Anda di halaman 1dari 9

1.

Pembuktian :
a. Pembuktian dalam Perkara Perdata adalah upaya untuk memperoleh kebenaran
formil (formeel waarheid). Kebenaran formil didasarkan pada formalitas-formalitas
hukum sehingga akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan
mengikat. Sempurna berarti hakim tidak memerlukan alat bukti lain untuk memutus
perkara selain berdasarkan alat bukti otentik dimaksud. Sedangkan mengikat berarti
hakim terikat dengan alat bukti otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
b. Prinsip utama yang berkaitan dengan pembuktian dalam pasal 163 HIR/283 RBG
diatur, barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau suatu peristiwa, ia harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Rumusan norma tersebut parallel dengan
asas actori incumbit prabotio. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud maka
yang wajib membuktikan adalah : orang yang mengaku mempunyai hak, orang yang
membantah dalil gugatan, orang yang menyebutkan suatu perbuatan untuk
menguatkan haknya. Hal sebagaimana diuraikan tersebut dalam hukum acara perdata
disebut dengan pembuktian.
Pembuktian merupakan suatu upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil-dalil gugatan/bantahan dalil gugatan yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan di persidangan. Pembuktian dalam hukum acara perdata dikenal dua
macam, yakni : hukum pembuktian materiil dan hukum pembuktian formil. Hukum
pembuktian materiil mengatur tentang dapat atau tidak diterimanya alat-alat bukti
tertentu di persidangan serta mengatur tentang kekuatan pembuktian suatu alat bukti.
Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur tentang cara menerapkan alat bukti.
Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara adalah peristiwanya atau
kejadian-kejadian yang menjadi pokok sengketa, bukan hukumnya, sebab yang
menentukan hukumnya adalah Hakim. Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah
kebenarannya, kebenaran yang harus dicari dalam hukum acara perdata adalah
kebenaran formil, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil.
c. Prinsip yang dianut dalam proses pemeriksaan perkara perdata tidak bersifat stelsel
negatif, prinsip pembuktian yang dianut hukum acara perdata adalah apa yang disebut
dengan istilah beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar
berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap
bernilai sebagai kebenaran hakiki. Prinsip yang dianut tidak bersifat stelsel negatif
(negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut
pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan
pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal
pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Kebenaran yang diwujudkan benar-
benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu
dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki. Sistem pembuktian ini diatur dalam Pasal
183 . KUHAP Namun tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran
yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formal (formeel waarheid). Pada
dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran
materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan
hukum mengambil Putusan berdasarkan kebenaran formal.
d. Dalam pembuktian para pihak tidak boleh gegabah dalam melakukan pembuktian dan
dalam mengajukan alat-alat bukti karena alat bukti yang diajukan oleh para pihak
harus mampu menjelaskan makna dan hakikat dari peristiwa yang didalilkan. Jika
dalam gugatan, seorang penggugat mendalilkan gugatannya atas dasar “wanprestasi”,
maka peristiwa yang dibuktikan adalah benar tidaknya jual beli dan terjadinya
wanprestasi tersebut. Penggugat tidak perlu jauh menyampaikan alat-alat bukti yang
tidak ada kaitannya dengan peristiwa jual beli itu, misalnya mengajukan alat bukti
berupa bukti kuitansi pembelian bensin sepeda motor yang digunakan untuk
mengurus jual beli itu, dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu harus disertai
pembuktian secara yuridis.
e. Pembuktian mempunyai peranan penting dalam proses pemeriksaan perkara perdata
di muka sidang Pengadilan Negeri karena dengan pembuktian, hakim mengetahui
kepastian telah terjadinya peristiwa yang disengketakan oleh pihak-pihak. Sebelum
mengkonstansi peristiwa konkrit atau menetapkan peristiwa konkrit yang telah
terjadi, peristiwa tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, sehingga peristiwa konkrit
tersebut dapat dinyatakan telah terbukti inilah yang akan dicarikan hukumnya atau
dicarikan kualifikasinya dalam hukum. Dengan ditemukannya kualifikasi hukum
terhadap peristiwa yang sudah dinyatakan benar-benar terjadi maka peristiwa konkrit
tersebut dapat dijadikan sebagai peristiwa hukum, dan terhadap peristiwa hukum
tersebut kemudian akan ditetapkan atau diberi hukumannya.
f. Penggugat harus membuktikan dalillnya dan semua dalil dalam gugatan perlu
dibuktikan dalam hal proses pembuktian perkara perdata di pengadilan yang
dilakukan oleh hakim dengan cara menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang
menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah
yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu
perkara. Apabila pengugat tidak berhasil untuk membuktikan dalildalilnya yang
menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila
berhasil, gugatannya akan dikabulkan. Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan
harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui
sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan. Dalam soal pembuktian tidak
selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang
memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa di antara pihak-pihak yang
berperkara akan diwajibkan untuk memberi bukti, apakah pihak pengggugat atau
sebaliknya pihak tergugat. Penggunaan alat-alat bukti pada perkara perdata di
pengadilan meliputi 5 macam alat-alat bukti yaitu; bukti surat, bukti saksi,
persangkaan, pengakuan dan sumpah dan dalam praktek masih terdapat satu macam
alat bukti lagi yang sering dipergunakan ialah pengetahuan hakim, yaitu hal atau
keadaan yang diketahui sendiri oleh hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat
sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang-barang
penggugat yang di rusak oleh tergugat dan sampai seberapa jauh kerusakannya.
g. Yang mengajukan pembuktian adalah orang yang tergugat dan yang menilai hasil
pembuktian adalah hakim. Untuk macam macam alat bukti serta dasar hukumnya
yaitu Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur
dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu : surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah,
persangkaan hakim. Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup
membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang
cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi
agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.
h. Tidak semua alat bukti yang diajukan para pihak berkeperkara secara otomatis
dianggap alat bukti yang sah, karena suatu alat bukti dianggap sah memiliki nilai
sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian, apabila telah
mencapai batas minimal pembuktian. Dalam hal ini terkait dengan alat bukti
permulaan yang merupakan alat bukti yang tidak memenuhi batas minimal alat bukti,
sehingga alat bukti tersebut tidak dapat diterima sebagai bukti untuk mendukung dalil
gugatan kecuali ditambah dengan paling sedikit satu alat bukti lagi. Hal-hal yang
tidak perlu dibuktikan dalam acara pembuktian di persidangan antara lain : segala
sesuatu yang dianggap telah diketahui oleh umum, hal-hal yang dilihat sendiri oleh
hakim di persidangan dalam proses persidangan, seperti pihak tergugat tidak hadir,
hal-hal yang diajukan oleh penggugat yang diakui oleh tergugat.
i. Majelis hakim dalam proses pembuktian harus mengkonstatir, mengkualifikasir
kemudian mengkonstituir yang menjadi pokok sengketa karena hakim harus menilai
apakah peristiwa atau fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-
benar terjadi. Hal ini hanya dpat dilakukan melalui pembuktian. Membuktikan artinya
mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat
bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian itu,
maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa
perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan.
j. Akibat hukumannya, apabila hakim dalam membebankan pembuktian tidak objektik,
tidak adil dan tidak seimbang akan mendapatkan Ancaman sanksi pidana bukan untuk
mempengaruhi independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, tetapi
demi profesionalisme. Karena dalam RUU MA ini adalah upaya untuk membuat para
hakim lebih profesional dalam memeriksa dan memutus perkara. Ia mengungkapkan
hakim yang salah dalam memutus perkara bisa dikenakan sanksi, baik administrasi
maupun pidana. Sanksi pidana adalah hukuman yang layak bila si hakim memang
sengaja menggunakan dasar hukum yang salah. Ia juga menegaskan ancaman sanksi
pidana bukan untuk mempengaruhi independensi hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
2. Kesimpulan :
 Kesimpulan adalah suatu pernyataan yang mengandung makna dari pembicaraan.
Kesimpulan diperoleh dari untaian fakta-fakta yang terjadi. Sehingga, kesimpulan
dapat berupa kalimat yang bersifat pendapat yang menggeneralkan fakta-fakta yang
ada.
 Hal-hal yang harus dijelaskan dalam kesimpulan adalah kasus posisi penggugat, kasus
posisi tergugat, pembuktian dalam persidangan, dan kesimpulan dengan berlandaskan
tinjauan yuridis.
 Kesimpulan wajib diajukan oleh pihak yang berperkara agar dapat membantu Hakim
dalam memutus perkara dengan putusan yang adil dan dapat dipertanggung jawabkan
bagi semua pihak menurut hukum yang berwawasan pada kebenaran dan keadilan.
3. Permusyawaratan hakim dan putusan pengadilan
a. Sidang permusyawaratan hakim wajib dilaksanakan terlebih dahulu dan bersifat
rahasia sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan karena musyawarah Majelis
Hakim, adalah acara terakhir sebelum, Majelis Hakim, mengambil suatu kesimpulan
atau sebelum majelis Hakim mengucapkan putusan. Musyawarah majelis dilakukan
dalam sidang yang tertutup, karena dalam musyawarah itu masing-masing Hakim
yang ikut memeriksa persidangan itu akan mengemukakan pendapat hukumnya
tentang perkara yang tersebut secara terrahasia dengan arti tidak diketahui oleh yang
bukan majelis hakim.
b. Putusan hakim/pengadilan merupakan suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar
pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga
pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh
Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan
sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim
c. Putusan pengadilan/hakim sangat dinanti-nantikan atau diinginkan oleh pihak-pihak
yang berperkara karena untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan
sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa
mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka
hadapi. Untuk menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim
sebagai aparatur negara yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengethui
duduk perkara yang sebenarnya, serta peraturan hukum yang mengaturnya yang akan
diterapkan, baik peraturan hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan
maupun hukum yang tidak tertulis.
d. Hal-hal yang harus dimuat dalam putusan pengadilan yaitu berisi susunan isi suatu
putusan hakim secara singkat dan menyeluruh, dapat dipahami memiliki beberapa
bagian sebagai berikut, yaitu: bagian kepala Putusan, Nama Pengadilan Agama yang
memutus dan jenis perkara, Identitas pihak-pihak, Duduk perkaranya (bagian posita),
Tentang pertimbangan hukum, Dasar hukum, Diktum atau amar putusan, Bagian kaki
putusan, dan Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya.
e. Majelis hakim pengadilan negeri yang memeriksa dan mengadili perkara perdata
tidak boleh mengambil putusan tanpa pembuktian karena pengambilan keputusan
sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yang diperiksa dan diadilinya. Hakim
harus dapat mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama proses
persidangan, baik dari bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan maupun sumpah
yang terungkap dalam persidangan (Pasal 164 HIR).  Sehingga keputusan yang akan
dijatuhkan dapat didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan,
profesionalisme dan bersifat obyektif. Berdasarkan Pasal 178 HIR/189 RBG, setelah
pemeriksaan selesai, maka hakim karena jabatannya harus melakukan musyawarah
untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan.  Pemeriksaan dianggap telah selesai
apabila telah melalui tahap jawaban dari tergugat, replik dari penggugat, duplik dari
tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan oleh para pihak.
Dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang
terungkap dipersidangan.  Untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.  Sumber hukum yang dapat diterapkan oleh hakim dapat berupa
peraturan perundang-undangan berikut peraturan pelaksanaannya, hukum tidak
tertulis (hukum adat), putusan desa, yurisprudensi, ilmu pengetahuan maupun
doktrin/ajaran para ahli
f. Majelis hakim pengadilan negeri yang memeriksa dan mengadili perkara perdata
dalam membuat pertimbangan dan amarnya saling berbeda satu sama lain diantara
mereka dikatakan boleh karena perkara tersebut berarti mengadili perkara-perkara
perdata dalam tingkat banding dengan susunan. Dan tugas pokok pengadilan itu
adalah Menerima, memeriksa dan menyelesaikan setiap perkara di tingkat banding
yang diajukan kepadanya serta tugas lain yang ditentukan oleh Undang-Undang.
g. Yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perkara ayang amar putusannya dan tidak dapat menerima gugatan atau
menolak gugatan yaitu untuk menjatuhkan putusannya, hakim membuat
pertimbangan-pertimbangan. Dalam menjatuhkan pidana bersyarat terhadap pelaku,
hakim cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat yudiris
yang memuat dakwaan penuntut umu, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang-
barang bukti, dan pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana dibandingkan yang
bersifat non-yudiris yang memuat latar belakang terdakwa, akibat perbuatan
terdakwa, kondisi diri terdakwa, dan agama terdakwa.
h. Putusan yang dapat dijatuhkan oleh majelis hakim dalam tingkat pertama yaitu
putusan akhir karena merupakan bagian terakhir dalam penyelesaian perkara pidana
pada peradilan tingkat pertama. Dan jenis Putusan Akhir :
Berdasarkan pengertian putusan pengadilan yang disebutkan dalam KUHAP, maka
dapat diuraikan bahwa putusan pengadilan tersebut dapat berupa :
a. Pemidanaan.
b. Putusan bebas (vrijspraak).
c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle recht vervolging)
i. Putusan pengadilan dalam tingakat pertama bersifat final dan tidak ada upaya hukum
lainnya. Sifat ini berbeda dengan putusan lembaga peradilan di lingkungan
Mahkamah Agung (MA) yang menyediakan mekanisme upaya hukum lain, termasuk
melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) dan/atau melalui Grasi.
j. Akibat hukumannya, apabila putusan pengadilan tidak memuat kepala putusan/irah-
irah yang berbunyi: demi keadlian berdasrkan ketuhanan yang maha esa akibatnya
putusan batal demi hukum. Itu kata Pasal 197 ayat (2) KUHAP.
Rumusan irah-irah adalah suatu rumusan sumpah. Keputusan tersebut sangat
berkaitan erat dan berlandaskan pada asa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang menyatakan bahwa peradilan dilakukan untuk keadilan yang di dasarkan pada
Tuhan Yang Maha Esa, dan hal ini berkaitan pula dengan salah satu upaya
penjaminan negara kepada setiap negara dan kepada setiap warga negara dalam
kemerdekaan dan kebebasan memilih agamanya dan beribadah menurut agam dan
kepercayaannya sesuai dengan keyakinan tanpa ada paksaan adari orang lain.
k. Akibat hukumannya, apabila suatu putusan pengadilan kurang cukup memberikan
pertimbangan maka putusan tidak lengkap dan saksama mendeskripsikan dan
mempertimbangkan alat bukti dan nilai kekuatan pembuktian, mengakibatkan
putusan dianggap tidak cukup pertimbangan hukumnya atau onvoldoende
gemotiveerd, dan putusan tersebut bertentangan dengan Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal
189 RBG dan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Jadi jika tahap yang harus dilalui seorang Hakim untuk
membuat putusan (konstatir, kualifisir dan konstituir) dijadikan alat ukur untuk
menilai pertimbangan hukum suatu  putusan, maka dapat disimpulkan apabila  Hakim
tidak melakukan salah satu proses dari tahapan tersebut atau gagal melakukan,
misalnya Hakim tidak berhasil melakukan tahap konstatir,  karena tidak menetapkan
beban pembuktian dan tidak menilai alat bukti, atau tidak berhasil melakukan tahap
kualifisir, karena tidak menyimpulkan mana fakta hukum yang terbukti dan apa saja
dasar hukum yang berkaitan dengan pokok perkara. Ketidakberhasilan pada dua tahap
sebelumnya di atas, sangat berpotensi mengakibatkan ketidak berhasilan dalam dalam
menjatuhkan amar putusan yang merupakan tahap konstituir ini.
l. Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum karena
dengan maksud agar proses pemeriksaan terhadap saksi-saksi, ahli, barang bukti, dan
terdakwa bisa dilihat oleh siapapun. Artinya, tidak ada yang ditutup-
tutupi. Proses tersebut menjadi prinsip dasar atau asas utama pada seluruh
persidangan pengadilan di Indonesia
m. Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut karena
dalam rangka menerapkan prinsip kebebasan hakim dalam mengadili dan memutus
gugatan yang disertai petitum subsider, pertama, hakim perlu memperhatikan
ketentuan di dalam Pasal 178 (2) HIR dan Pasal 67c UU No. 14 Tahun 1985, yang
menentukan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan. Hakim dilarang
mengesampingkan tuntutan, sehingga apabila melanggar ketentuan tersebut akan
dapat dibatalkan dalam pemeriksaan banding, kasasi atau peninjauan kembali, yang
dinilai onvoldoende gemotiveerd. Kedua, hakim juga perlu memperhatikan
pengaturan Pasal 178 ayat (3) HIR, yang pada dasarnya untuk membatasi kebebasan
hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.
n. Pendapat saya agar putusan dpengadilan dapat memenuhi rasa keadilan, kepastian
hukum dan pemanfaatan yaitu bahwa menegakkan hukum tidak sama dengan
menegakkan keadilan. Putusan berkualitas tidak cukup mengandalkan kemahiran
Hakim dalam menafsirkan dan menerapkan Undang-Undang, karena dalam realita
kehidupan yang nyata sehari-hari, hukum tidak selalu identik dengan keadilan.
Sementara itu sebagaimana telah diuraikan diatas, bagi para pencari keadilan putusan
Hakim yang berkualitas sarna maknanya dengan putusan yang mencerminkan
keadilan.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman berada di tangan Hakim. Sebagai penyelenggara
negara di bidang yudikatif, Hakim adalah Penerap, Penegak, dan Penemu hukum.
Pada waktu memutus perkara, selaku Penegak hukum Hakim dalam proses peradilan
menerapkan hukum demi ketertiban masyarakat dan kepastian hukum. Jika hukum
dalam undang-undang yang akan diterapkan (ditegakkan) tidak ditemui, Hakim
mencari (menemukan) atau menciptakan hukum, dan memberikan solusi hukum
dalam sengketa atau perkara yang ditanganinya.

Anda mungkin juga menyukai