Anda di halaman 1dari 4

JAWABAN TUGAS 2

NAMA : RIEDEL R. Y. GOSAL

NIM : 049728514

Ketentuan mengenai pembuktian dalam hukum acara PTUN diatur dalam pasal 100 sampai dengan
pasal 107 UU PTUN.[3]

Dalam literatur lain dikatakan bahwa : Pembuktian adalah tata cara untuk menetapkan terbuktinya
fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta dimaksud
dapat terdiri dari:

a. Fakta Hukum; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya


(keberadaannya) tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.

b. Fakta Biasa; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya
fakta hukum tertentu (Indroharto, 1993: 165-186)

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu
hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum
inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara.
Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka
gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang
tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :

a. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui

b. hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal

c. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta


notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.

Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga
tanah di jakarta lebih mahal dari di desa. Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja
yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa
diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak
penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang
menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan
beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua
peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa: "Barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu;
sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain,
diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"
Teori Pembuktian

Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim
yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang
akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara
ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul
beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan
bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus
diperhatikan dengan seksama olehnya. Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865BW, bahwa:

”Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan
membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna
pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu”

Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu
masih harus dinilai. Berhubungan dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas
[contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai
kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap
akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg,
1870 BW)].

Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat
mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu:

a) Teori Pembuktian Bebas

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian
pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat
umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
Teori ini menghendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati keadilan, sehingga hakim
tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak yang berperkara. Misalnya hakim tidak
terikat dengan keterangan saksi, walaupun di persidangan diajukan 100 saksi, dapat saja hakim
menilai masih belum terbukti. Dalam hal ini tidak mustahil adanya perbedaan penilaian hasil
pembuktian antara sesama hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin
adanya kepastian hukum dalam hal penilaian terhadap hasil pembuktian.[4][5]

b) Teori Pembuktian Terikat

Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi

harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan.

Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian

hukum, misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus)

artinya apabila pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila

ia menolak sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula alat bukti surat otentik hanya bisa

digugurkan karena terdapat kepalsuan. Juga dalam menilai keterangan seorang saksi saja

sebagai “Unus Testis Nullus Testis”. Kelemahan teori ini adalah tidak menjamin adanya

keadilan. Teori ini dibagi menjadi 2 macam:


a) Teori Pembuktian Negatif

Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim
untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan
pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW).

b) Teori Pembuktian Positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini

hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).

c) Teori Pembuktian Gabungan

Artinya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas

menilai suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah

tambahan. Bila sumpah tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila

tidak disertai sumpah tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.

Dalam penjelasan umum UU Nomor 5 Tahun 1986 angka 5 disebutkan bahwa: Dalam undang-
undang ini juga diatur mengenai hukum acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha
Negara yang mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum
untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan, antara lain:

a. pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan
guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah kepada ajaran
pembuktian bebas;

b. suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.

Dari penjelasan umum itu dapat diketahui bahwa ajaran pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha
Negara adalah ajaran pembuktian bebas, hal ini dikarenakan untuk memperoleh kebenaran materiil
dan bukan kebenaran formil. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 109) ajaran pembuktian bebas
atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-
ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada
hakim. Namun dengan adanya persyaratan ”untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim (Pasal 107) maka menurut Indiharto (1993:
200) bahwa ajaran pembuktian yang diikuti oleh pembuat undang-undang ini bukan ajaran
pembuktian bebas, tetapi ajaran pembuktian bebas terbatas.

Sebagai konsekuensi dari ajaran pembuktian bebas maka Hakim sebagaimana dinyatakan `dalam
Pasal 107 dapat menentukan sendiri tentang:

1. Apa yang harus dibuktikan.

Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak tergantung atau tidak terikat pada fakta atau
hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, artinya hakim dapat saja menganyampingkan fakta
dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat. Demikian pula, hakim dapat saja memeriksa
lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan
hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam
menjatuhkan putusan yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan belum cukup pasti
keadaannya.

2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara
dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.

Dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN, hakim mempunyai kebebasan atau
dapat menentukan sendiri yang harus dibebani pembuktian. Siapa yang dibebani pembuktian
merupakan masalah pembagian beban pembuktian, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada suatu
pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan
putusan.

Menurut Suparto Wijoyo (1997: 119) hakim dapat saja menerapkan beban pembuktian terbalik atau
pembagian beban yang seimbang sesuai dengan kearifan hakim. Sedangkan menurut Indroharto
(1993: 192) bahwa kewajiban untuk membuktikan itu tidak ada pada pihak-pihak, tetapi barangsiapa
diberi beban untuk membuktikan sesuatu dan tidak melakukannya, akan menanggung suatu resiko
bahwa beberapa fakta yang mendukung positanya akan dikesampingkan dan dianggap tidak
terbukti.

3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian

Menurut Indroharto (1993: 204) bahwa masing-masing alat bukti sebagaimana ditentukan oleh Pasal
100 ayat (1) mempunyai derajat bobot yang sama, artinya tidak ada tingkat-tingkat mengenai
kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut atau tidak ada perbedaan mengenai
kekuatan pembuktian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Namun demikian,
hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti tersebut
dan memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut untuk
dipergunakan dalam pembuktian.

4. Kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diajukan.

Hakim mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa TUN dengan memperhatikan persyaratan yaitu
”untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan
hakim”.

Anda mungkin juga menyukai