Penyelesaian perkara yang dilakukan oleh hakim tidak terlepas dari hukum
yang menggunakan alat bukti yang sah sebagai alatnya dengan tujuan untuk
2. Kesaksian
3. Persangkaan-persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
penggugat atau hanya kepada tergugat terhadap dalil-dalil yang dijawab oleh
B. Pembahasan
antara kedua belah pihak lain daripada yang menjadi dasar gugat. Pasal 176
H.I.R/313 Rbg dan 1924 BW memuat bahwa : Tiap-tiap pengakuan harus diterima
segenapnya, dan hakim tidak bebas akan menerima bagiannya saja dan menolak
bagian yang lain, sehingga menjadi kerugian kepada orang yang mengaku itu,
1
Achmad Ali, dkk, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Cet-1, Kencana; Jakarta 2012, halaman 23
Menurut Retno Wulan Sutantio, S.H. maksud dari azas ini adalah untuk
melindungi pihak yang jujur, yang secara terus terang mengemukakan segala hal
yang telah terjadi dengan sebenarnya. Oleh karena itu ia, sebagai orang yang jujur
itu, harus dilindungi. Lebih lanjut lagi, kalau tergugat menyatakan bahwa ia benar
keterangan tambahan dari tergugat. Membuktikan suatu negatif itu sukar, maka
pengakuan. Dan apabila hal ini berhasil dibuktikan oleh penggugat, maka
2
Ny. Retno Wulan Sutantio, S.H., dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Cet. Ke-VI, September
1989, halaman 76-77
bahwa B tidak membayar. Pembuktian negatif ini sukar dilakukan sehingga A akan
memilih mencoba membuktikan adanya perjanjian jual beli yang didalilkan oleh
penggugat sendiri dan yang telah diakui oleh B. kalau A berhasil membuktikan hal
ini maka B harus membuktikan adanya pembayaran. Jadi hakim baru boleh
membuktikan bahwa keterangan tambahan pada pengakuan itu tidak benar, dalam
Menurut, Drs. H.A. Mukti Rto, S.H., dalam menghadapi pengakuan dengan
syarat (kualifikasi atau clausula) ini, hakim harus bijaksana dan arif serta adil
bagian keterangan yang berisi pengakuan dan keterangan yang berisi keterangan
bersyarat dan keterangan tambahan yang berisi sangkalan atas gugatan. Dengan
syarat atau sangkalan atau dilarang hanya menerima syarat atau sangkalan dan
3
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta,
halaman 153-154
4
Drs. H.A. Mukti Arto, S.H, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Penerbit
Kencana, Cet. 3, halaman 180
5
Dr. Ahmad Mujahidin, M.H., Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi format formulir
berperkara, Penerbit Ghalia Indonesia Bogor, halaman 204
Oleh karena itu menghadapi sejalan dengan pendapat para pakar hukum
tambahannya.
tersebut adalah rumah yang dibeli kredit oleh orangtua Tergugat atas nama
rumah tersebut
dan terpenuhinya syarat-syarat wajib nafkah tergugat yang menjadi hak bagi
penggugat
C. Penutup
HIR/1865 KUHperd. Ini adalah patron hakim dalam melangkah pada proses-
pembuktian diwajibkan kepada salah satu pihak tanpa ada implikasi urgen dalam
Setiap dalil penggugat yang sudah diakui secara bulat oleh tergugat tidak
lagi memerlukan pembuktian, akan tetapi dalil yang diakui dengan bersyarat
Makalah ini tentunya banyak kekurangan disana-sini, oleh karena itu kritikan
Achmad Ali, dkk, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Cet-1, Kencana; Jakarta
2012
H.A. Mukti Arto, S.H, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Retno Wulan Sutantio, dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Cet.
Yogyakarta