Anda di halaman 1dari 28

MATERI MATA KULIAH

HUKUM PEMBUKTIAN

PERTEMUAN I

A. PENGERTIAN PEMBUKTIAN

 Yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah
menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.

 Hukum Pembuktian (Law of Evidence) dalam berperkara merupakan bagian


yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Dimuka persidangan pihak-pihak
yang berperkara perdata tentu akan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang
bisa dijadikan dasar untuk menguatkan hak perdatanya, namun tidak cukup
hanya dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun lisan. Akan
tetapi harus disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat
dipastikan kebenarannya. Artinya, peristiwa-peristiwa tersebut harus disertai
pembuktian secara yuridis.

 Dalam hal pembuktian ini pihak-pihak berperkara harus aktif dan


berkewajiban untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakan,
sedangkan hakim bersifat pasif. Pihak-pihak yang berperkara tidak
perlu memberitahukan dan membuktikan peraturan hukumnya, tetapi yang
perlu dibuktikan adalah peristiwanya atau hubungan hukumnya yang menjadi
dasar adanya hak perdata pihak-pihak berperkara. Mengapa
demikian? Karena hakim menurut asas hukum acara perdata dianggap
mengetahui akan hukumnya, baik tertulis maupun tidak tertulis, dan hakimlah
yang bertugas menerapkan hukum perdata (materiil) terhadap perkara yang
diperiksa dan diputuskannya.

 Dalam melakukan pembuktian pihak-pihak berperkara dan hakim yang


memimpin pemeriksaan perkara perdata di persidangan, harus
memperhatikan prinsip-prinsip umum pembuktian, ketentuan-ketentuan
hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban
pembuktian, macam-macam alat bukti, serta kekuatan alat-alat bukti tersebut.

 Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR(Pasal 162 sampai dengan Pasal
177), RBg(Pasal 282 sampai dengan Pasal 314), Stb. 1867 Nomor 29
(tentang kekuatan pembuktian akta dibawah tangan), dan BW Buku IV (Pasal
1865 sampai dengan Pasal 1945).

 Dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW alat-alat bukti dalam

1
perkara perdata, yaitu :
1. Tulisan;
2. Saksi-saksi;
3. Persangkaan;
4. Pengakuan; dan
5. Sumpah.

B. PRINSIP UMUM PEMBUKTIAN

 Yang dimaksud prinsip umum pembuktian adalah landasan penerapan


pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan
yang digariskan prinsip-prinsip pembuktian, antara lain :
1. Pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran materil;
2. Pembuktian mengakhiri pemeriksaan perkara;
3. Pembuktian perkara tidak bersifat logis;
4. Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan;
5. Bukti Lawan;
6. Persetujuan Pembuktian;

Ad. 1. Pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran materil;

 Sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Perdata, tidak berstelsel
negative menurut undang-undnag (negatief wettelijk stelsel) seperti yang
dianut dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian
kebenaran :
a) Harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal
pembuktian yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) alat (bukti yang sah dalam
arti memenuhi syarat materil dan syarat formil;
b) Di atas pembuktian yang mencapai batas minimal tersebut, harus
didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian
kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).

Sistem pembuktian inilah yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP.


Kebenaran yang diwujudkan benar-benarberdasarkan bukti-bukti yang
tidak meragukan sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai
kebenaran hakiki (materiele waarheid ultimate truth).

 Sedangkan dalam dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari


dan diwujudkan oleh hakim, cukup kebenaran formil (formeel waarheid).
Dari diri dan sanubari hakim tidak dituntut keyakinan. Kadang para pihak
yang berperkara mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan
kepalsuan. Dalam hal demikian, sekiranya tergugat mengakui dalil
penggugat, meskipun itu bohong atau palsu, hakim harus menerima

2
kebenaran itu dan hakim tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang
diajukan para pihak di persidangan. Sikap yang demikian ditegaskan dalam
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 3136K/Pdt/1983 yang kaidah
hukumnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan
kebenaran materil asalkan kebenaran itu ditegakkan di atas landasan alat
bukti yang sah memenuhi syarat, namun apabila kebenaran materil tidak
ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil
keputusan berdasarkan kebenaran formil.

 Dalam mencari kebenaran formil, beberapa prinsip yang dipegang oleh hakim
maupun para pihak yang berperkara adalah sebagai berikut :
a) Tugas dan peran hakim bersifat pasif.
Maksudnya fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata, hanya
terbatas :
 Mencari dan menemukan kebenaran formil;
 Kebenara itu diwujudkan berdasarkan alasan dan fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung;
b) Pembuktian berdasarkan pembuktian fakta
 Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas yang diajukan
selama persidangan,
 Fakta yang terungkap di luar persidangan.
 Hanya fakta berdasarkan kenyataan yang bernilai pembuktian.

Ad. 2. Pembuktian mengakhiri pemeriksaan perkara;


 Pada prinsipnya, pemeriksan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak
memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok
perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni atas materi pokok yang
didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai
karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan
hukum yang terjadi antara para pihak. Begitu pula kalau penggugat
membenarkan dan mengakuidalil bantahan yang diajukan tergugat, berarti
sudah dapat dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan penggugat
sama sekali tidak benar. Meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan
itu bohong atau berlawanan dengan kebenaran, akan tetapi hakim haus
menerima pengakuan itu sebagai fakta dan kebenaran. Oleh karena itu hakim
harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan itu sudah selesai
secara tuntas Mteri pokok perkara. Akan tetapi sekarang ini hakimberwenang
menilai suatu pengakuan sebagai sesuatu yang tidak mutlak, apalagi
pengakuan yang diberikan tidak benar.

 Beberapa patokan bagi hakim antara lain :


a. Pengakuan yang diberikan tanpa syarat.
Pengakuan yang berbobot mengakhiri perkara apabila :
(1) Pengakuan diberikan secara tegas (expressis verbis).
Pengakuan yang diucapkan atau diutarakan secara tegas baik dengan

3
lisan maupun di depan persidangan.

(2) Pengakuan yang diberikan murni.


Pengakuanitu bersifat murni dan bulat serta menyeluruh terhadap
materi pokok perkara. Dengan demikian pengakuan yang diberikan
harus tanpa syarat atau tanpa kualifikasi dan langsung mengenai
materi pokok perkara.

b. Tidak menyangkal dengan cara berdiam diri.


Apabila tergugat tidak mengajukan sangkalan akan tetapi mengambil
sikap berdiam diri (silence), maka peristiwa itu tidak boleh ditafsirkan
menjadi fakta atau bukti pengakuan tanpa syarat. Oleh Karena
itu sikap tergugat tersebut tidak boleh dikonstruksi sebagai pengakuan
murni dan bulat karena kategori pengakuan yang demikian harus
dinyatakan secara tegas, baru sah dijadikan pangakuan yang murni tanpa
syarat. Sedangkan dalam keadaan berdiam diri , masih berhak
mengajukan bantahan atau sangkalan pada kesempatan sidang
berikutnya.

c. Menyangkal tanpa alasan yang cukup


JIka salah satu pihak melakukan penyangkalan atau bantahan
(opposition), tetapi tidak didukung dengan dasar alasan, maka dapat
dianggap sebagai pengakuan yang murni dan bulat tanpa syarat. Oleh
karena itu, membebaskan pihak lawan untuk membuktikan fakta-fakta
materi pokok perkara, dengan demikian proses pemeriksaan perkara
dapat diakhiri. Namun lain halnya apabila pengakuan itu langsung
mengikat (binding) kepada para pihak dan juga tidak dapat diubah atau
diperbaiki lagi sesuai dengan ketentuan Pasal 1926 KUHPerdata.

Ad. 3. Pembuktian Perkara Tidak Bersifat Logis


 Baik dalam perkara pidana apalagi dalam perkara perdata, pembuktiann
suatu perkara tidak bersifat logis.

PERTEMUAN II

4
C. PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA

 Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian


pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa.
Dalam Pasal 1865 KUHPerdata diatur : “Setiap orang yang mengaku
mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan
haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan
adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”

 Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang
wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang
berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa
gugatannya dikabulkan atau ditolak.

 Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,


yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan
keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan
keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian,
pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.

Salah satu tugas hakim ialah menyelidiki apakah yang menjadi dasar perkara
benar-benar ada atau tidak. Hubungan inilah yang harus terbukti di muka hakim dan
tugas kedua belah pihak yang berperkara ialah memberi bahan-bahan bukti yang
diperlukan oleh hakim. Yang dimaksud membuktikan ialah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.

FAKTA NOTOIR
 Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan
kebenarannya. Sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui
sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Selain itu yang tidak
perlu di buktikan lagi adalah yang dalam hukum acara perdata di sebut fakta
notoir, yaitu hal yang sudah lazimnya diketahui oleh umum. Misalnya, bahwa
Negara Republic Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945,
atau bahwa pada hari minggu semua kantor-kantor pemerintah tutup.

 Tentang siapa yang harus membuktikan, maka disini hakim memeriksa


perkara itu yang akan menentukan siapa diantara para pihak yang berperkara
akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak penggugat atau
tergugat.

5
 Di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim, harus bertindak arif
dan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan
yang kongkrit harus diperhatikan secara seksama olehnya.

 Hal-hal yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang menjadi perselisihan


(peristiwanya), yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi
disangkal oleh pihak yang lain. Sedangkan masalah hukumnya tidak usah
dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui
dan diterapkan oleh hakim.

 Dalam acara perdata di Indonesia, hakim adalah terikat di dalam acara


mencapai putusannya. Hanya berdasar pada alat-alat bukti yang sah, hakim
diperbolehkan mengambil keputusan.

 Pada umumnya, sepanjang UU tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas


menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain
pembuktian yang tidak lain penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan
hanyalah judex factie saja. Dengan demikian bukti itu dinilai lengkap dan
sempurna, apabila hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang telah
diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu dianggap sudah pasti dan benar.

PERTEMUAN III

D. MACAM-MACAM ALAT BUKTI

Pasal 164 HIR menyebutkan bahwa alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas :
A. Bukti surat/tulisan
B. Bukti saksi
C. Persangkaan
D. Sumpah

Dalam praktek masih ada satu macam alat bukti lain yang sering dipergunakan,
yaitu pengetahuan hakim, adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh
hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan
pemeriksaan setempat.

Pada bagian ini akan dibicarakan mengenai alat bukti, yang meliputi pengertian
alat bukti dan perkembangannya serta jenis-jenis alat bukti dalam Hukum Perdata.

I. Pengertian Alat Bukti Dan Perkembangannya.

6
 Alat bukti (bewijsmiddel) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan
keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan
keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian,
pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.

 Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil
gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan
jenis atau alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di indonesia
saat ini adalah masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.

 Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak


bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara.
Undang-undang telah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah
dan bernilai sebagai alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian yang
berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.

 Namun di beberapa Negara seperti Belanda, telah terjadi perpindahan pola


pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kearah
sistem terbuka. Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan
secara enumerative lagi. Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui bukti-
bukti tertentu saja melainkan dapat pula diperoleh dari alat bukti apapun asal
dapat diterima secara hukum kebenarannya dan tidak mertentangan denga
kepentingan umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat
bukti tidak disebutkan satu persatu.

 Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di


Indonesia ini belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa
Negara lainnya, para pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang
pada sistem lama karena sampai sekarang pengadilan belum berani
melakukan terobosan menerima alat bukti baru, diluar yang disebutkan
Undang-Undang.

II. Macam-Macam Alat Bukti

 Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat
bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui
alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang.

 Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang yaitu (Pasal 164 HIR Jo.
Pasal. 1866 KUHPerdata) adalah :
1. Alat bukti tertulis;
2. Pembuktian dengan saksi;
3. Persangkaan-persangkaan;

7
4. Pengakuan dan;
5. Sumpah.

PERTEMUAN IV

Pada kesempatan ini akan diuraikan mengenai jenis-jenis alat bukti dalam Hukum
Perdata yang diatur oleh Pasal 164 HIR Jo. Pasal. 1866 KUHPerdata, sebagai
berikut :

ad. 1. Alat Bukti Tertulis

 Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan,
atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam
alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut :
1) Surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan
untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat
bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta,
sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik dan akta
dibawah tangan;
2) Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan,
yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk
dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.

AKTA OTENTIK
 Ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh
atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat. (Vide
: Pasal 1868 KUH Perdata).

 Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat
umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak
berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata :
akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta
otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta
dibawah tangan.

AKTA BAWAH TANGAN (ABT)

 Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat
antara para pihak yang berkepentingan.

8
 Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang
mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
1) Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan.
2) Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
3) Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat
oleh paling sedikit dua pihak.

AKTA PENGAKUAN SEPIHAK

 Ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat
partai tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat. Oleh karena
bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan
penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata.

 Dengan demikian Akta Pengakuan Sepihak harus memenuhi syarat:


1) Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si
penandatangan;
2) Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang
disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda
tangan.

ALAT BUKTI SALINAN, KUTIPAN DAN FOTOCOPY

 Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya


melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya,
diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi.
Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut
membutuhkan penunjukan barang aslinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan
hukum Pasal 1888 KUHPerdata. (Vide : Pasal 1888 KUHPerdata).

PERTEMUAN V

Aad. 2. Alat Bukti Kesaksian

 Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912
BW.

 Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan


tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara
lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara,
yang dipanggil dalam persidangan.

 Jadi, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang

9
telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh
secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.

Ad. 3. Alat Bukti Persangkaan

 “Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim


ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang
tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata. Kata lain dari persangkaan
adalah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive.

 Persangkaan ada 2 (dua) yaitu Persangkaan undang-undang dan


persangkaan hakim.

Ad. 4. Alat Bukti Pengakuan

 Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan


KUH Perdata pasal 1923-1928.

 Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak


diperlukan persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan pernyataan
yang tegas, karena pengakuan secara diam-diam tidaklah member kepastian
kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti
dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran
suatu peristiwa.

Ad. 5. Alat bukti sumpah


 Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengikat akan
sifat Maha Kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi
keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.

 HIR menyebutkan 3 (tiga) sumpah sebagai alat bukti, yaitu:


a. Sumpah Supletoir/Pelengkap (Pasal 155 HIR)
Sumpah supletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim
karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi
pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar
putusannya.
b. Sumpah Aestimatoir/Penaksir (Pasal 155 HIR)
Sumpah penaksir yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena

10
jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti
kerugian.
c. Sumpah Decisioir/Pemutus (Pasal 156 HIR)
Sumpah decisioir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan
salah satu pihak kepada lawannya. Berlainan dengan sumpah
Supletoir, maka sumpah decisioir, ini dapat dibebankan meskipun tidak
ada pembuktian sama sekali, sehingga sumpah decisioir, ini dapat di
lakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.

PERTEMUAN VI

PEMERIKSAAN SETEMPAT
 Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah
pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti
dalam Pasal 1866 KUH Perdata.

 Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR
yang diantaranya memiliki maksud Proses pemeriksaan persidangan yang
semestinya dilakukan diruang sidang dapat dipindahkan ke tempat objek
yang diperkarakan.

 Tujuan Pemeriksaan Setempat


a. Persidangan ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan objek
tersebut ditempat barang itu terletak.
b. Dan yang melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang anggota
Majelis yang bersangkutan dibantu oleh seorang panitera.

SAKSI AHLI/PENDAPAT AHLI

 Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya,


perlu dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan
perkara yang bersangkutan.

 Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan


khusus dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, “specialized are as
of knowledge”.

 Jadi menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia:


a. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialisasi

11
b. Spesialisasi tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman
c. Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu
menemukan fakta melebihi kemampuan umum orang biasa (ordinary
people).

Dari pengertian di atas tidak semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika
dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai
dengan bidang yang disengketakan.

PERTEMUAN VII
TUJUAN PEMBUKTIAN

Pada hakekatnya tujuan pembuktian adalah untuk menghasilkan suatu


putusan, yang menyatakan salah satu pihak menang, pihak yang lain kalah (jika
merupakan peradilan yang sebenarnya), atau untuk menghasilkan suatu penetapan
(jika pengadilan voluntair atau peradilan semu). Jadi, tujuan pembuktian adalah
putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu.

Segi yang kalah dalam perkara perdata tentunya secara formal yuridis
menjadi pihak yang merugi atau menjadi pihak yang di kenakan hukuman. Sama
halnya jika terdakwa dalam perkara pidana terbukti bersalah, akan dijatuhi sanksi
pidana.
Sehubungan dengan hal tersebut, apakah dihukumnya pihak itu merupakan
akibat dari perbuatan hukum yang pernah dilakukannya? Dengan perkataan lain
apakah perbuatan yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya merupakan
suatu hubungan sebab akibat?
Mengenai permasalahan ini, hans kelsen mengemukakan salah satu teori
yang terkenal sebagai “ toerekeningstheoris” (teori pertanggung jawab).
Menurut teori hans kelsen yang kemudian diikuti oleh paul Scholten itu,
tindakan yang dilakukan seseorang sehingga ia dihukum, bukan merupakan
hubungan sebab akibat. Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah akibat
dari perbuatannya, melainkan bahwa hukuman itu merupakan pertanggung jawaban
atau perbuatannya sendiri.
Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada
pembuktian itu, maka disini terbukti lagi betapa besarnya peranan hukum
pembuktian didalam menentukan kalah menangnya pihak-pihak yang berperkara.
Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja sejalan dengan tujuan dari
hukum pada umumnya, di sini kita harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya
subsistem dari sistem hukum secara keseluruhan.

Apakah tujuan hukum itu? Tujuan hukum adalah:


A. Gerachtgkeit (keadilan)

12
B. Zwegkmassigkeit (kemanfaatan)
C. Rechtsicherheit (kepastian hukum)

Hukum itu timbul pada hakikatnya disebabkan karena terjadinya konflik


diantara berbagai kepentingan manusia (conflict of human interest). Akibat konflik
antar-kepentingan itu sehingga menghendaki adanya penyelesaian fungsi hukum.
Khususnya hukum acara perdata, tujuan pembuktian di dalamnya untuk
menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara. Kita selalu harus ingat,
bahwa proses perdata
adalah proses penyelesaian persengketaan antara dua pihak. Berbeda dengan
proses pidana, dimana tidak terdapat persengketaan antara jaksa dan terdakwa.
Karena itulah selaras dengan tujuan hukum pada hakikatnya, maka dengan
pembuktian dalam proses perdata, bertujuan menyelesaikan persengketaan antara
pihak yang berperkara, dengan jalan yang seadil-adilnya, dengan memberi
kepastian hukum baik bagi pihak yang berperkara maupun terhadap masyarakat
pada umumnya, dengan tidak melupakan kemanfaatan putusan hakim itu terhadap
masyarakat pada umumnya.
Secara filosofinya dapat dikatakan bahwa tujuan pembuktian adalah:
“Quod Bonum Felix Faurtumque”, apa yang baik, bahagia dan karunia (oleh
allah).

PERTEMUAN VIII
ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN

Khususnya di dalam hukum pembuktian perdata dikenbal asas-asas


tersendiri, yang berbeda dengan apa yang dikenal dalam hukum pembuktian
lainnya.
Hukum acara perdata sendiri memiliki karakteristik tersendiri selaku bagian
dari hukum privat (privaatrecht [Belanda], private law [Inggris], droit prive [Perancis],
privatrecht [Jerman].
Asas-asas ini selaras dengan sifat hukum acara perdata itu sendiri, seperti tersebut
diatas.

A. Asas Audi Et Alteram Partem


Inilah yang dalam istilah klasiknya dinamis asas “Audi Et Alteran Parten”, atau
“ Eines Manres Rede Ist Keines Mannes Rede”. Asas kesamaan kedua pihak yang
berperkara di muka pengadilan.

B. Asas Ius Curia Novit


Asa “Ius Curia Novit” ini adalah asas yang memfiksikan bahwa setiap hakim
itu harus dianggap tahu akan hukumnya perkara yang diperiksanya. Hakim sama
sekali tidak boleh memutus perkara, dengan alasan bahwa hakim itu tidak
mengetahui hukumnya.

C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa


Asas “Nemo Testis Indoneus In Propria Causa” ini berarti bahwa tidak

13
seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri.
Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan yang melarang beberapa
golongan orang yang dianggap “tidak mampu” menjadi saksi (recusatio) adalah:
a. Orang yang tidak mampu secara mutlak
Hakim di larang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi:
1. Keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis keturunan yang lurus
dari salah satu pihak yang berperkara.
2. Suami atau istri dari salah satu pihak yang berperkara, meskipun sudah
bercerai.

b. Orang yang tidak mampu secara nisb


Mereka ini dapat di dengar sebagai keterangannya, tetapi tidak sebagai
keterangan kesaksian:
1. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun.
2. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya sehat.
3.

D. Asas Ultra Ne Petita


Asas “Ultra ne petita” ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga hakim
hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih
daripada yang dituntut oleh penggugat.

E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum

Asas “De Gustibus Non Est Disputandum” ini sebenarnya suatu asas yang
aneh. Karena diterpakan dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera
tidak dapat di persengketakan.

F. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet


Asas ini menentukan bahwa tidak ada yang dapat mengalihkan banyak hak
daripada yang ia miliki.

PEMBUKTIAN IX
BEBAN PEMBUKTIAN
Pedoman umum bagi hakim dalam membagi beban pembuktian termuat
dalam pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg/Pasal 1865 BW yang menentukan :
“Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan
suatu peristiwa untuk menegaskan haknya, atau untuk membantah hak orang lain,
maka harus membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa itu.”
Penggugat yang menuntut hak wajib membuktikan adanya hak itu atau
peristiwa yang menimbulkan hak tersebut. Sedangkan tergugat yang membantah

14
adanya hak orang lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang
menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut.[16]

Jika tergugat atau penggugat yang dibebani pembuktian tidak dapat


membuktikan maka ia harus dikalahkan.Dalam hubungan ini hukum materiil sering
kali sudah menetapkan suatu pembagian beban pembuktian, misalnya ialah sebagai
berikut:
A. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (pasal 1244
BW).
B. Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu
perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan pihak yang
dituntut (pasal 1365 BW).
C. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah
membayar semua angsuran (pasal 1394 BW).
D. Barang siapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai
pemiliknya (pasal 1977 ayat (1) BW).

KEKUATAN PEMBUKTIAN FOTOKOPI DOKUMEN

Bagaimanakah fungsi saksi dalam foto copy perjanjian di bawah tangan?


Berapa orang saksi minimum yang harus diajukan untuk membuktikan foto copy
perjanjian di bawah tangan? Dasar hukumnya apa saja?
Dalam membuktikan suatu perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran
formil, yaitu kebenaran yang didasarkan (sebatas) pada bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, umumnya suatu bukti tertulis
(surat) atau dokumen memang sengaja dibuat oleh para pihak untuk kepentingan
pembuktian nanti (jika ada sengketa).
Dalam pembuktian suatu perkara perdata, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (‘KUH Perdata”) atau Pasal 164 Reglemen Indonesia Yang
Diperbaharui (RIB/HIR) telah mengatur jenis alat-alat bukti dalam hukum acara
perdata, yaitu:
1. Bukti Surat
2. Bukti Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah

15
Fungsi saksi dalam fotocopy (fotokopi) perjanjian di bawah tangan, maka Pasal
1888 KUH Perdata sudah memberikan pengaturan mengenai salinan/fotocopy dari
sebuah surat/dokumen, yaitu:
“Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.
Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-
ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta
ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa
dapat diperintahkan mempertunjukkannya”

Dalam praktik, Mahkamah Agung juga telah memberikan penegasan atas


bukti berupa fotocopy dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:

“Surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada
surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.” (Putusan
MA No.: 3609 K/Pdt/1985)

Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3609
K/Pdt/1985 tersebut, maka fotocopy dari sebuah surat/dokumen yang tidak pernah
dapat ditunjukkan aslinya, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat
menurut Hukum Acara Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata).
Jadi, dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli
dari fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, saksi sebagai salah satu alat bukti
dapat berfungsi untuk memberikan keterangan kepada hakim, bahwa benar pernah
ada suatu kesepakatan yang dibuat secara bawah tangan oleh para pihak yang
namanya tercantum dalam fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, untuk
memperjanjikan suatu hal tertentu (Vide Pasal 1320 Jo. 1338 KUH Perdata).
Argumentasi mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah
Agung dalam Putusannya No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998,
yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut:

“Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa


dikuatkan oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan
(Perdata)

Mengenai jumlah minimum saksi untuk membuktikan fotocopy perjanjian di bawah


tangan, ada baiknya kita memperhatikan ketentuan Pasal 1905 KUH Perdata, yang
berbunyi:

“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka
pengadilan tidak boleh dipercaya.”

Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak
adanya bukti lain, selain saksi yang dapat diajukan oleh seseorang untuk
menguatkan dalilnya, maka jumlah saksi yang harus diajukan orang tersebut adalah
minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis).

16
Namun demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam
perkara perdata tersebut dapat berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal
keberadaan fotocopy dari perjanjian bawah tangan ini ternyata diakui dan tidak
disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat dikualifisir sebagai pengakuan di
muka hakim, yang merupakan bukti yang sempurna (Vide: Pasal 176 HIR), atau
apakah ada persangkaan (kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Vide: Pasal 173
HIR) dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak serta fakta-fakta yang terungkap
di persidangan.

Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Het Herziene Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui

Putusan:
1. Putusan Mahkamah Agung No.: 3609 K/Pdt/1985
2. Putusan Mahkamah Agung No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996

PEMBUKTIAN DAN MACAM-MACAM ALAT BUKTI


DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Dalam menyelesaikan sebuah perkara perdata maupun pidana, pihak yang


bertugas menyelesaikan sengketa haruslah melakukan pembuktian untuk menerangi
dan menjelaskan secara gamblang apa yang dialami. Pembuktian ini baru ada
apabila terjadi bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui peradilan. Sekali
lagi hanya diselesaikan melalui peradilan dan melalui hakim yang bersidang di
depan persidangan. Lalu bentrokan kepentingan siapa? Kepentingan dari para
pihak, penggugat dan tergugat. Bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui
persidangan itulah yang kemudian disebut perkara. Perkara yang diajukan ke
pengadilan.[1] Pembuktian merupakan cara untuk menunjukkan kejelasan perkara
kepada Hakim supaya dapat dinilai apakah masalah yang dialami penggugat atau
korban dapat ditindak secara hukum. Oleh karenanya, pembuktian merupakan
prosedur yang harus dijalani karena merupakan hal penting dalam menerapkan
hukum materil.

Sebagai pedoman, diberikan oleh pasal 1865 B.W. bahwa “Barang siapa
yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak,
diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa yang
mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga
membuktikan peristiwa-peristiwa itu.” Misalnya, jika seorang menggugat orang lain
supaya orang ini dihukum menyerahkan sebidang tanah, karena benda ini termasuk
harta peninggalan ayahnya, tetapi pendirian ini disangkal oleh tergugat, maka orang

17
yang menggugat itu diwajibkan membuktikan bahwa ia adalah ahliwaris dari si
meninggal dan tanah tersebut betul kepunyaan si meninggal itu. Jika ia telah
berhasil membuktikan hal-hal tersebut dan pihak tergugat masih juga membantah
haknya karena katanya ia telah membeli tanah tersebut secara sah, maka tergugat
ini diwajibkan membuktikan adanya jual beli itu.
Tugas pengadilan yang sangat berat, adalah menjaga kepentingan kedua
belah pihak/para justiciable, agar kedua belah pihak itu tidak ada yang dirugikan.
Tugas ini harus benar-benar dijalankan dengan begitu saja memberikan kepada
salah satu pihak untuk membuktikan. Karena perbuatan ceroboh ini akan dapat
merugikan atau menguntungkan salah satu pihak. Karena beban pembuktian itu
tidak boleh berat sebelah sebab tidak setiap orang dapat membuktikan sesuatu yang
benar dan dimungkinkan pula seseorang dapat membuktikan apa yang tidak benar.
Perlu ditekankan, bahwa jalannya acara pembuktian di persidangan Pengadilan
Perdata akan menentukan hasil akhir perkara.
Maka dari itu, pihak yang berperkara haruslah memberikan bukti yang kuat
sesuai dengan masalah yang ada apakah perkara yang dialami. Berkaitan dengan
materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat
ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan
intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib
membuktikannya. Dalam pembahasan makalah kali ini, penulis berusaha
menjelaskan kepada para pembaca agar tau tentang pengertian pembuktian dan
alat-alat bukti apa saja yang dibuktikan dalam Hukum Acara Perdata.

A. PENGERTIAN PEMBUKTIAN

Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat


diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum
perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru
besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya
soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata
(procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada
asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Akan tetapi
memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam
hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat
pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang
dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata
materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu
B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan
dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.

Dilain pendapat, pembuktian atau membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno


Mertokusumo, S.H., guru besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dalam
bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengandung beberapa pengertian:

a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah

18
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap
orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

b) Membuktikan dalam arti konvensionil

Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang


mempunyai tingkatan-tingkatan:

 kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction


intime)
 kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee).

c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis

Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak
yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti
lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus.
Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara
atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam
arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa
pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan.
Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang


mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian
yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti
mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap
benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar
yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Berbeda dengan
azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh
dipersalahkan telah melakukan tindak pidana (Presumption of Innocence), kecuali
apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang
kesalahan terdakwa. Dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang,
tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti
yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil
keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan
lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.

Kesamaan ketiga jenis pembuktian adalah bahwa membuktikan berarti


memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar dan didasarkan pada
pengalaman dan pengamatan. Hal ini diperkuat dengan perintah hukum yang
termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada
umumnya yang diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal
1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu

19
peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”

B. MACAM-MACAM ALAT BUKTI

Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara


Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa
bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan
penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di
dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan
kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka
kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang
berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti
tertentu saja.
Perbedaan alat bukti dalam perkara pidana dan perdata tidak sama jenis
ataupun bentuk alat bukti yang diakui dalam perkara pidana dan perdata. Mengenai
alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata
Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR sedangkan dalam acara pidana diatur
dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih jelasnya agar dapat membandingkan antar
alat bukti perdata dan pidana sebagai berikut:

Alat Bukti Hukum Acara Perdata Alat Bukti Hukum Acara Pidana
(Pasal 164 HIR, 1866 BW) Pasal 184 KUHAP
Tulisan/Surat Ket. Saksi
Saksi-saksi Ket. Ahli

Persangkaan Surat

Pengakuan Petunjuk

Sumpah Ket. Terdakwa

Keterangan :

1. Alat Bukti Tertulis (Surat)

Orang yang melakukan hubungan hukum perdata, tentulah dengan sengaja


ataupun tidak membuat alat bukti berbentuk tulisan dengan maksud agar kelak
dapat digunakan atau dijadikan bukti kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Sebagai
contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan menggunakan akta, jual beli
menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya. Sebelum kami membahas secara
mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat atau alat bukti tertulis dibawah ini:

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan ataupun

20
oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri, yang dibuat sejak
pemula dengan sengaja untuk pembuktian. Unsur paling penting terkait dengan
pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang telah menandatangani suatu
surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung jawab. Syarat penandatanganan
dapat kita lihat pada pasal 1874 B.W..

Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’
(ps. 1868 KUH Perdata).

Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila
yang membuatnya pejabat yang tidak cakap – tidak berwenang atau bentuknya
cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak
memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai
nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan. Sedangkan akta dibawah tangan ialah
akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari
seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.

Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang
mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :

a) Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,

b) Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.

c) Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh
paling sedikit dua pihak.

Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah
tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari
tergugat. Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian
dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan
demikian harus memenuhi syarat :
1. Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si
penandatangan;
2. Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut
didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.

Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun
membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat
bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan
kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang
aslinya.

21
Contoh Penyusunan Bukti Surat di Persidangan :

DAFTAR BUKTI-BUKTI TERTULIS PENGGUGAT DALAM PERKARA PERDATA


DI BAWAH NO……./PDT/BANT/……./PN.BDG

==========================================

P – 1 : Surat No. 230/PC-BD/BDG/VI/…..tanggal …………….. . dari Bank


………. . Cabang Bandung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional 1
Kotamadya Bandung, perihal: Roya Hipotek (oleh BPN);

P – 2 : Akta Jual Beli No. ……./ …/Coblong/ …….tanggal …………….. .


Notaris/PPAT………………………..

P–3 : Akta Jual Beli No. …../ …/Coblong/…….tanggal ………………………

P – 4 : Sertifikat Hak Milik No. …../ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal
……………..Seluas ….m2, setempat di kenal sebagai Blok Bangbayang Jl.
………………… Kotamadya Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong,
Kelurahan Sekeloa, atas nama ………………….. .

P–5 : Sertifikat Hak Milik No. ……./ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal
27-6-1983 Seluas ….m2, setempat dikenal sebagai Blok Ciheulang Kotamadya
Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas
nama………………….;

Disampaikan dengan hormat,

Kuasa Hukum Penggugat,

(Luthy Yustika, SH, MH)

22
2. Alat Bukti Saksi

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan


tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan
dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil
dalam persidangan.[12] Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah
kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang
diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH
Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam
segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti
saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU
sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti
saksi tidak dapat diterapkan.

Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR
merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak
yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah
berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan,
menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas
dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan
tindakan unproffesional conduct.

Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang
tidak datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya
meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).

Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:


a) Orang yang Cakap

Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal
145 HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara
lain, pertama keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis
lurus, kedua suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide
Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat
menjadi saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan
Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15
(lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH
Perdata), keempat orang gila meskipun terkadang terang ingatannya (Vide Pasal
1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama proses perkara sidang berlangsung
dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).

b) Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan

Alat bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan,


sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905

23
KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti
adalah keterangan yang disampaikan di depan persidangan.

c) Diperiksa Satu Persatu

Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut
ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan saksi
yang diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan
cara, pertama menghadirkan saksi dalam persidangan satu per
satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2)
HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.

d) Mengucapkan Sumpah

Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan
persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang
sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi
dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911
KUH Perdata, yang merupakan kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut
agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum
memberikan keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.

e) Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti

Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi
saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus
testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain.

f) Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan

Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171
ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini
keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan
serta saksi juga harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.

g) Saling Persesuaian

Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata.
Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat
bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual
confirmity antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan saksi yang
satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain,
terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan
yang utuh tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.

24
3. Bukti Persangkaan

Menurut Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil
dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata.[14] Hal ini sejalan dengan
pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan adalah
kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa
yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”.
Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut :

a). Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)

Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang


disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka
dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan
bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.

b). Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)

Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain.
Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus
menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya.
Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat
dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi
perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun
hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.

4. Bukti Pengakuan

Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau
keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses
pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan.
Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar
sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).

Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah
segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat
dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya
penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat.
Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan
hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.

Lalu yang berwenang memberi pengakuan menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang
berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:

25
a) dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal
174 HIR);

b) kuasa hukum penggugat atau tergugat.

Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan


ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan
lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-diam dengan
tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan
dan dasar hukum.[16]

5. Bukti Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan
atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut
takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan
dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan
pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu


pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji
atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan
percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan
dihukum oleh-Nya’’.

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu :


1) sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan
2) Sumpah “tambahan” (supletoir eed).

ad. 1) Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed)

adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada
pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh
hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri
oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan,
sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan
dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk
“mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri
mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu
sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi :
“Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang”
perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa
sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka
pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan

26
oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan
apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu,

Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu


sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat
mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah
hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai
suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah
atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus
dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang
disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat
diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh
“menentukan” jalannya perkara.

Ad. b. Sumpah “tambahan” (supletoir eed).

Suatu “sumpah tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim
pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa
didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu
ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk
menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa
apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah
suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.[19]
Untuk lebih jelasnya kami membuatkan table tentang perbedaan antar kedua
macam sumpah ini;[20]
Sumpah

Decissoir Suppletoir

1. Diminta oleh salah satu pihak 1. Diminta oleh hakim (atas perintah
kepada pihak lawan; hakim kepada salah satu pihak);
2. Alat bukti kuat yang menentukan 2. Merupakan alat bukti tambahan;
keputusan; 3. Tidak dapat dikembalikan;
3. Dapat dikembalikan; 4. Hanya dilakukan apabila telah ada
4. Dilakukan dalam tiap keadaan. bukti permulaan bukti.

Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir (penaksiran) yang
diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah
dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu
harga barang tertentu yang disengketakan;

Kesimpulan :

27
 Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian
pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa
pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau
menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk
membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau
kejadian yang dikemukakan itu.”
 Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang
wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang
berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa
gugatannya dikabulkan atau ditolak.
 Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan
keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan
keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian,
pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.

28

Anda mungkin juga menyukai