Anda di halaman 1dari 5

MARAKNYA PERCERAIAN BUKANLAH SEBUAH PRESTASI

Oleh: Noprizal *

Angka perceraian di Provinsi Jambi sepertinya patut menjadi perhatian

semua pihak. Tingginya angka perceraian tentu bukan menjadi sebuah

prestasi yang membanggakan bagi siapapun.

Di tahun 2012 lalu, angka perceraian di Provinsi Jambi cukup tinggi.

Tercatat ada 3.231 kasus perceraian yang terjadi dengan rincian 2.394 kasus cerai gugat dan 837

kasus cerai talak.

Jumlah kasus perceraian terbanyak pada tahun 2012 lalu terjadi di Kota Jambi, dengan

jumlah 224 kasus cerai talak dan 705 kasus cerai gugat. Disusul kemudian Kabupaten

Muarojambi dengan jumlah 230 kasus cerai gugat dan 81 kasus cerai talak, dan Kabupaten

Tanjab Barat, dengan 226 kasus cerai gugat serta 78 kasus cerai talak.

Sementara itu di Kabupaten Batanghari berada di posisi ke empat, pada tahun 2012 lalu

tercatat ada 79 kasus cerai talak dan 194 kasus cerai gugat. Lalu di posisi ke lima adalah

Kabupaten Merangin dengan 97 kasus cerai talak dan 171 kasus cerai gugat. Kabupaten Tebo

menyusul di urutan berikutnya dengan jumlah 57 kasus cerai talak dan 178 kasus cerai gugat.

Setelah Kabupaten Tebo, Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh yang masih satu

Pengadilan Agama pada tahun 2012 lalu terdapat sebanyak 54 kasus cerai talak dan 187 kasus

cerai gugat. Setalah itu Kabupaten Bungo dengan jumlah 57 kasus cerai talak dan 178 kasus

cerai gugat, dan Kabupaten Tanjab Timur, dengan jumlah 51 kasus cerai talak dan 169 kasus

cerai gugat, dan terakhir adalah Kabupaten Sarolangun dengan 47 kasus cerai talak dan 113 cerai

gugat.
Penyebabnya pun bervariasi, meski ada satu atau dua penyebab yang sangat mendominasi

tekad bulat pasangan suami istri untuk mengakhiri hubungan perkawinannya. Beberapa faktor

penyebab yang paling mendominasi adalah, kewajiban yang diabaikan oleh salah satu pasangan,

kasus perselisihan di dalam rumah tangga, moral, serta Kekerasan Dalam Rumah tangga

(KDRT). Faktor penyebab suami yang tidak bertanggung jawab ternyata masih setia diurutan

pertama penyebab perceraian di Provinsi Jambi ini.

Berdasarkan data penulis, perceraian disebabkan kawin paksa 12 kasus, faktor ekonomi

379 kasus, dan tidak bertanggungjawab atas pasangannya 1.074 kasus. Sementara itu, faktor

KDRT mencapai 100 kasus, terdiri kekerasan fisik 76 kasus, dan kekerasan mental 24 kasus.

Sedangkan faktor perselisihan selama tahun 2012 tercatat telah terjadi sebanyak 1.076

kasus, dan moral 129 kasus yang meliputi poligami tidak sehat, krisis ahklak, serta kecemburuan

antar pasangan.

Pengadilan Agama Kian Dipercaya

Mengutip pernyataan, Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H., Ketua Muda Urusan

Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, bahwa, saat ini terdapat tanda-tanda baru

bahwa masyarakat pencari keadilan makin percaya kepada Pengadilan Agama, sebab sekitar

tahun 2000 perkara kita seluruh Indonesia hanya berkisar 168.000 perkara, tapi kasasi 800

perkara bahkan lebih. Namun Pada tahun 2011 Pengadilan Agama menerima perkara 426.208

tapi kasasi hanya 729 perkara, dan sampai dengan Oktober 2012 sebanyak 679 perkara, bahkan

di tahun 2010 sebanyak 673 perkara. Beberapa indikator lainnya seperti Perkara meningkat 2 kali

lipat dan kasasi menurun, Pengacara sudah masuk, masyarakat makin cerdas, dan informasi

makin terbuka.
Oleh karena itu, pernyataan yang menyebutkan tingginya angka perceraian setelah

Pengadilan Agama masuk ke Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah pernyataan yang

tidak beralasan.

Pasalnya saat ini pelaksanaan kawin sirri juga merebak, kebanyakan berujung perceraian,

apalagi yang sifatnya poligami liar; Kurangnya pembinaan masyarakat, sehingga mereka

mengawinkan anaknya secara dini yang rawan perceraian, bahkan sering kali status dan alamat

asli calon pengantin laki-laki tidak diketahui oleh orang tua pengantin perempuan;

Perkembangan krisis moral seperti perselingkuhan, terutama di kota-kota yang bisa berdampak

pada perceraian; dan Meningkatnya KDRT yang bisa berujung pada perceraian.

Sementara itu, di Pengadilan Agama sendiri, bukan berarti semua perkara yang masuk

lantas diputus dengan perceraian. Melainkan dilakukan terlebih dahulu tahapan mediasi secara

sungguh-sungguh mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung R.I. no.1/2008 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan.

Dengan kata lain, Suami-istri yang hendak bercerai harus menjalani proses mediasi

sebelum pokok perkara diperiksa oleh majelis hakim. Bila mediasi tidak dilakukan, maka

putusan yang dibuat majelis hakim akan batal demi hukum.

Tidak sedikit mediasi yang dilakukan oleh mediator hakim bersertifikat di masing-masing

Pengadilan Agama berhasil. Mediasi yang berhasil akan mengantarkan kembali pasangan yang

pada awalnya memilih jalan untuk mengakhiri rumah tangganya untuk kembali mengarungi

biduk rumah tangganya dengan harmonis.

Yang perlu diingat, berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan

tidak boleh menolak perkara yang diajukan masyarakat. Karena itu, Pengadilan Agama pun tidak

boleh menolak perkara perceraian apabila ada pencari keadilan yang mengajukan.
Mengenai maraknya perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama, terjadi

karena masyarakat sudah memiliki kesadaran hukum dn tingkat pendidikan yang tinggi di suatu

daerah. Di Provinsi Jambi bisa dibuktikan dengan tingginya angka perceraian di Kota

dibandingkan dengan di wilayah pedesaan. Di PA Bangko sendiri, warga Kota Bangko jauh

lebih tinggi dari Kecamatan lainnya. Begitu juga dengan Kota Jambi yang angkanya lebih tinggi

ketimbang kabupaten lainnya. Persoalan ini bukan berarti di ‘’daerah‘’ perceraiannya tidak ada

atau sedikit, melainkan proses perceraian tidak dilakukan di muka pengadilan karena ketidak

tahuan, atau boleh juga karena ketakutan

Aspek legalitas pun jangan pernah dilupakan, masyarakat yang kian melek dengan

hukum, akan selalu memeliki perhatian besar terhadap legalitas status mereka, sehingga memilih

untuk datang ke Pengadilan Agama. Dan itu tentunya merupakan bukti dari tingginya

kepercayaan pencari keadilan kepada Pengadilan Agama.

Menurut Penulis tingginya angka perceraian ini merupakan tanggung jawab kita bersama.

Janganlah menjadikan perceraian sebagai tren masa kini. Semuanya akan bisa ditekan jika ada

kerjasama yang baik. Mulai dari pemuka agama, tokoh adat, dan tokoh-tokoh yang ada di satu

daerah, tak terkecuali pula Pemerintah Daerah itu sendiri.

Angka–angka ini tentunya merupakan angka perkara perceraian yang diajukan ke

Pengadilan Agama, lantas berapa banyak perceraian yang tidak diajukan ke Pengadilan Agama?

Itu juga merupakan pekerjaan rumah kita semua.

*Redaktur Jurdilaga PTA Jambi, Bekerja di PA Bangko

Note: Tulisan dengan judul yang sama, telah dipublish pada Website Resmi PTA Jambi dan

salah satu media cetak di Jambi.

Anda mungkin juga menyukai