Anda di halaman 1dari 17

PEMBUKTIAN DI MUKA SIDANG PENGADILAN

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Hukum Acara Perdata”

Disusun oleh :

Moh. Luffil Hadi (102180087)

Rakhma Ikafitria Dewi (102180070)

Eko Tri Cahyono (102180086)

Dosen Pengampu :

Fahril Umaroh, S.H., M.H.

Kelompok/Kelas: 7 / HES C

Semester: 4

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO


2020

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahan kajian Pembuktian dan Putusan memuat apa yang dilakukan
penggugat dalam gugatannya dalam persidangan haruslah dibuktikan
kebenarannya dalam persidangan. Pembuktian kebenaran dalil gugatan
tersebut dapat dilakukan dengan bukti surat, saksi-saksi, persangkaan,
mungkin pengakuan dari pihak lawan, atupun sumpah baik sumpah
tambahan maupun sumpah pemutus. Masalah pembuktian sangat
menentukan apakah gugatan dpat dikabulkan atau tidak nantinya.
Sehingga masalah pembuktian mempunyai kaitan dengan gugatan,
maupun putusan hakim nantinya.
Setelah hakim memeriksa perkara dengan seksama dlam proses
jawab menjawab, maka giliran hakim untuk menjatuhkan putusan.
Penjatuhan putusan adalah sangat tergantung dari persidangan sebelumnya
yaitu proses jawabmenjawab maupun dalam proses pembuktian.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pembuktian?
2. Apa hukum dasar pembuktian?
3. Apa saja teori-teori pembuktian?
4. Bagaimanakah sistem pembuktian?
5. Apa saja alat-alat bukti itu?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuktian
Membuktikan mengandung beberapa arti:
a. Pembuktian dalam arti logis
membuktikan berarti memberikan kepastian yang mutlak karena
berlaku untuk setiap orang dan tidak dimungkinkan adanya bukti lawan.
b. Pembuktian dalam arti konvensional
Disini juga membuktikan juga berarti memberikan kepastian,
hanya saja bukan kepastian yang mutlak, melainkan kepastian yang nisbi
atau relative yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu
kepastian yang hanya didasarkan atas perasaan belaka dan kepastian yang
didasarkan atas pertimbangan akal.
c. Pembuktian dalam arti yuridis
Dalam pengertian yuridis bukan merupakan pembuktian yang
mengandung kebenaran mutlak, karena masih dimungkinkan adanya
pembuktian lawan. Pembuktian dalam arti yuridis hanyalah untuk
kepentingan pihak-pihak yang bersengketa atau siapa yang diberikan hak
kepadanya.
Nur Rasaid mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang
dimaksudkan dalam persengketaan. Dalam praktek perkara perdata tidak
semua hal yang diperkarakan harus dibktikan kebenarannya. Hal-hal yang
tidak perlu dibuktikan seperti dalil-dalil yang tidak disangkal, atau diakui
kebenarannya tidaklah perlu dibuktikan. Disamping itu hal-hal yang telah
diketahui umum yang disebut notoir, tidaklah perlu dibuktikan.1
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian pembuktian adalah
penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang
memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran.
Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa
di muka pengadilan (juridicto voluntair) maupun dalam perkara-perkara
permohonan yang menghasilkan suatu penetapan (juridicto voluntair).2

B. Dasar Hukum Pembuktian


Asas hukum pembuktian diatur dalam Pasal 163 HIR atau Pasal
283 RBg yang berbunyi: “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak,
atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau
untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya
hak itu atau adanya kejadian itu.” Inti pokok dari pernyataan di atas dapat
dirinci sebagai berikut:
1. Pihak yang mengatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya
tersebut.
2. Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya harus
membuktikan adanya peristiwa tersebut.
3. Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah hak orang lain
harus membuktikan adanya peristiwa tersebut.8 Praktik substansi asas
pembuktian ini diterapkan secara selektif dalam proses peradilan. Dalam
artian, tidak semua fakta-fakta hukum harus dibuktikan di persidangan.
Adapun fakta-fakta hukum yang tidak harus dibuktikan di
persidangan mencakup mengenai hal-hal:

1
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/a572700edda6a966ed31bf685f05a041.p
df

2
Irene Svinarky, BAGIAN PENTING YANG HARUS DIKETAHUI DALAM HUKUM ACARA
PERDATA DI INDONESIA, Cet. 1, (Batam, CV. Batam Publisher, 2019), 48
1. Apabila pihak tergugat/para tergugat mengakui kebenaran surat
gugatan penggugat atau para penggugat.
2. Apabila pihak tergugat/para tergugat tidak menyangkal surat gugatan
penggugat atau para penggugat karena dianggap mengakui kebenaran
surat tersebut.
3. Apabila salah satu pihak melakukan sumpah pemutus.
4. Apabila majelis hakim/hakim karena jabatannya dianggap telah
mengetahui fakta-faktanya. Maksudnya, Majelis Hakim/Hakim karena
jabatannya dianggap telah mnegetahui fakta-fakta tertentu dan
kebenaran fakta-fakta ini dianggap telah diketahui oleh Majelis Hakim
sehingga pembuktian tidak diperlukan lagi. Hal ini dapat dilihat dari
fakta-fakta prosesuil, yaitu fakta-fakta yang terjadi selama poses
persidangan berjalan dan dilihat sendiri oleh hakim, seperti dalam
persidangan para pihak tidak hadir, pengakuan salah satu pihak di
persidangan dan lain sebagainya.

C. Teori-Teori Pembuktian
Terdapat dua aliran mengenai kekuatan alat bukti:
1. Teori vrijbewijs. Teori ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk
menilai alat bukti.
2. Teori verplichtbewijs. Teori ini menyatakan bahwa hakim terikat oleh alat-
alat bukti.
Adapun ketentuan yang terdapat HIR (Herzien Inlandsch
Reglement) menganut gabungan dari teori-teori tersebut, artinya ada
ketentuan bahwa hakim terikat dan ada pula yang mengatakan bahwa
hakim bebas menilai alat-alat bukti tersebut. Misalnya dalam hal sumpah
decisioir hakim terikat oleh sumpah tersebut dan harus dianggap benar oleh
hakim. Sedangkan contoh hakim bebas menilai alat bukti yaitu dalam
menilai alat bukti saksi.
Sudikno Mertokusumo dalam Rasyid, tentang soal penilaian
pembuktian mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “pada umumnya,
sepanjang UU tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai
pembuktian”. Berhubung hakim dalam menilai pembuktian dapat bertindak
bebas atau diikat oleh UU maka tentang hal tersebut timbul tiga teori,
yakni:
1. Teori pembuktian bebas. Teori ini menghendaki seorang hakim bebas
dalam menilai alat bukti yang diajukan. Misalnya untuk menilai
keterangan saksi, hakim bebas untuk menilainya sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 172 HIR atau Pasal 308 RBg dan 1908 KUH
Perdata.
2. Teori pembuktian negatif, dalam menilai pembuktian harus ada
ketentuanketentuan bersifat negatif yang mengikat dan membatasi
hakim dan melarang hakim untuk melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan pembuktian. Misalnya ketentuan Pasal 169 HIR
atau Pasal 306 RBg dan 1906 KUH Perdata bahwa keterangan seorang
saksi saja tidak boleh dipercaya oleh hakim (unus testis nullus testis).
3. Teori pembuktian positif, disamping adanya larangan bagi hakim, juga
mengharuskan adanya perintah kepada seorang hakim untuk tidak
menilailain selain apa yang dikemukakan pihak. Misalnya ketentuan
Pasal 165 HIR atau Pasal 285 RBg dan Pasal 1870 KUH Perdata,
bahwa pembuktian dengan surat akta otentik dianggap bukti yang
sempurna yang harus diterima.3

D. Sistem Pembuktian
Di dalam teori dikenal 4 (empat) sistem pembuktian yaitu:
a. Conviction In Time
Ajaran pembuktian conviction in time adalah suatu ajaran
pembuktian yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata. Hakim di
dalam menetukan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada.
Darimana hakim menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah. Ia
hanya boleh menymmpulkan dan alat bukti yang ada di dalam persidangan

3
http://digilib.uinsby.ac.id/1961/5/Bab%202.pdf
atau mengabaikan alat bukti yang ada di persidangan. Akibatnya dalam
memutuskan perkara menjadi subyektif sekali, hakim tidak perlu
menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya.
Seseorang bisa dinyatakan bersalah dengan tanpa bukti yang
mendukungnya. Demikian sebaliknya hakim bisa membebaskan terdakwa
dan tindak pidana yang dilakukan, meskipun bukti-bukti yang ada
menunjukkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Sistem
pembuktian conviction in time dipergunakan dalam sistem peradilan juri
(Jury rechtspraak).
b. Conviction In Raisone
Ajaran pembuktian ini juga masih menyandarkan pula kepada
keyakinan hakim. Hakim tetap tidak terikat pada alat-alat yang telah
ditetapkan dalam undang-undang. Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan
oleh undang-undang, tetapi hakim bisa mempergunakan alat-alat bukti di
luar yang ditentukan oleh undang-undang. Namun demikian di dalam
mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa
haruslah didasarkan alasan-alasan yang jelas. Jadi hakim harus
mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan
alasan (reasoning).
Oleh karena itu putusan tersebut juga berdasarkan alasan yang
dapat diterima oleh akal (reasonable). Keyakinan hakim haruslah didasari
dengan alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak
semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian
ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.
c. Sistem Pembuktian Positif
Sistem pembuktian positif (positief wetelijk) adalah sistem
pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti
yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seorang terdakwa bisa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat
bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah
penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan. Pada pokoknya apabila
seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti
yang sah yakni yang ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa
tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Seorang hakim
laksana robot yang menjalankan undang-undang.
Namun demikian ada kebaikan dalam sistem pembuktian ini, yakni
hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi
oleh nunaninya sehingga benar-benar obyektif. Yaitu menurut cara-cara
dan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Sistem pembuktian
positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem
pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perdata.
d. Sistem Pembuktian Negatif
Sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) sangat mirip dengan
sistem pembuktian conviction in raisone. Hakim di dalam mengambil
keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat
bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim
sendiri. Jadi di dalam sistem negatif ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat
untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni :
1. WETTELIJK: Adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
2. NEGATIEF: Adanya keyakinan (nurani) dan hakim, yakni berdasarkan
bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Alat bukti
yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat
bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan
seperti yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa
seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak
pidana yang didakwakan.4

E. Alat-alat Bukti

4
https://jurnalsrigunting.com/2012/12/22/sistem-pembuktian-dalam-hukum-pidana/
Dalam hukum acara pidana, pembuktian dalam kebenaran materi,
kebenaran sejati. Dimana dalam mencari kebenaran sejati, KUHAP terdapat 4
tahap dalam mencari kebenaran sejati, yang meliputi:
1. Penyidikan;
2. Penuntutan;
3. Pemeriksaan di pengadilan;
4. Pelaksanaan, pengamatan dan pengawasan.5
Sesuai dengan ketentuan pasal 284 RBg/164 HIR, dalam hukum acara
perdata dikenal adanya 5 alat bukti yaitu:
a. Alat bukti tertulis (surat)
b. Alat bukti saksi;
c. Alat bukti persangkaan;
d. Alat bukti pengakuan;
e. Alat bukti sumpah.
Pada 1866 KUHPerdata menentukan juga ada 5 macam alat bukti
dalam hukum acara perdata yaitu:
a. Bukti tulisan;
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah.
Dari ketentuan pasal RBg/HIR dengan ketentuan pasal
KUHPerdata sedikit menunjukan perbedaan namun secara sepintas
perbedaan tersebut tidaklah Nampak. Kenapa terjadi perbedaan yang
demikian akan terungkap dalam uraian dari masing-masing jenis alat
bukti dimaksud.
a. Alat Bukti Surat
Alat bukti surat diatur dalam pasal 164,285-305RBg/pasal
138,165-167 HIR dan Pasal 1867-1896 KUHPerdata.

5
Dahlan, PROBLEMATIKA KEADILAN, Cet. 1, (Yogyakarta, CV BUDI UTAMA, 2017), 106
Alat bukti surat adalah alat bukti yang tertulis yang memuat
tulisan yang menyatakan pikiran yang dipergunakan sebagai bukti.
Alat bukti tertulis ini dibagi menjadi:
1) Surat Berupa akta, adalah surat yang diberi tanda tangan
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
perikatan yang dibuat sejak semuala secara sengaja memang
untuk membuktikan. Akta ini lagi menjadi dua jenis:
a) Akta otentik, yaitu akta ang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang
telah dterapkan baik dengan ataupun tanpa bantuan pihak
yang berkepentingan yang mencatat apa yang dimintakan
untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan.
Berdasarkan ketentuan pasal 185 RBg/165 HIR bahwa akte
otentik mempunyai kekuatan yang sempurna bagi kedua
belah pihak, ahli warisannya, dan orang-orang yang
mendapat hak dari padanya. Akte otentik ini dibagi lagi
menjadi 2:
- Akta otentik yang dibuat hanya oleh pejabat (acta
ambtelijk/prosesverbal acta)
- Akta aotentik yang dibuat oleh para pihak (partijakta).
2) Akta dibawah tangan, adalah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian akan tetapi tanpa bantuan seorang pejabat pembuat
pembuat akta, (lihat pasal 1874-1880 KUHPerdata ; Pasal 286-
305 RBg D. 1867 No 29)
3) Surat bukan akta, adalah surat lainnya selain yang disebutkan
diatas, yang sebenarnya tidak sengaja dibuat sebagai alat bukti
akan tetapi ternyata dikemudian hari dapat dijadikan alat bukti.
b. Alat Bukti Saksi
Alat bukti saksi yang diperlukan dipersidangan adalah
kesaksian atau keterangan dari seorang yang diajukan sebagai saksi.
Hal ini disebut dengan keterangan saksi atau kesaksian.
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim
di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil untuk hadir dalam
persidangan. Bambang Waluyo mengatakan bahwa bukti dengan
saksi atau kesaksian adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
saksi didepan sidang pengadilan, suatu peristiwa, kejadian atau
keadaan tertentu yang didengar sendri, lihat sendiri dan dialami
sendiri.
Dalam hal bukti saksi ada beberapa asas penting yaitu:
1) Keterangan saksi haruslah keterangan mengenai peristiwa atau
kejadian yang dialaminya sendiri, dilihat atau didengar sendiri;
2) Keterangan yang didengar atau hanya diketahui dari orang lain
(testimonium, de auditu) bukanlah merupakan kesaksian.
3) Keterangan satu saksi yang idak didukung oleh bukti lain,
(unus testil nullus testis) tidak mempunyai kekuatan yang cukup
sebagai pembuktiian.
4) Sebelum memberikan kesaksian saksi diwajibkan untuk
bersumpah sesuai dengan agama/keyakinannya (pasal 175 RBg,
pasal 147 HIR jo pasal 1911 KUHPedata)
Tidak setiap orang dapat didengar keterangannya sebagai
saksi pasal 172 RBg pasal 145 ayat 1 HIR jo Pasal 1910, 1912
KUHPerdata menentukan yang tidak dapat didengar sebagai
saksi adalah:
1) Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut
keturunan yang lurus dari slah satu pihak;
2) RBg, saudara laki-laki atau saudara perempuan dari ibu dan
keponakan dalam daerah keresidenan Bengkulu, Sumatera
barat; dan Tapanuli, jika hak waris disitu diatur menurut
hukum adat;
3) Istri/suami salah satu pihak walaupun sudah kawin;
4) Anak-anak yang belum dapat diketahui benar apakah
umurnya sudah 15 tahun;
5) Orang gila meskipun kadang-kadang terang ingatannya.
Disamping tidak setia orang yang dapat didengar
keterangannya sebagai saksi, namun juga ada orang yang
dapat mengundurkan diri sebagai saksi yaitu:
1) Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan
perempuan dari salah satu pihak;
2) Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara
laki-laki dan perempuan dari suami/istri dari salah satu
pihak;
3) Orang yang karena martabak, pekerjaan atau jabatannya
yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia dalam hal
yang semata-mata tentang hal itu saja, yang
dipercayakan karena martabat dan pekerjaannya itu.
c. Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan atau dugaan diatur dalam pasal 310 Rbg/173
HIR jo 1915-1922 KUHPerdata. Namun dalam semua pasal-pasal
HIR/Rbg tersebut tidak ada memberikan pengertian apa yang
dimaksud dengan persangkaan. Pasal 1915 KUHPerdata ada
menentukan bahwa persangkaan kesimpulan yang oleh undang-
undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang
terkenal karena suatu peritwa yang tidak terkenal.
Ada dua macam persangkaan yaitu persangkaan menurut
undang-undang dan persangkaan yang bukan berdasarkan uu.
Persangkaan menurt uu diatur dalam pasal 1916 KUHPerdata.
Pasal 130 RBg/173 HIR ada menentukan bahwa sangka
saja yang tidak beralasan pada suatu ketentuan uu yang nyata,
hanya boleh diperhatikan oleh hakim waktu menjatuhkan
putusannya jika sangka itu penting, saksama tertentu dan
bersesuaian.
d. Alat Bukti Pengakuan
Bukti pengakuan diatur dalam Pasal 311-313 Rbg/174-176
HIR dan 1923- 1928 KUHPerdata.
Pasal 174 RBg/Pasal 311 HIR menentukan bahwa
pengakuan yang diucapkan didepan sidang pengadilan adalah
merupakan bukti yang sempurna, baik yang diucapkan sendiri
maupun melalui kuasanya. Namun dalam praktek, penilaian hakim
atas pengakuan yang diucapkan didepan sidang sangat dominan
dalam hal menilai apakah pengakuan itu benar atau tidak.
Menurut pasal 313 RBg/ pasal 176 HIR ditentukan bahwa
setiap pengakuan harus diterima seluruhnya atau ditolak seluruhnya
dalam hakim tidak boleh menerimanya sebagai atau menolak
sebagian. Artinya pengakuan harus diartikan sebagai suatu yang
utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Disamping pengakuan secara bulat, dalam kepustakaan
hukum acara ada pula disebut dengan pengakuan yang berembel-
embel. Pengakuan semacam ini dibedakan menjadi 2:
1) Pengakuan dengan klausula, misalnya tergugat mengatakan
benar saya berhutang akan tetapi hutang tersebut sudah saya
bayar;
2) Pengakuan dengan kwalifikasi, contohnya : benar saya
membelinya, akan tetapi setelah saya mencoba dan itupun juga
saya setuju (dengan syarat tangguh)
e. Alat Bukti Sumpah
Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi
dan dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci
bahwa yang diketahui atau dijanjikan itu benar. Sumpah dapat
dibedakan menjadi:
1) Convirmatoir eed, yang dibagi lagi menjadi:
a) Suppletoir eed (sumpah pelengkap) diatur dalam pasal 182
Rbg/155 HIR jo. Pasal 1940 KUHPerdata. Termasuk
didalamnya mengani sumpah penaksir.
b) Descisoir eed (sumpah pemutut) diatur dalam pasal 183
RBg/156 HIR jo. 1930 KUHPerdata.
2) Promisoir eed atau juga disebut dengan sumpah prosesusil. Hala
mana diatur dalampasal 175 Rbg/147 HIR. Sumpah ini berarti
bahwa setiap orang yang dimintai keterangan harus disumpah
terlebih dahulu.6

6
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/a572700edda6a966ed31bf685f05a041.p
df
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan
kepastian tentang kebenaran. Pembuktian diperlukan dalam suatu
perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan (juridicto
voluntair) maupun dalam perkara-perkara permohonan yang
menghasilkan suatu penetapan (juridicto voluntair).
2. Dasar Hukum Pembuktian
Asas hukum pembuktian diatur dalam Pasal 163 HIR atau Pasal
283 RBg yang berbunyi: “Barang siapa yang mengatakan ia
mempunyai hak, atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk
menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka
orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”
3. Teori-Teori pembuktian
Terdapat dua aliran mengenai kekuatan alat bukti:
a. Teori vrijbewijs.
b. Teori verplichtbewijs.
4. Sistem Pembuktian
Di dalam teori dikenal 4 (empat) sistem pembuktian yaitu:
a. Conviction In Time
b. Conviction In Raisone
c. Sistem Pembuktian Positif
d. Sistem Pembuktian Negatif
5. Alat-Alat Bukti
a. Alat Bukti Surat
b. Alat Bukti Saksi
c. Alat Bukti Persangkaan
d. Alat Bukti Pengakuan
e. Alat Bukti Sumpah

B. Kritik dan Saran


Demikian makalah yang telah kami susun dan kami menyadari
bahwa masih banyak ditemui kekurangan dalam makalah kami ini. Maka
kritik dan sarannya dari pembaca sangat kami harapkan, agar kami dapat
lebih baik lagi dalam penyusunan makalah selanjutnya. Sekian dan
terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/a572700edda6a966ed3
1bf685f05a041.pdf
Irene Svinarky. 2019. BAGIAN PENTING YANG HARUS DIKETAHUI DALAM
HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA. Cet.1. Batam, CV. Batam
Publisher.
http://digilib.uinsby.ac.id/1961/5/Bab%202.pdf
https://jurnalsrigunting.com/2012/12/22/sistem-pembuktian-dalam-hukum-
pidana/
Dahlan. 2017. PROBLEMATIKA KEADILAN, Cet.1. Yogyakarta, CV BUDI
UTAMA.

Anda mungkin juga menyukai