligh. Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa:
‫و قال الشافعية و احلنابلة أن البلوغ با لسن يتحقق خبمس عشرة سنة ىف الغالم واحلارية‬2

Anak laki-laki dan perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15
tahun.
Ulama Hanafiyyah menetapkan usia seseorang dianggap baligh sebagai
berikut:
‫و قال احلنفية مثان عشرة ىف الغالم و سبع عشرة ىف احلارية‬3

Anak laki-laki dianggap baligh apabila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak
perempuan.

2. Batas Umur Menikah


a. Konsep Fikih
Secara umum dapat dikatakan bahwa umumnya imam mazhab
membolehkan nikah dini. Secara tersirat Imam Malik mengakui perkawinan
belum dewasa. Imam Malik menuliskan:
Perkawinan seorang janda belum dewasa yang belum dicampuri oleh bekas suaminya,
baik berpisah karena ditalak atau ditinggal mati, mempunyai status sama dengan gadis,
bahwa bapak mempunyai hak ijbar terhadapnya. Sebaliknya, kalau sudah dicamupuri
mempunyai status sama dengan janda, bahwa dia sendiri lebih berhak pada dirinya dari
pada walinya.4

2
Muhammad Jawad Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, (Beirut: Dar al ‘Ilmi lil Malayain, tt),
hlm. 16
3
Ibid.

3
Pandangan yang sama juga dikemukakan Kasani, dari mazhab hanafi.
Dasarnya adalah tindakan Rasulullah yang menikahi Aisyah pada usia enam
(sittun) tahun (dinikahkan oleh Abu Bakar), dan rasul menikahkan anaknya
Ummu Kalsum dengan Ali pada waktu masih kecil, demikian juga Abdullah bin
Umar menikahkan anaknya ketika masih kecil dan sahabat-sahabat lain.5
b. Konsep Perundang-Undangan
a. Indonesia
Setelah disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan pada tanggal 14 oktober 2019, batas usia minimal nikah
pria dan wanita telah disamakan. Pada Pasal 7 ayat (1) tegas disebutkan:
“perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur
19 tahun (sembilan belas) tahun”. Pada ayat (2) dinyatakan: “Dalam hal
terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak
disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”.
Jika kita telaah, dua ayat diatas menegaskan adanya pembatasan usia
minimal nikah di satu sisi dan peluang menyimpangi ketentuan itu di sisi
yang lain (dengan jalan dispensasi nikah), seolah mengesankan sikap negara
yang ambigu. Dari ketentuan tersebut, bahwa sejatinya tentang kematangan
usia nikah merupakan persoalan privat yang sangat tentu berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Hal itu tidak terlepas dari faktor agama, adat atau
budaya, ekonomi, pendidikan dan psikologi masing-masing.
b. Negara-Negara Muslim
Ada dua pokok pembaharuan Perundang-undangan Keluarga Muslim
di luar Asia Tenggara kaitannya dengan umur perkawinan. Pertama, ada
aturan minimal boleh melakukan perkawinan, artinya kalau umur minimal
belum tercapai, secara prinsip calon tidak boleh melakukan perkawinan.

4
Al Imam Muhammad Sahnun bin Sa’id al-Tanukhi, al-Mudawwanah al-Kubra, (Beirut: Dar
Sadir, 1323 H.), III: 155.
5
Al-Imam Alau al-Din Abi Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Kitab Badai’u al-Sanai’u di Tartib al-
Sharai, cet. 1 (Beirut: Dar al-Fikr,141/1996),II:359.

4
Kedua, ada aturan tentang jarak umur antara mempelai laki-laki dan
perempuan. Adapun aturan negara-negara Muslim yang berkaitan dengan
umur minimal dibolehkan melakukan perkawinan adalah bervariasi, dan dapat
dilihat sebagai berikut:6

Batas Minimal Usia Perkawinan


Negara
Laki-Laki Wanita
Algeria 21 18
Bangladesh 21 18
Mesir 18 16
Irak 18 18
Yordania 16 15
Libanon 18 17
Libia 18 16
Malaysia 18 16
Maroko 18 15
Yaman Utara 15 15
Pakistan 18 16
Somalia 18 18
Yaman Selatan 18 16
Syiria 18 17
Tunisia 19 17
Turki 17 15

Dari tabel di atas dapat ditulis minimal dua catatan. Pertama, ada
beberapa negara yang menetapkan umur sama bagi laki-laki dan perempuan,
yakni Irak dan Somalia (18 tahun) dan Yaman Utara (15 tahun). Kedua, ada
dua negara yang menetapkan umur 21 tahun bagi laki-laki, yakni Algeria dan
Bangladesh. Namun, umur 21 tahun ini baru berlaku bagi laki-laki, sementara

6
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA+Tazzafa, 2009), hlm. 378.

5
menurut penelitian terakhir, usia aman dari penyakit kanker mulut rahim
adalah usia di atas 20 tahun.
Adapun sikap negara-negara Muslim bagi pelaku perkawinan
sebelum mencapai umur minimal boleh melakukan perkawinan (kawin dini)
adalah bervariasi, yang dapat digambarkan sebagai berikut:7
1. Indian dan Pakistan, dengan menghukum pelanggar.
2. Mesir, dengan melarang mencatatkan perkawinan di bawah umur, dan
tidak mengakui akibat-akibat hukum dari perkawinan yang tidak
dicatatkan, misalnya status hukum anak yang dilahirkan.
3. Timur Tengah, membolehkan nikah di bawah umur tetapi harus dengan
izin Pengadilan.

Kaitannya dengan negara yang mengatur jarak umur minimal antara


calon, bahwa ada minimal dua negara yang mencantumkan, yakni Syria dan
Maroko. Dalam pasal 6 UU Maroko disebutkan bahwa jarak umur perkawinan
antara seorang laki-laki dan perempuan adalah 20 tahun. Ada kemungkinan
melakukan perkawinan lebih dari jarak tersebut dengan izin pengadilan tanpa
paksaan dan/atau tekanan.

3. Sebab-Sebab Pernikahan Dini


Data pengajuan permohonan dispensasi nikah pada Pengadilan Agama se-
Jawa Tengah, dilansir melalui alamat website PTA Semarang mengalami peningkatan
sebesar 286,2% atau penambahan sebanyak 1016 permohonan dengan perbandingan
data dari bulan Oktober 2019 sebanyak 355 perkara dan pada akhir november 2019
terdapat sebanyak 1371 perkara.
Mahkamah Syari’yah Blangpidie dan Sigli juga merasakan dampak penerapan
UU No. 16 Tahun 2019. Melalui alamat website Mahkamah Agung, MS Blangpidie
pada januari-oktober 2019 sama sekali belum menerima permohonan dispensasi
nikah. Namun sejak November (sejak berlaku UU No. 16 Tahun 2019), MS
Blangpidie sudah menerima 6 perkara permohonan dispensasi nikah. Sedangkan pada
tahun 2020 berjumlah 26 perkara. MS Sigli pada bulan januari-september

7
Ibid, hlm. 378-379.

6
permohonan dispensasi nikah hnaya 3 perkara, namun mulai oktober-desember 2019,
permohonan dispensasi nikah berjumlah 22 perkara. Dari angka tersebut, bahwa
jumlah kasus pernikahan dini mengalami peningkatan relatif tinggi sejak
pemberlakuan UU No. 16 Tahun 2019. Dapat disimpulkan, bahwa pemberlakuan
Revisi UU Perkawinan tersebut belum mampu mengurangi tingkat pernikahan dini di
Indonesia, khususnya Kabupaten Aceh Barat Daya.
Ada beberapa sebab mengapa pernikahan dini (nikah di bawah umur) masih
terjadi di Indonesia, dan dalam kasus ini juga muncul permohonan dispensasi nkah ke
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’yah. Sebab-sebab dimaksud dapat
dikelompokkan secara umum menjadi dua, yakni: (1) sebab dari anak, dan (2) sebab
di luar anak. Adapun sebab dari anak dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: (1)
karena tidak sekolah, dan (2) karena anak melakukan hubungan seksual, bukan
karena hami. Namun dapat pula disebut dua sebab ini saling berhubugan. Adapun
penjelasan lebih rincinya sebagai berikut.8
1. Sebab dari Anak
a. Tidak Sekolah
Faktor tidak sekolah ini dapat menjadi faktor terjadinya pernikahan dini
dalam dua bentuk. Pertama, anak putus sekolah, baik pada usia wajib sekolah
(12 tahun) maupun di luarnya. Akibatnya, anak mengisi waktu dengan
bekerja. Dalam kondisi sudah bekerja ini anak tersebut sudah merasa cukup
mandiri, sehingga merasa mampu ntuk menghidupi diri sendiri. Kedua, dalam
kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka melakukan hal-hal
negatif yang salah satunya adalah menjalani hubungan dengan lawan jenis.
Hubungan ini tidak menutup kemungkinan mengakibatkan hamil di luar
nikah.
b. Melakukan hubungan biologis
Seperi disebutkan sebelumnya, tidak sekolah (pengangguran) dapat
menjadi salah satu penyebab terjadinya melakukan hubungan biologis dini.
Tentu tidak menutup kemungkinan kasus sejenis ini terjadi karena alasan lain.

8
Lily Ahmad, “Hakim dan Pernikahan Dini”, paper dipresentasikan pada acara Diskusi Publik,
“Pengakuan dan Perlindungan Hukum Hak Perempuan serta Hak Anak, dengan Menolak Pernikahan Anak”, dalam
rangka Hari Kartini dan Hari Pendidikan, oleh Jaringan Perempuan Yogyakarta, Rabu, 6 Mei 2009, di CRCS UGM.

7
Menurut laporan beberapa Pengadilan Agama, ada beberapa kasus yang
mengajukan pernikahan dini karena anak-anak telah melakukan hubungan
biologis layaknya suami istri. Anak tidak perawan lagi, khususnya orang tua
dari anak perempuan cenderung ingin segera menikahkannya. Sebab
disamping menjadi aib, anak perempuan tidak perawan dapat menjadi sumber
kekhawatiran tidak ada laki-laki lain yang akan menikahinya kelak.
c. Hamil sebelum menikah
Hamil sebelum menikah ini mirip dengan alasan melakukan hubungan
seksual layaknya suami istri diatas. Namun tidak setiap hubungan seksual
mengakibatkan kehamilan. Dalam kondisi anak perempuan telah hamil tentu
membuat orang tua merasa terpaksa menikahkan. Menurut catatan Pengadilan
Agama, ada beberapa kasus dimana orang tua di gadis tidak setuju dengan
calon menantunya, karena kondisi kehamilan si anak perempuan, membuat
orang tua terpaksa menikahkannya. Bahkan, menurut catatan Pengadilan, ada
kasus dimana gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya.
Namun karena terlanjur hamil, membuat si perempuan merasa terpaksa
menikah dengan mengajukan permohonan dispensasi nikah.
Menghadapi kasus-kasus tersebut di atas tentu dilematis, baik bagi si
anak, khususnya perempuan dan orang tua maupunhakim yang menangani
kasus. Sebab dengan kondisi yang kurang matang seperti ini, dikhwatirkan
kelangsunga perkawinan tidak terjamin.
2. Sebab di Luar Anak
a. Khawatir Melanggar Ajaran Agama
Maksud khawatir melanggar ajaran agama di sini adalah, anak menjalin
hubungan dengan lawan jenis dalam berbagai bentuk, baik itu pergi bersama,
main bersama, belajar bersama, bahkan masuk juga saling sms (kirim pesan
singkat/sms-sms-an). Semua orang tentu takut melanggar agama, hanya saja
aplikasinya muncul perbedaan. Dalam kasus ini tidak ada orang tua tidak rela
jika anaknya menjalin hubungan dengan lawan jenis tanpa ikatan nikah.
Dengan kata lain, menjalin hubungan tanpa nikah termasuk zina. Dalam
banyak kasus anak itu sendiri juga berpendirian sama. Dalam rangka

8
mencegah dari pelanggaran inilah muncul nikah dini agar mereka terhindar
dari perbuatan zina.
Dicatat, ada satu kasus yang mengajukan dispensasi nikah dini dengan
alasan anak menjalin hubungan dengan lawan jenis. Orang tua anak tersebut
berpendirian bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis
merupakan suatu “perzinaan”. Bahwa perbuatan anak perempuan yang saling
sms dengan anak laki-laki adalah perbuatan “zina”. Oleh karena itu sebagai
orang tua harus mencegah hal tersebut dengan cara segera menikahkan.
Padahal anak perempuan yang belum berusia 16 tahun tersebut pada dasarnya
tidak keberatan menunggu smapai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan
lagi, tetapi orang tua tetap bersikukuh agar pernikahan segera dilaksanakan.
b. Faktor Ekonomi
Alasan ekonomi sebagai faktor nikah dini dapat dilihat minimal dari
dua bentuk. Pertama, ekonomi orang tua yang tidak mendukung anak sekolah.
Akibatnya, apa yan telah disebutkan sebelumnya, mungkin bekerja dan
merasa mandiri kemudian menikah, atau menganggur kemudian menjalin
hubungan dengan lawan jenis yang mengakibatkan kehamilan.
Kedua, alasan ekonomi orang tua menjadikan anak sebagai tumbal
untuk menyelesaikan, khususnya anak perempuan. Bentuknya dapat berupa
anak gadis sebagai pembayar hutang. Misalnya, apa yang dicatat Pengadilan
Agama Bantul, bahwa masih banyak kasus dimana anak gadis menjadi
pembayar bagi orang tua yang terlilit hutang dan tidak mampu melunasinya.
Dengan menikahkan anak tersebut dengan si piutang, maka lunaslah hutang-
hutang yang melilit orang tua si anak. Kasus mencuat yang terjadi di Maros
(Sulawesi Selatan), dimana seorang kakek berusia 60 tahun menikah dengan
anak berusia 12 tahun. Orang tua si anak merasa cukup senang, sebab selain
hutang-hutang orang tuanya lunas, si anak juga diberikan HP.
c. Faktor Adat dan Budaya
Maksud adat dan budaya adalah, adat dan budaya perjodohan yang
masih umum dan terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Menurut catatan
Mahkamah Syar’iyyah Blangpidie, faktor perjodohan orang tua kepada si

9
anak menjadi sebab dominan terjadinya pernikahan dini di Kabupaten Aceh
Barat Daya. Kasus yang lain, dimana anak gadis sejak kecil telah dijodohkan
oleh orang tuanya, dan segera dinikahk bawahan sesaat setelah anak
menstruasi. Umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12
tahun. Dengan demikian dapat dipastikan anak tersebut dinikahkan pada usia
12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum pernikahan yang telah
diamanatkan oleh UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

4. Dampak Pernikahan Dini


a. Dampak terhadap Hukum
Yaitu terjadinya pelanggaran terhadap UU Perkawinan dan UU Perlindungan
Anak. Pada Pasal 26 ayat (1) UU Perlindungan Anak dinyatakan: Orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara, mendidik
dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
b. Dampak terhadap Pendidikan
Bahwa seseorang yang melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih di
bawah umur, keinginannya untuk melanjutkan sekolah atau menempuh jenjang
pendidikan yang lebih tinggi menjadi terhambat. Hal tersebut dapat terjadi karena
motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai berkurang karena
banyaknya tugas, pekerjaan dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan setelah
menikah. Dengan kata lain, pernikahan di bawah umur merupakan faktor
penghambat terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.
c. Dampak terhadap Psikologis
Ditinjau dari aspek psikologis, pernikahan di bawah umur dapat mengurangi dan
menghambat harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih
labil, cara berfikir yang belum matang, secara psikis anak belum siap dan
mengerti hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis
berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit untuk disembuhkan. Anak akan
murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri
tidak mengerti atas putusan atau pilihan hidupnya.

10
d. Dampak terhadap Kesehatan
Dimana anak secara biologis alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk berhubungan seks dengan lawan jenisnya,
apalagi jika sampai hamil dan melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi
trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ
reproduksinya sampai membahayakan jiwa si anak.
Perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak
resiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak
medis yang ditimbulkan, yaitu dampak pada kandungan dan kebidanan. Penyakit
kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain
infeksi pada kandungan dan kanker leher rahim. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penyakit kanker serviks (kanker leher rahim), merupakan kanker paling
berbahaya kedua bagi perempuan setelah kanker payudara. Kanker ini menyerang
bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama. Salah satu
faktor penyebab kanker serviks adalah aktivitas sesksual usia dini, sebab
perempuan muda mempunyai kondisi leher rahim yang belum matang.
Kematangan di sini bukan dihitung dari datangnya menstruasi, tetapi kematangan
sel-sel mukosa yang terdapat dalam selaput kulit.

5. Upaya yang dilakukan dalam Mengatasi Pernikahan Dini


Dari sebab-sebab terjadinya pernikahan dini di atas, dapat disimpulkan bahwa
kemiskinan dan pendidikan saling mempengaruhi terjadinya pernikahan dini.
Kemiskinan menjadi salah satu penyebab tidak dapat akses pendidikan dan terjadi
pengangguran. Tanpa pendidikan susah mendapatkan perubahan paradigma dan
budaya. Paradigma yang statis menjadi salah satu penyebab bertahannya budaya atau
adat perjodohan dini, yang termasuk budaya dan adat yang tidak prospektif.
Pengangguran menjadi salah satu sebab orang berlaku dan berbuat apa saja untuk
mengisi waktu, termasuk menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang pada akhirnya
mengakibatkan kemungkinan terjadinya hubungan seksual.
Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa upaya atau konsep yang Penulis
tawarkan kepada Pemerintah dan berbagai Stakeholder lainnya, harapannya dapat

11
mengurangi dan mengatasi tingginya pernikahan dini di Indonesia, khususnya
Kabupaten Aceh Barat Daya, antara lain:
1. Tahap Pendekatan Personal
Langkah paling awal adalah keluarga yaitu memberikan pemahaman sejak dini
kepada anak-anaknya terkait dampak buruk dari pernikahan dini. Dan
memberikan pencerahan paradigma atau pola pikir kepada orang tua tentang
bahayanya praktek nikah dini bagi anak-anaknya. Dengan ilmu lah salah satu cara
untuk memahamkan keluarga khususnya pola pikir orang tua.
2. Tahap Sosialisasi
Melalui langkah pemerintah baik daerah maupun desa dengan memberikan
pemahaman kepada berbagai lapisan masyarakat, satu sekolah ke sekolah yang
lain, satu pesantren ke pesantren yang lain, satu rumah ke rumah yang lain tentang
dampak buruk dan bahaya yang ditimbulkan dari pernikahan dini. Juga
melibatkan KUA dan Guru sebagai pihak yang berperan penting dalam
mencegah dan mengurangi tingkat pernikahan dini. Harapannya Pemerintah,
Penghulu (KUA), Guru, KIAI, dan Ustad dapat mengajak orang tua dan remaja
untuk berpikir lebih terbuka dan membuka pemahaman dalam menikahkan
anaknya tidak di bawah umur.
Upaya hukum yang dilakukan oleh Negara sudah sangat maksimal yaitu dengan
merevisi batas umur menikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu 19 tahun,
sekarang tahapannya lebih kepada menyadarkan kepada anak dan orang tua untuk
tidak menikahkan anaknya di bawah umur. Berbagai terobosan hukum pun
banyak dilakukan, jika tidak sampai kepada kesadaran masyarakat maka hal
tersebut belum mampu untuk menjawab permasalahan yang terjadi saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta: Academia+Tazzafa Yogyakarta, 2009.

12
Nasution, Hotmartua, Pembaharuan Hukum Keluarga Islam tentang Usia Perkawinan di
Indonesia (Studi atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Skripsi, Program Sarjana
Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2019.

Zulfiani, “Kajian Hukum terhadap Perkawinan Anak di Bawah Umur Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol. 2, No. 2 (Juli-Desember
2017).

Muntamah, Ana Latifatul, Dian Latiflani dan Ridwan Arifin, “Pernikahan Dini di Indonesia:
Faktor dan Peran Pemerintah (Perspektif Penegakan dan Perlindungan Hukum Bagi
Anak)”, Widya Yuridika Jurnal Hukum, Vol. 2, No. 1 (Juni 2019).

Rio Satria, Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Pasca Revisi Undang-Undang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017.

www.mahakamahagung.go.id, diakses pada tanggal 12 Januari 2021 di Aceh Barat Daya.

13

Anda mungkin juga menyukai