Anda di halaman 1dari 7

AZAS ONSPLITBARE AVEU DALAM TEORI DAN PRAKTEK

Oleh : Teddy Lahati


(Hakim Pengadilan Agama Limboto)
A. Pendahuluan

Penyelesaian perkara yang dilakukan oleh hakim tidak terlepas dari hukum

pembuktian. Hukum Pembuktian adalah Keseluruhan aturan tentang pembuktian

yang menggunakan alat bukti yang sah sebagai alatnya dengan tujuan untuk

memperoleh kebenaran melalui putusan atau penetapan hakim.1

Pada dasarnya pembagian alat bukti menurut Undang-Undang (BW, HIR

dan Rbg) dalam hukum acara perdata terdiri atas :

1. Alat bukti tertulis atau surat

2. Kesaksian

3. Persangkaan-persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpah

6. Keterangan ahli (expertise)

7. Pemeriksaan setempat (descente)

Pembahasan makalah ini dilatar belakangi adanya perbedaan dalam

praktek hakim terhadap beban pembuktian (bewijslats) : apakah kepada

penggugat atau hanya kepada tergugat terhadap dalil-dalil yang dijawab oleh

penggugat dengan bersyarat.

B. Pembahasan

Pengakuan dengan kwalifikasi menunjukkan bahwa hubungan hukum

antara kedua belah pihak lain daripada yang menjadi dasar gugat. Pasal 176

H.I.R/313 Rbg dan 1924 BW memuat bahwa : Tiap-tiap pengakuan harus diterima

segenapnya, dan hakim tidak bebas akan menerima bagiannya saja dan menolak

bagian yang lain, sehingga menjadi kerugian kepada orang yang mengaku itu,
1
Achmad Ali, dkk, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Cet-1, Kencana; Jakarta 2012, halaman 23

Azas Onsplitbare Aveu Dalam Teori dan Praktek hal. 1 dari 7


melainkan jika orang yang berhutang untuk melepaskan dirinya, menyebutkan,

bersama pengakuan itu, beberapa perbuatan yang nyata palsu.

Oleh sebab itu, penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa pendapat

para pakar hukum terhadap hal ini :

Menurut Retno Wulan Sutantio, S.H. maksud dari azas ini adalah untuk

melindungi pihak yang jujur, yang secara terus terang mengemukakan segala hal

yang telah terjadi dengan sebenarnya. Oleh karena itu ia, sebagai orang yang jujur

itu, harus dilindungi. Lebih lanjut lagi, kalau tergugat menyatakan bahwa ia benar

berhutang, akan tetapi sudah dibayarnya, tidak ada salahnya untuk

memerintahkan kepada tergugat untuk membuktikan bahwa ia benar telah

membayarnya. Dan adalah merupakan kelalaian dari tergugat apabila ia sudah

membayar, sedangkan ia alpa dan tidak meminta tanda penerimaan uang

kwitansinya sebagai tanda bukti adanya pelunasan hutangnya itu.2

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. bahwa terhadap pengakuan

yang tidak boleh dipisah-pisahkan (onsplitbare aveu) itu pembuktiannya

dibebankan kepada penggugat. Penggugat harus dibebani dengan pembuktian

seakan-akan jawaban tergugat seluruhnya merupakan sangkalan terhadap

gugatan penggugat. Penggugat harus membuktikan ketidakbenarannya

keterangan tambahan dari tergugat. Membuktikan suatu negatif itu sukar, maka

penggugat akan membuktikan bagian jawaban tergugat yang merupakan

pengakuan. Dan apabila hal ini berhasil dibuktikan oleh penggugat, maka

tergugatlah yang harus membuktikan kebenaran keterangan tambahannya. Untuk

jelasnya diberikan ilustrasi seperti berikut. A mengadakan perjanjian jual beli

dengan B dan menggugat B untuk membayar. B mengakui adanya jual beli

tersebut, tetapi dengan keterangan tambahan bahwa B telah membayar. Dalam

2
Ny. Retno Wulan Sutantio, S.H., dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Cet. Ke-VI, September
1989, halaman 76-77

Azas Onsplitbare Aveu Dalam Teori dan Praktek hal. 2 dari 7


hal ini A dapat membuktikan bahwa keterangan tambahan dari B tidak benar, yaitu

bahwa B tidak membayar. Pembuktian negatif ini sukar dilakukan sehingga A akan

memilih mencoba membuktikan adanya perjanjian jual beli yang didalilkan oleh

penggugat sendiri dan yang telah diakui oleh B. kalau A berhasil membuktikan hal

ini maka B harus membuktikan adanya pembayaran. Jadi hakim baru boleh

memisah-misahkan pengakuan (onsplitbare aveu) kalau penggugat berhasil

membuktikan bahwa keterangan tambahan pada pengakuan itu tidak benar, dalam

hal ini maka pembuktian kebenarannya dibebankan kepada pihak tergugat.3

Menurut, Drs. H.A. Mukti Rto, S.H., dalam menghadapi pengakuan dengan

syarat (kualifikasi atau clausula) ini, hakim harus bijaksana dan arif serta adil

dalam membagi beban pembuktian kepada para pihak.4

Menurut Dr. Ahmad Mujahidin, Pengakuan berkualifikasi dan pengakuan

berklausula dalam praktik terkadang sulit dibedakan, sehingga menerapkan

pengakuan berkualifikasi dan berklausula menimbulkan permasalahan hukum

yang berkenaan dengan onsplitbaar aveau (pengakuan tidak boleh dipisah).

Pengakuan onsplitbaar aveau (pengakuan tidak boleh dipisah), yaitu

ketidakbolehan undang-undang untuk melarang melakukan pemisahan antara

bagian keterangan yang berisi pengakuan dan keterangan yang berisi keterangan

bersyarat dan keterangan tambahan yang berisi sangkalan atas gugatan. Dengan

demikian keseluruhan pengakuan dan bantahan harus diterima secara

keseluruhan, dilarang hanya menerima bagian pengakuan saja dan menolak

syarat atau sangkalan atau dilarang hanya menerima syarat atau sangkalan dan

menolak bagian yang diakui.5

3
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta,
halaman 153-154
4
Drs. H.A. Mukti Arto, S.H, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Penerbit
Kencana, Cet. 3, halaman 180
5
Dr. Ahmad Mujahidin, M.H., Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi format formulir
berperkara, Penerbit Ghalia Indonesia Bogor, halaman 204

Azas Onsplitbare Aveu Dalam Teori dan Praktek hal. 3 dari 7


Berdasarkan pendapat para pakar tersebut diatas, dapat ditarik benang

merah tentang azas onsplitbar aveu ini :

1. Sebagai bentuk perlindungan kepada pihak-pihak yang jujur atas dalil

ataupun jawaban yang dikemukakan.

2. Penggugat adalah aktor utama yang dibebankan pembuktian terhadap dalil

yang dijawab dengan bersyarat. Apabila penggugat mampu membuktikan

dalilnya, maka tergugat harus membuktikan keterangan tambahannya.

3. Mengadapi pengakuan bersyarat harus memunculkan sikap arif dan

bijaksana serta adil dalam membagi beban pembuktian.

4. Dalam memeriksa perkara hakim harus menerima secara keseluruhan

pengakuan maupun bantahan dari para pihak.

Oleh karena itu menghadapi sejalan dengan pendapat para pakar hukum

sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa adanya pengakuan bersyarat,

pembuktiannya dibebankan kepada kedua belah pihak baik penggugat dan

tergugat. Penggugat diharuskan mampu membuktikan apa yang telah

didalilkannya, sedangkan tergugat diminta untuk membuktikan keterangan

tambahannya.

Secara sederhana penulis memaparkan contoh :

Dalam perkara harta bersama :

 Penggugat mendalilkan bahwa dalam perkawinan Penggugat dengan

Tergugat telah memperoleh harta bersama berupa 1 (satu) rumah

 Tergugat dalam jawabannya menerangkan bahwa betul harta tersebut

diperoleh setelah perkawinan Penggugat dengan Tergugat, namun rumah

tersebut adalah rumah yang dibeli kredit oleh orangtua Tergugat atas nama

Tergugat, uang muka dan angsuran perbulan selama 5 (lima) tahun

orangtua Penggugat yang membayar sampai lunas

Azas Onsplitbare Aveu Dalam Teori dan Praktek hal. 4 dari 7


 maka berdasarkan azas onspletbaar aveau (pengakuan bersyarat tidak

boleh dipisah-pisahkan), pembuktian harus dibebankan kepada Penggugat

 Kepada penggugat diwajibkan untuk membuktikan kepemilikan rumah

sebagai harta bersama

 Sedangkan kepada Tergugat diwajibkan untuk membuktikan kredit atas

rumah tersebut

Dalam perkara perceraian :

 Penggugat mendalilkan tergugat tidak memberi nafkah dan sebagainya

selama 3 (tiga) tahun

 Tergugat dalam jawabannya menerangkan bahwa benar, tergugat tidak

memberi nafkah selama 3 (tiga) tahun karena penggugat nusyuz

 Maka berdasarkan azas onspletbaar aveau (pengakuan bersyarat tidak

boleh dipisah-pisahkan) pembuktian harus dibebankan kepada Penggugat

 Kepada penggugat diwajibkan membuktikan adanya perkawinan yang sah

dan terpenuhinya syarat-syarat wajib nafkah tergugat yang menjadi hak bagi

penggugat

 Kepada tergugat diwajibkan membuktikan nusyuz penggugat.

C. Penutup

Pijakan dasar pembuktian terdapat dalam Pasal 283 Rbg/Pasal 163

HIR/1865 KUHperd. Ini adalah patron hakim dalam melangkah pada proses-

proses selanjutnya dalam menemukan peristiwa hukum.

Proses pembuktian adalah bagian penting dalam menyelesaikan perkara.

Dalil-dalil yang dikemukakan dalam posita harus dipertanggungjawabkan oleh

penggugat dalam persidangan, begitu juga jawaban yang diungkapkan tergugat

baik sangkalan atau pengakuan.

Menguasai teknik-teknik dalam menerapkan asas-asas dalam pembuktian

Azas Onsplitbare Aveu Dalam Teori dan Praktek hal. 5 dari 7


sebuah keharusan bagi seorang hakim. Hal yang mubadzir, bilamana beban

pembuktian diwajibkan kepada salah satu pihak tanpa ada implikasi urgen dalam

mengungkap fakta hukum di persidangan.

Setiap dalil penggugat yang sudah diakui secara bulat oleh tergugat tidak

lagi memerlukan pembuktian, akan tetapi dalil yang diakui dengan bersyarat

apalagi berbelit-belit, membutuhkan kejelian, ketelitian seorang hakim. Adapun

penerapan azas onspletbaar aveau terhadap keterangan-keterangan tambahan

tergugat hendaknya dicermati agar cepat terungkap fakta hukumnya.

Makalah ini tentunya banyak kekurangan disana-sini, oleh karena itu kritikan

dan saran sangat penulis harapkan demi pengembangan kelimuan penulis.

Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bermanfaat.

Azas Onsplitbare Aveu Dalam Teori dan Praktek hal. 6 dari 7


Daftar Pustaka

Achmad Ali, dkk, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Cet-1, Kencana; Jakarta

2012

Ahmad Mujahidin, M.H., Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi

format formulir berperkara, Penerbit Ghalia Indonesia Bogor

H.A. Mukti Arto, S.H, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Agama, Penerbit Kencana, Cet. 3

Retno Wulan Sutantio, dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Cet.

Ke-VI, September 1989

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty

Yogyakarta

Azas Onsplitbare Aveu Dalam Teori dan Praktek hal. 7 dari 7

Anda mungkin juga menyukai