Anda di halaman 1dari 17

HUKUM PERKAWINAN DI NEGARA-NEGARA ISLAM

1. PENDAHULUAN
Semua negara muslim memiliki sistem hukum dengan pengadilan dan hakim seperti di
tempat lainnya di dunia. Bagaimanapun terdapat beberapa perbedaan antara negara-negara
Islam. Struktur dan administrasi pengadilan juga berkembang dengan baik. Dibeberapa
negara Islam telah mendasarkan pada hukum syariah yang terkodifikasi dan hukum-hukum
kebiasaan semakin berkurang.1 Hukum Islam mulai disusun dalam sistem perundang-
undangan modern.
Kehadiran undang-undang hukum keluarga khususnya hukum perkawinan
mengisyaratkan pula wujud pembaharuan hukum Islam di dunia Islam. Pembaharuan
hukum Islam di dasarkan atas penafsiran kembali terhadap tradisi hukum Islam sesuai
dengan penalaran dan pengamalannya. Dengan cara inilah hukum keluarga Islam yang
berlaku dari sejak Afrika utara sampai ke Asia Tenggara mengalami perubahan. Di antara
perubahan-perubahan yang penting dalam bidang hukum perkawinan adalah pengekangan
terhadap perkawinan anak anak di bawah umur dan pembatasan poligami. Di antara tujuan
utama dan pertama dari pembaharuan hukum keluarga Islam khususnya dalam bidang
perkawinan yang dilakukan di dunia Islam pada umumnya memang untuk meningkatkan
status atau kedudukan kaum wanita dan memperkuat hak-hak para anggota keluarga inti
(nuclear family) di atas hak-hak para anggota keluarga yang lebih jauh dalam keluarga
yang lebih besar (extended family).2
Pemberlakuan hukum perkawinan di dunia Islam sangat sudah mudah dipahami karena
hukum perkawinan dalam pandangan umat Islam mengandung unsur-unsur taabbudi
(peribadatan) dan disamping itu juga mengandung nilai-nilai kesucian yang tidak bisa
diabaikan begitu saja. Benar antara negara yang satu dengan negara Islam yang lain atau
antara negara berpenduduk yang satu dengan yang lain terdapat sejumlah perbedaan dibalik
persamaan, namun perbedaan yang ada lebih berkenaan dengan hal-hal yang bersifat formal
1
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Law, Hukum Islam,
(Rajagrafindo,2008), h. 136.
2
Muhammad Amin Suma, Hukum Kekeluargaan Islam di dunia Islam, (Jakarta:Rajagrafindo, 2004), h. 156.
administratif dari pada persoalan persoalan hukum yang bersifat subtansial normatif. Oleh
karena itu, untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam pembahasan pada makalah ini.

2. HUKUM PERKAWINAN DI NEGARA-NEGARA ISLAM


A. AHLIYAH DAN USIA PERKAWINAN
1. Pakistan
Kodifikasi hukum keluarga dilakukan pada tahun 1961, yaitu pada masa rezim
Agha Mohamed Yahya Khan, dan digulirkan dalam bentuk The Muslim family Law
ordinance of 1961. Ketentuan di dalam koordinasi tersebut diatur tentang ahliyah dan
usia perkawinan yang mapan, yaitu laki-laki 18 tahun dan untuk wanita 16 tahun. Di
dalam ordinansi itupun diatur bahwa seorang wali boleh menikahkan putrinya sebelum
mencapai usia perkawinan yang telah ditentukan oleh ordinansi, yaitu melalui
permohonan dispensasi perkawinan atau option of puberity (khiyar bulugh) ke
pengadilan.3
2. Irak
Kententuan Ahliyah dan usia perkawinan di dalam Law of personal status 1959
diatur bahwa usia perkawinan di Irak adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun pula
untuk wanita. Anak kecil yang mumayyiz (sudah bisa membedakan baik dan buruk) sah
melakukan perkawinan dengan persetujuan wali, karena ahliyah untuk itu masih belum
sampai atau belum mapan (Naqishah).4 Masalah ahliyah merupakan salah satu syarat
akad dalam perkawinan Oleh karena itu keberadaan Ahliyah dalam sebuah akad harus
dapat dibuktikan dengan sempurnanya syarat perundang-undangan (syarat Qanuniyah)
dan syarat syariah oleh para pihak yang melakukan akad.5
3. Maroko
Di dalam Undang-undang hukum keluarga Maroko, yaitu Mudawwanah Al- ahwal
Al syakhsiyah atau the code of personal status tahun 1957- 1958, diatur di pasal 8 dan
pasal 9 tentang Ahliyah dan usia perkawinan usia perkawinan di negara Maroko adalah
18 tahun baik untuk laki-laki maupun untuk wanita. Tentang kewenangan Wali untuk
3
Tahir Mahmood, Personal Law In Islam Countrries, (New Delhi:1987), h. 271.
4
Ibid.
5
Ahmad Kubaisi, Al-Wajiz, (Baghdad: Jamilah Baghdad, 1990), h. 40
mengawinkan anak di usia perkawinan dapat dilaksanakan dengan adanya putusan
pengadilan.6
4. Yordania
Perkembangan hukum di Yordania ditandai dengan diberlakukannya hukum
keluarga (Qanun al-huquq al- ailah) tahun 1951 yang menggantikan hukum Turki
tentang hak-hak keluarga tahun 1917. Meski menampung beberapa ketentuan baru,
namun materi pembahasan undang-undang ini tidak jauh beranjak dari undang-undang
hukum Turki 1917.7 Pada tahun 1976, Yordania berhasil mengesahkan undang-undang
Nomor 61 tahun 1976 sebagai pengganti hukum yang sama tahun 1951 dengan nama
undang-undang hukum status perorangan (Qanun al- ahwal al-syakhsyiah) yang
mencakup cakupan lebih luas. Setahun kemudian, di amandemen dengan undang-
undang status perorangan nomor 25 tahun 1977 yang di dalamnya diatur bahwa ahliyah
dan batas usia perkawinan untuk laki-laki 16 tahun dan untuk anak perempuan 15
tahun.8
5. Mesir
Dengan dikeluarkannya aturan dan prosedur bagi pengadilan syariah pada tahun
1897, mengharuskan adanya dokumentasi tertulis dalam perkawinan, perceraian dan
kewarisan. Dalam aturan tersebut juga ditentukan pembatasan usia minimum
perkawinan yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki. Dan pengadilan
berhak melarang atau menolak permohonan untuk melangsungkan perkawinan jika tidak
memenuhi batas usia minimum tersebut.9
6. Indonesia
Di dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diatur di pasal 7
tentang batas minimum usia perkawinan yang mengisyaratkan batas minimum umur
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun. Selanjutnya, dalam hal penyimpangan terhadap pasal 7, dapat
dilakukan dengan meminta despensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang

6
Tahir Mahmood, Personal Law In Islam Countrries, h. 120.
7
Ibid, h. 73.
8
Mahmood, Ali Syartawi, Syarah Qanun al Ahwal al Syakhsyiah, (tt.Dar al Fikr,tth), h. 55
9
John L. Esposito, h. 473
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Selanjutnya, dinyatakan
bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari
orang tuanya sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 2 3 4 dan 5 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam tampaknya memberikan aturan
yang sama dengan undang-undang perkawinan.
Dicantumkan secara eksplisit batasan umur, menunjukkan apa yang disebut oleh
Yahya Harahap exepressis verbus atau langkah-langkah penerobosan hukum adat dan
kebiasaan yang dijumpai didalam masyarakat Indonesia. Di dalam masyarakat adat Jawa
misalnya seringkali dijumpai di dalam masyarakat adat Jawa misalnya dijumpai
perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan
Aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun walaupun
mereka belum diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya
ini disebut dengan Kawin Gantung.10 Dengan adanya batasan umur ini, maka kekaburan
terhadap penafsiran batas usia baik yang terdapat dalam adat ataupun hukum Islam
sendiri dapat dihindari.11
Tidak dapat dipungkiri, ternyata batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk
kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi dan berakibat pula pada kematian ibu
hamil yang cukup tinggi pula. Pengaruh buruk lainnya adalah kesehatan reproduksi
wanita menjadi terganggu. Dengan demikian pengaturan tentang usia ini sebenarnya
sesuai dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan istri harus
telah masak jiwa dan raganya. Tujuannya adalah agar tujuan perkawinan untuk
mencapai keluarga yang kekal dan bahagia secara baik tanpa berakhir dengan perceraian
dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat dapat diwujudkan. Kebalikannya
perkawinan dibawah umur atau yang sering diistilahkan dengan perkawinan dini seperti
yang telah ditetapkan di dalam undang-undang semestinya dihindari karena membawa
efek yang kurang baik, terutama bagi pribadi yang melaksanakannya.12

B. PENCATATAN PERKAWINAN

10
11
12
1. IRAN
Negara Iran menetapkan bahwa setiap perkawinan dan perceraian harus dicatatkan
pada lembaga yang berwenang. Perkawinan atau perceraian yang tidak dicatatkan
adalah satu pelanggaran. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu materi
reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Iran. Dalam hal ini, setiap perkawinan,
sebelum dilaksanakan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang sesuai dengan
aturan yang berlaku. Aturan tentang pencatatan perkawinan ini merupakan pembaruan
yang bersifat regulatory (administratif). Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak
sampai mengakibatkan tidak sahnya pernikahan, namun terhadap pelanggarnya dikenai
hukuman fisik, yaitu penjara selama satu hingga enam bulan (Hukum Perkawinan
1931, Pasal 1).13
2. MESIR
Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir di mulai dengan terbitnya
Ordonasi 1880, yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-
pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta
menyerahkan pelaksananan pencatatan nikah kepada kemauan para pihak yang
berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonasi tahun 1880 itu diikuti
dengan lahirnya ordonasi tahun 1897 yang pasal 31 menyatakan bahwa gugatan
perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawiann tidak akan didengar oleh
pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan
adanya suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan. Tampak bahwa pasal ini
mengandung persyaratan adanya dokumen yang diduga tidak palsu agar dapat
dijadikan dasar keputusan. Demikian pula Ordonasi tahun 1921 mengandung ketentuan
bahwa dokumen itu harus bersifat resmi, dibuat oleh pegawai berwenang yang
ditugaskan untuk itu. Dari sini jelaslah bahwa undang-undang di mesir mengambil
prinsip tidak mendengarkan suatu gugatan dalam kasus-kasus perkawinan dan akibat-
akibat hukumnya apabila perkawinan tersebut tidak terbukti berdasarkan suatu
dokumen resmi yang diterbitkan oleh pejabat berwenang, seperti hakim dan pegawai
pencatat nikah atau kosul (untuk luar negeri).

13
Hukum Keluarga di dinuia Islam Modern, h. 59
3. YORDANIA
Undang-undang Yordania No. 61 Tahun 1976 mengharuskan adanya pencatatan
perkawinan dan yang melanggar dapat dihukum baik mempelai maupun pegawai
dengan hukuman pidana. Diantaranya pada Undang-undang tahun 1976 pasal 17
menyatakan bahwa laki-laki mendatangkan qodhi atau wakil dalam upacara, untuk
mencatat dan mengeluarkan sertifikat nikah, jika tidak mendatangkan qodhi maka
semua pihak yang terlibat (dua mempelai, wali dan 2 saksi) dikenai hukuman
berdasarkan jordanian penal code atau membayar denda lebih dari seratus dinar.
4. TURKI
Turki Pencatatan perkawinan harus dilakukan. Dalam permohonan perkawinan calon
suami dan calon istri wajib menyatakan persetujuan atas perkawinan mereka tanpa ada
paksaan. Pencatatan perkawinan boleh dilakukan di tempat domisili calon suami atau
calon istri.
5. MALAYSIA
Dalam Hukum Perkawinan Malaysia mengharuskan adanya pendaftaran atau
pencatatan perkawinan . Proses pencatatan dilakukan setelah selesai akad nikah.
Contohnya teks UU Pinang 1985 pasal 25; Perkawinan selepas tarikh yang ditetapkan
tiap-tiap orang yang bermastautin dalam negeri Pulau Pinang dan perkawinan tiap-tiap
orang yang tinggal di luar negeri tetapi bermastautin dalam Negeri Pulai Pinang
hendaklah didaftarkan mengikuti Enakmen ini. Bagi orang yang tidak mencatatkan
perkawinannya merupakan perbautan pelanggaran dan dapat dihukum dengan
hukuman denda atau penjara, akan tetapi ada undang-undang Malaysia juga yang
menyatakan bahwa pendaftarannya dilaksanakan minimal 7 hari sebelum pernikahan.
6. INDONESIA
Dalam pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwasanya
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Dan pada ayat (2) pada pasal yang sama disebutkan, Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan
diadakan ketentuan pasal 2 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 adalah untuk menghindari
konflik hukum antara hukum adat, hukum agama, dan hukum antar golongan.
Sedangkan tujuan pencatatan perkawinan adalah: (1) menjadikan peristiwa perkawinan
menjadi jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya, (2) sebagai alat
bukti bagi anak-anak kelak kemudian apabila timbul sengketa, baik antara anak
kandung maupun saudara tiri sendiri, dan (3) sebagai dasar pembayaran tunjangan istri
atau suami, bagi pegawai negeri sipil.
Dalam pasal 2 ayat (1) peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
undang-undang nomor 1 tahun 1974 disebutkan, Pencatatan perkawinan dari mereka
yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang no 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.14
C. PERTUNANGAN
1. Turki

Pertunangan (janji untuk menikah) di Turki diatur di dalam the Turkish Family Law
tahun 1951 :
Pasal 4: Pertunangan adalah saling berjanji antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan untuk menikah satu sama lain.
Pasal 5: Jika dalam pertunangan tersebut salah satu pihak memutuskan perjanjian
tersebut, baik dengan alasan atau tanpa alasan, maka yang memutuskan perjanjian itu
harus mengganti kerugian. Apabila dengan pemutusan tersebut merusak reputasi calon
mempelai laki-laki, maka pengadilan dapat memutuskan untuk memberikan hadiah
sebagai pengganti dari pemutusan tersebut. Bila salah satu pihak meninggal dunia, maka
hadiah tidak perlu dikembalikan.15 Dalam undang-undang tersebut tidak diatur berapa
besar hadiah (sanksi) yang diberikan untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan.
2. Malaysia

Dalam hukum keluarga Malaysia yang diberi nama Islamic family law act, bahwa
pertunangan (perjanjian untuk menikah) adalah perjanjian yang tidak mengikat. Jika

14
Pencatatan Perkawinan di Indonesia, https://detikhukum.wordpress.com/2015/09/29/pencatatan-
perkawinan-di-indonesia/, di akses Senin, 20 Maret 2017.

15
perjanjian untuk menikah itu putus, maka sepantasnya, yang memutuskan tersebut
memberi biaya atau ongkos atau hadiah bagi yang bersedih. Jika seorang lelaki
memutuskan atau membubarkan pertunangan, maka ia harus mengembalikan semua
hadiah pertunangan jika memungkinkan, atau menghargai hadiah tersebut.16
3. Yordania

Pertunangan (perjanjian untuk menikah) di Yordania diatur dalam the Yordania


Law of family rights tahun 1951 pada pasal 2 dan 3.
Pasal 2 : Janji untuk menikah dapat membawa akibat pada adanya pernikahan.
Pasal 3 : Setelah adanya perjanjian, satu pihak meninggal dunia atau perjanjian itu
batal, maka beberapa hadiah (pemberian) itu dapat diperoleh lagi oleh pihak laki-laki.17
4. Indonesia

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pertunangan


(peminangan) tidak dikenal. Alasannya mungkin karena pertunangan tidak dapat disebut
peristiwa hukum. Berbeda dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Kompilasi
Hukum Islam tampaknya mengapresiasi dengan cukup luas peminangan ini titik seperti
yang terlihat dalam pasal 1 bab 1 huruf a, peminangan didefinisikan sebagai kegiatan
upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita dengan
cara-cara yang baik (ma'ruf). Peminangan ini dapat dilakukan langsung ataupun
melakukan lalui perantara yang dapat dipercaya. Lebih jelasnya di dalam pasal 11
dinyatakan peminangan dapat dilakukan oleh yang hendak mencari pasangan jodoh tapi
dapat dilakukan pula oleh perantara yang dapat dipercaya.
Dalam dalam pasal 12 KHI dengan tegas menyatakan bahwa peminangan dapat
dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau janda yang telah habis
masa iddahnya. Peminangan itu dapat dilaksanakan selama tidak terdapat halangan-
halangan peminangan tersebut seperti yang termuat dalam pasal 12 :
Ayat 2 : Menyatakan, wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah
razia haram dan dilarang untuk dipinang

16
17
Ayat 3 : Dilarang juga meminang untuk seorang wanita yang sedang dipinang orang
lain, selama pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
Ayat 4 : Dinyatakan putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi
dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Dalam pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa, peminangan belum menimbulkan akibat
hukum dan para pihak bebas memutuskan akibat peminangan. Pada ayat 2 dijelaskan
bahwa kebebasan memutuskan hubungan peminagan dilakukan dengan tata cara yang
baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina
kerukunan dan saling menghargai.
D. MAHAR
1. Mesir
Dalam hukum keluarga Islam tahun 1929 disebutkan tentang mahar bahwa apabila
ada persengketaan antara suami istri tentang jumlah mahar yang dibayarkan maka jika
istri itu tidak bisa membuktikan maka pernyataan suamilah yang akan diterima, kecuali
jika mahar tersebut dianggap tidak sesuai dengan status istri, dalam beberapa kasus di
pengadilan akan menemukan mahar mitsilnya. (Undang-undang Nomor 15 Tahun 1929
pasal: 18 -19) intinya adalah sama tetapi beda nya jika masalah ini meluas dan
melibatkan banyak pihak lain seperti ahli waris.18
2. India

Dalam Undang-undang tahun 1939 dengan jelas menerangkan tentang hak istri atas
mahar dan rusaknya perkawinan atas pelanggaran atas ketetapan kelaziman, mazhab
yang dianut oleh pihak-pihak yang bersengketa. Hal apapun yang istri miliki menurut
materi hukum Islam bisa tidak berlaku jika ada ketetapan dari pengadilan.
Mengenai jumlah nominal mahar undang-undang tahun 1939 menyatakan bahwa
hal tersebut boleh disebut atau tidak dalam akad perkawinan, di mana dalam kedua hal
tersebut suami tetap berkewajiban melunasinya. Berapapun batas maksimal mahar-

18
mahar hal tersebut masih bisa dipraktekkan di seluruh wilayah India kecuali negara
bagian Jammu dan Kashmir.
Dalam Undang-undang Mahar Jammu dan Kashmir tahun 1920 dicantumkan 2
pasal dan pada pasal 2 dikatakan : pada saat jumlah mahar ditetapkan dalam aka dhal
tersebut jangan berlebihan dari kemampuan suami. Kemudian mahar tersebut tidak
diserahkan dalam lamaran kepada pihak yang tergugat tetapi mahar itu diserahkan
karena putusan hakim yang sesuai dengan maksud (kemampuan) suami dan status
isteri.19
3. Kuwait
Secara umum hukum keluarga Islam di Kuwait tidak berbeda dengan apa yang diatur
dalam Fiqih klasik, sebagai contoh tidak adanya batasan minimal dalam mahar (pasal
44).20 Kemudian tentang penerimaan mahar muajjal oleh seorang istri tidak
mengandung arti dia berhak untuk tidak taat dan mengedepankan semua kewajibannya
terhadap suaminya (pasal 47) Tentang tidak disebutkan mahar dalam akad yang
menyebabkan wajibnya mahar mitsil (pasal 35). Selanjutnya mengenai perselisihan
antara suami istri akan ukuran mahar musamma, maka istri harus membuktikan jika
tidak bisa maka sumpah suami akan diterima (pasal 58).
4. Indonesia
Mahar menurut kompilasi hukum Islam di Indonesia adalah pemberian dari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berbentuk barang uang atau jasa
yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Menurut pasal 30 kompilasi hukum Islam : Calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada mempelai wanita yang jumlah bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah
pihak.
Pasal 31: Berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran
Islam.
Pasal 32 : Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu
menjadi hak pribadinya.

19
20
Pasal 33 : Penyerahan mahar bisa dengan kontan utang atau uang sebagian.Mahar yang
belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai wanita. Begitu pula
dengan mahar masih terutang tidak mengurangi sahnya perkawinan. Pasal 35:
1) Suami yang mentalaq istrinya qobla al-dukhul wajib membayar setengah mahar
yang telah ditentukan dengan dalam akad nikah.
2) Apabila suami meninggal dunia qobla al-dukhul seluruh mahar yang telah
ditetapkan menjadi hak penuh istrinya
3) Perceraian terjadi qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka
suami wajib membayar mahar misil.
Pasal 36 :
Apabila mahar menghilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang
lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau
dengan uang yang senilai harga barang yang hilang.
Pasal 37 :
Apabila terjadi perselisihan pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan
koma penyelesaian diajukan ke pengadilan agama.
Pasal 38 :
1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung lu cacat atau kurang tetapi calon
mempelai wanita tetap bersedia menerima nya tanpa syarat penyerahan mahar
dianggap lunas
2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus
menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama mahar itu belum
diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.
5. Pakistan
Mengenai mahar ordonansi 1961 mencantumkan peraturan yaitu jika tidak ada
penetapan model pembayaran mahar secara spesifik dalam sebuah akad perkawinan
maka jumlah mahar itu dapat dibayar berdasarkan permintaan, aturan ini diilhami oleh
mazhab Syiah itsna asyariyah.
Di Pakistan ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang dowry yaitu
pemberian selain mahar yang timbul sebagai akibat dari warisan budaya Hindu. Masalah
Dowry ini membingungkan ketika dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris karena
mas kawin itu terjemahan Inggrisnya adalah dower tetapi dowry sama sekali berbeda
dengan mas kawin baik konsep dan sumber hukumnya karena Dowry bukan bersumber
dari Alquran dan sunnah nabi.
Dowry adalah sebuah pemberian bisa berupa uang atau materi apa saja yang
berharga kepada pengantin dari orangtuanya baik sebelum, selama maupun sesudah akad
nikah. Dalam organisasi Pakistan barat 1980 yang mengamandemen undang-undang
dowry dan hadiah perkawinan 1976 dijelaskan bahwa Dowry bukan termasuk mas
kawin (mahar) ( Pasal 2 point a ). Dalam undang-undang itu juga terdapat pembatasan
terhadap dowry dan hadiah perkawinan baik dari orang tua kepada pengantin
perempuannya atau kepada pengantin prianya itu tidak boleh melebihi 500 Rupee ( Pasal
3 ayat 1 ).
E. SEKUFU
1. Suriah
Tahun 1953 Suriah memberlakukan undang-undang yang disebut Syirian law of
Personal Status. Pasal 26 undang-undang itu dinyatakan bahwa syarat lazim dalam
pernikahan itu adalah laki-laki dan perempuan haruslah sekufu. Jadi Suriah menjadikan
sekufu sebagai syarat lazim dalam pernikahan. Maka dapat diketahui yang menjadi batas
keberlakuannya adalah saat akad dilakukan. Selanjutnya Jika dilihat pada pasal 27
bahwa apabila perempuan dewasa menikahkan dirinya sendiri tanpa persetujuan
walinya, sedang suaminya dianggap tidak sekufu, maka walinya bisa memfasakh
nikahnya.
Jadi diperhatikan undang-undang hukum keluarga Negeri ini menganut mazhab
Hanafi, hal ini terlihat dari :Pertama, ukuran kafa'ah dari laki-laki, bukan dari perempuan
atau dari keduanya.Kedua, adanya ketentuan bahwa kafaah menurut syarat lazim bukan
syarat sah nikah,Ketiga, ketetapan kafaah pada asal dan dia adalah adat kebiasaan, Ke
empat, bentuk kafaahnya merupakan hak setiap perempuan dari walinya, Kelima,
waktu penetapan Kafaah saat akad bukan setelahnya.
2. Lebanon
Negeri Ini menggunakan the Ottoman law of family rights 1971, sebagai undang-undang
hukum keluarga. Pasal 45 undang-undang ini menyebutkan bahwa seorang laki-laki
haruslah sepadan dengan seorang perempuan dalam hal kekayaan, pekerjaan (jabatan),
dan derajat. Sedangkan pasal 46 disebutkan bahwa harus sederajat dalam hal akhlak, hal
ini terlihat ketika melangsungkan perkawinan. Jika akhlaknya hilang atau berubah
setelah perkawinan, maka perubahan tidak akan punya pengaruh. Dan pasal 50
disebutkan bahwa pengadilan dapat membatalkan perkawinan yang tidak sekufu, asal
belum terjadi kehamilan.
3. Yordania
Pada pasal 27 disebutkan bahwa jika suami tidak sekufu dengan istrinya, maka hakim
boleh memutuskan perkawinan, hal ini dapat dilakukan sebelum istrinya hamil. Di
negeri ini tampaknya kafa'ah tidak lagi dijadikan syarat lazim, tapi telah beranjak
menjadi syarat sah perkawinan. Terlihat dari bahwa hakim boleh memutuskan
perkawinan jika dianggap olehnya bahwa perkawinan itu tidak sekufu, asal istrinya
belum hamil. Sehingga diketahui undang-undang hukum keluarga negeri ini sedikit lebih
ketat memberlakukan kafa'ah dalam perkawinan. Yordania pada tahun 1976 juga
memberlakukan undang-undang hukum keluarga yang disebut dengan Code of Personal
Status dalam pasal 20 disebutkan bahwa diharuskan seseorang laki-laki yang akan
melangsungkan perkawinan haruslah sederajat secara finansial.
F. FASAKH NIKAH
1. Yordania
Di antara pasal penting dalam hukum status perorangan Yordan adalah penentuan alasan
yang memungkinkan terjadinya perceraian dengan melalui gugat cerai oleh si istri.
Hukum status perorangan Yordan memberikan kewenangan istri untuk meminta cerai
apabila:
1) Suami menderita impotensi dan sakit yang dapat membahayakan si istri apabila
mereka masih hidup bersama.
2) Suami meninggalkan istri dalam jangka waktu 1 tahun atau lebih tanpa alasan yang
jelas meskipun suami meninggalkan nafkah untuknya.
3) Suami di vonis selama 3 tahun meski yang mempunyai harta yang cukup untuk
menafkahi istrinya selama ia menjalani hukuman maka perkawinan ini bisa
dibubarkan setelah vonis dijatuhkan.
2. Al Jazair
Menurut undang-undang hukum keluarga ditetapkan bahwa pemutusan ikatan
pernikahan dapat terjadi dengan beberapa sebab :
1) Suami tidak memberi nafkah kecuali ketika pelaksanaan perkawinan istri sudah
mengetahui ketidakmampuan suami.
2) Kelemahan-kelemahan suami yang menghalangi terealisasinya objek-objek
perkawinan.
3) Penolakan suami terhadap istrinya untuk tinggal bersama dalam waktu lebih dari 4
bulan.
4) Keyakinan suami yang dapat dihukum dengan hilangnya hak perdata selama kurang
lebih dari 1 tahun.
5) Ketidakhadiran suami selama lebih dari 1 tahun tanpa memberi nafkah.
6) Tindakan amoral yang patut dicela.
3. Maroko
Dalam undang-undang Mudawwannah al-Ahwal al-Syakhsiyah disebutkan pemutusan
hubungan perkawinan antara lain:
1) Suami gagal menekan biaya hidup perlindungan.
2) Suami menderita penyakit kronis yang tidak dapat sembuh atau memungkinkan
sembuh dalam waktu lebih dari setahun dan membahayakan kehidupan bersama.
3) Suami berlaku kasar kepada istri yang secara alami perlakuan tersebut membuat istri
tidak mungkin melanjutkan hubungan pernikahan.
4) Suami meninggalkan istrinya sedikitnya selama 1 tahun tanpa peduli pada istri.
5) Suami gagal memperbaiki hubungan perkawinan setelah waktu 4 bulan ketika suami
bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya.
4. Mesir
Dari pasal-pasal kedua Undang -undang Hukum Keluarga Mesir yakni UU No. 25
Tahun 1920 dan 1929, dikemukakan beberapa alasan yang memungkinkan terjadinya
pemutusan hubungan perkawinan yaitu:
1) Suami tidak memberikan nafkah.
2) Menghilang selama satu tahun penuh.
3) Di hukum penjara 3 tahun dengan keputusan yang mempunyai hukum tetap.
4) Syiqaq antara suami dan istri.
5) Ketidakmampuan seksual suami.
G. POLIGAMI
1. Indonesia
Berdasarkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka prinsip
perkawinan di Indonesia adalah monogami pasal 31 namun masih memungkinkan
seorang pria melangsungkan poligami maksimal empat dengan persetujuan pengadilan
(Pasal 3 ayat 2).
Izin beristri lebih dari seorang seorang PNS, hanya dapat diberikan apabila memenuhi
sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif, dan ketiga syarat kumulatif Adapun
syarat-syarat alternatif ialah
1) Isteri tidak adapat menjlankan kwajibannya sebagai isteri.
2) istri mendapat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3) atau tiga tidak dapat keturunan
Sedangkan syarat kumulatif adalah
1) Adanya persetujuan tertulis dari istri-istri.
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-
anak mereka.
3) Adanya jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-
anaknya persetujuan istri pun harus dipertegas pengadilan.
2. Malaysia

Berdasarkan undang-undang perkawinan Malaysia tentang boleh atau tidaknya


seorang laki-laki yang melakukan poligami ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan
yakni syarat-syarat alasan-alasan boleh tidaknya poligami dan prosedurnya. Dasar
perhitungan pengadilan untuk memberikan izin tidak dilihat dari pihak istri dan suami.
Adapun alasan dari pihak isteri adalah
1) Kemandulan,
2) Karena keuzuran jasmani.
3) Karena tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh.
4) Sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan atau
5) Isteri gila.
Sedangkan pertimbangan dari pihak suami adalah
1) Mampu secara ekonomi untuk menanggung istri-istri dan anak keturunan,
2) Berusaha untuk Adil di antara para istri
3) Perkawinan tidak menyebabkan bahaya terhadap agama, nyawa, badan, akal
pikiran, atau harta benda istri yang telah terlebih dahulu dinikahi.
4) Perkawinan itu tidak akan menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-
orang yang terkait dengan perkawinan langsung atau tidak.
3. Iran

Family Protection Act of 1967, yang diperbaharui lagi tahun 1975 membuat cara
sendiri untuk menjamin hak-hak wanita dalam praktek poligami, yakni sebagai
tambahan terhadap ketetapan bahwa suami yang akan dipoligami harus mendapat izin
dari pengadilan, yang ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat :
1) Kemampuan ekonomi dan
2) Berbuat adil diantara para isterinya.
Pasal 16 disebutkan seorang suami tidak berhak menikah lagi dengan wanita lain kecuali
ada izin persetujuan dari istri pertama karena alasan :
1) Istri pertama tidak mampu berkumpul bergaul dengan suami
2) Ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3) Istri di penjara minimal lima tahun
4) Kecanduan minuman keras judi dan semacamnya meninggalkan keluarga hilang
4. Tunisia
Mengenal praktek poligami Tunisia melarangnya secara mutlak berdasarkan pada
teks teks undang-undang pasal 18 yang dengan tegas menyatakan :
1) Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya
benar-benar berakhir lalu menikah lagi akan dikenakan hukuman penjara selama
satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau dengan kedua-duanya.
2) Siapa yang telah menikah melanggar aturan yang terdapat pada undang-undang
Nomor 3 tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan
kedua sementara ia masih terikat perkawinan dengan istri pertama maka akan
dikenakan hukuman yang sama.
3) Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman Menurut
ketentuan yang resmi ia juga bisa dikenakan hukuman yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Mardani, Hukum Perkawinan Islam:Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu:
2011).
Muzdhar, M. Atho, Nasution Khairuddin, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003).

Anda mungkin juga menyukai