Anda di halaman 1dari 18

DISPENSASI KAWIN DI PENGADILAN AGAMA PAMEKASAN: ANALISIS

KONFIRMATORIK ATAS NASKAH PENETAPAN PERKARA NOMOR


0417/PDT.P/2014/PA.PMK.

ABSTRAK
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki aturan pokok dalam
pelaksanaan perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan (UUP) yang harus ditaati oleh semua golongan masyarakat.
Dalam pernikahan batas usia sudah ditentukan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Hukum Perkawinan Indonesia
mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika calon mempelai pria telah
mencapai usia 19 tahun dan calon mempelai wanita telah berusia 16 tahun. Bila
terjadi penyimpangan dalam arti bahwa usia kedua calon mempelai atau salah satu
di antara mereka berada di bawah usia yang telah ditentukan, dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun pihak wanita.
Berdasarkan kondisi tersebut dirumuskan tiga fokus permasalahan yang
menjadi kajian pokok dalam penelitian ini yaitu: pertama, Dasar para pihak
mengajukan permohonan dispensasi kawin. kedua, Prosedur pelaksanaan
pengajuan permohonan dispensasi kawin. ketiga, Dasar pertimbangan majelis
hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi kawin.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
content analisis, dimana metode content analisis ini menggunakan tehnik
konfirmatorik langsung kepada hakim yang menangani perkara dispensasi kawin
tersebut, dan mengevaluasi naskah penetapan dispensasi. Sumber data dalam
penelitian ini diperoleh dari : Pertama, data primer yaitu data pokok yang berupa
berkas penetapan dispensasi kawin. Kedua, data Sekunder berupa konfirmasi
kepada hakim mengenai berkas perkara penetapan dispensasi kawin. Sedangkan
prosedur pengumpulan datanya menggunakan wawancara dan dokumentasi,
kemudian data tersebut dikumpulkan, dianalisis.
Dari hasil penelitian ini yang hal yang mendasari para pihak mengajukan
permohonan diispensasi kawin. karena umur anak pemohon tidak memenuhi
batasan minimal untuk melakukan pernikahan. Yang telah di tentukan dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu untuk laki-laki 19 tahun dan
perempuan 16 tahun. Karena anak pemohon masih berumur 15 tahun 1 bulan,
sesuai dengan Surat Penolakan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasean.
Pemohon ingin segera melangsungkan pernikahan karena kekhawatiran terhadap
anak pemohon hal-hal yang berujung zina. Prosedur pelaksanaan pengajuan
permohonan dispensasi kawin sama dengan pengajuan perkara-perkara lainnya.
Hanya saja yang membedakan yaitu hasil putusannya. Apabila perkara dispensasi
kawin, pengankatan anak. penetapan wali dan itsbat nikah berupa penetapan
sedangkan perkara cerai gugat dan cerai talak berupa putusan. Sedangkang dasar
pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi kawin yaitu

1
berpedoman bukti keterangan saksi dan berkas-berkasnya serta mengikuti aturan
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kaidah fiqih.
A. Latar Belakang
Banyak hal yang mendasari para pemohon dalam pengajuan perkara
dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama. Misalnya, anak laki-laki di
bawah umur memiliki hubungan pergaulan yang sangat erat dengan seorang
perempuan yang bukan muhrimnya sehingga dikhawatirkan menimbulkan
perbuatan zina. Hal lainnya, masa pertunangan yang sudah bertahun-tahun
yang dilakukan oleh kedua pihak. Ada pula penyebab keeratan pergaulan itu
karena hamil diluar nikah.
Berdasarkan peristiwa yang mendasari terjadinya permohonan
dispensasi tersebut para hakim memiliki dasar pertimbangan yang sangat kuat
dalam mengabulkan permohonan dispensasi kawin tersebut. Hakim dalam
mengabulkan permohonan dispensasi kawin itu menggunakan pertimbangan
dari segi yuridis dan psikologis. Dari segi yuridis hakim menggunakan
pertimbangan berupa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan dari segi psikologis,
hakim mempertimbangkan bahwa calon mempelai laki-laki dan perempuan
masih berpola fikir dan berperilaku emosional yang masih belum matang
karena berusia di bawah umur.
Majelis hakim dalam menetapkan dispensasi kawin bertujuan untuk
menghindari hal-hal yang nantinya dapat menimbulkan atau bisa
menjerumuskan calon mempelai pada perbuatan zina yang dilarang oleh
norma agama dan bahkan menyimpang dari ketentuan norma-norma sosial
yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Ada pula hakim menetapkan
permohonan dispensasi kawin karena untuk membantu tercapainya tujuan
perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dengan dasar cinta,
kasih dan sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dan bisa menjadi
penerus keturunannya.
Perkawinan merupakan peristiwa sakral dalam hidup ini. Dianggap
sakral karena pernikahan merupakan ikatan yang sangat suci dan kuat
(miisaaqon gholiidhan). Oleh karenanya, ikatan perkawinan sebisa mungkin
hanya terjadi satu kali dalam seumur hidup.
Perkawinan adalah salah satu asas pokok hidup untuk menciptakan
ketenteraman yang sempurna dalam masyarakat. Sehingga perkawinan
dibentuk oleh unsur-unsur alami kehidupan manusia sesuai kebutuhan
biologisnya, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan untuk saling
mempererat kekeluargaan serta kebutuhan untuk melanjutkan keturunan dan
sebagainya.
Firman Allah sebagaimana tercantum dalam surat An-Nahl ayat 72 yang
berbunyi:

‫ﻦ ازوا ﺟﮑﻢ ﺑﻨﯿﻦ وﺣﻔﺪة‬


(٧٢) ‫ورز ﻗﮑﻢ ﻣﻦ اﻟﻄﯿﺒﺖ اﻓﺒﺎ ﻟﺒﺎ طﻞ ﯾﻮ ﻣﻨﻮن و ﺑﻨﻌﻤﺖ ﷲ ھﻢ ﯾﮑﻔﺮون‬

2
Artinya:
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari
pasanganmu, serta memberi rezeki dari yang baik-baik.Mengapa
mereka berima kepada yang batil dan mengingkari nikamat
Allah?”.1

Ikatan keluarga dalam perkawinan merupakan suatu bentuk penyatuan


dua kepribadian karena satu sama lain harus saling melengkapi untuk
menggapai keridhaan-Nya. Disinilah letak kesucian ikatan perkawinan yaitu
untuk menggapai ridha Allah SWT. Ketentuan menganai perkawinan dalam
syariat Islam telah tetapkan dalam Fiqh Munakahat, sedangakan dalam hukum
positif Indonesia diatur dalam Undang-Undang. Karena Indonesia sebagai
negara hukum, memiliki aturan pokok dalam pelaksanaan perkawianan yang
telah diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
(UUP) dan ketentuan yang di tetapkan dalam UUP tersebut harus di taati oleh
semua golongan masyarakat.

Di dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 seperti yang


dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai: “Ikatan lahir
batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang di
jelaskan dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam
adalah, “Pernikahan yaitu akadyang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan
untuk menaati perintah Allah dan melakasanakannya merupakan ibadah”.

Dalam pernikahan batas usia sudah ditentukan yang diatur dalam


Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Hukum
Perkawinan Indonesia mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika
calon mempelai pria telah mencapai usia 19 tahun dan calon mempelai wanita
telah berusia 16 tahun. Bila terjadi penyimpangan dalam arti bahwa usia
kedua calon mempelai atau salah satu diantara mereka berada di bawah usia
yang telah ditentukan, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3
Tahun 1975 dalam Pasal 13 disebutkan:
a. Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon
isteri belum mencapai umur 16 tahun hendak melangsungkan pernikahan
harus mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama.
b. Permohonan dispensasi nikah bagi mereka tersebut diajukan oleh kedua
orang tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya.

1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,(PT. Bumi Restu), hlm. 412
2
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan, (Permata
Press), hlm. 2.

3
c. Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan
berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk
memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan
dispensasi nikah dengan suatu penetapan.3

Penetapan dari Pengadilan Agama tersebut sangatlah penting bagi


mereka yang ingin melangsungkan pernikahan yang umurnya belum
mencukupi karena penetapan tersebut merupakan salah satu syarat agar bisa
pernikahannya disahkan oleh KUA (Kantor Urusan Agama) dan tercatat.
Karena apabila salah satu calon diketahui di bawah umur atau umurnya belum
diperbolehkan untuk menikah maka pihak Kantor Urusan Agama (KUA)
berhak menolak pernikahan tersebut.
Dengan adanya dispensasi kawin ini secara otomatis juga memberikan
peluang untuk melakukan penikahan di bawah umur. Apalagi perkawinan di
bawah umur juga terjadi dan dilakukan oleh sebagian masyarakat Pamekasan.
Hal ini bisa terlihat dalam daftar perkara yang masuk ke Pengadilan Agama
Pamekasan, bahwa ada sebagian masyarakat yang mengajukan perkara
dispensasi kawin ke Pengadilan Agama Pamekasan.
B. Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti akan fokus membahas hal-hal
sebagai berikut:
1. Apa yang mendasari para pihak mengajukan permohonan dispensasi
kawin kepada Peradilan Agama Pamekasan?
2. Bagaiman prosedur pelaksanaan pengajuan permohonan dispensasi kawin
di Peradilan Agama Pamekasan?
3. Apa dasar pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan permohonan
dispensasi kawin di Peradilan Agama Pamekasan?
C. Tujuan
Dari adanya masalah tersebut, memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk memastikan argumentasi hukum yang mendasari para pihak
mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama
Pamekasan.
2. Untuk mengungkap prosedur pelaksanaan pengajuan permohonan
dispensasi kawin di Pengadilan Agama Pamekasan.
3. Untuk mengidentifikasi secara jelas mengenai dasar pertimbangan majelis
hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi kawin di Pengadilan
Agama Pamekasan.
D. Manfaat
Hasil Penelitian ini diharapkan memiliki nilai guna kepada pihak-pihak
sebagai berikut:
1. bagi pimpinan jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Pamekasan, hasil penelitian ini memungkinkan untuk dijadikan
sumber kajian bagi mahasiswa.
2. bagi warga masyarakat Pamekasan, khususnya para pihak yang
mengajukan permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama

3
Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997),
hlm. 23.

4
Pamekasan, bahwa hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi
sumbangan pemikiran bagi mereka dan lebih mengetahui menganai
dispensasi kawin tersebut.
3. bagi pemustaka perpustakaan STAIN Pamekasan, hasil penelitian ini akan
sangat bermanfaat sebagai penambah koleksi perpustakaan yang dapat
disajikan sebagai referensi.
4. bagi pemerhati kajian hukum Islam, bahwa hasil penelitian ini diharapkan
mampu memberi sumbangan pemikiran bagi mereka yang berkompeten
dalam bidang Hukum Perdata Islam.
E. Kajian Pustaka
1. Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah terjemahan dari kata ‫( ﻧﮑﺢ‬berhimpun) dan ‫زوج‬
(pasangan). Kedua kata ini secara umum digunakan Al-Quran untuk
menggambarkan terjalinnya hubungan perkawinan (pernikahan), yaitu
berkumpulnya dua orang (laki-laki dan perempuan) yang semula terpisah
menjadi satu kesatuan yang utuh dan berpasangan/bermitra sebagai
suami isteri dalam istilah lain dapat dinyatakan bahwa dengan
perkawinan menjadikan seseorang pasangan. Seorang laki-laki belum
lengkap hidupnya tanpa perempuan, demikian juga sebaliknya,
perempuan tanpa laki-laki juga merasa hidupnya belum lengkap. Posisi
“saling melengkapi” inilah yang semestinya difahami dan dipraktikkan
oleh pasangan suami istreri dalam menjalani kehidupan rumah
tangganya.4
Perkawinan dilaksanakan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dengan memahahami kalimat
dalam perumusan dalam Pasal 2 di atas, maka tampak bahwa perkawinan
merupakan ibadah. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus:
1) Umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah.
2) Khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-
perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
Perkawinan merupakan perbuatan ibadah dalam kategori ibadah
umum, dengan demikian dalam melaksanakan perkawinan harus
diketahui dan dilaksanakan aturan-aturan perkawinan dalam Hukum
Islam.5
Dari berbagai pengertian tersebut, dapat disimpulkan unsur-unsur
yang terdapat dalam sebuah pernikahan antara lain yaitu:
1. Terjadinya suatu hubungan hukum;
2. Adanya suami dan istri;
3. Terbentuknya keluarga;
4. Terjadinya suatu ikatan yang kuat;

4
Akseptabilitas Regulasi Kriminalisasi Pelaku Kawin Sirri Menurut Pemuka Masyarakat Madura,
(Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Derektorat Jenderal Pendidikan Islam
Derektorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), hlm. 17.
5
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 275.

5
5. Dilaksanakan sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan beberapa definis tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa perkawinan adalah ikatan anatara laki-laki dan perempuan sebagai
pasangan suami isteri unuk membentuk keluarga dan memperoleh
keturunan. Dengan mempertimbangkan dari segi pesan, perasaan dan
pendekatan psikologis, yang mengacu pada UUP bahwa pernikahan bukan
hanya untuk mendapatkan kenikmatan secara psikologis, bukan untuk
bersenag-senang serta bukan hanya untuk kepuasan semata akan tetapi
bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah.

b. Tujuan Perkawinan
Secara materiil sebagaimana diakatakan oleh Sulaiman Rasyid
yang dikutip oleh Beni Ahmad Saebani, tujuan pernikahan yang
dipahami oleh kebanyakan pemuda dari dahulu sampai sekarang,
diantaranya:
1. Mengharapkan harta benda
2. Mengharapkan kebangsawanannya
3. Ingin melihat kecantikannya
4. Agama dan budi pekertinya yang baik6
Tujuan substansial dari pernikahan adalah sebagai berikut:
Pertama: Pernikahan bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan
seksualitas manusia dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah dan
mengendalikan hawa nafsu dengan cara yang terbaik yang berkaitan
dengan peningkatan moralitas manusia sebagai hamba Allah.
Tujuan utama pernikahan adalah menghalalkan hubungan
seksual antara laki-laki dan perempuan. Tujuan ini berkaitan dengan
pembersihan moralitas manusia. Akhlak manusia sebelum peradabannya
mencapai puncak kemanusiaan hidup bagaikan binatang.7
Kedua: Tujuan pernikahan adalah mengangkat harkat dan
martabat perempuan. Karena dalam sejarah kemanusiaan, terutama pada
zaman Jahiliah ketika kedudukan perempuan tidak lebih dari barang
dagangan yang setiap saat diperjualbelikan, bahkan anak-anak
perempuan dibunuh hidup-hidup karena dipandang tidak berguna secara
ekonomi.8
Ketiga: Tujuan perkawianan adalah mereproduksi keturunan,
agar manusia tidak punah dan hilang ditelan sejarah. Menurut Masdar F.
Mas’udi dalam Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Dialog Fiqh
Pemberdayaan dikutip oleh Beni Ahmad Saebani bahwa secara kodrati,
perempuan mengemban fungsi reproduksi umat manusia yang umatnya
meliputi mengandung, melahirkan dan menyusui anak.9

6
Beni Ahmad Saebani, Fikh Munakahat 1,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 20.
7
Ibid, hlm. 23.
8
Beni Ahmad Saebani, Fikh Munakahat 1,hlm. 32.
9
Ibid, hlm. 37.

6
Adapun tujuan perkawinan menurut UUP dan KHI secara jelas
dirumuskan dalam definisi perkawianan sebagaiman telah diuraikan
sebelumnya, yaitu tujuannya membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.10

c. Rukun dan Syarat Perkawinan


Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan mengenai rukun
dan syarat perkawinan yang terdapat dalam Pasal 14 yaitu untuk
melaksanakan perkawinan harus ada:
a) Calon suami
b)Calon isteri
c) Wali nikah
d)Dua orang saksi dan
e) Ijab dan kabul11
Sedangkan Undang-Undang Perkawinan hanya mengatur syarat-
syarat perkawinan saja, yaitu pada Pasal 6 berikut ini:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu manyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksudnya ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh
dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalan garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.12

Dalam suatu perkawinan pasti ada persyaratannya seperti yang


telah dipaparkan di atas. Jadi jika sudah tau atau telah mengetahui
persyaratannya yang telah ditentukan maka suatu pernikahan dapat

10
,Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan, hlm. 78.
11
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan, hlm. 5.
12
Ibid, hlm. 4-5.

7
terjadi atau dapat dilakukan. Selain itu juga masih ada proses-proses yang
harus dilakukan setelah persyaratan di atas telah selesai.

2. Ketentuan Ketentuan Usia Minimal Perkawinan


Mengenai batas usia perkawinan, bahwa sahnya usia perkawinan
merupakan salah satu aspek terpenting yang perlu diperhatikan bagi
semua kalangan yang akan melaksanakan sebuah pernikahan karna
dalam pernikahan kematangan usia, kesiapan mental dan fisik sangatlah
penting dan berpengaruh dalam hubungan keluarga yang akan dijalanin
dalam suatu keluarga.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
menjelaskan bahwa: perkawian hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 13 Dengan adanya aturan yang
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-Undang
Perkawinan mengenai batasan usia minimal tersebut untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga demi terwujudnya keluarga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah. Maka KHI memberi batasan tentang usia
perkawinan sesuai dengan UUP Pasal 7 ayat (1) tersenbut, serta pada
Pasal 15 ayat (2) KHI yang menjelaskan bahwa : bagi mempelai yang
belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UUP.14

3. Permohonan (Volunter)
Dalam perkara permohonan tidak mengenal lawan berperkara.
Sedangkan kedudukan termohon, dalam arti yang sebenarnya, bukan
sebagai pihak. Namun demikian, ia diperlukan kehadirannya di depan
sidang pengadilan untuk didengar keterangannya dalam pemeriksaan,
oleh karena termohon mempunyai hubungan hukum secara langsung
dengan pemohon.15
a. Jenis-jenis permohonan yang dapat di ajukan melalui Pengadilan
Agama antara lain:
 Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai
umur 18 Tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 50
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
 Permohonan pengankatan wali atau pengampu bagi orang yang
kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus
hartanya lagi, misalnya karena pikun (Pasal 229 HIR/ Pasal262
RBg).
 Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang belum mencapai
umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16
tahun (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

13
Ibid.,
14
Ibid., hlm. 6.
15
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1998),
hlm. 228-229.

8
 Permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum
berumur 21 tahun.
 Permohonan pengangkatan anak.
 Permohonan untuk menunjuk seseorang atau beberapa orang
wasit (arbiter) oleh karena pihak tidak bisa atau tidak bersedia
untuk menunjuk wasit (arbiter) (Pasal 13 dan 14 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tantang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa).
 Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai
dalamhal salah satu dari suami isteri melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi,
mabok, boros dan sebagainya (Pasal 95 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam).
 Permohonan agar seseorang dinyatakan dlam keadaan mafqud
(Pasal 96 ayat (2) dan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam).
 Permohonan Penetapan ahli waris.

Peradilan perdata yang menyelesaikan perkara permohonan seperti


di atas, disebut jurisdictio voluntaria atau “peradilan yang tidak
sesungguhnya.” Dikatakan peradilan yang tidak sesungguhnya karena
pengadilan ketika itu sebenarnya hanya menjalankan fungsi executive
power bukan judicative power.16

4. Tata Cara Berperkara di Peradilan Agama


Prosedur dalam pengajuan permohonan dispensasi kawin sama
dengan pengajuan perkara gugatan, yaitu sebagai berikut:

Calon Penggugat menghadap di Meja I.


1. Meja I:
- Menerima surat gugatan dan salinanya.
- Menaksir panjar biaya.
- Membuat SKUM.
2. Kasir:
- Menerima uang panjar dan membukukannya.
- Menandatangani SKUM.
- Memberikan nomor pada SKUM dan tanda lunas.
3. Meja II:
- Mendaftarkan gugatan dalam register.
- Memberikan nomor perkara pada surat gugatan sesuai nomor
SKUM.
- Menyerahkan kembali kepada penggugat satu helai surat
gugatan.
- Mengatur berkas perkara dan menyerahkan kepada Ketua
melalui Wakil Panitera + Panitera.
4. Ketua PA:

16
Erfaniah Zuhriah, Peradilan AgamaIndonesiaSejarah Pemikiran danRealita,( Malang: UIN-
Malang Press, 2009),hlm. 221.

9
- Mempelajari berkas.
- Pembuatan PMH (Penetapan Majelis Hakim)
5. Panitera:
- Menunjuk panitera sidang.
- Menyerahkan berkas kepada Majelis.
6. Majelis Hakim:
- Membuat PHS (Penetapan Hari Sidang) + perintah memanggil
para pihak oleh jurusita.
- Menyidangkan perkara.
7. Memberitahukan kepada Meja II dan Kasir yang bertalian dengan
tugas mereka.
8. Meja III:
- Menerima berkas yang telah diminut dari Majelis Hakim.
- Memberitahukan isi putusan kepada pihak yang tidak hadir
lewat jurusita.
- Memberitahukan kepada Meja II dan kasir yang bertalian
dengan tugas mereka.
- Menetapkan ketentuan hukum.
- Menyerahkan salinan kepada Penggugat dan Tergugat dan
instansi terkait.
- Menyerahkan berkas yang telah dijahit kepada Panitera Muda
Hukum.
9. Panitera Muda Hukum:
- Mendata perkara.
- Melaporkan perkara.
- Mengarsipkan berkas perkara.17
METODE
Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan penelitian lapangan
(field research) dengan pendekatan kualitatif. Dalam buku Metode Penelitian
Kualitatif karya Moleong, Bodgan dan Taylor mendefinisikan penelitian
kualitatif adalah metodologi penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.18
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan metode content analisis dengan menggunakan teknik
konfirmatorik. Dengan penelitian kasus yang bersifat content analisis ini,
nantinya akan memberikan gambaran ataupun pengetahuan, namun juga akan
mengevaluasinya melalui kejadian (perkara) yang ada Pengadilan Agama
Pamekasan, yakni dengan memanfaatkan dokumen yang padat isi sebagai
bahan kajian yang secara khusus peneliti pilih, yaitu sebuah putusan
penetapan Pengadilan Nomor 0417/Pdt.P/2014/PA.Pmk mengenai Dispensasi
Kawin.

17
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 56-57.
18
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008), hlm. 4

10
HASIL DAN BAHASAN
1. Apa yang mendasari para pihak mengajukan permohonan dispensasi kawin
kepada Pengadilan Agama Pamekasan.
Pernikahan ialah suatu hal yang sangat dinanti-nanti dan diharapkan
bagi seorang laki-laki maupun perempuan. Namun membangun sebuah rumah
tangga bukanlah hal yang sangat mudah. Banyak hal-hal yang harus di
pertimbangkannya terlebih dahulu. Karena pasti banyak sekali tantangan,
godaan dan hambatanya, baik secara internal pasangannya maupun eksternal
seperti salah satunya faktor ekonomi.
Islam menganjurkan untuk melasanakan pernikahan, tetapi dianjurkan
untuk siap dan mampu secara fisik, mental dan ekonomi agar menjalin
kehidupan rumah tangga yang harmonis. Akan tetapi banyak realita yang
terjadi di masyarakat sering kali terjadi pernikahan yang lakukan di bawah
umur. Sehingga dalam Pasal 3 KHI, Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
19
Akan tetapi ketidak dewasaan akan menyebabkan pertengkaran yang
berujung pada perceraian.
Seperti yang disinggung dalam paparan data, bahwa anak pemohon
masih berumur 15 tahun 1 bulan, sesuai dengan Surat Penolakan dari Kantor
Urusan Agama Kecamatan Pasean Kabuapaten Pamekasan tertanggal 23
September 2014 dengan nomor: Kk.15.22.13/Pw.01/82/2014. Maka pemohon
harus terlebih dahulu mengajukan permohonan dispensasi kawin ke
Pengadilan Agama Pamekasan. Karena batasan umur minimal seseorang
dapat melakukan penikahan. Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun
1974 Pasal 7 ayat (1)menjelaskan perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan perempuan sudah mencapai 16 tahun. Apabila
salah satu dibawah umur yang telah ditentukan, maka harus meminta
dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama atau Pejabat lain.20 Undang-
Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) menjelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku21, karena setiap
perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.22
Hal-hal yang mendasari pengajuan permohonan dispensasi kawin diatas
merupakan alasan kuat bagi pemohon dalam mengajukan permohonan
dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Alasan yang paling utama
diajukannya dispensasi kawwin ke Pengadilan Agama Pamekasan karena
umur dari anak pemohon tidak mencukupi untuk melakukan pernikahan.
Realita di dalam masyarakat masih banyak yang melakukan pernikahan
dibawah umur, tetapi sebagian masyarakat sadar dan taat terhadap peraturan
pemerintah. Sehingga masyarakat mengajukan permohonan dispensasi kawin
ke Pengadilan Agama Pamekasan sebelum melakukan pernikahan.
2. Bagaiman prosedur pelaksanaan pengajuan permohonan dispensasi kawin di
Pengadilan Agama Pamekasan.

19
Kompilasi, hlm. 2
20
Ibid, hlm. 80
21
Ibid, hlm. 78
22
Ibid, hlm. 3

11
Dalam prosedur pelaksanaan pengajuan permohonan dispensasi kawin,
perkara dispensasi kawin tersebut merupakan perkara yang sama dengan
perkara-perkara lainnya.
Pada prinsipnya semua gugatan/permohonan harus dibuat secara
tertulis. Bagi penggugat/pemohon yang tidak bisa membaca dan menulis
maka, gugatan/permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan
Agama.Ketua dapat menyuruh kepada hakim untuk mencatat segala sesuatu
yang dikemukakan oleh penggugat/pemohon maka gugatan/permohonan
tersebut ditandatangani oleh Ketua/Hakim yang menerimanya.
Gugatan/permohonan yang dibuat secara tertulis, ditanda tangani oleh
penggugat/pemohon.23
Dalam permohonan dispensasi kawin ini yang berhak mengajukannya
ialah orang tua calon mempelai. Yang berpedoman pada pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, 24 ayat (5) “ Dalam hal penyimpangan
terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua oarang tua pihak pria maupun pihak
wanita”.25
Dispensasi kawin ini merupakan perkara permohonan (voluntair),
dimana perkara voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan
didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan hanya ada
pihak pemohon saja. Pada dasarnya perkara permohonan akan menghasilkan
sebuah penetapan. Berbeda dengan perkara cerai gugat maupun cerai talak,
dimana perkara gugatan/permohonan tersebut didalamnya mengandung
sengketa antara pihak-pihak, dan hakim mengabulkan gugatan/permohonan
tersebut berbentuk putusan.Jadi dalam perkara permohonan dispensasi kawin
ini menghasilkan sebuah penetapan yang nantinnya digunakan sebagai salah
satu yang dilampirkan dalam berkas-berkas pendaftaran pernikahan.
3. Apa dasar pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan permohonan
dispensasi kawin di Pengadilan Agama Pamekasan.
Putusan atau penetapan adalah hasil keputusan hakim dalam menangani
suatu perkara misalnya cerai gugat, cerai talak, dispensasi kawin,
pengangkatan wali , pengangkatan anak, penetapan ahli waris maupun itsbat
nikah. Dimana putusan atau penetapan tersebut harus memuat alasan-alasan
dan dasar-dasarnya harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tertulis dan dijadikan
dasar untuk mengadili. Dan putusan atau penetapan Pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
Adapun dasar dan pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara
permohonan dispensasi kawin berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam,
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kaidah fiqih.
Selain berpedoman pada hal tersebut hakim juga masih mempertimbangakan
melalui bukti keterangan-keterangan para saksi dan bukti berupa surat-surat.

23
HA. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 40
24
Ibid, hlm. 45.
25
Kompilasi, hlm. 80.

12
Seperti pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan yaitu
berdasarkan keterangan para saksi bahwa sahnya saksi kenal dengan anak
pemohon dan mengetahui bahwa hubungan anak pemohon dan calon
suaminya sudah menjalini pertunangan selama 1 tahun dan sering keluar
berduaan. Para saksipun bersedia membimbing dan menasehati anak
pemohon dan calon suaminya jika mereka ada masalah. Serta
mempertimbangkannya melalui bukti-bukti surat yang yang diajukan
pemohon yaitu surat kartu tanda penduduk, foto copy kartu keluarga, ijasah
dari anak pemohon dan calon suaminya dan surat penolakan pernikahan dari
Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasean.
Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ Perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pasal 15 Kompilasi
Hukum Islam yang menjelaskan bahwa :
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah
ditetapkan dalam pasl 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon
suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun.
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun mendapatkan
izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
Undang-undang No 1 Tahun 1974.26
TEMUAN
1. Apa yang mendasari para pihak mengajukan permohonan dispensasi kawin
kepada Pengadilan Agama Pamekasan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan dokumentasi
di Pengadilan Agama Pamekasan dapat diperoleh temuan dari peneliti ini
bahwa pwmohon perkara dispensasi kawin di Pengadilan Agama Pamekasan
pada tahun 2014 ada sebelas perkara yang sudah mendapat penetapan. Dari
sebelas perkara yang sudah mendapatkan penetapan salah satunya adalah
nomor: 417/Pdt.P/2014/PA.Pmk ini oleh penulis ditemukan hal-hal yang
mendasari pihak mengajukan perkara dispensasi kawin sebagai berikut:
a. Anak pemohon masih berumur 15 tahun 1 bulan, sesuai dengan Surat
Penolakan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasean Kabuapaten
Pamekasan tertanggal 23 September 2014 dengan nomor:
Kk.15.22.13/Pw.01/82/2014.
b. Permohonan ingin segera melangsungkan pernikahan karena
kekhawatiran terhadap anak pemohon hal-hal yang berujung zina dan
lainnya sehingga melanggar hukum syariah karena keduanya telah
menjalin hubungan selama 1 tahun karena dispensasi kawin untuk
menyelamatkan hubungan anak pemohon dan calon suaminya serta
keluarga.
2. Bagaiman prosedur pelaksanaan pengajuan permohonan dispensasi kawin di
Pengadilan Agama Pamekasan.

26
Kompilasi, hlm. 5-6.

13
Prosedur pelaksanaan pengajuan dispensasai kawin di Pengadilan
Agama Pamekasan sama halnya dengan prosedur pengajuan perkara yang
lainnya. Hanya saja dalam pengajuan permohonan dispensasi kawin ini yang
mengajukan biasanya yaitu:
a. Orang tua dari calon mempelai laki-laki ataupun perempuan
b. Paman dari calon mempelai perempuan ataupun yang memiliki hubungan
wali dari pihak mempelai perempuan.
3. Apa dasar pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan permohonan
dispensasi kawin di Pengadilan Agama Pamekasan.
a. Bukti berupa keterangan para saksi dan bukti surat seperti KTP, Kartu
Keluarga, Ijasah dan Surat Penolakan Pernikahan dari KUA tempat
tinggal anak pemohon.
b. Tidak adanya larangan nikah sebagaimana dimaksud dan Bab VI
Kompilasi Hukum Islam
c. Permohonan diajukan agar menjaga fitnah keluarga di masyarakat karena
anak pemohon dengan calon suaminya saling mencintai.
d. Kaidah Fiqih yang menyatakan sebagi berikut:
‫ﺪ ﺮ ﺀاﻟﻤﻓا ﺴﺪ ﻣﻗﺪ م ﻋا ﻰ ﺠﻠﺐ ا ﻠﻣﺼا ﻠﺢ‬
artinya : Mencegah kemudaratan lebih baik didahulukan dari pada
memperoleh kemaslahatan.
e. Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan Bab I.
f. Pasal 15 dan 63 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dapat ditemukan kesimpulan dari setiap masalah diantaranya sebagai
berikut:
1. Apa yang mendasari para pihak mengajukan permohonan dispensasi kawin
kepada Pengadilan Agama Pamekasan.
Hal-hal yang mendasari para pihak mengajukan permohonan dispensasi
kawin karena umur anak pemohon tidak memenuhi batasan minimal untuk
melakukan pernikahan yang telah di tentukan dalam Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 yaitu untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
2. Bagaiman prosedur pelaksanaan pengajuan permohonan dispensasi kawin di
Pengadilan Agama Pamekasan.
Prosedur pelaksanaan pengajuan permohonan dispensasi kawin sama
dengan pengajuan perkara-perkara lainnya. Hanya saja yang membedakan
yaitu hasil putusannya. Apabila perkara dispensasi kawin, pengankatan anak,
penetapan wali dan itsbat nikah berupa penetapan sedangkan perkara cerai
gugat dan cerai talak berupa putusan.
3. Apa dasar pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan permohonan
dispensasi kawin di Pengadilan Agama Pamekasan.
Yang menjadi dasar pertimbangan hakim yaitu berpedoman pada Bab
VI Kompilasi Hukum Islam, kaidah fiqih yang menyatakan bahwa
“Mencegah kemudaratan lebih baik didahulukan dari pada memperoleh

14
kemaslahatan”, dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 15
dan 63 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam
SARAN
Maka hal ini dipandang perlu untuk memberikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Bagi pimpinan jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Pamekasan, memberikan informasi tentang dispensasi kawin sehingga hal
tersebut bisa memberikan pemahaman terhadap mahasiswa perihal
pemahaman terkait dengan hal-hal yang mencangkup tentang dispensasi
kawin tersebut.
2. Bagi warga masyarakat Pamekasan, khususnya para pihak yang mengajukan
permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Pamekasan, untuk
memikirkan dulu sebelum mengajukan permohonan dispensasi kawin
tersebut, karena harus melihat faktor fisik dan psikologis si anak.
3. Bagi pemustaka perpustakaan STAIN Pamekasan hendaknya memberikan
penyuluhan kepada masyarakat yang kurang memahami mengenai dispensasi
kawin.
4. Bagi pemerhati kajian hukum Islam, memberikan penjelasan dan pemahaman
tentang dispensasi kawin terhadap masyarakat melalui perkumpulan, majelis
taklim ataupun kegiatan sosial lainnya. Agar masyarakat paham tentang
dispensasi kawin berdasarkan hukum Islam.

DAFTAR RUJUKAN
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Akseptabilitas Regulasi Kriminalisasi Pelaku Kawin Sirri Menurut Pemuka
Masyarakat Madura, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia
Derektorat Jenderal Pendidikan Islam Derektorat Pendidikan Tinggi Islam,
2012.

Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar
Maju, 1997.
Beni Ahmad Saebani, Fikh Munakahat 1,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada,1998.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, PT. Bumi Restu.

Erfaniah Zuhriah, Peradilan AgamaIndonesiaSejarah Pemikiran danRealita,


Malang: UIN-Malang Press, 2009.

H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

15
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan,
Permata Press.
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2008

16

Anda mungkin juga menyukai