Anda di halaman 1dari 31

TEORI PEMBUKTIAN & ALAT-ALAT BUKTI

DALAM HUKUM PERDATA, PIDANA, & PTUN

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti


Dalam Hukum Acara Perdata

A.    Teori Pembuktian


Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli
hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum
acara perdata.
Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada
Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat
diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya
di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk
hukum materil.
Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam
hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk
dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam
kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh
pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal
pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di
Pengadilan Negeri.
Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di
RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku
IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.

B.     Pengertian Pembuktian/Membuktikan
Membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM
mengandung beberapa pengertian:
1.   Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan.
2.   Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai
tingkatan-tingkatan:
   kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
   kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
3.   Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang
berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti
yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari
mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran
mutlak.

Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu
atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba
menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang
ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa
peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak
boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang
sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata
untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim.
Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti
tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
C.     Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah
suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.
Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan
kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya
yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil,
maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk
dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu
dibuktikan lagi. Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
1.   hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
2.   hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
3.   hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir).
Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.
Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan
bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan
dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak
yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau
sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan
pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban
pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua
peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa: "Barang siapa mengajukan
peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-
pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak
orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"

D.    Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian


Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun
pembuktian itu masih harus dinilai.
Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim
tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya
(ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang
merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870
BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah
hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam
sidang, yaitu :
1.   Teori Pembuktian Bebas.
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim,
sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki
jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam
mencari kebenaran.
2.   Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan
kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim
disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
3.   Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim.
Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).

E.     Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian


Seperti telah diuraikan sekilas di atas, maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan
oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat
buktinya.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi
pedoman bagi hakim, antara lain:
1.   Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan
yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
2.   Teori hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum
subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau
mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
3.   Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta
kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa
yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa
yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
4.   Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan
kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk
mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk
membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5.   Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada
para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.

Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak,
sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.

F.      Alat-Alat Bukti


Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan
bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu
dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu
penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat
membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka
kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di
Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.
Sebelum kami membahas sesuai dengan tema sub-bab kali ini, kami ingin memaparkan
terlebih dahulu perbedaan alat bukti dalam perkara pidana dan perdata. Tidak sama jenis ataupun
bentuk alat bukti yang diakui dalam perkara pidana dan perdata. Mengenai alat bukti yang diakui
dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164
HIR sedangkan dalam acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih jelasnya agar
dapat membandingkan antar alat bukti perdata dan pidana sebagai berikut:

Alat Bukti Hukum Acara Perdata Alat Bukti Hukum Acara Pidana
(Pasal 164 HIR, 1866 BW) Pasal 184 KUHAP

1.   Tulisan/Surat 1.   Ket. Saksi


2.   Saksi-saksi 2.   Ket. Ahli
3.   Persangkaan 3.   Surat
4.   Pengakuan 4.   Petunjuk
5.   Sumpah 5.   Ket. Terdakwa

Untuk itu, disini kami akan menjelaskan satu persatu alat bukti Hukum Acara Perdata
yang tercantum dalam Pasal 1866 B.W, sebagai berikut : 
a)   Alat Bukti Tertulis (Surat).
Orang yang melakukan hubungan hukum perdata, tentulah dengan sengaja ataupun tidak
membuat alat bukti berbentuk tulisan dengan maksud agar kelak dapat digunakan atau dijadikan
bukti kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Sebagai contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan
menggunakan akta, jual beli menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya. Sebelum kami
membahas secara mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat atau alat bukti tertulis
dibawah ini:
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan ataupun oleh pegawai
umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri, yang dibuat sejak pemula dengan sengaja
untuk pembuktian. Unsur paling penting terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barang
siapa yang telah menandatangani suatu surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung
jawab. Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874 B.W..
Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh
atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.  Apabila yang membuatnya
pejabat yang tidak cakap – tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869
KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik;
namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.
Sedangkan akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang
berkepentingan.
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut
pasal diatas, akta dibawah tangan ialah :
1)   Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan.
2)   Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua
pihak.

Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan
yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat. Oleh karena
bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada
ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :
a.    Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
b.   Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya, ditulis
tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya  ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun
membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan,
alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti
pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.

b)   Kesaksian
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang
peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang
yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan. Jadi keterangan
yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan
pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang
berbunyi”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak
dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang
dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat
dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan
kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang berkepentingan
tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala daya,
sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat
menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan
merupakan tindakan unproffesional conduct.
Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak
datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya meskipun secara
paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR). Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:
1)   Orang yang Cakap
Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal 145 HIR,
Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama keluarga sedarah dan semenda
dari salah satu pihak menurut garis lurus, kedua suami atau istri dari salah satu pihak meskipun
sudah bercerai (Vide Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara
tertentu dapat menjadi saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan
Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15 (lima belas)
tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH Perdata), keempat orang gila meskipun
terkadang terang ingatannya (Vide Pasal 1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama proses
perkara sidang berlangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912
KUH Perdata).
2)   Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
Alat bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut
ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti adalah keterangan yang disampaikan di
depan persidangan.
3)   Diperiksa Satu Persatu
Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut
ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan saksi yang
diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan saksi
dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2)
HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.
4)   Mengucapkan Sumpah
Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan
persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang sebenarnya atau voir
dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi dalam persidangan, diatur dalam Pasal
147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH Perdata, yang merupakan kewajiban saksi untuk
bersumpah/berjanji menurut agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan
sebelum memberikan keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.
5)   Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi saja tidak
dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi atau
ditambah alat bukti lain.
6)   Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171 ayat (1)
HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini keterangan yang diberikan
saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar
dan mengalami sendiri.
7)   Saling Persesuaian
Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Dalam
ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti, hanya terbatas
pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual confirmity antara yang satu dengan yang
lain. Artinya antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi
dengan alat bukti yang lain, terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk
suatu kesimpulan yang utuh tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.

c)   Persangkaan
Menurut Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari
suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Hal ini sejalan dengan pengertian yang termaktub
dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau
oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak
diketahui umum”. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut:
1)   Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden).
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan
terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti
pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah
dibayar.
2)   Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)
Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya
perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini
dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan
saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan
hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa
telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun
hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.

d)  Pengakuan
Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau
keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan,
yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan tersebut berisi
keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal
1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala
hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua
dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala
hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan
yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.
Lalu yang berwenang memberi pengakuan  menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang
berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:
1)   dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);
2)   kuasa hukum penggugat atau tergugat.
Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal
1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan lisan di depan persidangan
dengan cara tegas(expressis verbis), diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan atau
sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.

e)   Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas
nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka
Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka
hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat
bukti lain.
Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu
pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau
keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa
yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”.
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan”
(decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed)
adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan
dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan
mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan
pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak
pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah,
mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya
sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya
dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa
sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan
berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah
dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan
dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan
apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah
yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan
perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam
perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri
oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak
itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang
disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri,
sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara.
Suatu “sumpah tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu
pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah
terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena
dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat
itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan
apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Untuk lebih jelasnya kami membuatkan table tentang perbedaan antar kedua macam
sumpah ini;
Sumpah
Decissoir Suppletoir
1.   Diminta oleh hakim (atas perintah hakim
1.   Diminta oleh salah satu pihak kepada pihak kepada salah satu pihak);
lawan 2.   Merupakan alat bukti tambahan;
2.   Alat bukti kuat yang menentukan keputusan;3.   Tidak dapat dikembalikan;
3.   Dapat dikembalikan; 4.   Hanya dilakukan apabila telah ada bukti
4.   Dilakukan dalam tiap keadaan. permulaan bukti.
Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir (penaksiran) yang
diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah dalam rangka
menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga barang tertentu yang
disengketakan.

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Acara


Pidana
A.    Pengertian Pembuktian
KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya
memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi
banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian.
Subekti (2001:1) menerangkan bahwa “Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa”.
Martiman Prodjohamidjojo (1984: 11) mengemukakan membuktikan mengandung
maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima
akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
Yang dimaksud dengan pembuktian, adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa
pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya (Darwan Prinst, 1998: 133).
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M.
Yahya Harahap, 2003: 273).
Pengertian Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana
yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam
pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim
untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:
10).
Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah
diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan:
1.   Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya
upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.
2.   Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan
melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang
dibenarkan undang-undang.
3.   Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan
kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan (M. Yahya Harahap,
2003: 274).

B.     Prinsip-Prinsip Pembuktian


Prinsip-prinsip pembuktian antara lain:
1.   Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang
secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten.
Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a)   Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang
sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas
lebih mahal dari perak.  Dan yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus
diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
b)   Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau
selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang
dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk (Hari Sasangka dan Lily Rosita,
2003: 20).

2.   Menjadi saksi adalah kewajiban


Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP
yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan
untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana
berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula dengan ahli.”

3.   Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)


Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan
seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya”. 
Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan
cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam
acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.
Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau
keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana
terdakwa dalam perkara cepat (M. Yahya Harahap, 2003: 267).

4.   Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan
terdakwa.
Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak
dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.

5.   Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri


Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”.
Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima
dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri (Adnan
Paslyadja, 1997: 8-15).
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang
berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya
sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing
keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri.
Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya (M.
Yahya Harahap, 2003: 321).

C.     Ruang Lingkup Pembuktian


1.   Sistem pembuktian
2.   Jenis alat bukti
3.   Cara menggunakan dan nilai
4.   Kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti

D.    Sistem Pembuktian


1.   Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka atau ”conviction intime”
2.   Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif atau ”wettelijk stesel”
3.   Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis atau ”laconvictioan
raisonel”
4.   Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif atau ”negatif wettelijk stesel”

E.     Teori/Sistem Pembuktian


1.   Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction intime) : Terbukti tidaknya
kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan atas penilaian keyakinan atau perasaan hakim. Dasar
hakim membentuk keyakinannya tidak perlu didasarkan pada alat bukti yang ada.
2.   Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positif wettelijk bewijs theori) :
Apabila suatu perbuatan terdakwa telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti sah menurut
undang-undang, maka hakim harus menyatakan terdakwa terbukti bersalah tanpa
mempertimbangkan keyakinannya sendiri.
3.   Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis(conviction rasionnee).
Putusan hakim didasarkan atas keyakinannya tetapi harus disertai pertimbangan dan alasan yang
jelas dan logis. Di sini pertimbangan hakim dibatasi oleh reasoning yang harus reasonable.
4.   Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijs theorie) :
Sistem pembuktian ini berada diantara sistem positif wettelijk dansistem conviction resionnee.
Salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
Jadi sistem pembuktian yang dianut peradilan pidana Indonesia adalah sistem
pembuktian ”negatief wettelijk stelsel” atau sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif yang harus:
   Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya ”dua alat bukti yang sah”.
   Dengan alat bukti minimum yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi
tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.

F.      Sistem Pembuktian Yang Dianut Indonesia


Pasal 183 KUHAP ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

G.    Prinsip Minimum Pembuktian


Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi
untuk membutikan kesalahan terdakwa yaitu :
   Dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah (dengan hanya satu alat bukti belum cukup).
   Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan ”cepat”, dengan satu alat bukti sah
saja sudah cupuk mendukung keyakinan hakim.

H.    Prinsip Pembuktian


1.      Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (notoire feiten).
2.      Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis).
3.      Pengakuan (keterangan) terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah.

I.       Bukti, Barang Bukti dan Alat Bukti


1)   Bukti
KUHAP tidak menjelaskan apa itu bukti. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
bukti ialah suatu hal atau peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau
peristiwa. Tindakan penyidik membuat BAP Saksi, BAP Tersangka, BAP Ahli atau memperoleh
Laporan Ahli, menyita surat dan barang bukti adalah dalam rangka mengumpulkan bukti.
Dengan perkataan lain bahwa :
a.    Berita Acara Pemeriksaan Saksi;
b.   Berita Acara Pemeriksaan Tersangka;
c.    Berita Acara Pemeriksaan Ahli/Laporan Ahli;
d.   Surat dan Barang bukti yang disita, kesemuanya mempunyai nilai sebagai bukti.

2)   Barang Bukti


Barang bukti ialah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud
maupun yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang terjadi.
Agar dapat dijadikan sebagai bukti maka benda-benda ini harus dikenakan penyitaan terlebih
dahulu oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya
benda yang dikenakan penyitaan berada. Kecuali penyitaan yang dilakukan oleh penyidik pada
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak perlu ada izin ketua pengadilan negeri setempat.
Adapun benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a.    benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari
tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b.   benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya.
c.    benda yang dipergunakan menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
d.   benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
e.    benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

3)   Alat Bukti


KUHAP juga tidak memberikan pengertian mengenai apa itu alat bukti. Akan tetapi
pada Pasal 183 KUHAP disebutkan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
      Rumusan pasal ini memberikan kita garis hukum, bahwa :
a)   alat bukti diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan.
b)   hakim mengambil putusan berdasarkan keyakinannya.
c)   keyakinan hakim diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah.
      Adapun alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 KUHAP ialah :
a.    keterangan saksi
b.   keterangan ahli
c.    surat
d.   petunjuk
e.    keterangan terdakwa.

4)   Keterangan Saksi


Keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat
sendiri, alami sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu.
      Syarat Sah Keterangan Saksi
1.   Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan).
2.   Keterangan saksi harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri dengan sendiri dan
yang dialami sendiri, dengan menyebutkan  alasan pengetahuannya (testimonium de auditu =
terangan yang diperoleh dari orang lain tidak mempunyai nilai pembuktian).
3.   Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang ditentukan pada pasal 162
KUHAP).
4.   Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus
testis).
5.   Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan undang-undang

      Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi


Yang memenuhi syarat sah keterangan saksi (5 syarat) :
a.    Diterima sebagai alat bukti sah
b.   Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan tidak mengikat)
c.    Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung jawab menilai kekuatan
pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki).
d.   Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan
keterangan saksi a de charge atau alat bukti lain.

5)   Keterangan Ahli


Keterangan yang diberikan oleh orang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan
membuat terang suatu perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan. 
      Syarat Sah Keterangan Ahli
a.    Keterangan diberikan oleh seorang ahli
b.   Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu
c.    Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya
d.   Diberikan dibawah sumpah/ janji:
  Baik karena permintaan penyidik dalam bentuk laporan
  Atau permintaan hakim, dalam bentuk keterangan di sidang pengadilan

      Jenis Keterangan Ahli


1.   Keterangan ahli dalam bentuk pendapat/ laporan atas permintaan penyidik)
2.   Keterangan ahli yang diberikan secara lisan di sidang pengadilan (atas permintaan hakim)
3.   Keterangan ahli dalam bentuk laporan atas permintaan penyidik/ penuntut hukum

      Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli


a.    Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
b.   Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan
c.    Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim

6)   Surat
a)   Surat Keterangan dari seorang ahli
 Memuat pendapat berdasarkan keahliannya.
 Mengenai suatu hal atau suatu keadaan
 Yang diminta secara resmi dari padanya
 Dibuat atas sumpah jabatan, atau dikuatkan dengan sumpah
Contoh : Visum et Repertum
Ada 2 bentuk surat :
1.   Surat Authentik/ Surat Resmi
-  Dibuat oleh pejabat yang berwenang, atau oleh seorang ahli atau dibuat menurut ketentuan
perundang-undangan
-  Dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
2.   Surat Biasa/Surat Di Bawah Tangan
-  Hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Contoh : Izin Bangunan, Akte Kelahiran, Paspor, Kartu Tanda Penduduk, Ijazah, Surat Izin
Mengemudi, dll.

Nilai Kekuatan Pembuktian Surat:


      Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
      Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan (lain halnya
dalam acara perdata)
      Penilaian sepenuhnya terserah keyakinan hakim :
Dalam Acara Perdata, akta otentik menjadi bukti dari kebenaran seluruh isinya, sampai
dibuktikan kepalsuannya. Hakim harus mengakui kekuatan akta otentik sebagai bukti diantara
para pihak, sekalipun ia sendiri tidak yakin akan kebenaran hasilnya.

b)   Sifat Dualisme Laporan Ahli, 


Keterangan ahli dalam bentuk pendapat/ laporan :
1.   Sebagai alat bukti keterangan ahli :
Penjelasan Pasal 186:
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyelidik atau
penuntu umum yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan dibuat dengan mengingat
sumpah pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan.
2.   Sebagai alat bukti surat
Pasal 187 c:
Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
suatu hal atau suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
7)   Keterangan Terdakwa
a.    Keterangan terdakwa sendiri :
-  Pengakuan bukan pendapat
-  Penyangkalan
b.   Tentang perbuatan yang ia sendiri
-  Lakukan, atau
-  Ketahui atau
-  Alami
c.    Dinyatakan di sidang :
-  Keterangan yang terdakwa berikan di luar sidang pengadilan dapat digunakan membantu
menemukan bukti di sidang.

      Keterangan Terdakwa Diluar Sidang


Dapat digunakan membantu menemukan bukti disidang asalkan:
-  Didukung oleh suatu alat bukti yang sah.
-  Mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Contoh : Berita Acara Tersangka oleh penyidik.

      Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa


1.   Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas hakim tidak terikat dengan keterangan yang
bersifat pengakuan utuh/ murni sekalipun pengakuan harus memenuhi batas minimum
pembuktian.
2.   Harus memenuhi asas keyakinan hakim.
3.   Dalam Acara Perdata suatu pengakuan yang bulat dan murni melekat penilaian kekuatan
pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan.

8)   Petunjuk
a.    Perbuatan, atau kejadian atau keadaan.
b.   Karena persesuainnya satu dengan yang lain.
c.    Persesuainnya dengan tidak pidana itu sendiri.
d.   Menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana, dan,
e.    Siapa pelakunya.

      Sumber Perolehan Petunjuk


Petunjuk hanya diperoleh dari :
- Keterangan saksi
- Surat
- Keterangan terdakwa
- Keterangan ahli
- Petunjuk bukan alat bukti yang berdiri sendiri.

      Bukti Petunjuk Sebagai Upaya Terakhir


Petunjuk sebagai alat bukti yang sah, pada urutan keempat dari lima jenis alat bukti :
- Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa (yang diperiksa terakhir)
- Jadi petunjuk sebagai alat bukti terakhir
- Petunjuk baru digunakan kalau batas minimum pembuktian belum terpenuhi
- Untuk menggunakan alat bukti petunjuk, hakim harus dengan arif dan bijaksana
mempertimbangkannya.
- Petunjuk diperoleh melalui pemeriksaan yang : Cermat, Seksama, Berdasarkan hati nurani hakim.

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Pengadilan Tata


Usaha Negara
A.    Pembuktian dalam Pengadilan Tata Usaha Negara
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak
berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil
tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian
untuk dijadikan dasar putusannya.
Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat kemasyarakatan, selalu
mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak. Jadi pembuktian
yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-
penggantinya, dan memungkinkan pula terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di
antara sesama Hakim.
      Tujuan pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang
menjadi pokok sengketa, kepada Hakim.
      Guna pembuktian adalah sebagai dasar keputusan Hakim.
      Yang dibuktikan ialah fakta hukum yang menjadi pokok sengketa.
Ketentuan mengenai pembuktian dalam hukum acara PTUN diatur dalam pasal 100
sampai dengan pasal 107 UU PTUN.

B.     Teori Pembuktian


Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan
dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak
yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau
sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan
pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban
pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua
peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya. Sebagai
pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865BW, bahwa:  ”Barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa
itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain,
diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu”
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun
pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubungan dengan menilai pembuktian, hakim dapat
bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti
hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-
undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam
penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif
dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu:
1.   Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga
penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki
jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam
mencari kebenaran.
Teori ini menghendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati keadilan,
sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak yang berperkara.
Misalnya hakim tidak terikat dengan keterangan saksi, walaupun di persidangan diajukan 100
saksi, dapat saja hakim menilai masih belum terbukti.
Dalam hal ini tidak mustahil adanya perbedaan penilaian hasil pembuktian antara sesama
hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin adanya kepastian
hukum dalam hal penilaian terhadap hasil pembuktian.
2.   Teori Pembuktian Terikat
Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi
harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan.
Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian
hukum, misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus), artinya
apabila pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila ia menolak
sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula alat bukti surat otentik hanya bisa digugurkan karena
terdapat kepalsuan. Juga dalam menilai keterangan seorang saksi saja sebagai “Unus Testis
Nullus Testis”.
Kelemahan teori ini adalah tidak menjamin adanya keadilan. Teori ini dibagi menjadi 2
macam:
a.    Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan
kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim
disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW).
b.   Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini
hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
c.    Teori Pembuktian Gabungan
Artinya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas
menilai suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah tambahan. Bila
sumpah tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah
tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.

C.     Alat Bukti dalam Pengadilan Tata Usaha Negara


Dalam proses pembuktian, maka yang mendapat kesempatan membuktikan  alat-
alat bukti  yang  dimiliki  adalah   pihak penggugat terlebih dulu, dan giliran selanjutnya
adalah  pihak Tergugat.
Dalam  sistem PTUN masalah  pembuktian, alat bukti yang dapat digunakan ditentukan
jenis-jenisnya yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal  100  UU PTUN sebagai berikut:
1.   Surat atau tulisan.
2.   Keterangan ahli
3.   Keterangan saksi
4.   Pengakuan para pihak
5.   Pengetahuan Hakim.

1.   Surat atau Tulisan


a.    Pengertian
Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa alat bukti surat atau tulisan
adalah : “segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian”.
b.   Macam-macam alat bukti surat
      Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Akta, adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi
dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian
- Bukan akta
      Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :
- Akta otentik
- Akta dibawah tangan
      Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga
jenis, yaitu :
a)   Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut
peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya
b)   Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
c)   Surat-surat lain yang bukan akta.
Akta otentik ada dua macam, yaitu :
a.    Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)
b.   Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)
Perbedaan antara Ambtelijk Akten dan Partij Akten.

No. Aspek / Ambtelijk Akten Partij Akten


unsur
1 Inisiatif dari Pejabat yang Para pihak karena
bersang-kutan karena kepentingannya
jabatannya
2 Isi akta Ditentukan oleh Ditentukan oleh
pejabat yang para pihak
bersangkutan ber-
dasarkan UU
3 Ditanda Pejabat itu sendiri Para pihak dan
tangani oleh tanpa pihak lain pejabat yang
bersangkutan serta
saksi-saksi
4 Kekuatan Tidak dapat digugat Dapat digugat
bukti kecuali dinyatakan dengan pembuktian
palsu sebaliknya

Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti surat yang
diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap bantahan itu dan
kemudian mempertimbangkan dalam putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila
dalam pemeriksaan persidangan ternyata ada alat bukti tertulis tersebut ada pada badan atau
pejabat TUN, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN tersebut untuk segera
menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing alat bukti yang berupa surat atau tulisan itu
mempunyai bobot kekuatan pembuktian sendiri-sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot
atau nilai pembuktian tersebut.
Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya.
Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila
tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat
memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan,
tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan salinan
akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.

2.   Keterangan Ahli


Di dalam UU No.5/1986 pasal 102, dijelaskan bahwa : keterangan ahli adalah pendapat
orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut
pengalaman dan pengetahuannya.
Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau
salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau
beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang
dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan
pengalamannya (pasal 103 UPTUN). Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan
hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh
ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang
komputer, ahl balistik dan lain-lain. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan
sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi (pasal 88
UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.

3.   Keterangan Saksi


Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami
sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.[9]
Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh
pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau
tidak diperbolehkan di dengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88
UPTUN sebagai berikut :
a.    Keluarga sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa
b.   Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai
c.    Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
d.   Orang sakit ingatan.

Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula
mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 89 UPTUN), yaitu :
a)   Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak.
b)   Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.

Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim dapat
menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakan
tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu. Dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli
dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang
sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa. Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepecayaannya. Sedangkan apabila yang di
panggil sebagai saksi adalah pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada
orang lain, ia wajib datang sendiri di persidangan.
Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan
keterangan ahli.
Perbedaan itu diantaranya, adalah :
Keterangan saksi :
1.   Seorang (beberapa) saksi di panggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan
tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau dialami sendiri.
2.   Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis.
3.   Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama melihat, mendengar
dan menyaksikan peritiwa itu.

Keterangan ahli :
1.   Seorang (beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan
berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa.
2.   Keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis
3.   Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai dengan keahliannya.

4.   Pengakuan Para Pihak


“Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana
ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan
oleh pihak lawan”.
Menurut pasal 105 UU No.5/1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali,
kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang diberikan
di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa
secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang
memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah
diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar persidangan,
nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang
diberikan diluar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa
untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat
bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya.

5.   Pengetahuan Hakim


Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya. Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai
apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya : sikap,
perilaku, emosional dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim
mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam
memutus perkara.

D.    Sistem Hukum Pembuktian Hukum Tata Usaha Negara


Ada perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam hukum acara TUN dengan
acara perdata. Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi
dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim
TUN bebas untuk menentukan :

1.   Apa yang harus dibuktikan


2.   Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak yang
berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri
3.   Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
4.   Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan

Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem “Vrij
bewijsleer”, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil.
Apabila kita baca pasal 100 UU No.5/1986, maka dapatlah disimpulkan bahwa hukum acara
TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Karena alat-alat bukti yang
digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga
dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit 2 alat bukti
berdasarkan keyakinan hakim. Sedangkan pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan
dalam rangka memperoleh kebenaran formil.

Anda mungkin juga menyukai