HUKUM PEMBUKTIAN
PERTEMUAN I
A. PENGERTIAN PEMBUKTIAN
Yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah
menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR(Pasal 162 sampai dengan Pasal
177), RBg(Pasal 282 sampai dengan Pasal 314), Stb. 1867 Nomor 29
(tentang kekuatan pembuktian akta dibawah tangan), dan BW Buku IV (Pasal
1865 sampai dengan Pasal 1945).
Dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW alat-alat bukti dalam
1
perkara perdata, yaitu :
1. Tulisan;
2. Saksi-saksi;
3. Persangkaan;
4. Pengakuan; dan
5. Sumpah.
Sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Perdata, tidak berstelsel
negative menurut undang-undnag (negatief wettelijk stelsel) seperti yang
dianut dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian
kebenaran :
a) Harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal
pembuktian yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) alat (bukti yang sah dalam
arti memenuhi syarat materil dan syarat formil;
b) Di atas pembuktian yang mencapai batas minimal tersebut, harus
didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian
kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).
2
kebenaran itu dan hakim tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang
diajukan para pihak di persidangan. Sikap yang demikian ditegaskan dalam
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 3136K/Pdt/1983 yang kaidah
hukumnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan
kebenaran materil asalkan kebenaran itu ditegakkan di atas landasan alat
bukti yang sah memenuhi syarat, namun apabila kebenaran materil tidak
ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil
keputusan berdasarkan kebenaran formil.
Dalam mencari kebenaran formil, beberapa prinsip yang dipegang oleh hakim
maupun para pihak yang berperkara adalah sebagai berikut :
a) Tugas dan peran hakim bersifat pasif.
Maksudnya fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata, hanya
terbatas :
Mencari dan menemukan kebenaran formil;
Kebenara itu diwujudkan berdasarkan alasan dan fakta-fakta yang
diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung;
b) Pembuktian berdasarkan pembuktian fakta
Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas yang diajukan
selama persidangan,
Fakta yang terungkap di luar persidangan.
Hanya fakta berdasarkan kenyataan yang bernilai pembuktian.
3
lisan maupun di depan persidangan.
PERTEMUAN II
4
C. PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA
Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang
wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang
berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa
gugatannya dikabulkan atau ditolak.
Salah satu tugas hakim ialah menyelidiki apakah yang menjadi dasar perkara
benar-benar ada atau tidak. Hubungan inilah yang harus terbukti di muka hakim dan
tugas kedua belah pihak yang berperkara ialah memberi bahan-bahan bukti yang
diperlukan oleh hakim. Yang dimaksud membuktikan ialah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
FAKTA NOTOIR
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan
kebenarannya. Sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui
sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Selain itu yang tidak
perlu di buktikan lagi adalah yang dalam hukum acara perdata di sebut fakta
notoir, yaitu hal yang sudah lazimnya diketahui oleh umum. Misalnya, bahwa
Negara Republic Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945,
atau bahwa pada hari minggu semua kantor-kantor pemerintah tutup.
5
Di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim, harus bertindak arif
dan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan
yang kongkrit harus diperhatikan secara seksama olehnya.
PERTEMUAN III
Pasal 164 HIR menyebutkan bahwa alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas :
A. Bukti surat/tulisan
B. Bukti saksi
C. Persangkaan
D. Sumpah
Dalam praktek masih ada satu macam alat bukti lain yang sering dipergunakan,
yaitu pengetahuan hakim, adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh
hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan
pemeriksaan setempat.
Pada bagian ini akan dibicarakan mengenai alat bukti, yang meliputi pengertian
alat bukti dan perkembangannya serta jenis-jenis alat bukti dalam Hukum Perdata.
6
Alat bukti (bewijsmiddel) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan
keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan
keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian,
pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil
gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan
jenis atau alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di indonesia
saat ini adalah masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat
bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui
alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang.
Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang yaitu (Pasal 164 HIR Jo.
Pasal. 1866 KUHPerdata) adalah :
1. Alat bukti tertulis;
2. Pembuktian dengan saksi;
3. Persangkaan-persangkaan;
7
4. Pengakuan dan;
5. Sumpah.
PERTEMUAN IV
Pada kesempatan ini akan diuraikan mengenai jenis-jenis alat bukti dalam Hukum
Perdata yang diatur oleh Pasal 164 HIR Jo. Pasal. 1866 KUHPerdata, sebagai
berikut :
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan,
atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam
alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut :
1) Surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan
untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat
bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta,
sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik dan akta
dibawah tangan;
2) Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan,
yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk
dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.
AKTA OTENTIK
Ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh
atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat. (Vide
: Pasal 1868 KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat
umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak
berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata :
akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta
otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta
dibawah tangan.
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat
antara para pihak yang berkepentingan.
8
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang
mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
1) Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan.
2) Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
3) Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat
oleh paling sedikit dua pihak.
Ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat
partai tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat. Oleh karena
bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan
penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata.
PERTEMUAN V
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912
BW.
Jadi, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang
9
telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh
secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
10
jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti
kerugian.
c. Sumpah Decisioir/Pemutus (Pasal 156 HIR)
Sumpah decisioir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan
salah satu pihak kepada lawannya. Berlainan dengan sumpah
Supletoir, maka sumpah decisioir, ini dapat dibebankan meskipun tidak
ada pembuktian sama sekali, sehingga sumpah decisioir, ini dapat di
lakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.
PERTEMUAN VI
PEMERIKSAAN SETEMPAT
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah
pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti
dalam Pasal 1866 KUH Perdata.
Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR
yang diantaranya memiliki maksud Proses pemeriksaan persidangan yang
semestinya dilakukan diruang sidang dapat dipindahkan ke tempat objek
yang diperkarakan.
11
b. Spesialisasi tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman
c. Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu
menemukan fakta melebihi kemampuan umum orang biasa (ordinary
people).
Dari pengertian di atas tidak semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika
dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai
dengan bidang yang disengketakan.
PERTEMUAN VII
TUJUAN PEMBUKTIAN
Segi yang kalah dalam perkara perdata tentunya secara formal yuridis
menjadi pihak yang merugi atau menjadi pihak yang di kenakan hukuman. Sama
halnya jika terdakwa dalam perkara pidana terbukti bersalah, akan dijatuhi sanksi
pidana.
Sehubungan dengan hal tersebut, apakah dihukumnya pihak itu merupakan
akibat dari perbuatan hukum yang pernah dilakukannya? Dengan perkataan lain
apakah perbuatan yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya merupakan
suatu hubungan sebab akibat?
Mengenai permasalahan ini, hans kelsen mengemukakan salah satu teori
yang terkenal sebagai “ toerekeningstheoris” (teori pertanggung jawab).
Menurut teori hans kelsen yang kemudian diikuti oleh paul Scholten itu,
tindakan yang dilakukan seseorang sehingga ia dihukum, bukan merupakan
hubungan sebab akibat. Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah akibat
dari perbuatannya, melainkan bahwa hukuman itu merupakan pertanggung jawaban
atau perbuatannya sendiri.
Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada
pembuktian itu, maka disini terbukti lagi betapa besarnya peranan hukum
pembuktian didalam menentukan kalah menangnya pihak-pihak yang berperkara.
Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja sejalan dengan tujuan dari
hukum pada umumnya, di sini kita harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya
subsistem dari sistem hukum secara keseluruhan.
12
B. Zwegkmassigkeit (kemanfaatan)
C. Rechtsicherheit (kepastian hukum)
PERTEMUAN VIII
ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN
13
seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri.
Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan yang melarang beberapa
golongan orang yang dianggap “tidak mampu” menjadi saksi (recusatio) adalah:
a. Orang yang tidak mampu secara mutlak
Hakim di larang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi:
1. Keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis keturunan yang lurus
dari salah satu pihak yang berperkara.
2. Suami atau istri dari salah satu pihak yang berperkara, meskipun sudah
bercerai.
Asas “De Gustibus Non Est Disputandum” ini sebenarnya suatu asas yang
aneh. Karena diterpakan dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera
tidak dapat di persengketakan.
PEMBUKTIAN IX
BEBAN PEMBUKTIAN
Pedoman umum bagi hakim dalam membagi beban pembuktian termuat
dalam pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg/Pasal 1865 BW yang menentukan :
“Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan
suatu peristiwa untuk menegaskan haknya, atau untuk membantah hak orang lain,
maka harus membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa itu.”
Penggugat yang menuntut hak wajib membuktikan adanya hak itu atau
peristiwa yang menimbulkan hak tersebut. Sedangkan tergugat yang membantah
14
adanya hak orang lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang
menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut.[16]
15
Fungsi saksi dalam fotocopy (fotokopi) perjanjian di bawah tangan, maka Pasal
1888 KUH Perdata sudah memberikan pengaturan mengenai salinan/fotocopy dari
sebuah surat/dokumen, yaitu:
“Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.
Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-
ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta
ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa
dapat diperintahkan mempertunjukkannya”
“Surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada
surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.” (Putusan
MA No.: 3609 K/Pdt/1985)
Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3609
K/Pdt/1985 tersebut, maka fotocopy dari sebuah surat/dokumen yang tidak pernah
dapat ditunjukkan aslinya, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat
menurut Hukum Acara Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata).
Jadi, dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli
dari fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, saksi sebagai salah satu alat bukti
dapat berfungsi untuk memberikan keterangan kepada hakim, bahwa benar pernah
ada suatu kesepakatan yang dibuat secara bawah tangan oleh para pihak yang
namanya tercantum dalam fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, untuk
memperjanjikan suatu hal tertentu (Vide Pasal 1320 Jo. 1338 KUH Perdata).
Argumentasi mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah
Agung dalam Putusannya No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998,
yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka
pengadilan tidak boleh dipercaya.”
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak
adanya bukti lain, selain saksi yang dapat diajukan oleh seseorang untuk
menguatkan dalilnya, maka jumlah saksi yang harus diajukan orang tersebut adalah
minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis).
16
Namun demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam
perkara perdata tersebut dapat berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal
keberadaan fotocopy dari perjanjian bawah tangan ini ternyata diakui dan tidak
disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat dikualifisir sebagai pengakuan di
muka hakim, yang merupakan bukti yang sempurna (Vide: Pasal 176 HIR), atau
apakah ada persangkaan (kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Vide: Pasal 173
HIR) dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak serta fakta-fakta yang terungkap
di persidangan.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Het Herziene Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui
Putusan:
1. Putusan Mahkamah Agung No.: 3609 K/Pdt/1985
2. Putusan Mahkamah Agung No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996
Sebagai pedoman, diberikan oleh pasal 1865 B.W. bahwa “Barang siapa
yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak,
diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa yang
mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga
membuktikan peristiwa-peristiwa itu.” Misalnya, jika seorang menggugat orang lain
supaya orang ini dihukum menyerahkan sebidang tanah, karena benda ini termasuk
harta peninggalan ayahnya, tetapi pendirian ini disangkal oleh tergugat, maka orang
17
yang menggugat itu diwajibkan membuktikan bahwa ia adalah ahliwaris dari si
meninggal dan tanah tersebut betul kepunyaan si meninggal itu. Jika ia telah
berhasil membuktikan hal-hal tersebut dan pihak tergugat masih juga membantah
haknya karena katanya ia telah membeli tanah tersebut secara sah, maka tergugat
ini diwajibkan membuktikan adanya jual beli itu.
Tugas pengadilan yang sangat berat, adalah menjaga kepentingan kedua
belah pihak/para justiciable, agar kedua belah pihak itu tidak ada yang dirugikan.
Tugas ini harus benar-benar dijalankan dengan begitu saja memberikan kepada
salah satu pihak untuk membuktikan. Karena perbuatan ceroboh ini akan dapat
merugikan atau menguntungkan salah satu pihak. Karena beban pembuktian itu
tidak boleh berat sebelah sebab tidak setiap orang dapat membuktikan sesuatu yang
benar dan dimungkinkan pula seseorang dapat membuktikan apa yang tidak benar.
Perlu ditekankan, bahwa jalannya acara pembuktian di persidangan Pengadilan
Perdata akan menentukan hasil akhir perkara.
Maka dari itu, pihak yang berperkara haruslah memberikan bukti yang kuat
sesuai dengan masalah yang ada apakah perkara yang dialami. Berkaitan dengan
materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat
ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan
intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib
membuktikannya. Dalam pembahasan makalah kali ini, penulis berusaha
menjelaskan kepada para pembaca agar tau tentang pengertian pembuktian dan
alat-alat bukti apa saja yang dibuktikan dalam Hukum Acara Perdata.
A. PENGERTIAN PEMBUKTIAN
18
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap
orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak
yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti
lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus.
Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara
atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam
arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa
pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan.
Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
19
peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
Alat Bukti Hukum Acara Perdata Alat Bukti Hukum Acara Pidana
(Pasal 164 HIR, 1866 BW) Pasal 184 KUHAP
Tulisan/Surat Ket. Saksi
Saksi-saksi Ket. Ahli
Persangkaan Surat
Pengakuan Petunjuk
Keterangan :
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan ataupun
20
oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri, yang dibuat sejak
pemula dengan sengaja untuk pembuktian. Unsur paling penting terkait dengan
pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang telah menandatangani suatu
surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung jawab. Syarat penandatanganan
dapat kita lihat pada pasal 1874 B.W..
Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’
(ps. 1868 KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila
yang membuatnya pejabat yang tidak cakap – tidak berwenang atau bentuknya
cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak
memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai
nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan. Sedangkan akta dibawah tangan ialah
akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari
seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang
mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
c) Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh
paling sedikit dua pihak.
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah
tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari
tergugat. Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian
dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan
demikian harus memenuhi syarat :
1. Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si
penandatangan;
2. Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut
didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun
membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat
bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan
kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang
aslinya.
21
Contoh Penyusunan Bukti Surat di Persidangan :
==========================================
P – 4 : Sertifikat Hak Milik No. …../ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal
……………..Seluas ….m2, setempat di kenal sebagai Blok Bangbayang Jl.
………………… Kotamadya Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong,
Kelurahan Sekeloa, atas nama ………………….. .
P–5 : Sertifikat Hak Milik No. ……./ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal
27-6-1983 Seluas ….m2, setempat dikenal sebagai Blok Ciheulang Kotamadya
Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas
nama………………….;
22
2. Alat Bukti Saksi
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR
merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak
yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah
berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan,
menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas
dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan
tindakan unproffesional conduct.
Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang
tidak datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya
meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).
Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal
145 HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara
lain, pertama keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis
lurus, kedua suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide
Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat
menjadi saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan
Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15
(lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH
Perdata), keempat orang gila meskipun terkadang terang ingatannya (Vide Pasal
1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama proses perkara sidang berlangsung
dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).
23
KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti
adalah keterangan yang disampaikan di depan persidangan.
Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut
ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan saksi
yang diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan
cara, pertama menghadirkan saksi dalam persidangan satu per
satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2)
HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.
d) Mengucapkan Sumpah
Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan
persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang
sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi
dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911
KUH Perdata, yang merupakan kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut
agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum
memberikan keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.
Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi
saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus
testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain.
Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171
ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini
keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan
serta saksi juga harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.
g) Saling Persesuaian
Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata.
Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat
bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual
confirmity antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan saksi yang
satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain,
terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan
yang utuh tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.
24
3. Bukti Persangkaan
Menurut Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil
dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata.[14] Hal ini sejalan dengan
pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan adalah
kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa
yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”.
Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut :
Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain.
Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus
menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya.
Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat
dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi
perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun
hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.
4. Bukti Pengakuan
Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau
keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses
pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan.
Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar
sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah
segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat
dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya
penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat.
Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan
hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.
Lalu yang berwenang memberi pengakuan menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang
berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:
25
a) dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal
174 HIR);
5. Bukti Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan
atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut
takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan
dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan
pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada
pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh
hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri
oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan,
sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan
dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk
“mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri
mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu
sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi :
“Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang”
perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa
sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka
pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan
26
oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan
apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu,
Suatu “sumpah tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim
pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa
didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu
ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk
menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa
apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah
suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.[19]
Untuk lebih jelasnya kami membuatkan table tentang perbedaan antar kedua
macam sumpah ini;[20]
Sumpah
Decissoir Suppletoir
1. Diminta oleh salah satu pihak 1. Diminta oleh hakim (atas perintah
kepada pihak lawan; hakim kepada salah satu pihak);
2. Alat bukti kuat yang menentukan 2. Merupakan alat bukti tambahan;
keputusan; 3. Tidak dapat dikembalikan;
3. Dapat dikembalikan; 4. Hanya dilakukan apabila telah ada
4. Dilakukan dalam tiap keadaan. bukti permulaan bukti.
Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir (penaksiran) yang
diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah
dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu
harga barang tertentu yang disengketakan;
Kesimpulan :
27
Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian
pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa
pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau
menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk
membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau
kejadian yang dikemukakan itu.”
Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang
wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang
berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa
gugatannya dikabulkan atau ditolak.
Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan
keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan
keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian,
pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
28