DI PTUN A. PENGERTIAN Pembuktian adalah tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah
menurut hukum oleh pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya. Fakta yang dimaksud, yakni: a. Fakta Hukum; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya) tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan. b. Fakta Biasa; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum tertentu (Indroharto, 1993: 165-186). Tujuan Pembuktian Berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, kepada Hakim. Guna Pembuktian Sebagai dasar keputusan Hakim. Yang dibuktikan Fakta hukum yang menjadi pokok sengketa. B. TEORI PEMBUKTIAN a. Teori Pembuktian Bebas Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan- ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran. b. Teori Pembuktian Terikat Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan. Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian hukum, misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus), artinya apabila pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila ia menolak sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula alat bukti surat otentik hanya bisa digugurkan karena terdapat kepalsuan. Juga dalam menilai keterangan seorang saksi saja sebagai “Unus Testis Nullus Testis”. Teori Pembuktian Terikat dibagi menjadi: 1. Teori Pembuktian Negatif Teori ini hanya menghendaki ketentuan- ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW). 2. Teori Pembuktian Positif Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW). c. Teori Pembuktian Gabungan Artinya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas menilai suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah tambahan. Bila sumpah tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu. C. ALAT BUKTI DALAM PTUN 1. Surat atau Tulisan 2. Keterangan Ahli 3. Keterangan Saksi 4. Pengakuan Para Pihak 5. Pengetahuan Hakim 1. Surat atau Tulisan Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. 1. Akta Otentik 2. Akta dibawah tangan 3. Surat-surat lain yang bukan akta. 2. Keterangan Ahli Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya (Pasal 102 ayat (1)). Hal ini, ditegaskan kembali dalam Pasal 103 ayat (2) yang menyatakan bahwa ”Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya”. Menurut Pasal 88 ada pengecualian terhadap seseorang yang dapat didengar keterangannya sebagai ahli di depan persidangan, yaitu:
Keluarga sedarah atau semenda menurut
garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa; Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai; Anak yang belum berusia tujuh belas tahun; dan Orang sakit ingatan. 3. Keterangan Saksi Pasal 104 menyatakan bahwa ”Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri”. Walaupun menjadi saksi adalah suatu kewajiban namun seseorang dapat mengundurkan diri sebagai saksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 89 ayat (1), dengan alasan: Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak; Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan itu. Yang menentukan ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu tersebut diserahkan kepada pertimbangan hakim (Pasal 89 ayat (2)). 4. Pengakuan Para Pihak Pengakuan para pihak yang diberikan pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengakuan itu menyangkut keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Menurut Pasal 105 dinyatakan bahwa ”Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim”. 5. Pengetahuan Hakim Pasal 106 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satunya adalah hal-hal yang terjadi selama pemeriksaan oleh Hakim tersebut, seperti hasil pemeriksaan setempat. Sekian & Terima kasih.