B. Hukum Pembuktian
a. Pembuktian harus mengikuti hukum pembuktian.
Menurut hukum pembuktian dalam acara perdata, maka pembuktianya adalah:
4. Bersifat mencari kebenaran formil.
Dari setiap peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenaranya. Dalam acara, perdata
kebenaran yang dicari ialah kebenaran yang bersifat formil. Mencari kebenaran formil
berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak-pihak
yang berperkara. Jadi tidak melihat pada bobot atau isi, akn tetapi melihat kepada luas
daripada pemeriksaan hakim.sehingga karenanya,hakim dilarang untuk menjatuhkan
putusan atas perkara yang tidak di tuntut,atau meluluskan lebih dari yang di tuntut.
Hal ini berbeda dengan acara pidana yang mengharuskan hakim mencari keberhasilan
materiil.
2. Tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim.
Dalam pembuktian dibedakan antara perkara pidana dan pendata.Pembuktian dalam
perkara masyarakat adanya keyakinan hakim, sedang dalam perkara pendata tidak secara
tegas mensyaratkan adanya keyakinan.
3. Alat bukti harus memenuhi syarat formil atau materiil.
Hukum acara sebagai hukum formil. Unsur materiil yaitu yang mengatur tentang
wewenang, misalnya ketentuan hak dari pihak yang di kalahkan.sedang unsur formil
mengatur tentang bagaimana caranya menggunakan wewenang tersebut.
Dalam hukum pembukian pun, terdiri dari unsur materil dan unsur formiil.Hukum
pembuktian materiil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat
alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktiannya, sedang hukum
pembuktian formil mengatur cara mengadakan pembuktian.
5. Hakim wajib menerapkan hukum pembuktian.
Hakim wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang mengatur hukum pembuktian, baik
tentang alat bukti, menerima atau menolak alat bukti dalam pemeriksaan perkara,
pembebanan pembuktian dan sebagainya.
b. Beban pembuktian
Siapakah yang wajib bukti,para pihak yang berkapentingan para pihaklah yang wajib
mengajukan alat-alat bukti.pasal 163 HIR /pasal283 R.Bg dan pasal 1865 BW, menyatakan
bahwa barang ssiapa yang :
- Mengaku mempunyai sesuatu hak, atau
- Mengemukakan suatu peristiwa (keadaan) untuk menguatkan haknya, atau
- Membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.
Hakimlah yang menetapkan kepada siiapa dibebankan pembuktian. Pihak yang dibebankan
wajib bukti mengandung resiko bahwa jika tidak berhasil maka ia akan dikalahkan. Baik
penggugat maupun tergugat dapat dibebankan pembuktian.
Pada lazimnya, penggugat sebagai pihak yang memulai dahulu menggugat, kalau disanggah
oleh tergugat, maka penggugat harus membuktikan kebenaran gugatanya. Kemudian kalau di
dalam sanggahanya itu tergugat mengajukan posita, maka hal itu harus dibuktikan pula. Dalam
pembuktian ini, biasanya di anut teori kepantasan yaitu bahwa yang membuktikan adalah orang
yang paling mudah dapat menunjukkan bukti.
Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang
menimbulkan hak. Sedang tergugat yang membantah, harus membuktikan adanya peristiwa
(syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa khussus yang bersifat menghalang-halangi atau
bersifat membatalkan apa yang menjadi hak penggugat.
Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak.
Hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara seimbang dan patut.
Bahkan dalam perkara tertentu, beban pembuktian harus dibalik, yaitu dibebankan kepada
pihak lawan yang membantah karena hal ini dinilai yang paling mudah membuktikannya.
Misalnya :
- Pasal 1394 BW, dimana jika tergugat dapat membuktikan dengan kwitansi angsuran 3
(tiga) bulan berturut-turut, maka ia dianggap menang (bantahan dinilai benar).
- Pasal 75 UU. No. 7/198 9, dimana jika tergugat dapat membuktikan diri dengan surat
dokter bahwa dirinya sehat (tidak cacat) maka ia dinilai benar.
- Pasal 4 (2) UU. No. 1/1974 jo, pasal 41 ayat (a) PP. No. 9/1975, tentang alasan-alasan
poligami.
Hal ini artinya, jika tergugat tidak dapat membuktikan diri maka ia ddikalahkan dalam
perkara dan dalil gugat dianggap terbukti.
d. Penilaian pembuktian
Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa iyalah hakim yang
memeriksa duduk perkara (judex factil), yaitu hakim tingkat pertama dan tingkat banding.
Mahkamah agung tidak dapat mempertimbangkan dalam tingkat kasasi.
Pada umumnya, sepanjang undang undang tidk mengatur sebliknya, hakim bebas untuuk
menilai pembuktian. Apabila alat bukti oleh hakim dinilai cukup untuk memburi kepastian
tentang peristiwa yang di sengketakan, maka bukti ini dinilai sbagai bukti yang lengkap dan
sempurna kecuali ada bukti lawan.
Tiap pembuktian, walau dengan bukti lengkap sekalipun, dapat dilumpuhkan ileh bukti
lawan. Bukti lawan ialah setiap pembuktian yang bertujuan untuk menyakkal akibat hukum yang
di kehendaki oleh pihak lawan untuk membuktikan ketidak benarannya peristiwa yang diajukan
oleh pihak lawan.
Bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan (atau
memutuskan). Bukti yang menentukan ialah bukti yang lengkap dan sempurna dan tidak
dimungkinkan adanya bukti lawan. Sumpah pemutus adalah contoh suatu bukti yang
menentukan dan tidak memungkinkan bukti lawan (pasal 177 HIR/pasal 314 R.Bg).
C. Alat-alat Bukti
D. Bukti Surat
1. Pengertian
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang di
maksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan di
pergunakan sebagai pembuktian (alat bukti)
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR/pasal 164, 285 – 305 R.Bg,Stbl.
1867 No 29 dan pasal 1867 – 1894 BW, serta pasal 138 – 147 RV.
2. Macam-macam alat bukti surat
Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua,yaitu:
- Akta dan
- Surat-surat lainnya yang bukan akta, yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai
alat bukti dan belum tentu di tandatangani.
Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam,yaitu:
- Akta otendik dan
- Akta dibawah tangan.
Akta ialah surat yang di beri tantangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi
dasar suatu hak atau perikatan, yang di buat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Akta otentik ialah akta yang di buat oleh atau di hadapan pejabat yang di beri wewenang
untuk itu dan dalam bentuk menurut ketentuan yang di tetapkan untuk itu dan dalam bentuk
menurut ketentuan yang di tetepkan untuk itu,baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan,di tempat di mana penjabat berwenang menjalankaan tugasnya (ps.1868 BW).
Syarat-syarat akta otentik ada 3(tiga) yaitu:
- Di buat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu.
- Di buat dalam bentuk sesuai ketentuan yang di tetapkan untuk itu.
- Di buat di tempat di mana pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya.
G. Bukti Pengakuan
H. Bukti Sumpah
Pengertian
Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu
memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa
siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.
Sumpah merupakan tindakan religius yang digunakan dalam proses peradilan.
Ada 2 (dua) macam sumpaah, yaitu :
1. Sumpah/janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah
promissoir, dan
2. Sumpah/janji untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar
demikian atau tidak benar, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatoir.
Sumpah promissoir dilakukan ileh saksi atau ahli (juga juru bahasa dan hakim), dengan
ciri-ciri :
a. Sumpah diucapkan sebelum mereka memberi keterangan / melakukan sesuatu;
b. Sumpah berfungsi sebagai syarat formil sahnya suatu keterangan / tindakan;
c. Sumpah ini bukan merupakan alat bukti; dan
d. Sumpah ini tidak mengakhiri sengketa.
Sumpah assertoir (confirmatoir) dilakukan oleh para pihak dallam perkara, dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Sumpah diucapkan sesudah mereka memberi keterangan / melakukan sesuatu;
b. Sumpah berfungsi untuk meneguhkan suatu peristiwa atau hak;
c. Sumpah ini termasuk alat bukti;; dan
d. Sumpah mengakhiri senngketa.