Anda di halaman 1dari 14

BERHARAP PEMERIKSAAN PERKARA PERMOHONAN IJIN DISPENSASI

KAWIN YANG PROPORSIONAL


Oleh : Kusnoto, SHI, MH*

I. Permasalahan

Maksud yang mendasari ketentuan batas umur bagi seseorang diizinkan


melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 adalah agar calon mempelai telah masak jiwa raganya supaya tujuan
perkawinan dapat terwujud secara baik dan tidak berakhir dengan perceraian serta
memperoleh keturunan yang sehat.1 Kemudian lebih lanjut mengenai batas umur itu
ditentukan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut yaitu bila pihak pria
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia
16 (enam belas) tahun.2 Selanjutnya dengan maksud agar tercapainya
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga maka ditegaskan pula dalam Pasal 15
Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai
yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU Nomor 1 tahun 1974
yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun.3

Selanjutnya pemeriksaan syarat-syarat perkawinan maupun tidak adanya


halangan perkawinan menurut hukum agama maupun ketentuan perundang-
undangan yang berlaku dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) selaku
instansi yang berwenang untuk itu. Dalam jangka waktu tertentu setelah kehendak
perkawinan diberitahukan, Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama
memeriksa dengan teliti mengenai berbagai hal terkait diantaranya nama, umur,
agama, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama istri atau suaminya
terdahulu (bila salah seorang atau keduanya pernah kawin).4 Semua syarat dan
rukun perkawinan telah diteliti oleh KUA dan hasil penelitiannya segera
diberitahukan kepada calon mempelai atau orangtuanya.

*. Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Natuna (Kepulauan Riau).


1
. Penjelasan umum Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 pada bagian huruf (d)
berbunyi :” Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu
harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur. Berhubung
dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun
bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
2
.Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 pada bagian pasal demi pasal,
khususnya Pasal 7 (1) berbunyi : “Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu
ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.”
3
. Pasal 15 (1) Kompilasi Hukum Islam berbunyi : “Untuk kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.”
4
. Pasal 6 angka (1) PP nomor 9 tahun 1975 menegaskan bahwa Pegawai Pencatat yang
menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

1
Terkait dengan batas umur calon pengantin bila KUA menemukan data
kurangnya umur salah satu calon pengantin, maka kemudian KUA menolak
kehendak perkawinan itu dengan menerbitkan surat penolakan pernikahan (kolom
N-9) yang di dalamnya menerangkan bahwa semua syarat perkawinan sesuai
aturan agama maupun peraturan perundang-undangan telah terpenuhi kecuali usia
calon pengantin yang belum mencapai batas minimal diperbolehkan menikah.

Kemudian dijelaskan apabila tetap menghendaki dilaksanakannya


perkawinan dengan menyimpangi ketentuan batas umur tersebut, maka orangtua
calon pengantin dapat mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan agama.

Namun dalam praktiknya, beberapa materi pemeriksaan perkara


permohonan dispensasi kawin oleh majelis hakim pada Pengadilan Agama
seringkali tumpang tindih (overlapping) dengan materi pemeriksaan di KUA. Majelis
hakim sering lebih banyak mengulang pemeriksaan di KUA. Hal itu terlihat dari
materi pemeriksaan calon pengantin dan orangtua calon pengantin serta
pemeriksaan alat bukti surat dan saksi. Misalnya dalam penggalian fakta hukum,
porsi pertanyaan kepada calon pengantin dan orangtua calon pengantin maupun
saksi lebih didominasi pertanyaan mengenai syarat perkawinan maupun tidak
adanya halangan perkawinan. Hanya sedikit porsi pertanyaan yang berkaitan
dengan pemeriksaan kematangan jasmani dan rohani agar tujuan perkawinan dapat
terwujud secara baik dan terhindar dari perceraian. Padahal mengenai kematangan
jiwa dan raga serta kehendak kuat untuk mencapai tujuan perkawinan yaitu
keharmonisan rumah tangga (sakinah mawaddah rahmah) serta kemauan kuat
untuk menghindari perceraian itulah yang seharusnya mendapat porsi lebih banyak.
Fokus pemeriksaan sepatutnya dipertajam pada kesiapan jiwa raga calon pengantin
(anak Pemohon) dan kesiapan untuk membina serta mempertahankan rumah
tangga yang baik meskipun dari segi umur ia masih kurang dari 19 tahun (pria) atau
16 tahun (wanita). Tapi realitanya tidak seperti itu. Pemeriksaan yang kurang
proporsional tersebut terus-menerus berulang hingga sebagian masyarakat
mengidentikkan pengadilan agama dengan pengadilan KUA.

Hal itu tentu berdampak pada pengungkapan fakta hukum dan


pertimbangan dalam penetapan. Sebagai akibatnya, sering majelis hakim mudah
mengabulkan permohonan dispensasi kawin karena memang syarat perkawinan
telah terpenuhi dan tidak ada halangan perkawinan. Namun tidak jarang hanya
jangka waktu yang cukup dekat salah satu pihak tersebut datang lagi ke pengadilan
agama untuk mengajukan gugatan cerai. Masih hangat dalam ingatan majelis hakim
bahwa mereka adalah orang-orang yang dikabulkan permohonan dispensasi
kawinnya beberapa waktu yang lalu.

Bertolak dari realita inilah, muncul kegelisahan akademik penulis hingga


kemudian muncul pertanyaan mendasar : Pada perkara dispensasi kawin apakah
pemeriksaan semacam itu sudah mencerminkan semangat yang dikehendaki UU

2
Nomor 1 tahun 1974 dan peraturan lain terkait perkawinan? Bagaimanakah
pemeriksaan yang proporsional? Hal tersebutlah yang dibahas dalam tulisan ini.

II. Pembahasan

A. Gambaran Usia diperbolehkan menikah menurut syariat Islam

Sebelum membahas mengenai pokok permasalahan, berikut ini akan


penulis singgung mengenai gambaran usia diperbolehkan menikah menurut syariat
islam. Dalam kajian fikih islam, tidak disebutkan secara jelas mengenai usia
seseorang diperbolehkannya menikah. Dalam berbagai dalil, hanya menyebutkan
istilah baligh, yaitu seorang laki-laki remaja yang pernah bermimpi basah (junub)
serta seseorang wanita yang telah haid. Ada beberapa dalil yang memuat anjuran
kepada muslimin khususnya orangtua untuk bersegera menikahkan anak
perempuannya. Begitu juga berisi anjuran kepada para remaja laki-laki yang telah
mampu (istita’atul ba’ah) dan siap bekal untuk bersegera menikah.

Diantaranya adalah dalil al-Qur’an surat an-Nur ayat 32 dan 33 yang


menurut al-Qur’an dan terjemahnya terbitan Departemen Agama diterjemahkan
sebagai berikut :

32. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin maka Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-
Nya) lagi Maha Mengetahu33. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka
dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan
perjanjian hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu
mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka
sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah
kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedangkan
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah
mereka dipaksa (itu).

Dalam hadis nabi SAW juga diserukan : Wahai para remaja, barangsiapa
yang telah mampu bekal (istita’atul ba’ah) maka bersegeralah untuk menikah,
karena dengan menikah akan lebih dapat memelihara kehormatan dan menjaga
pandangan. Barangsiapa belum mampu (belum siap) untuk menikah, maka
hendaklah ia berpuasa, karena dengan itu akan menjaga kesucian. 5

5
. dihadis dikeluarkan oleh al-Bukhari.
3
Dari al-Qur’an surat an-Nur ayat 32 dan 33 serta hadis nabi tersebut, dapat
dipahami bahwa urusan perkawinan erat hubungannya dengan urusan kematangan
jiwa raga dan kesiapan untuk memperoleh tujuan pernikahan yaitu membina
keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu, orang-orang yang
belum siap menikah (allazina la yajiduna nikahan) diperintahkan agar menjaga
kesuciannya (isti’faf) sambil terus giat berupaya hingga sampai masanya ia mampu
(memperoleh karunia Allah yang cukup) dan siap lahir batin untuk menikah.6 Jika
telah jelas kematangan jiwa raga seseorang dan telah jelas kesiapan untuk menikah
beserta tujuan pernikahannya, maka barulah ia dapat dianggap dewasa jiwa dan
raga serta patut dilaksanakan perkawinan.

Rupanya semangat kedewasaan jiwa raga pada perkawinan yang


terkandung dalam syariat islam tersebut kemudian diterjemahkan dalam hukum
positif yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia. Batas umur minimal seorang
untuk dapat melangsungkan pernikahan disesuaikan dengan kondisi masyarakat
Indonesia yang kemudian ditetapkan 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur batas umur
tersebut dengan maksud agar calon mempelai telah masak jiwa raganya supaya
tujuan perkawinan dapat terwujud secara baik dan tidak berakhir dengan perceraian
serta memperoleh keturunan yang sehat. Jika terdapat kehendak menyimpangi
ketentuan tersebut maka dapat mengajukan permohonan dispensasi kawin ke
pengadilan, yang mana pengadilan tersebut dalam memeriksa permohonan tersebut
diharapkan memedomani semangat yang terkandung dalam ketentuan yang terkait.

Rupanya semangat mencapai kemaslahatan keluarga dan rumah tangga


yang terkandung dalam syariat islam tersebut kemudian diterjemahkan dalam
Kompilasi Hukum Islam. Batas umur minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi
wanita maupun dispensasi umur diperbolehkan kawin hendaklah mempertimbang
kan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Dengan kata lain, pemeriksaan
permohonan dispensasi kawin hendaklah berupaya menggali fakta sebanyak-
banyaknya tentang kemaslahatan versus kemudaratan sebagai dasar pertimbangan
hukum nantinya.

B. Realita pemeriksaan perkara permohonan dispensasi kawin.

Dalam realitanya, pemeriksaan perkara permohonan dispensasi kawin lebih


banyak mengulang pemeriksaan di KUA. Porsi materi pertanyaan kepada calon
pengantin dan orangtua pengantin maupun kepada saksi lebih mengacu kepada
materi surat permohonan Pemohon. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:

1. Apakah rencana perkawinan sudah diurus di Kantor Urusan Agama?

6
. Lafal wassalihin pada surat an-Nur ayat 32 ini dapat diartikan dengan “dan orang-orang
salih” maupun diartikan dengan “dan orang-orang yang baik, yang pantas, yang layak, yang patut
(untuk menikah) dan serupanya.”
4
2. Mengapa tidak ditunggu hingga cukup umur sekurang-kurangnya 16 tahun (atau
19 tahun)?
3. Apakah calon suami dan calon istri saling mencintai, dan apakah ada paksaan?
4. Berapa lama calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan saling
mengenal dan berpacaran?
5. Seberapa erat hubungan cinta calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan?
6. Apakah calon pengantin laki-laki dengan calon pengantin perempuan sudah
pernah tidur bersama (bersetubuh), berapa kali, dan apakah calon pengantin
perempuan sekarang sudah hamil?
7. Apakah calon pengantin perempuan sudah dilamar oleh calon pengantin laki-
laki? Apakah sudah diterima dengan sukarela?
8. Apakah calon pengantin perempuan juga sedang dalam lamaran laki-laki lain?
9. Apakah calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan tersebut ada
hubungan kerabat atau mahram?
10. Apakah antara calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
tersebut ada halangan dilaksanakannya perkawinan?
11. Apakah calon pengantin laki-laki sudah bekerja untuk mencukupi kebutuhan
rumah tangga nantinya, berapa penghasilannya?
12. Apakah calon pengantin perempuan rela hati menerima kondisi calon pengantin
laki-laki yang bekerja sebagai....dengan penghasilan sebesar....?
13. Apakah orangtua pengantin perempuan bersedia menjadi wali nikah nantinya?

Begitulah umumnya penggalian fakta hukum dalam persidangan yang


memeriksa dispensasi kawin. Dari situ terlihat sangat sedikit porsi pertanyaan yang
menjurus kepada perihal kematangan jasmani dan rohani, serta kehendak kuat
untuk mencapai tujuan rumah tangga dan kehendak kuat untuk menghindari
perceraian nantinya.

Akibatnya majelis hakim sering mengabulkan pemohonan Pemohon


(orangtua calon pengantin) karena memang syarat perkawinan telah terpenuhi dan
tidak ada halangan perkawinan. Lebih-lebih jika majelis hakim “diancam” oleh
Pemohon melalui dalil permohonannya bahwa hubungan cinta anak Pemohon
dengan calon suami/isterinya telah sangat erat dan keduanya telah berpacaran
selama sekian tahun serta dikhawatirkan akan terjadi perbuatan yang melanggar
syariat islam (maksiat perzinahan) jika tidak segera dinikahkan. Padahal jika diamati
dengan seksama, kekhawatiran akan terjadi perbuatan yang melanggar syariat
(perzinahan) tersebut bukan mutlak milik remaja pria di bawah 19 tahun dan remaja
wanita di bawah 16 tahun. Banyak orang dewasa yang dikhawatirkan akan terjadi
perbuatan yang dilarang syariat jika tidak segera diikat dalam pernikahan (nikah
pertama, atau nikah kedua dan seterusnya, atau nikah poligami).

Misalnya saja pada perkara izin poligami. Di situ ada kekhawatiran akan
terjadi perbuatan terlarang tersebut jika tidak segera diizinkan menikah lagi dengan
calon istri keduanya (atau ketiganya atau keempatnya) yang telah dijalin hubungan
cinta dengan sangat erat dan dipacarinya selama beberapa waktu lalu. Namun
mengapa dalam surat permohonan izin poligami yang biasa diajukan ke pengadilan

5
agama,7 tidak dimuat alasan kekhawatiran akan terjadi perbuatan terlarang itu jika
tidak segera diizinkan menikah lagi. Dan mengapa pula dalam pemeriksaan perkara
oleh majelis hakim dalam persidangan sedikitpun tidak digali fakta hukum mengenai
kekhawatiran akan terjadi perbuatan terlarang tersebut jika tidak segera diizinkan
menikah lagi dengan calon istri mudanya.8

Kembali kepada pemeriksaan perkara dispensasi kawin yang kemudian


berdampak pada penetapannya (duduk perkara maupun pertimbangannya).
Semacam itulah pemeriksaan perkara yang berujung pada penetapan yang tentunya
dinilai sangat adil oleh Pemohon. Sayangnya kondisi semacam ini justru
disalahfahami oleh sebagian masyarakat. Mereka menganggap bahwa ternyata
hakim Pengadilan Agama cukup mudah mengabulkan permohonan dispensasi
kawin sehingga orangtua tidak resah (tidak mempermasalahkan) jika anak-anak
remaja mereka (pemuda belum berumur 19 tahun dan pemudi belum berumur 16
tahun) bergaul secara bebas (termasuk khalwat), karena jika seandainya nanti
mengajukan permohonan dispensasi kawin, tentulah dikabulkan meskipun anak-
anak mereka belum siap jiwa raganya untuk berumah tangga.

C. Berharap Pemeriksaan Perkara Dispensasi Kawin yang lebih proporsional.

Pemeriksaan dispensasi kawin perlu ditambah porsinya pada penggalian


fakta hukum yang menjurus kepada perihal kematangan jasmani dan rohani,
kehendak kuat untuk mencapai tujuan dan kemaslahatan rumah tangga, serta
kehendak kuat untuk menghindari perceraian nantinya.

Pemeriksaan difokuskan pada pemahaman anak Pemohon tentang konsep


kebutuhan dasar berumah tangga sekurang-kurangnya mengenai 5 (lima) hal yaitu
konsepsi tentang sandang (kiswah dan yang terkait dengannya), konsepsi tentang
pangan (nafkah dan yang terkait dengannya), tentang papan atau tempat tinggal
(maskan dan yang terkait dengannya), tentang etika pergaulan dalam rumah tangga
(muasyarah bil ma’ruf), serta tentang pergaulan bermasyarakat atau bersosial
(ijtimaiyah). Perlu pula dinampakkan fokus pemeriksaan pada sejauhmana
pemahaman anak Pemohon mengenai hak dan kewajiban serta kedudukan suami
isteri. Hal ini amat penting dan diharapkan sangat berperan dalam menciptakan
keharmonisan rumah tangga nantinya dan berperan menghindari atau menekan
atau setidak-tidaknya memperlambat terjadinya perceraian.

Patut “dikesampingkan” penilaian sebagian hakim yang menganggap bahwa


hal itu akan merepotkan (mempersulit) diri hakim sendiri sehingga tidak perlu untuk

7
. Alasan gugatan izin poligami yang biasa ditentukan formatnya oleh pengadilan (meja 1).
Atau bahkan yang dibantu pembuatan surat gugatannya oleh beberapa Pengadilan Agama (yang
masih memberikan layanan pembantuan pembuatan surat gugatan).
8
. Padahal dosa/sanksi akibat terjadinya perbuatan terlarang tersebut yang dilakukan oleh
orang yang sedang/telah dalam ikatan pernikahan (zina muhson) lebih berat daripada dosa/sanksi
orang yang belum pernah menikah (zina gairu muhson).
6
ditempuh.9 Alasan yang digunakan hakim tersebut adalah bahwa pemahaman
maupun konsepsi mengenai hak dan kewajiban serta kedudukan suami isteri
dengan sendirinya akan dipahami oleh calon pengantin nantinya setelah
dilangsungkannya perkawinan. Atau bahkan jika calon pengantin tersebut tidak
mampu memahami maupun menghayati serta mewujudkannya, maka kewajiban
orangtua (Pemohon) untuk membimbing dan membantu anaknya. Penilaian
sebagian hakim tersebut layak dikritisi sebab jika diperhatikan lebih lanjut,
pembimbingan dan pembantuan orangtua kepada anak kandungnya sering
dianggap oleh pihak anak menantu sebagai bentuk campur tangan orangtua
terhadap keluarga, sehingga seringkali justru dianggap menjadi penyebab
pertengkaran yang kemudian diajukan menjadi alasan perceraian. Itu artinya bahwa
pemahaman dan konsepsi berumah tangga sejak dini mempunyai andil yang besar
terhadap naik turunnya laju perceraian. Semakin asal-asalan pemeriksaan
dispensasi kawin, maka di satu sisi semakin cepat banyak perkara yang bisa
diputus. Namun di sisi lain semakin banyak pula potensi pengajuan perkara
perceraian nantinya di belakang hari.

Selanjutnya, berikut ini contoh perubahan porsi pertanyaan yang dapat


digunakan untuk menggalian fakta hukum pemeriksaan perkara dispensai kawin
sebagai berikut:

Pertanyaan Kepada calon pengantin laki-laki (yang kurang umur).

Porsi lama Porsi baru


1 Apakah rencana perkawinan sudah 1 Rencana perkawinan sudah diurus
diurus di Kantor Urusan Agama? di Kantor Urusan Agama, ternyata
ditolak karena kurang umur.
Mengapa tidak ditunggu hingga
cukup umur sekurang-kurangnya
atau 19 tahun?
2 Mengapa tidak ditunggu hingga 2 Apakah wujud kesiapan Saudara
cukup umur sekurang-kurangnya 19 (calon suami) secara jasmani dan
tahun? rohani untuk membangun rumah
tangga?
3 Bagimana pendapat Saudara (calon 3 Bagaimana pendapat Saudara
pengantin laki-laki) jika pernikahan tentang pemenuhan kebutuhan
ditunda agar Saudara lebih siap? dasar rumah tangga yaitu
sandang, pangan dan papan?
4 Apakah Saudara (calon pengantin 4 Apakah Saudara (calon suami)
laki-laki) dan calon pengantin sudah bekerja untuk mencukupi
perempuan saling mencintai, dan kebutuhan rumah tangga nantinya,
apakah ada paksaan? bekerja apa dan berapa
penghasilannya?
5 Berapa lama Saudara (calon 5 Bagaimana pendapat Saudara jika
pengantin laki-laki) dan calon nantinya penghasilan Saudara

9
. Kecuali pada pengadilan kelas 1A dengan jumlah perkara tinggi dan jumlah hakim yang
tidak mencukupi, hal tersebut dapat dimaklumi.
7
pengantin perempuan saling belum cukup memenuhi
mengenal dan berpacaran? kebutuhan pokok rumah tangga,
apa yang Saudara lakukan?
6 Seberapa erat hubungan cinta 6 Bagaimana pendapat Saudara jika
Saudara (calon pengantin laki-laki) nantinya tempat kerja Saudara
dengan calon pengantin perempuan? cukup jauh dari tempat tinggal
isteri? Apa sikap Saudara?
7 Apakah Saudara (calon pengantin 7 Bagaimana pendapat Saudara jika
laki-laki) dengan sudah pernah tidur nantinya istri Saudara ikut bekerja
bersama (bersetubuh), kalau sudah di tempat yang menuntut harus
pernah berapa kali? bergaul dengan banyak orang,
termasuk dengan laki-laki yang
lebih tampan, menarik dan lebih
kaya daripada Saudara? Apa yang
Saudara lakukan?
8 Apakah calon pengantin perempuan 8 Bagaimana pendapat Saudara jika
sekarang sudah hamil? nantinya istri bekerja sehingga
kurang waktu untuk mengurus
rumah seperti menyiapkan
makanan, mencuci pakaian,
membersihkan lingkungan rumah
maupun untuk melayani Saudara
(bersetubuh)?
9 Apakah Saudara (calon pengantin 9 Bagaimana pendapat Saudara
laki-laki) sudah melamar calon mengenai menentukan tempat
pengantin perempuan? Apakah tinggal bersama nantinya?
sudah diterima oleh pihak keluarga
dengan sukarela?
10 Apakah calon pengantin perempuan 10 Apa sikap Saudara jika istri
juga sedang dalam lamaran laki-laki Saudara nantinya enggan
lain? bertempat tinggal di rumah yang
Saudara atau orangtua kandung
Saudara inginkan?
11 Apakah Saudara (calon pengantin 11 Apa sikap Saudara jika orangtua
laki-laki) dan calon pengantin tidak mampu membantu tempat
perempuan ada hubungan kerabat tinggal?
atau mahram?
12 Apakah Saudara (calon pengantin 12 Bagaimana pendapat Saudara
laki-laki) dan calon pengantin mengenai merawat dan mengasuh
perempuan tersebut ada hubungan anak? Bagaimanakah pola
sepersusuan? pembagian tugas yang Saudara
inginkan?
13 Apakah antara Saudara (calon 13 Bagaimana pendapat Saudara
pengantin laki - laki) dan calon mengenai tata cara pergaulan
pengantin perempuan ada halangan dalam rumah tangga? Perkataan
dilaksanakannya perkawinan? atau perbuatan apa saja yang
tidak boleh diucapkan/dilakukan?
14 Apakah Saudara (calon pengantin 14 Apa sikap Saudara jika terjadi
laki-laki) sudah bekerja, dan perselisihan pendapat antara
pekerjaan apakah yang Saudara Saudara dengan istri nantinya?

8
geluti?
15 Berapa penghasilannya, dan apakah 15 Bagaimana pendapat Saudara jika
cukup untuk memenuhi kebutuhan terjadi perselisihan pendapat
keluarga nantinya? antara keluarga orangtua kandung
Saudara dengan pihak istri
nantinya? Apa sikap Saudara?
16 Apakah orangtua calon pengantin 16 Apakah Saudara telah mengetahui
perempuan bersedia menjadi wali tatacara pergaulan di masyarakat?
nikah nantinya? Apakah saudara juga telah belajar
mempraktikkannya?

Pertanyaan Kepada calon pengantin perempuan (yang kurang umur).

Porsi lama Porsi baru


1 Apakah rencana perkawinan sudah 1 Rencana perkawinan sudah diurus
diurus di Kantor Urusan Agama? di Kantor Urusan Agama, ternyata
ditolak karena kurang umur.
Mengapa tidak ditunggu hingga
cukup umur sekurang-kurangnya
atau 16 tahun?
2 Mengapa tidak ditunggu hingga 2 Apakah wujud kesiapan Saudara
cukup umur sekurang-kurangnya 16 (calon istri) secara jasmani dan
tahun? rohani untuk membangun rumah
tangga?
3 Bagimana pendapat Saudara (calon 3 Bagaimana pendapat Saudara
pengantin laki-laki) jika pernikahan tentang pemenuhan kebutuhan
ditunda agar Saudara lebih siap? dasar rumah tangga yaitu
sandang, pangan dan papan?
4 Apakah calon pengantin perempuan 4 Apakah Saudara (calon istri)
dan pengantin laki-laki saling sudah bekerja untuk membantu
mencintai, dan apakah ada paksaan? suami nantinya guna mencukupi
kebutuhan rumah tangga, bekerja
apa dan berapa penghasilannya?
5 Berapa lama calon pengantin laki-laki 5 Bagaimana pendapat jika tempat
dan calon pengantin perempuan kerja (calon) suami cukup jauh dari
saling mengenal dan berpacaran? tempat tinggal Saudara (calon
isteri), bagaimana sikap Saudara?

6 Seberapa erat hubungan cinta calon 6 Bagaimana pendapat Saudara jika


pengantin laki-laki dan calon suami Saudara nantinya bekerja di
pengantin perempuan? tempat yang menuntut harus
bergaul dengan banyak orang,
termasuk perempuan-perempuan
yang lebih cantik dan menarik
daripada Saudara, apakah yang
Saudara lakukan?
7 Apakah calon pengantin laki-laki 7 Bagaimana pendapat Saudara jika
dengan calon pengantin perempuan suami Saudara nantinya sering
sudah pernah tidur bersama menuntut, seperti minta disiapkan

9
(bersetubuh), kalau sudah pernah makanan, dicucikan pakaian,
berapa kali? minta dilayani (bersetubuh) dan
menuntut anak yang jumlahnya
tidak sesuai kehendak Saudara?
8 Apakah calon pengantin perempuan 8 Bagaimana pendapat Saudara jika
sekarang sudah hamil? suami Saudara nantinya sibuk
bekerja sehingga kurang waktu
untuk mengurus (memperhatikan
memanjakan,membelai) Saudara?
9 Apakah calon pengantin perempuan 9 Bagaimana pendapat Saudara
sudah dilamar oleh calon pengantin mengenai menentukan tempat
laki-laki? Apakah sudah diterima tinggal bersama?
dengan sukarela?
10 Apakah calon pengantin perempuan 10 Apa sikap Saudara jika suami
juga sedang dalam lamaran laki-laki Saudara nantinya enggan
lain? bertempat tinggal di rumah yang
Saudara dan orangtua kandung
Saudara inginkan?
11 Apakah calon pengantin laki-laki dan 11 Apa sikap Saudara jika orangtua
calon pengantin perempuan tersebut tidak mampu membantu tempat
ada hubungan kerabat atau tinggal?
mahram?
12 Apakah calon pengantin laki-laki dan 12 Bagaimana pendapat Saudara
calon pengantin perempuan tersebut mengenai merawat dan mengasuh
ada hubungan sepersusuan? anak, bagaimanakah pola
pembagian tugas yang Saudara
inginkan?
13 Apakah antara calon pengantin laki- 13 Bagaimana pendapat Saudara
laki dan calon pengantin perempuan mengenai tata cara pergaulan
tersebut ada halangan dilaksanakan dalam rumah tangga? Perkataan
nya perkawinan? atau perbuatan apa saja yang
tidak boleh diucapkan/dilakukan?
14 Apakah calon pengantin laki-laki 14 Apa sikap Saudara jika nantinya
sudah bekerja, dan pekerjaan terjadi perselisihan pendapat
apakah yang digeluti? antara Saudara dengan suami
nantinya?
15 Dengan pekerjaan calon suami 15 Bagaimana pendapat Saudara jika
Saudara semacam itu, Apakah terjadi perselisihan pendapat
Saudara rela hati menerimanya? antara keluarga orangtua kandung
Saudara dengan pihak suami
nantinya? Apa sikap Saudara?
16 Apakah orangtua pengantin 16 Apakah Saudara telah mengetahui
perempuan bersedia menjadi wali tatacara pergaulan di masyarakat?
nikah nantinya? Apakah saudara juga telah belajar
mempraktikkannya?

Pertanyaan kepada Pemohon (orangtua calon pengantin yang kurang umur).

Porsi lama Porsi baru

10
1 Apakah rencana perkawinan sudah 1 Rencana perkawinan sudah diurus
diurus di Kantor Urusan Agama? di Kantor Urusan Agama, ternyata
ditolak karena anak Pemohon
kurang umur. Mengapa tidak
ditunggu hingga cukup umur?
2 Mengapa tidak ditunggu hingga 2 Apakah anak Pemohon siap
cukup umur sekurang-kurangnya 16 secara jasmani dan rohani untuk
tahun? membangun rumah tangga?
Apakah wujud kesiapan tersebut.
3 Apakah calon pengantin perempuan 3 Menurut pendapat Pemohon,
dan pengantin laki-laki saling apakah anak Pemohon sudah
mencintai, dan apakah ada paksaan? memahami tata cara memenuhi
kebutuhan dasar rumah tangga
yaitu sandang, pangan dan
papan?
4 Berapa lama calon pengantin laki-laki 4 Apakah anak Pemohon sudah
dan calon pengantin perempuan bekerja untuk mencukupi
saling mengenal dan berpacaran? kebutuhan rumah tangganya nanti,
bekerja apa dan berapa
penghasilannya?
5 Seberapa erat hubungan cinta calon 5 Bagaimana pendapat Pemohon
pengantin laki-laki dan calon jika anak maupun menantu
pengantin perempuan? Pemohon kesulitan masalah
ekonomi, apa sikap Pemohon?

6 Apakah calon pengantin laki-laki 6 Bagaimana pendapat Pemohon


dengan calon pengantin perempuan jika anak Pemohon dengan
sudah pernah tidur bersama menantu Pemohon kesulitan
(bersetubuh), kalau sudah pernah masalah komunikasi, apa sikap
berapa kali? Pemohon?

7 Apakah calon pengantin perempuan 7 Bagaimana pendapat Pemohon


sekarang sudah hamil? jika anak Pemohon dengan
menantu Pemohon nantinya sering
berselisih dan bertengkar?
8 Apakah calon pengantin perempuan 8 Bagaimana pendapat Pemohon
sudah dilamar oleh calon pengantin jika anak Pemohon dengan
laki-laki? Apakah sudah diterima menantu Pemohon menginginkan
dengan sukarela? perceraian?
9 Apakah calon pengantin perempuan 9 Bagaimana pendapat Pemohon
juga sedang dalam lamaran laki-laki jika anak maupun menantu
lain? Pemohon nantinya sibuk bekerja
atau mengurus rumah tangganya
sehingga kurang waktu untuk
memperhatikan Pemohon?
10 Apakah calon pengantin laki-laki dan 10 Bagaimana pendapat Pemohon
calon pengantin perempuan tersebut mengenai menentukan tempat
ada hubungan kerabat atau tinggal anak dan menantu
mahram? Pemohon nantinya?
11 Apakah calon pengantin laki-laki dan 11 Apa sikap Pemohon jika menantu

11
calon pengantin perempuan tersebut Pemohon nantinya enggan
ada hubungan sepersusuan? bertempat tinggal di rumah yang
Pemohon inginkan?
12 Apakah antara calon pengantin laki- 12 Bagaimana pendapat Pemohon
laki dan calon pengantin perempuan jika anak dan menantu Pemohon
tersebut ada halangan dilaksanakan sibuk bekerja atau bersekolah lagi
nya perkawinan? sehingga tidak cukup waktu untuk
mengasuh anak (cucu Pemohon),
kemudian meminta bantuan
Pemohon untuk mengasuh cucu
Pemohon tersebut?
13 Apakah calon pengantin laki-laki 13 Apakah Pemohon sudah
sudah bekerja, dan pekerjaan mengajari kepada anak Pemohon
apakah yang digeluti? mengenai tata cara pergaulan
dalam rumah tangga? Sejauh
mana upaya itu?
14 Dengan kondisi calon suami 14 Bagaimana pendapat Pemohon
semacam itu, Apakah Saudara rela jika terjadi perselisihan pendapat
hati menerima apa adanya? antara keluarga Pemohon dengan
pihak menantu Pemohon nanti
nya? Apa sikap Pemohon?
15 Apakah orangtua pengantin 15 Apakah pernah mengajari anak
perempuan bersedia menjadi wali Pemohon mengenai etika
nikah nantinya? bersosial atau pergaulan di
masyarakat? Sejauhmana upaya
itu?

Pertanyaan kepada Saksi-saksi.

Porsi lama Porsi baru


1 Apakah rencana perkawinan sudah 1 Apakah Saksi kenal Pemohon dan
diurus di Kantor Urusan Agama? anak Pemohon?
2 Mengapa tidak ditunggu hingga 2 Berapa jumlah anak Pemohon?
cukup umur sekurang-kurangnya 16 Dan anak Pemohon yang hadir di
tahun? persidangan ini adalah anak
Pemohon yang ke berapa?

3 Apakah calon pengantin perempuan 3 Anak Pemohon berkehendak


dan pengantin laki-laki saling menikah/dinikahkan. Siapakah
mencintai, dan apakah ada paksaan? calon istri/suami anak Pemohon?
Berapa lama saling berpacaran?
4 Berapa lama calon pengantin laki-laki 4 Rencana perkawinan sudah diurus
dan calon pengantin perempuan di Kantor Urusan Agama, ternyata
saling mengenal dan berpacaran? ditolak karena anak Pemohon
kurang umur. Setahu Saksi
mengapa tidak ditunggu hingga
cukup umur?
5 Seberapa erat hubungan cinta calon 5 Setahu Saksi, apakah anak
pengantin laki-laki dan calon Pemohon siap secara jasmani dan

12
pengantin perempuan? rohani untuk membangun rumah
tangga? Apa wujud kesiapannya?
6 Apakah calon pengantin laki-laki 6 Apakah yang saksi ketahui tentang
dengan calon pengantin perempuan anak Pemohon mengenai perilaku
sudah pernah tidur bersama tanggungjawabnya sebagai anak
(bersetubuh), kalau sudah pernah di lingkungan keluarga Pemohon?
berapa kali?
7 Apakah calon pengantin perempuan 7 Apakah yang saksi ketahui tentang
sekarang sudah hamil? anak Pemohon mengenai perilaku
tanggungjawabnya sebagai kakak/
adik di lingkungan keluarga
Pemohon?

8 Apakah calon pengantin perempuan 8 Apakah anak Pemohon sudah


sudah dilamar oleh calon pengantin bekerja untuk mencukupi
laki-laki? Apakah sudah diterima kebutuhan rumah tangganya
dengan sukarela? nanti? Bekerja apa dan berapa
penghasilannya?
9 Apakah calon pengantin perempuan 9 Bagaimana perilaku anak
juga sedang dalam lamaran laki-laki Pemohon dalam lingkungan
lain? kerjanya?

10 Apakah calon pengantin laki-laki dan 10 Selama anak Pemohon dengan


calon pengantin perempuan tersebut calon istrinya berpacaran, apakah
ada hubungan kerabat atau berjalan harmonis ataukah pernah
mahram? bertengkar? Berapa kali?
11 Apakah calon pengantin laki-laki dan 11 Bagaimana Pemohon mendidik
calon pengantin perempuan tersebut anak Pemohon?
ada hubungan sepersusuan?
12 Apakah antara calon pengantin laki- 12 Apakah anak Pemohon pernah
laki dan calon pengantin perempuan ikut kegiatan sosial
tersebut ada halangan dilaksanakan kemasyarakatan keagamaan di
nya perkawinan? lingkungannya, semacam kerja
bakti?
13 Apakah calon pengantin laki-laki 13 Bagaimanakah perilaku anak
sudah bekerja, dan pekerjaan Pemohon (calon suami) terhadap
apakah yang digeluti? tetangga dan teman sebayanya?

D. Penutup

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tercantum bahwa ketentuan


mengenai dispensasi kawin yang diajukan ke pengadilan adalah satu rangkaian
dalam pasal yang sama dengan ketentuan mengenai batas umur minimal (yaitu
pasal 7)10. Dengan demikian sepatutnya berdampak pada pemeriksaan dispensasi,

10
. (1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
13
yakni lebih didominasi (lebih banyak porsi) terkait umur. Dan masalah umur
sepatutnya dikaitkan dengan kematangan jiwa raga dan kerukunan rumah tangga.
Perlu dicamkan kembali bahwa perkara dispensasi kawin pada hakekatnya
adalah dispensasi batas umur diperbolehkan kawin. Logika berpikirnya selanjutnya
adalah bahwa pemeriksaan perkara dispensasi kawin adalah pemeriksaan yang
terkait dengan umur, yaitu kaitannya dengan kedewasaan seseorang sehingga
kiranya dianggap mampu nantinya menjadi orang yang dewasa dalam berpikir,
berkata dan bertindak. Pemeriksaan perkara dispensasi kawin di pengadilan agama
jangan sampai justru menyerobot pemeriksaan di KUA. Sebab pemeriksaan yang
semacam itu bisa dibilang sebagai pemeriksaan yang tidak efektif serta tidak tepat
sasaran sebagaimana dimaksud peraturan perundang-undangan terkait.
Di sisi lain, produk pengadilan berupa putusan maupun penetapan adalah
sebuah karya tulis ilmiah yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Begitu juga dengan penetapan perkara dispensasi kawin perlu disusun secara logis
sehingga dapat dipahami oleh pihak lain yang berkepentingan dengan penetapan
tersebut seperti peneliti atau akademisi. Hal itu tentunya dapat terlaksana jika
didahului dengan pemeriksaan perkara secara logis pula.
Wallahu a’lam bis sawab

14

Anda mungkin juga menyukai