Anda di halaman 1dari 13

Teori Pembuktian.

Ada 3 (tiga) teori pembuktian :


1. Teori pembuktian bebas.
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga
penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan keppada hakim.
2. Teori pembuktian negatif.
Dimana hakim terikat dengan ketentuan-ketentuan yang bersifatt negatif sehingga
membatasi hakim untuk melakukan sesuatu kecuali yang diijinkan oleh Undang-undang.
3. Teori pembuktian positif.
Dimana hakim diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam pembuktian, kecuali
yang dilarang dalam Undang-undang.
Pendapat umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebas, untuk memberi
kelonggaran kepada hakim dalam mencari kebenaran.

B. Hukum Pembuktian
a. Pembuktian harus mengikuti hukum pembuktian.
Menurut hukum pembuktian dalam acara perdata, maka pembuktianya adalah:
4. Bersifat mencari kebenaran formil.
Dari setiap peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenaranya. Dalam acara, perdata
kebenaran yang dicari ialah kebenaran yang bersifat formil. Mencari kebenaran formil
berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak-pihak
yang berperkara. Jadi tidak melihat pada bobot atau isi, akn tetapi melihat kepada luas
daripada pemeriksaan hakim.sehingga karenanya,hakim dilarang untuk menjatuhkan
putusan atas perkara yang tidak di tuntut,atau meluluskan lebih dari yang di tuntut.
Hal ini berbeda dengan acara pidana yang mengharuskan hakim mencari keberhasilan
materiil.
2. Tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim.
Dalam pembuktian dibedakan antara perkara pidana dan pendata.Pembuktian dalam
perkara masyarakat adanya keyakinan hakim, sedang dalam perkara pendata tidak secara
tegas mensyaratkan adanya keyakinan.
3. Alat bukti harus memenuhi syarat formil atau materiil.
Hukum acara sebagai hukum formil. Unsur materiil yaitu yang mengatur tentang
wewenang, misalnya ketentuan hak dari pihak yang di kalahkan.sedang unsur formil
mengatur tentang bagaimana caranya menggunakan wewenang tersebut.
Dalam hukum pembukian pun, terdiri dari unsur materil dan unsur formiil.Hukum
pembuktian materiil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat
alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktiannya, sedang hukum
pembuktian formil mengatur cara mengadakan pembuktian.
5. Hakim wajib menerapkan hukum pembuktian.
Hakim wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang mengatur hukum pembuktian, baik
tentang alat bukti, menerima atau menolak alat bukti dalam pemeriksaan perkara,
pembebanan pembuktian dan sebagainya.

b. Beban pembuktian
Siapakah yang wajib bukti,para pihak yang berkapentingan para pihaklah yang wajib
mengajukan alat-alat bukti.pasal 163 HIR /pasal283 R.Bg dan pasal 1865 BW, menyatakan
bahwa barang ssiapa yang :
- Mengaku mempunyai sesuatu hak, atau
- Mengemukakan suatu peristiwa (keadaan) untuk menguatkan haknya, atau
- Membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.
Hakimlah yang menetapkan kepada siiapa dibebankan pembuktian. Pihak yang dibebankan
wajib bukti mengandung resiko bahwa jika tidak berhasil maka ia akan dikalahkan. Baik
penggugat maupun tergugat dapat dibebankan pembuktian.
Pada lazimnya, penggugat sebagai pihak yang memulai dahulu menggugat, kalau disanggah
oleh tergugat, maka penggugat harus membuktikan kebenaran gugatanya. Kemudian kalau di
dalam sanggahanya itu tergugat mengajukan posita, maka hal itu harus dibuktikan pula. Dalam
pembuktian ini, biasanya di anut teori kepantasan yaitu bahwa yang membuktikan adalah orang
yang paling mudah dapat menunjukkan bukti.
Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang
menimbulkan hak. Sedang tergugat yang membantah, harus membuktikan adanya peristiwa
(syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa khussus yang bersifat menghalang-halangi atau
bersifat membatalkan apa yang menjadi hak penggugat.
Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak.
Hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara seimbang dan patut.
Bahkan dalam perkara tertentu, beban pembuktian harus dibalik, yaitu dibebankan kepada
pihak lawan yang membantah karena hal ini dinilai yang paling mudah membuktikannya.
Misalnya :
- Pasal 1394 BW, dimana jika tergugat dapat membuktikan dengan kwitansi angsuran 3
(tiga) bulan berturut-turut, maka ia dianggap menang (bantahan dinilai benar).
- Pasal 75 UU. No. 7/198 9, dimana jika tergugat dapat membuktikan diri dengan surat
dokter bahwa dirinya sehat (tidak cacat) maka ia dinilai benar.
- Pasal 4 (2) UU. No. 1/1974 jo, pasal 41 ayat (a) PP. No. 9/1975, tentang alasan-alasan
poligami.
Hal ini artinya, jika tergugat tidak dapat membuktikan diri maka ia ddikalahkan dalam
perkara dan dalil gugat dianggap terbukti.

c. Yang harus dibuktikan.


Yang harus dibuktikan ialah adanya peristiwa atau hak yang :
- Menjadi ssengketa dan
- Relevan dengan pokok perkara, sehingga diketemukan adanya hubungan hukum antara
dua pihak.
Oleh karena itu tidak semua peristiwa yang di kemukakan harus di buktikan. Peristiwa-
peristiwa itu masih disaring oleh hakim, harus dipisahkan mana yang penting (relevan,material)
bagi hakim dan mana yang tidak penting (irrelevan,immaterial).peristiwa yang relevan itulah
yang harus di buktikan.peristiwa atau hak yang tidak disengketakan juga tidak perlu di buktikan,
kecuali mengenai alasan perceraian.

d. Penilaian pembuktian
Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa iyalah hakim yang
memeriksa duduk perkara (judex factil), yaitu hakim tingkat pertama dan tingkat banding.
Mahkamah agung tidak dapat mempertimbangkan dalam tingkat kasasi.
Pada umumnya, sepanjang undang undang tidk mengatur sebliknya, hakim bebas untuuk
menilai pembuktian. Apabila alat bukti oleh hakim dinilai cukup untuk memburi kepastian
tentang peristiwa yang di sengketakan, maka bukti ini dinilai sbagai bukti yang lengkap dan
sempurna kecuali ada bukti lawan.
Tiap pembuktian, walau dengan bukti lengkap sekalipun, dapat dilumpuhkan ileh bukti
lawan. Bukti lawan ialah setiap pembuktian yang bertujuan untuk menyakkal akibat hukum yang
di kehendaki oleh pihak lawan untuk membuktikan ketidak benarannya peristiwa yang diajukan
oleh pihak lawan.
Bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan (atau
memutuskan). Bukti yang menentukan ialah bukti yang lengkap dan sempurna dan tidak
dimungkinkan adanya bukti lawan. Sumpah pemutus adalah contoh suatu bukti yang
menentukan dan tidak memungkinkan bukti lawan (pasal 177 HIR/pasal 314 R.Bg).

C. Alat-alat Bukti

Alat-alat bukti dalam perkara perdata ialah :

1. Alat bukti surat


2. Alat bukti saksi
3. Alat bukti persangkaan
4. Alat bukti pengakuan
5. Alat bukti sumpah
6. Pemeriksaan di tempat (pasal 153 HIR/pasal 180 R.Bg)
7. Saksi ahli (pasal 154 HIR/ps. 181 R.Bg)
8. Pembukuan (pasal 167 HIR/ps. 296 R.Bg)
9. Pengetahuan hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985).

Macam-macam kekuatan alat bukti


Tiap-tiap alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian tersendiri menurut hukum
pembuktian. Macam kekuataan pembuktian tersebut ialah :

1. Bukti mengikat dan menentukan, artinya :


- Meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi Hakim untuk memutus perkara
berdasarkan alat bukti tersebut tanpa membutuhkan alat bukti lain.
- Hakim terikat dengan bukti tersebut, sehingga tidak dapat memutus lain dari pada
yang telah terbukti dengan satu alat bukti itu.
- Alat bukti ini tidak dapat di lumpuhkan dengan bukti lawan / bukti sebaliknya.
Alat bukti ini ialah :
a. Sumpah decisoir (pasal 156 HIR/pasal 183 R.Bg).
b. Sumpah pihak (dilatoir) = (pasal177 HIR/pasal 183 R.Bg).
c. Pengakuan (pasal 174 HIR/pasal 311 R.Bg)

2. Bukti sempurna, artinya :


- Meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi Hakim untuk memutus perkara
berdasarkan alat bukti itu dan tidak memerlukan adanya alat bukti lain.
- Hakim terikat dengan bukti tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.
- Bukti tersebut dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan/sebaliknya.
Alat bukti ini ialah:
a. Akta Otentik (pasal165 HIR/pasal 285 R.Bg).
b. Pasal 1394 KUH Perdata=Apabila tergugat dapat menunjukkan tiga kwitansi
pembayaran 3(tiga) bulan berturut-turut, maka angsuran yang sebelumnya harus
dianggap telah lunas.
c. Pasal 1965 KUH Perdana: Itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan siapa
yang menunjuk kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya.

3. Bukti bebas, artinya:


- Hakim bebas untuk menilai sesuai dengan pertimbangannya yang logis.
- Hakim tidak terikat dengan alat bukti tersebut.
- Terserah kepada keyakinan Hakim untuk menilai.
- Hakim dapat mengesampingkan alat bukti ini dengan pertimbangan yang logis.
- Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.

Alat bukti ini ialah:


a. Saksi yang disumpah (pasal 172 HIR/pasal 307 R.Bg). Meskipun ada 10 orang saksi,
kalau hakim ragu-ragu maka hakim tidak terikat atau wajib mempercayai saksi-saksi
itu.
b. Saksi ahli (pasal 154 HIR/pasal 181 R.Bg).
c. Pengakuan diluar sidang (pasal 175 HIR/pasal 312 R.Bg).
4. Bukti permulaan, artinya :
- Meskipun alat bukti itu sah dan dapat dipercaya kebenarannya tetapi belum
mencukupi syarat formil sebagai alat bukti yang cukup.
- Bukti ini masih perlu (harus) ditambah dengan alat bukti lain agar menjadi sempurna.
- Hakim bebas dan tidak terikat dengan alat bukti ini.
- Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.

Alat bukti ini ialah :


a. Alat bukti saksi tetapi hanya seorang diri (pasal 136 HIR/pasal 306 R.Bg) sehingga
harus ditambah dengan alat bukti lain, misalnya sumpah suppletoir.
b. Akta dibawah tangan yang dipungkiri tandatangan dan isinya oleh yang bersangkutan
(pasal 165 HIR/pasal 289 R.Bg).

5. Bukti bukan bukti, artinya :


- Mekipun nampaknya memberikan keterangan yang mendukung kebenaran suatu
peristiwa tetapi ia tidak memenuhi syarat formal sebagai alat bukti sah.
- Ia tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
- Ia seperti bukti tapi bukan bukti.
Hal ini ialah :
a. Saksi yang tidak disumppah (pasal 145 (4) HIR/172 R.Bg).
b. Saksi yang belum cukup umur 15 tahun.
c. Foto-foto, rekaman kaset//video dan sebagainya.
d. Kesaksian tak langsung (passal 717 HIR/308 R.Bg).

D. Bukti Surat
1. Pengertian
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang di
maksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan di
pergunakan sebagai pembuktian (alat bukti)
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR/pasal 164, 285 – 305 R.Bg,Stbl.
1867 No 29 dan pasal 1867 – 1894 BW, serta pasal 138 – 147 RV.
2. Macam-macam alat bukti surat
Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua,yaitu:
- Akta dan
- Surat-surat lainnya yang bukan akta, yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai
alat bukti dan belum tentu di tandatangani.
Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam,yaitu:
- Akta otendik dan
- Akta dibawah tangan.
Akta ialah surat yang di beri tantangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi
dasar suatu hak atau perikatan, yang di buat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Akta otentik ialah akta yang di buat oleh atau di hadapan pejabat yang di beri wewenang
untuk itu dan dalam bentuk menurut ketentuan yang di tetapkan untuk itu dan dalam bentuk
menurut ketentuan yang di tetepkan untuk itu,baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan,di tempat di mana penjabat berwenang menjalankaan tugasnya (ps.1868 BW).
Syarat-syarat akta otentik ada 3(tiga) yaitu:
- Di buat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu.
- Di buat dalam bentuk sesuai ketentuan yang di tetapkan untuk itu.
- Di buat di tempat di mana pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya.

Pejabat yang dimaksudkan itu antara lain ialah notaris,hakim,panitera,jurusita,pegawai


pencat sipil, pejabat pencatat nikah, pejabat pembuat akta tanah, pejabat pembuat akta ikrar
wakaf dan sebagainya.
Akta otentik ada2 (dua) macam, yaitu:
a. Akta yang di buat oleh pejabat (acta ambtijk, proces verbaal acte),ialah akta yang di buat
oleh pejabat yang berwenang untuk itu karena jabatannya tanpa campur tangan pihak
lain,dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat,didengar serta apa yang
dilakukannya.
b. Akta yang di buat dihadapan para pejabat ( partij acte) ialah akte yang dibuat oleh para pihak
di hadapan pejabat yang berwenang untuk atas kehendak para pihak, dengan mana pejabat
tersebut meneangkan juga apa yang dilihat,didengar dan dilakukannya.
E. Bukti Saksi
Pengertian
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-
syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat,dengar dan ia alami
sediri,sebagai buktitrjadinya peristiwa atau keadaan itu sendiri, sebagai buki terjadinya
peristiwa atau keadaan tersebut.
Bukti saksi diatur dalam pasal 168-172HIR/pasal 165-179 RBg.
Syarat-syarat saksi
Saksi harus mempunyai syarat formil dan materiil.
a. Syarat formil saksi ialah:
1. Berumur 15 tahun keatas;
2. Sehat akalnya;
3. Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak
menurut keturunan yang lurus, kecuali undang-undang menentukan lain;
4. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun sudah bercerai
(pasal 14 5 (1) HIR);
5. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah (pasal
144 (2) HIR); kecuali undang-undang mentukan lain.
6. Menghadap di persidangan (pasal 141 (2) HIR);
7. Mengangkat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR);
8. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau
dikuatkan dengan alat bukti lain (pasasl 169 HIR); kecuali mengenai perzinaan.
9. Dipanggil masuk keruang sidang demi satu (pasal 144 (1) HIR);
10. Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR).
b. Sedang syarat materiil saksi ialah:
1. Menerangkan apa yang dilihat’ ia dengar ia alami sendiri (pasal 171 HIR/308 RBg).
2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya (pasal 171 (1) HIR/pasal 308 (1)
RBg).
3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri (pasal 171 (2) HIR/Pasal
308 (1) RBg).
4. Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR).
5. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
F. Bukti Persangkaan
Pengertian
Persangkaan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau
dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau kesimpulan yang ditarik oleh
hakim.
Persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 BW.
Bentuk persangkaan
Ada dua macam bentuk persangkaan;
1. Persangkaan yang berupa kesimpulan berdasarkan undang-undang.
Beberapa contoh:
- Pasal 5 ayat (2) UU. No. 1/1974, yaitu bahwa untuk mendapat ijin poligami dari
Pengadilan tidak diperlukan persetujuan dari isteri apabila isteri tidak kabar selama 2
(dua) tahun. Berarti dalam kasus ini, poligami dianggap sah tanpa persetujuan isteri.
- Perkawinan yang tidak memenuhi syarat, dianggap tidak sah menurut undang-undang
(pasal 2 ayat UU. No. 1/1974).
- Perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan hukum atau agama dianggap tiad ada
dan tidak mengikat (pasal 29 ayat (2) UU. No. 1/1974).
- Panggilan melalui mass media dianggap sah dan resmi, (pasal 27 PP. No. 9/1975).
- Perceraian dianggap meliputi seluruh akibat yang ditimbulkannya (pasal 41 UU. No.
1/1974).
2. Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh Hakim dari keadaan yang timbul di
persidangan, seperti:
- Tentang suatu yang penting dan seksama,
- Atau tentang sesuatu yang terang dan pasti,
- Dan saling bersesuaian.
Persangkaan merupakan pembuktian sementara dan merupakan alat bukti yang bersifat tidak
langsung, Misalnya:
- Membuktikan ketidak hadiran seseorang pada suatu tempat/peristiwa tertentu dengan
membuktikan kehadirannya di tempa lain pada waktu yang sama.
- Membuktikan matinya orang mafqud (dianggap telah mati) dengan membuktikan
hilangnya pesawat terbang yang diumpanginya dan tidak munculnya lagi dalam waktu
tertentu (empat tahun). Dan sebagainya.

Syarat-syarat bukti persangkaan hakim


Hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai
persangkaan. Persangkaanmerupakan dugaan hakim. Tentang dugaan dan kesimpulan yang
ditarik hakim maka ada lima syarat, yaitu:
1. Dugaan mengenai suatu kejadian harus didasarkan atas hal-hal yang telah terbukti.
2. Hakim harus berkeyakinan bahwa hal-hal yang telah terbukti itu dapat menimbulkan dugaan
terhadap terjadinya suatu peristiwa yang lain.
3. Hakim dalam mengambil dari bukti-bukti itu tidak boleh mendasarkan keputusannya atas
hanya satu dugaan saja.
4. Dugaan/persangkaan itu harus bersifat penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu
sama lain.
5. Persangkaan semacam ini hanya boleh diperhatikan dalam hal undang-undang
membolehkan pembuktian dengan saksi.

G. Bukti Pengakuan

Pengertian pengakuan (bekentenis, confession) :


Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentag dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak
memerlukan persetujuan pihak lain.
Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174, 175, 176, HIR, pasal 311, 312, 313
R.Bg, dan pasal 1923-1928 BW.
Pengakuan dapat diberikan di muka Hakim di persidangan atau diluar persidangan. Selain
itu, pengakuan dapat pula diberikan secara tertulis maupun lisan di depan sidang.
Ada beberapa macaam bentuk pengakuan, yaitu pengakuan murni, pengakuan dengan
kualifikasi dan pengakuan dengan klausula.
Berikut ini akan kita bicarakan masing-masing jenis dan bentuk pengakuan dalam
pemeriksaan di persidangan :
a. Pengakuan murni di muka sidang
- Pengakuan murni (aven pure et simple) ialah pengakuan yang bersifat sederhana
dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
- Misalnya, peenggugat mengatakan bahwa tergugat telah 2 (dua) tahun tidak
memberikan nafkah wajib kepada penggugat.
- Dalam hal ini, Hakim terikat dengan pengakuan tersebut, kecuali dalam perkara
perceraian yang perllu didukung dengan alat bukti lain.
- Pengakuan di muka Hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik
tertulis maupun lisan yang membenarkan suatu peristiwa, hak atau hubungan
hukum yang diajukan oleh lawannya.
- Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas.

b. Pengakuan dengan kualifikasi


- Pengakuan dengan kualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie) ialah
pengakuan yang disertai dengan sangkaan terhadap sebagian dari tuntutan.
- Misalnya : penggugat menyatakan bahwa tergugat telah menrima uang dari
penggugat sebesar Rp. 5.000.000,- dan tergugat pun mengaku telah menerima
uang dari penggugat tetapi tidak sebanyak Rp. 5.000.000,- melainkan hanya
Rp. 3.000.000,-.
c. Pengakuan dengan clausula
- Pengakuan dengan clausula (geclausulerde bekentenis, aveu camplexe) ialah suatu
pengakuan yanng disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat
membebaskan.
- Misalnya : istri menggugat suami karena suami tidak memberi nafkah daan
sebagainya kepada istri selama 3 tahun kemudian suami menjawab : “benar, saya
tidak memberi nafkah selama 3 tahun karena istri saya nusyuz”.
- Pada hakekatnya, dalam kasus tersebut di atas, jawwaban tergugat merupakan
pengakuan tentang hal pokok yang diajukan penggugat, yaitu tidak memberikan
nafkah selama 3 tahun tetapi disertai dengan tambahan penjelasan, yaitu bahwa
istri telah nusyuz, dan hal ini yang menjadi dasar penolakan gugatan.
d. Pengakuan tertulis
Ada dua kemungkinan dalam pengakuan yang di berikan secara tertulis oleh tergugat :
e. tergugat hadir di depan sidang, dan
f. terguggat tidak hadir di depan sidang.
Apabila terguggat hadir di depan sidang dan memberikan penngakuan secara tertulis maka
dapat dikategorikan kepada 3 (tiga) macam pengakuan tersebut, yaitu :
- pengakuan murni,
- pengakuan dengan kualifikasi, atau
- pengakuan dengan clausula.
Dan oleh sebab itu, berlaku ketentuan tersebut di atas tadi.
- Apabila tergugat tidak hadir di depan sidang dan tidak pula mewakilkan kepada orang
lain untuk hadir, tetapi ia memberikan jawaban / pengakuan secara tertulis, maka :
a. Tergugat tetap dinilai sebagai pihakk yang tidak hadir dalam sidang, dan oleh
karena itu berlaku ketentuan tentang pihak yanng tidak hadir dalam sidang (yakni
verstek atau contradictoier); dan
b. Pengakuan tersebut merupakan pengakuan di luar sidang dan karenanya
diserahkan kepada pertimbangan Hakim, yang kiranya dapat dipergunakan dalam
menyusun persangkaan Hakimm.
e. Pengakuan lewat kuasa hukum/wakil
- Pengakuan yang diberikan lewat kuasa hukum/wakil yang memang dikuasakan untuk
itu, nilainya sama dengan pengakuan yang diberikan oleh tergugat pribadi. Demikian
pula pengakuan pihak penggugat.
- Kuasa hukum/wakil, dalam hal ini harus ada kuasa istimewa yaituu diberikan kepada
kuasa untuk memberikan pengakuan atas nama pemberi kuasa.

f. Pengakuan lisan di luar sidang


- Yaitu suatu pengakuan yang diucapkan oleh salah satu pihak dalam perkara perdata
untuk membenarkan pernyataan yang diberikan oleh pihak lawannya.
- Pengakuan mana dapat disampaikan kepada Hakim oleh pihak lawan atau saksi-saksi,
bahwa ia telah memberikanpengakuan itu secara pasti.
- Dalam hal ini, diserahkan kepada pertimbangan dan hatii-hatinya Hakim untuk
menentukan harga suatu pengakuan dengan lisan, yang diperbuat di luar hukum (pasal
175 HIR, passal 312 R.Bg, passal 1925 BW).
- Menurut passal 1927 BW, maka suatu pengakuan lisan di luar persidangan tidak dapat
dilakukan selain dalam hal-hal dimana diijinkan pembuktian dengan saksi.
- Pengakuan di luar sidang ini masih harus dibuktikan di persidangan, karena ia tidak
merupakan alat bukti.
- Pengakuan di luar persidangan ii dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberikan
pengakuan itu.

g. Pengakuan dalam sengketa perkawinan


- Dalam sengketa perkawinan, pengakuan pihak mempunyai spesifikasi tersendiri dalam
hukum pembuktian, lebihh-lebih lagi dalam perkara perceraian.
- Dalam perkara perceraian, kita dapatkan beberapa prinsip yang harus diperhatikan,
yaitu :
a. Perceraian adalah suatu tindakan yang tidak diridloi Allah, meskipun mempunyai
alasan yang cukup. Dan jika tidak ada cukup alasan maka dihukumi haram.
b. Undang-undang perkawinan menganut prinsip mempersukar perceraian,
menginngat begitu berat akibat dari perceraian itu, baik terhadap suami-istri
maupun terhadap anak-anak mereka.
c. Untuk menghindari adanya kebohongan-kebohongan besar dalam perceraian.

H. Bukti Sumpah
Pengertian
Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu
memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa
siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.
Sumpah merupakan tindakan religius yang digunakan dalam proses peradilan.
Ada 2 (dua) macam sumpaah, yaitu :
1. Sumpah/janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah
promissoir, dan
2. Sumpah/janji untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar
demikian atau tidak benar, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatoir.

Sumpah promissoir dilakukan ileh saksi atau ahli (juga juru bahasa dan hakim), dengan
ciri-ciri :
a. Sumpah diucapkan sebelum mereka memberi keterangan / melakukan sesuatu;
b. Sumpah berfungsi sebagai syarat formil sahnya suatu keterangan / tindakan;
c. Sumpah ini bukan merupakan alat bukti; dan
d. Sumpah ini tidak mengakhiri sengketa.

Sumpah assertoir (confirmatoir) dilakukan oleh para pihak dallam perkara, dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Sumpah diucapkan sesudah mereka memberi keterangan / melakukan sesuatu;
b. Sumpah berfungsi untuk meneguhkan suatu peristiwa atau hak;
c. Sumpah ini termasuk alat bukti;; dan
d. Sumpah mengakhiri senngketa.

Sumppah dillakukan mennurut agamanya


Setiap sumpah harus dilakukan menurut keyakinan agamanya dari yang bersangkutan.
1. Bagi yanng beragama Islam, sumpah dilakukan dengan kalimat “Demi Allah, saya
bersumpah” dan seterusnya.
2. Bagi yang beragama Katholik, sumpah diucapkkan dengan kalimat “Demi Tuhan,
saya berjanji” dan seterusnya, kemudian diakhiri dengan kaata-kata “kiranya Tuhan
menolong saya”.
3. Bagi yang beragama Kristen Protestan dengann k
4. alimat “Demi Tuhan, saya bersu\umpah” dan seterusnya, kemudian diakhiri dengan
kata-kata “kiranya Tuhan menolong saya”.
5. Bagi yang beragama Budha, dengan kallimat “Demi Sang Adhi Budha, saya
bersumpahh” dan seterusnya.
6. Bagi yang beragama Hindu, dengan kalimat “Oom Atah Paramawisesa, saya
bersumpah” dan seterusnya.

Pembuktian dengan sumpah

1. Tatacara sumpah Suppletoir


- Sumpah suppletoir (pelengkap) ialah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuuk melengkapi pembuktian
peristiwa atau hak yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
- Sumpah suppletoir diperintahkan apabila terpenuhi syarat-syaratnya :
a. Kebanara gugatan atau kebenaran pembalaan atas sesuatu peristiwa atau hak bela
yang cukup terang,tetapi
b. Terdapat pula kebanaran gugatan atau pembelaan itu, yang
c. Berdasarkan bukti(permulaan) yang ada belum cukup untuk menjadi
dasar,menurut hukum pembuktian, untuk memitus perkara,dan
d. Tidak ada jalan lain untuk mengyatkannya dengan alat-alat bukti,baik bukti surat
maupun saksi-saksi,kecuali dengan sumpah,
e. Apabila dilakukan sumpah suppletoir, perkara jadi selesai

2. Tatacara sumpah decisoir


- Sumpah decisoir (pemutus) ialah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah
satu pihak kepada lawannya (pasal 156 HIR,pasal 183 RBg,pasal 1930 BW).
- Pihak yang minta lawannya mengucapkan sumpah disebut diferent pihak yang
diminta untuk bersumpah disebut delaat/delator, jika pihak lawan tersebut
mengembalikan sumpah kepada pihak yang meminta sumpah,pihak semula
disebut relaat/relaator.
- Berbeda dengan sumpah suppletoir, maka sumpah decisoir dapat dibedakan atau
diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai