Anda di halaman 1dari 49

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA

1. Pengertian Pembuktian

Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat
penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum formal bertujuan hendak
memelihara dan mempertahankan hukum material. Jadi secara formal hukum
pembuktian itu mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di
dalam RBg dan HIR. Sedangkan secara materil, hukum pembuktian itu mengatur dapat
tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta
kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut.

Dalam jawab menjawab di muka sidang pengadilan, pihak-pihak yang berperkara dapat
mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan dasar untuk meneguhkan hak
perdatanya ataupun untuk membantah hak perdata pihak lain. Peristiwa-peristiwa
tersebut sudah tentu tidak cukup dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun
lisan. Akan tetapi, harus diiringi atau disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar
dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu harus disertai
pembuktian secara yuridis.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti
yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara
yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan ( juridicto contentiosa ) maupun
dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan ( juridicto
voluntair ). Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk
menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar
ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat
menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil
untuk membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya
tersebut akan ditolak, namun apabila sebaliknya maka gugatannya tersebut akan
dikabulkan.12

Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan :

“ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu


perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain,
haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab
dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu
dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus
membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara tersebut yang akan menentukan
siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang diwajibkan memberikan bukti, apakah
pihak penggugat atau pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang
menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian. Hakim berwenang
membebankan kepada para pihak untuk mengajukan suatu pembuktian dengan

Dalam melakukan pembuktian seperti yang telah disebutkan di atas, para pihak yang
berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara di persidangan harus
mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum pembuktian yang mengatur tentang
cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti serta kekuatan alat-alat
bukti tersebut, dan sebagainya. Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR ( Herziene
Indonesische Reglement ) yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162
sampai dengan Pasal 177; RBg ( Rechtsreglement voor de Buitengewesten ) berlaku
diluar wilayah Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314; Stb. 1867 No.
29 tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan; dan BW ( Burgerlijk
Wetboek ) atau KUHPerdata Buku IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945.
 
1. Prinsip Hukum Pembuktian

Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian.


Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip
dimaksud.

Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil

Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif
menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel ), seperti dalam proses .
pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan
diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan
mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah
yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar
berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap
bernilai sebagai kebenaran hakiki.14 Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183
KUHAP.15 Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang
dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada
dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran
materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum
mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.16

Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai
pegangan bagi hakim maupun bagi para pihak yang berperkara.

1. Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif

Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang
diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam
proses perkara perdata hanya terbatas pada mencari dan menemukan kebenaran
formil, dimana kebenaran tersebut diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-
fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung.
Sehubungan dengan sifat pasif tersebut, apabila hakim yakin bahwa apa yang digugat
dan diminta penggugat adalah benar, tetapi penggugat tidak mampu mengajukan bukti
tentang kebenaran yang diyakininya, maka hakim harus menyingkirkan keyakinan itu
dengan menolak kebenaran dalil gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam
persidangan.

Makna pasif bukan hanya sekedar menerima dan memeriksa apa-apa yang diajukan
para pihak, tetapi tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan
ke persidangan, dengan ketentuan :17

1) Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan
atau menambah pembuktian yang diperlukan. Semuanya itu menjadi hak dan
kewajiban para pihak. Cukup atau tidak alat bukti yang diajukan terserah sepenuhnya
kepada kehendak para pihak. Hakim tidak dibenarkan membantu pihak manapun untuk
melakukan sesuatu, kecuali sepanjang hal yang ditentukan undang-undang. Misalnya
berdasarkan Pasal 165 RBg/139 HIR, salah satu pihak dapat meminta bantuan kepada
hakim untuk memanggil dan menghadirkan seorang saksi melalui pejabat yang
berwenang agar saksi tersebut menghadap pada hari sidang yang telah ditentukan,
apabila saksi yang bersangkutan relevan akan tetapi pihak tersebut tidak dapat
menghadirkan sendiri saksi tersebut secara sukarela.

2) Menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di


persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim.

3) Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan penggugat
dalam gugatan. Hakim tidak boleh melanggar asas ultra vires atau ultra petita
partium yang digariskan Pasal 189 RBg/178 HIR ayat  (3) yang menyatakan hakim
dilarang menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih
daripada yang digugat. Misalnya yang dituntut penggugat Rp. 100 juta, tetapi di
persidangan terbukti kerugian yang dialami Rp. 200 juta, maka yang boleh dikabulkan
hanya terbatas Rp. 100 juta sesuai dengan tuntutan yang disebut dalam petitum
gugatan.
1. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta

Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak atau
dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta
yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan dukungan
fakta-fakta. Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada fakta-fakta yang
mendukungnya.

1) Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas yang diajukan dalam persidangan.

Para pihak diberi hak dan kesempatan menyampaikan bahan atau alat bukti, kemudian
bahan atau alat bukti tersebut diserahkan kepada hakim. Bahan atau alat bukti yang
dinilai membuktikan kebenaran yang didalilkan pihak manapun hanya fakta langsung
dengan perkara yang disengketakan. Apabila bahan atau alat bukti yang disampaikan
di persidangan tidak mampu membenarkan fakta yang berkaitan dengan perkara yang
disengketakan maka tidak bernilai sebagai alat bukti.18

2) Fakta yang terungkap di luar persidangan. Di atas telah dijelaskan bahwa hanya
fakta-fakta yang diajukan di persidangan yang dapat dinilai dan diperhitungkan untuk
menentukan kebenaran dalam mengambil putusan. Artinya, fakta yang dapat dinilai dan
diperhitungkan hanya yang disampaikan oleh para pihak kepada hakim dalam
persidangan. Hakim tidak dibenarkan menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang
tidak diajukan pihak yang berperkara. Misalnya, fakta yang ditemukan hakim dari surat
kabar atau majalah adalah fakta yang diperoleh hakim dari sumber luar, bukan dalam
persidangan maka tidak dapat dijadikan fakta untuk membuktikan kebenaran yang
didalilkan oleh salah satu pihak. Walaupun sedemikian banyak fakta yang diperoleh dari
berbagai sumber, selama fakta tersebut bukan diajukan dan diperoleh dalam
persidangan maka fakta tersebut tidak dapat dinilai dalam mengambil putusan.
Meskipun banyak orang yang memberitahukan dan menunjukkan fakta kepada hakim
tentang kebenaran perkara yang disengketakan, fakta tersebut harus ditolak dan
disingkirkan dalam mencari kebenaran atas perkara dimaksud. Fakta yang demikian
disebut out of court, oleh karena itu tidak dapat dijadikan dasar mencari dan
menemukan kebenaran.19

3) Hanya fakta berdasar kenyataan yang bernilai pembuktian.

Selain fakta harus diajukan dan ditemukan dalam proses persidangan, fakta yang
bernilai sebagai pembuktian, hanya terbatas pada fakta yang konkret dan relevan yakni
jelas dan nyata membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang berkaitan langsung
dengan perkara yang disengketakan. Dengan kata lain, alat bukti yang dapat diajukan
hanyalah yang mengandung fakta-fakta konkret dan relevan atau bersifat prima facie,
yaitu membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang langsung berkaitan erat dengan
perkara yang sedang diperiksa. Sedangkan fakta yang abstrak dalam hukum
pembuktian dikategorikan sebagai hal yang semu, oleh karena itu tidak bernilai sebagai
alat bukti untuk membuktikan sesuatu kebenaran.20
2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara

Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak
memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara.
Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan
penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena dengan
pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum yang terjadi antara
para pihak. Begitu juga sebaliknya, kalau penggugat membenarkan dan mengakui dalil
bantahan yang diajukan tergugat, berarti sudah dapat dipastikan dan dibuktikan
gugatan yang diajukan penggugat sama sekali tidak benar. Apalagi jika didekati dari
ajaran pasif, meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan itu bohong atau
berlawanan dengan kebenaran, hakim harus menerima pengakuan itu sebagai fakta
dan kebenaran. Oleh karena itu, hakim harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan
pengakuan tersebut materi pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas.21

Akan tetapi, agar penerapan pengakuan mengakhiri perkara tidak keliru, perlu
dijelaskan lebih lanjut beberapa hal antara lain sebagai berikut :22
1. Pengakuan yang diberikan tanpa syarat.

Pengakuan yang berbobot mengakhiri perkara, apabila :

1) Pengakuan diberikan secara tegas

Pengakuan yang diucapkan atau diutarakan secara tegas baik dengan lisan atau tulisan
di depan persidangan.

2) Pengakuan yang diberikan murni dan bulat

Pengakuan tersebut bersifat murni dan bulat serta menyeluruh terhadap materi pokok
perkara, dengan demikian pengakuan yang diberikan harus tanpa syarat atau tanpa
kualifikasi dan langsung mengenai materi pokok perkara.

Apabila pengakuan yang diberikan bersyarat, apalagi tidak ditujukan terhadap pokok
perkara, maka pengakuan tersebut tidak dapat dijadikan dasar mengakhiri pemeriksaan
perkara.

1. Tidak menyangkal dengan cara berdiam diri.

Apabila tergugat tidak mengajukan sangkalan tetapi mengambil sikap berdiam diri
peristiwa itu tidak dapat ditafsirkan menjadi fakta atau bukti pengakuan tanpa syarat,
oleh karena itu sikap tergugat tersebut tidak dapat dikonstruksi sebagai pengakuan
murni dan bulat karena kategori pengakuan yang demikian harus dinyatakan secara
tegas barulah sah dijadikan pengakuan yang murni tanpa syarat, sedangkan dalam
keadaan diam tidak pasti dengan jelas apa saja yang diakui sehingga belum tuntas
penyelesaian mengenai pokok perkara oleh karena itu, tidak sah menjadikannya dasar
mengakhiri perkara.

1. Menyangkal tanpa alasan yang cukup.


Dalam hal ini ada diajukan sangkalan atau bantahan tetapi tidak didukung dengan
dasar alasan ( opposition without basic reason ) dapat dikonstruksi dan dianggap
sebagai pengakuan yang murni dan bulat tanpa syarat sehingga membebaskan pihak
lawan untuk membuktikan fakta-fakta materi pokok perkara dengan demikian proses
pemeriksaan perkara dapat diakhiri.
Akan tetapi perkembangan praktik memperlihatkan kecenderungan yang lebih bersifat
lentur, yang memberikan hak kepada pihak yang berdiam diri atau kepada yang
mengajukan sangkalan tanpa alasan ( opposition without basic reason ) untuk
mengubah sikap diam atau sangkalan itu dalam proses persidangan selanjutnya, dan
hal itu merupakan hak sehingga hakim wajib memberi kesempatan kepada yang
bersangkutan untuk mengubah dan memperbaikinya. Lain halnya pengakuan yang
diberikan secara tegas di persidangan. Pengakuan tersebut langsung bersifat
mengikat ( binding ) kepada para pihak, oleh karena itu tidak dapat dicabut
kembali ( onherroeppelijk ) dan juga tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi sesuai
dengan ketentuan Pasal 1926 KUHPerdata.23
3. Fakta-fakta yang Tidak Perlu Dibuktikan
Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau
peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang
didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal
pihak lawan pada sisi lain.24 Sehubungan dengan itu, akan diuraikan hal-hal yang tidak
perlu dibuktikan dalam pemeriksaan perkara perdata.
1. a) Hukum positif tidak perlu dibuktikan
Hal ini bertitik tolak dari doktrin curia novit jus atau jus curia novit, yakni pengadilan
atau hakim dianggap mengetahui segala hukum positif. Bahkan bukan hanya hukum
positif tetapi meliputi semua hukum. Pihak yang berperkara tidak perlu menyebut
hukum mana yang dilanggar dan hukum mana yang harus diterapkan, karena hal itu
dianggap sudah diketahui hakim. Namun yang perlu diingat sehubungan dengan
permasalahan ini adalah sebagai berikut :25
1. Hakim harus melaksanakan hukum yang sesuai dengan kasus yang
disengketakan, dan hukum yang harus diterapkan, tidak boleh sedikitpun
bertentangan dengan hukum positif maupun dengan hukum objektif yang
berlaku.
2. Hakim diwajibkan mencari dan menemukan hukum yang persis berlaku untuk
diterapkan dalam perkara yang bersangkutan baik dari kumpulan perundang-
undangan, berita negara, yurisprudensi atau komentar hukum.
iii. Para pihak yang berperkara tidak dapat dituntut untuk membuktikan kepada hakim
tentang adanya peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi yang berlaku
terhadap perkara yang disengketakan. Bahkan mengenai hukum kebiasaan pun tidak
dapat dituntut pembuktiannya kepada para pihak yang berperkara.

1. b) Fakta yang diketahui umum tidak dibuktikan


Mengenai fakta yang diketahui umum tidak dibuktikan, dalam hukum acara perdata
tidak diatur secara tegas, tetapi hal ini telah diterima secara luas sebagai suatu doktrin
hukum pembuktian yang dikenal dengan notoir feiten atau fakta notoir. Adapun
pengertian fakta yang diketahui umum yaitu setiap peristiwa atau keadaan yang
dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan atau beradab yang mengikuti
perkembangan jaman, mereka dianggap harus mengetahui kejadian atau keadaan
tersebut tanpa melakukan penelitian atau pemeriksaan yang seksama dan mendalam
dan hal tersebut diketahui secara pasti berdasarkan pengalaman umum dalam
kehidupan masyarakat, bahwa kejadian atau keadaan itu memang demikian, untuk
dipergunakan sebagai dasar hukum membenarkan sesuatu tindakan kemasyarakatan
yang serius dalam bentuk putusan hakim.26 Misalnya, merupakan fakta notoir bahwa
pada hari minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di kota lebih
mahal daripada harga tanah di desa.

Sehubungan dengan hal yang telah diuraikan di atas, fakta yang diketahui hakim
secara pribadi tidak termasuk fakta yang diketahui umum. Oleh karena itu, fakta yang
diketahui hakim secara pribadi tidak dapat berdiri sendiri sebagai bukti tetapi harus
didukung lagi oleh alat bukti lain untuk mencapai batas minimal pembuktian.27

1. c) Fakta yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan

Sesuai dengan prinsip pembuktian, yang wajib dibuktikan ialah hal atau fakta yang
disangkal atau dibantah oleh pihak lawan. Bertitik tolak dari prinsip ini maka fakta yang
tidak disangkal oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan karena secara logis sesuatu
fakta yang tidak dibantah dianggap telah terbukti kebenarannya. Tidak menyangkal
atau membantah dianggap mengakui dalil dan Fakta yang ditemukan selama proses
persidangan tidak perlu dibuktikan
Fakta atau peristiwa yang diketahui, dialami, dilihat atau didengar hakim selama proses
pemeriksaan persidangan berlangsung, tidak perlu dibuktikan. Karena fakta atau
peristiwa itu memang demikian adanya sehingga telah merupakan kebenaran yang
tidak perlu lagi dibuktikan sebab hakim sendiri mengetahui bagaimana yang
sebenarnya. Misalnya, tergugat tidak datang menghadiri sidang yang telah ditentukan,
penggugat tidak perlu membuktikan fakta tersebut sebab hakim sendiri mengetahuinya
dan bahkan hal tersebut telah dicatat pula dalam berita acara. Atau misalnya apabila
penggugat ataupun tergugat menyatakan pengakuan secara tegas di persidangan,
peristiwa itu tidak perlu dibuktikan karena hakim mengetahui dan mendengar sendiri hal
tersebut. Atau ketika tergugat menolak ataupun tidak mampu menunjukkan surat,
dokumen asli maupun fotokopi alat bukti yang diajukannya, hal ini merupakan fakta
yang tidak perlu dibuktikan, karena hakim sendiri melihat dan mengetahui sendiri hal
tersebut melalui persidangan, bahkan hal tersebut tercatat dalam berita acara sidang.29

4. Bukti Lawan ( Tegenbewijs )

Salah satu prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberi hak kepada pihak lawan
mengajukan bukti lawan.

Pasal 1918 KUHPerdata menyatakan :

“ Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seorang
telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, di dalam suatu
perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah
dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya. “

Dengan kata lain, Pasal 1918 KUHPerdata ini memberi hak kepada pihak lawan untuk
mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang
dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs.
Dalam teori maupun praktek, bukti lawan selalu dikaitkan dengan pihak tergugat. Oleh
karena itu, bukti lawan selalu diartikan sebagai bukti penyangkal (contra-enquete ) yang
diajukan dan disampaikan oleh tergugat di persidangan untuk melumpuhkan
pembuktian yang dikemukakan pihak lawan.30 Adapun tujuan utama pengajuan bukti
lawan selain untuk membantah dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan, juga
dimaksudkan untuk meruntuhkan penilaian hakim atas kebenaran pembuktian yang
diajukan pihak lawan tersebut.
Terdapat dua prinsip pokok yang harus diperhatikan sehubungan dengan penerapan
bukti lawan. Prinsip yang pertama, semua alat bukti yang diajukan pihak lain, dalam hal
ini penggugat, dapat dibantah atau dilumpuhkan dengan bukti lawan. A. Pitlo
menyatakan bahwa bukti lawan dapat dikemukakan juga dalam hal bukti yang diberikan
mempunyai daya pembuktian wajib. Semua bukti dapat disangkal ataupun dilemahkan.
Beliau juga menambahkan bahwa bukti lawan adalah bukti yang sama mutunya dan
sama kadarnya dengan bukti. Alat yang dipakai untuk memberikan bukti lawan adalah
sama dengan alat yang dipakai untuk memberikan bukti, dan daya alat-alat itu sama
kuatnya.31 Prinsip yang kedua, tidak semua alat bukti dapat dilumpuhkan dengan bukti
lawan. Hal ini tergantung pada ketentuan undang-undang. Apabila undang-undang
menentukan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti itu bersifat
menentukan ( beslissende bewijs kracht ) atau memaksa ( dwingende bewijs
kracht ) maka alat bukti tersebut tidak dapat dibantah maupun dilumpuhkan dengan
bukti lawan. Misalnya alat bukti sumpah pemutus ( beslissende eed ) yang disebut
dalam Pasal 1929 KUHPerdata dan Pasal 182 RBg/155 HIR. Dengan begitu, bukti
lawan hanya dapat diajukan terhadap alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan bebas (
vrijbewijs kracht ), seperti alat bukti saksi maupun alat bukti yang mempunyai nilai
kekuatan sempurna ( volledig bewijskracht ) seperti akta otentik atau akta di bawah
tangan.32

Suatu hal yang perlu diperhatikan, pada dasarnya pengajuan bukti lawan harus
berdasarkan asas proporsional. Artinya bahwa bukti lawan yang diajukan tidak boleh
lebih rendah nilainya dari bukti yang hendak dilumpuhkan. Sehubungan dengan hal itu
pula, dianggap beralasan menentukan syarat ataupun kadar bukti lawan yang dapat
diajukan untuk melumpuhkan bukti yang diajukan pihak lawan yaitu :33

1) mutu dan kadar kekuatan pembuktiannya paling tidak sama dengan bukti yang
dilawan,

2) alat bukti lawan yang diajukan sama jenis dengan alat bukti yang dilawan,
3) kesempurnaan dan nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya sama kuatnya.

Akan tetapi, persyaratan itu tidak mutlak apabila peraturan perundang-undangan


menentukan lain maka syarat tersebut dapat disingkirkan.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai macam-macam alat bukti, maka terlebih
dahulu harus diketahui dan dimengerti beberapa pengertian tentang bukti dan juga
beberapa teori pembuktian.

1. Bukti lemah
Bukti lemah adalah alat bukti yang dikemukakan penggugat yang sedikitpun tidak
memberikan pembuktian atau memberikan pembuktian tetapi tidak memenuhi syarat
yang dibutuhkan untuk menerima dalil-dalil gugatan, artinya alat bukti ini hanya
mempunyai daya bukti permulaan ( kracht van begin bewijs ). Jadi derajat bukti yang
dibutuhkan belum tercapai oleh karena itu gugatan harus ditolak dan penggugat
sebagai pihak yang kalah. Daya bukti permulaan saja tidak dapat menjadi dasar hakim
bagi penerimaan suatu gugatan.34
2. Bukti sempurna
Bukti sempurna adalah bukti yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan telah
sempurna, artinya tidak perlu lagi melengkapi dengan alat bukti lain, dengan tidak
mengurangi kemungkinan diajukan dengan bukti sangkalan ( tengen bewijs). Jadi
dengan bukti sempurna yang diajukan tersebut, memberikan kepada hakim kepastian
yang cukup, akan tetapi masih dapat dijatuhkan oleh bukti sangkalan. Dengan
demikian, bukti sempurna mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan
penggugat benar dan harus diterima kecuali tergugat dengan bukti
sangkalannya ( tengen bewijs ) berhasil mengemukakan alat bukti yang berdaya bukti
cukup guna menyangkal apa yang dianggap oleh hakim telah benar.35
3. Bukti pasti/menentukan ( Beslissend Bewijs )

Akibat diajukan pembuktian dengan alat bukti yang mempunyai daya bukti
pasti/menentukan, maka terhadap pembuktian tersebut tidak diperbolehkan untuk
memajukan bukti sangkalan. Pembuktian dengan alat bukti pasti/menentukan,
mengakibatkan bagi penggugat atau tergugat yang mengemukakan alat bukti tersebut,
suatu posisi yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Dengan demikian tuntutan yang
diajukan dianggap benar, beralasan dan dapat diterima. Peluang pihak lawan untuk
mengajukan bukti sangkalan tidak ada lagi.36

4. Bukti yang mengikat ( Verplicht Bewijs )

Dengan adanya alat bukti yang mempunyai daya bukti mengikat, maka hakim wajib
untuk menyesuaikan keputusannya dengan pembuktian tersebut. Contoh dalam hal ini
adalah dalam hal adanya sumpah pemutus ( sumpah decissoir ).37

5 Bukti sangkalan ( Tengen Bewijs )

Bukti sangkalan adalah alat bukti yang dipergunakan dalam bantahan terhadap
pembuktian yang diajukan oleh lawan dalam persidangan. Pembuktian ini bertujuan
untuk menggagalkan gugatan pihak lawan. Pada prinsipnya segala bukti dapat
dilemahkan dengan bukti sangkalan, kecuali undang-undang sendiri secara tegas
melarang diajukannya suatu alat bukti sangkalan, misalnya terhadap sumpah pemutus (
sumpah decissoir )yang diatur dalam Pasal 1936 KUHPerdata.38

Seperti telah diuraikan di atas, maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh
hakim. Namun, hakim yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-
alat buktinya. Ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman
bagi hakim :

Teori hukum subyektif ( teori hak )

Teori ini menetapkan bahwa barangsiapa yang mengaku atau mengemukakan suatu
hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.

2. Teori hukum objektif

Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum
atas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.

3, Teori hukum acara dan Teori kelayakan

Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama yakni hakim seyogianya berdasarkan
kepatutan membagi beban pembuktian. Asas audi et alteram partem atau juga asas
kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan asas
pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban
pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim
harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga
kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.

Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk

Universitas Sumatera Utara menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai


pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim, dan
hanya judex facti. Terdapat 3 ( tiga ) buah teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti
yang diajukan oleh para pihak :

Teori pembuktian bebas

Teori ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai
alat bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya ikatan-
ikatan oleh ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki
kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh
rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak
terpengaruh oleh apapun dan oleh siapapun.39

2. Teori pembuktian negatif

Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat


negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan
pengecualian. ( Pasal 306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata )40

Pasal 306 RBg/169 HIR :

“ Keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat
dipercayai di dalam hukum. “

Pasal 1905 KUHPerdata :


“ Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak
boleh dipercaya. “

3. Teori pembuktian positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim.
Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. ( Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870
KUHPerdata )41

Pasal 285 RBg/165 HIR :

“ Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh
atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan
bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang
mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan
juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang
tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan
pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “

Pasal 1870 KUHPerdata :

“ Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya
atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang
apa yang dimuat didalamnya. “

Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hukum pembuktian terdiri
dari :

1. Pembuktian formil, mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti


terdapat dalam RBg/HIR.
2. Pembuktian materiil, mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-
alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari bukti itu.
Macam-Macam Alat Bukti

Dari urutan alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, maka alat bukti tulisan atau
surat merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara perdata. Berbeda dengan
alat bukti dalam perkara pidana di mana alat bukti yang paling utama adalah
keterangan saksi.42 Hal ini dikarenakan seseorang yang melakukan tindak pidana
selalu menyingkirkan atau melenyapkan bukti-bukti tulisan dan apa saja yang
memungkinkan terbongkarnya tindak pidana yang dilakukan oleh para pelakunya,
sehingga bukti harus dicari dari keterangan orang-orang yang secara kebetulan melihat,
mendengar, atau mengalami sendiri kejadian yang merupakan tindak pidana tersebut.
Sebaliknya, dalam praktek perdata misalnya dalam perjanjian jual-beli, tukar-menukar,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penghibahan, perwasiatan, pengangkutan,
asuransi, dan sebagainya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut
umumnya dengan sengaja membuat bentuk tulisan untuk keperluan pembuktian di
kemudian hari jika diperlukan, misalnya apabila satu ketika timbul sengketa atas
perbuatan tersebut maka dapat dibuktikan permasalahan dan kebenarannya dengan
akta yang bersangkutan. Atas kenyataan tersebut, dalam perkara perdata alat bukti
yang dianggap paling dominan dan determinan adalah alat bukti tulisan atau surat.

Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan , maka pihak yang diwajibkan
membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah melihat atau
mengalami sendiri peristiwa orang-orang yang harus dibuktikan tersebut. Orang-orang
tersebut di muka hakim diajukan sebagai saksi. Orang-orang tersebut mungkin saja
pada waktu terjadinya peristiwa itu dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan
kejadian yang berlangsung ( misalnya dalam perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, dan
lain-lain ) dan ada pula orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami
peristiwa yang dipersengketakan tersebut.

Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami
sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk membuktikan
peristiwa-peristiwa lain yang memiliki hubungan erat dengan peristiwa yang harus
dibuktikan tadi, dan dari peristiwa itu hakim dapat mengambil suatu kesimpulan.
Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya peristiwa-peristiwa lain
inilah yang dinamakan persangkaan. Bila pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu
merupakan pembuktian secara langsung, maka pembuktian dengan persangkaan
dinamakan pembuktian secara tak langsung karena pembuktian yang diajukan tidak
bersifat fisik melainkan diperoleh dari kesimpulan sesuatu hal atau peristwa yang terjadi
di persidangan. Persangkaan, selain yang merupakan kesimpulan yang ditarik oleh
hakim dari suatu peristiwa yang dipersengketakan yang disebut dengan persangkaan
hakim, ada pula yang merupakan ketentuan undang-undang yang mengambil
kesimpulan-kesimpulan seperti yang dilakukan oleh hakim yang disebut juga
dengan persangkaan undang-undang.
Pengakuan dan sumpah juga termasuk dalam kelompok pembuktian secara tak
langsung. Karena pada dasarnya pengakuan bukan berfungsi membuktikan tetapi
pembebasan pihak lawan untuk membuktikan hal yang diakui pihak lain. Jika tergugat
mengakui dalil penggugat, pada dasarnya tergugat bukan membuktikan kebenaran dalil
tersebut, tetapi membebaskan penggugat dari kewajiban beban pembuktian untuk
membuktikan dalil yang dimaksud. Sama halnya dengan sumpah, dalam hal ini, dengan
diucapkannya sumpah yang menentukan ( decisoir eed ) atau sumpah
tambahan ( aanvullend eed ) dari suatu peristiwa maka dapat disimpulkan adanya
suatu kebenaran tentang hal yang dinyatakan dalam lafal sumpah. Dengan kata lain,
sumpah bukan membuktikan kebenaran tentang apa yang dinyatakan dalam sumpah
tersebut, tetapi dari sumpah itu disimpulkan kebenaran yang dijelaskan dari sumpah
tersebut.

Selain lima macam alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 1866 KUHPerdata maupun
Pasal 284 RBg/164 HIR, RBg/HIR masih mengenal alat pembuktian lain yaitu
pemeriksaan setempat dan keterangan ahli, seperti yang ditentukan dalam pasal-pasal
berikut :

Pasal 180 RBg/153 HIR ayat (1) menyatakan :


“ Jika dianggap dan berguna, maka Ketua dapat mengangkat seorang atau dua orang
komisaris daripada pengadilan itu, yang dengan bantuan Panitera akan memeriksa
sesuatu keadaan setempat, sehingga dapat menjadi keterangan kepada hakim.“

Pasal 181 RBg/154 HIR ayat (1) menyatakan :

“ Jika menurut pertimbangan pengadilan, bahwa perkara itu dapat menjadi lebih terang,
kalau diadakan pemeriksaan seorang ahli, maka dapat ia mengangkat seorang ahli,
baik atas permintaan kedua belah pihak, maupun karena jabatannya.“

Ada juga alat bukti yang tidak disebutkan dalam undang-undang yaitu foto, film,
rekaman video/tape/CD serta mikrofilm dan mikrofische.43 Menurut surat Ketua
Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI Nomor 37/TU/88/102/Pid tanggal
14 Januari 1988, mikrofilm atau mikrofische dapat dijadikan alat bukti surat dengan
catatan bila bisa dijamin keotentikannya yang dapat ditelusuri dari registrasi maupun
berita acara. Hal tersebut berlaku terhadap

perkara-perkara pidana maupun perdata. Dalam sistem hukum pembuktian di


Indonesia, terdapat beberapa doktrin pengelompokkan alat bukti, yang membagi alat-
alat bukti ke dalam kategori :44

Oral Evidence
1. Perdata ( keterangan saksi, pengakuan dan sumpah ).
2. Pidana ( keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa ).
Documentary Evidence
1. Perdata ( surat dan persangkaan ).
2. Pidana ( surat dan petunjuk ).
Material Evidence
1. Perdata ( tidak dikenal )
2. Pidana ( barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, barang yang
digunakan untuk membantu tindak pidana, barang yang merupakan hasil dari
suatu tindak pidana, barang yang diperoleh dari suatu tindak pidana dan
informasi dalam arti khusus ).
Electronic Evidence
Konsep pengelompokkan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan elektronik. Konsep ini
terutama berkembang di negara-negara common law. Pengaturannya tidak melahirkan
alat bukti baru, tetapi memperluas cakupan alat bukti yang masuk
kategori documentary evidence.

Adapun menurut KUHPerdata maupun RBg/HIR alat-alat bukti dalam hukum acara
perdata terdiri atas :

1. Bukti Tulisan atau Surat

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bukti tulisan dalam perkara perdata


merupakan bukti yang utama dalam lalu lintas keperdataan. Pada masa sekarang ini,
orang-orang yang terlibat dalam suatu perjanjian dengan sengaja membuat atau
menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti
tersebut dapat dipergunakan dikemudian hari terutama apabila timbul suatu
perselisihan sehubungan dengan perjanjian tersebut. Dalam hukum acara perdata alat
bukti tulisan atau surat diatur dalam Pasal 164 RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai
dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal
1867 sampai dengan Pasal 1894 KUHPerdata.

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian alat bukti tulisan, antara lain: 1) Menurut
A. Pitlo,

“ alat pembuktian dengan bentuk tertulis yang disebut dengan surat adalah pembawa
tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran. “45

2)

Menurut Sudikno Mertokusumo,

“ alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda- tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. “46

3) Menurut Teguh Samudera,

“ surat adalah suatu pernyataan buah pikiran atau isi hati yang diwujudkan dengan
tanda-tanda bacaan dan dimuat dalam sesuatu benda. “47
4) Menurut H. Riduan Syahrani,

Universitas Sumatera Utara

48 H. Riduan Syahrani, op cit. hlm. 91.

“ alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dapat
dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. “48

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa alat bukti tulisan
adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang merupakan buah pikiran
atau isi hati dari orang yang membuatnya. Maka surat yang dijadikan alat pembuktian
ditekankan pada adanya tanda-tanda bacaan yang menyatakan buah pikiran. Jadi,
walaupun ada sesuatu benda yang memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak
menyatakan buah pikiran atau isi hati, maka hal tersebut tidak termasuk sebagai alat
bukti tertulis atau surat.

Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang
kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi
dalam hukum pembuktian, alat bukti tulisan terdiri dari :

Akta

Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk
dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan
demikian, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah
kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh
orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani. Maka tidak
setiap surat dapat dikatakan sebagai akta.
Adanya tanda tangan dalam suatu akta adalah perlu untuk identifikasi yaitu
menentukan ciri-ciri atau membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya. Dan
dengan penandatanganan itu seseorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari
apa yang ditulis dalam akta tersebut. Yang dimaksud dengan penandatanganan ialah
membubuhkan suatu tanda dari tulisan tangan yang merupakan spesialisasi sesuatu
surat atas nama si pembuat. Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri oleh yang
bersangkutan dan atas kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau cap jempol
dianggap identik dengan tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu keterangan yang
diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang.
Pengesahan sidik jari atau cap jempol oleh pihak yang berwenang dikenal
dengan waarmerking.

Ditinjau dari segi hukum pembuktian akta mempunyai beberapa fungsi,

1. Akta Berfungsi sebagai Formalitas Kausa

Maksudnya, suatu akta berfungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu
perbuatan hukum. Apabila perbuatan hukum yang dilakukan tidak dengan akta, maka
perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah terjadi.49 Dalam hal ini dapat diambil
contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal-pasal 1681, 1682, 1683 KUHPerdata
tentang cara menghibahkan ; 1945 KUHPerdata tentang sumpah di muka hakim, untuk
akta otentik sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti dalam Pasal-pasal 1610
KUHPerdata tentang pemborongan kerja, 1767 KUHPerdata tentang meminjamkan
uang dengan bunga, 1851 KUHPerdata tentang perdamaian. Jadi akta disini
maksudnya digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum.

1. Akta Berfungsi sebagai Alat Bukti

Fungsi utama akta ialah sebagai alat bukti. Artinya tujuan utama membuat akta
memang diperuntukkan dan dipergunakan sebagai alat bukti. Dalam masyarakat
sekarang, segala aspek kehidupan dituangkan dalam bentuk akta. Misalnya, dalam
perjanjian jual-beli para pihak menuangkannya dalam bentuk akta dengan maksud
sebagai alat bukti tertulis tentang perjanjian tersebut. Bila timbul sengketa, sejak
semula telah tersedia akta untuk membuktikan kebenaran transaksi.

1. Akta Berfungsi sebagai Probationis Kausa

Artinya, akta sebagai satu-satunya alat bukti yang dapat dan sah membuktikan suatu
hal atau peristiwa. Jadi, fungsi akta tersebut merupakan dasar untuk membuktikan
suatu hal atau peristiwa tertentu, tanpa akta peristiwa atau hubungan hukum yang
terjadi tidak dapat dibuktikan. Kedudukan dan fungsi akta tersebut bersifat spesifik.
Misalnya, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, hak
tanggungan hanya dapat dibuktikan dengan akta hak tanggungan sesuai ketentuan
Pasal 10 UU No. 4 Tahun 1996, jaminan fidusia hanya dapat dibuktikan dengan akta
jaminan fidusia berdasar Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1999. Berbeda halnya dengan
perjanjian jual-beli barang. Pembuktiannya tidak digantungkan satu-satunya pada surat
perjanjian jual-beli tertentu, tetapi dapat dibuktikan dengan keterangan saksi,
persangkaan, pengakuan ataupun dengan sumpah, tidak harus dengan akta. Akta ini
dapat di bagi lagi ke dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.

akta otentik

Pasal 285 RBg/165 HIR menyebutkan bahwa :

“ akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang- undang oleh
atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan
bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang
mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan
juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang
tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan
pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “

Definisi ini tidak berbeda jauh dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan:

“ suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu
di tempat di mana akta dibuatnya. “

Dari kedua defenisi di atas ternyata ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang
dibuat di hadapan pegawai umum atau pejabat umum yang berkuasa membuatnya.
Akta otentik yang dibuat oleh pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta
pejabat ( acte ambtelijk ), sedangkan akta otentik yang dibuat di
hadapan pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta partai ( acte partij ).

Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, camat, panitera,
pegawai pencatat perkawinan, dan lain sebagainya. Berita acara pemeriksaan suatu
perkara di persidangan pengadilan yang dibuat panitera, berita acara penyitaan dan
pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh juru sita, dan berita acara
pelanggaran lalu lintas yang dibuat oleh polisi, merupakan akta-akta otentik yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang, yaitu panitera, juru sita, dan polisi. Sedangkan
akta jual-beli tanah di buat di hadapan camat atau notaris merupakan akta otentik yang
dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah
( PPAT ), yaitu camat dan notaris.

Untuk membuat akta partai ( acte partij ) pejabat tidak pernah memulai insiatif,
sedangkan untuk membuat akta pejabat ( acte ambtelikj ) justru pejabatlah yang
bertindak aktif, yaitu dengan insiatif sendiri membuat akta tersebut. Oleh karena itu,
akta pejabat berisikan tidak lain daripada keterangan tertulis dari pejabat. Sedangkan
dalam akta partai berisikan keterangan para pihak sendiri, yang dituangkan
( diformulasikan ) oleh pejabat ke dalam akta.

akta di bawah tangan

Akta di bawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 1867 No. 29, tidak
dalam HIR. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286
sampai dengan Pasal 305 RBg.52

Dalam Pasal 286 ayat ( 1 ) RBg, dinyatakan :

“ dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah
tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan
seorang pejabat umum. “

Pasal 1874 KUHPerdata, menyebutkan :

“ sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di


bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-
lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum. “

Demikian pula halnya Pasal 1 Stb. 1867 No. 29 menyatakan bahwa surat-surat, daftar
( register ), catatan mengenai rumah tangga, dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa
bantuan seorang pejabat, termasuk dalam pengertian akta di bawah tangan.
Jadi, akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan pejabat umum. Misalnya, kuitansi, perjanjian sewa-menyewa,
dan sebagainya.

Tulisan bukan akta.

Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu
peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan atau surat-
surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada dasarnya
tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.

1. Bukti dengan saksi-saksi

Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam hukum acara
perdata alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR sampai dengan Pasal 179
RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306 RBg/169 HIR sampai dengan
Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902
sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata.

Ada beberapa pendapat mengenai kesaksian :

Menurut A. Pitlo, kesaksian hanya boleh berisikan apa yang dilihat oleh saksi dengan
pancainderanya dan tentang apa yang dapat diketahui sendiri dengan cara yang
demikian. 53

Menurut S. M. Amin, kesaksian hanya gambaran dari apa-apa yang telah dilihat,
didengar dan dialaminya, keterangan-keterangan ini semata-mata bersifat obyektif.54

Menurut Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada


hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam
perkara, yang dipanggil di persidangan.55

Pembuktian dengan alat bukti saksi diperbolehkan dalam segala hal, ini diatur dalam
Pasal 165 RBg/139 HIR dan Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang
menentukan lain. Misalnya, mengenai perjanjian pendirian perseroan firma di antara
para persero firma itu sendiri yang harus dibuktikan dengan akta notaris ( Pasal 22
KUHD ), mengenai perjanjian pertanggungan/asuransi hanya dapat dibuktikan dengan
polis ( Pasal 258 KUHD).

Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh pihak-
pihak yang berperkara. Namun demikian, ada beberapa orang yang tidak dapat
didengar sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146 HIR, serta Pasal 1909 dan
Pasal 1910 KUHPerdata.

Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :

1. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus


dari salah satu pihak;
2. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
3. Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;
4. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.

Adapun alasan pembentuk undang-undang menentukan mereka tidak dapat didengar


sebagai saksi adalah :

1. Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar sebagai
saksi;
2. Untuk menjamin hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan retak
apabila mereka memberikan kesaksian;
3. Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah memberikan
kesaksian.

Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak sebagai saksi
dalam perkara tentang perjanjian pekerjaan.
Orang-orang yang dapat meminta dibebaskan memberi kesaksian adalah :

1. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan salah satu
pihak;
2. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan
dari suami/istri dari salah satu pihak;
3. Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah diwajibkan
menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal itu saja yang
dipercayakan karena martabat, pekerjaan dan jabatannya itu, misalnya dokter,
advokat dan notaris.

Adapun saksi menurut keadaannya, dapat digolongkan ke dalam :

1. Saksi tidak disengaja, yaitu saksi yang secara kebetulan melihat atau
mendengar ataupun mengalami sendiri perbuatan atau peristiwa hukum yang
menjadi perkara. Dengan kata lain, saksi tersebut bukan diminta atau
dipersiapkan oleh para pihak pada saat peristiwa tersebut dilakukan. Misalnya, A
pada saat datang ke rumah B secara kebetulan melihat B dan C mengadakan
transaksi jual beli.
2. Saksi yang disengaja, yaitu saksi yang pada saat perbuatan hukum tersebut

dilakukan telah diminta dengan sengaja oleh para pihak untuk menyaksikan perbuatan
hukum tersebut. Misalnya, orang-orang yang diminta untuk ikut serta menyaksikan
perjanjian jual beli, pembagian warisan, dan lain-lain.

Mengenai kesaksian yang harus diberikan oleh saksi di muka persidangan adalah
tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat, dengar dan alami
sendiri serta alasan atau dasar yang melatarbelakangi pengetahuan tersebut. Dalam
hal ini saksi tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan ataupun memberikan
pendapat tentang kesaksiannya, karena hal ini bukan dianggap sebagai kesaksian
( Pasal 308 RBg/171 ayat ( 2 ) HIR dan Pasal 1907 KUHPerdata ). Kesaksian juga
harus dikemukakan dengan lisan dan secara pribadi di muka persidangan. Dengan
demikian, saksi harus memberitahukan sendiri apa yang diketahuinya, tidak boleh
secara tertulis dan diwakilkan oleh orang lain. Ketentuan ini ditafsirkan dari Pasal 166
ayat ( 1 ) RBg/140 ayat ( 1 ) HIR dan Pasal 176 RBg/148 HIR yang menentukan bahwa
terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan tidak datang diberi sanksi dan
terhadap saksi yang telah datang di persidangan tetapi enggan memberikan keterangan
juga dapat diberi sanksi.56

1. Persangkaan-persangkaan

Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310 RBg/173 HIR dan Pasal 1915 sampai
dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila
terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami
sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Misalnya, dalam perkara gugatan perceraian
yang didasarkan pada perzinahan sangat sulit sekali untuk mendapatkan saksi yang
telah melihat sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk membuktikan peristiwa perzinahan
hakim harus menggunakan alat bukti persangkaan.

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap
terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Jika
yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim maka persangkaan tersebut
dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik kesimpulan tersebut
undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.

Persangkaan dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Persangkaan atas dasar kenyataan ( feitelijke/rechtelijke


vermoedens atau praesumptiones facti )

Dalam hal ini hakimlah yang memutuskan berdasarkan kenyataan, bahwa persangkaan
tersebut terkait erat dengan peristiwa lain sehingga dapat melahirkan pembuktian.
Misalnya, persangkaan hakim dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan
perzinahan. Apabila seorang pria dengan seorang wanita dewasa yang bukan suami
isteri, tidur bersama dalam satu kamar yang hanya punya satu tempat tidur, maka
perbuatan perzinahan tersebut telah terjadi menurut persangkaan hakim.58

2. Persangkaan atas dasar hukum/undang-


undang ( wettelijke/rechtsvermoedens atau praesumptiones juris )
Dalam hal ini undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang
diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan.59 Persangkaan berdasarkan hukum ini
dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu :

1. praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang


memungkinkan adanya pembuktian lawan.
2. praesumtiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak
memungkinkan pembuktian lawan.

Contoh-contoh persangkaan undang-undang :

Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang harus
dibayar kepada si pembawa, maka barangsiapa yang menguasainya dianggap sebagai
pemiliknya ( Pasal 1977 ayat ( 1 ) KUHPerdata ).

Tiap tembok yang dipakai sebagai tembok batas antara 2 ( dua ) pekarangan dianggap
sebagai milik bersama pemilik pekarangan yang berbatasan, kecuali ada suatu alas hak
atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya ( Pasal 633 KUHPerdata ).

Tiap anak yang dilahirkan selama perkawinan, maka suami dari perempuan yang
melahirkan adalah ayahnya ( Pasal 250 KUHPerdata ).

Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bunga pinjaman
uang, dan pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu
tertentu yang lebih pendek, maka dengan adanya 3 ( tiga ) surat tanda pembayaran 3
( tiga ) angsuran berturut-turut, terbitlah persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang
lebih dahulu telah dibayar lunas, kecuali dibuktikan sebaliknya ( Pasal 1394
KUHPerdata ).

 
1. Pengakuan

Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 312 RBg/175
HIR, Pasal 313 RBg/176 HIR serta Pasal 1923 sampai dengan Pasal 1928
KUHPerdata.

Ada beberapa pendapat mengenai defenisi pengakuan :

1) Menurut A. Pitlo,

“ pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara,
dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa
yang dikemukakan pihak lawan. “60

2) Menurut S. M. Amin,

“ pengakuan adalah suatu pernyataan tegas oleh seorang di muka sidang pengadilan,
yang membenarkan seluruh dakwaan ( dalil ) lawan, atau hanya satu atau lebih
daripada satu hak-hak atau hubungan yang didakwakan ( didalilkan ), atau hanya salah
satu atau lebih daripada satu hal-hal yang didakwakan ( didalilkan ). “61

3) Menurut Sudikno Mertokusumo,

“ pengakuan di muka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak baik tertulis


maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di
persidangan yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa,
hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya yang mengakibatkan
pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. “62

Jadi, pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam
perkara, baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan peristiwa, hak atau
hubungan hukum yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak lain. Dengan demikian,
pengakuan merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak atau hubungan
hukum yang didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya.

Pengakuan dapat terjadi di dalam dan di luar sidang pengadilan. Pengakuan yang
terjadi di dalam sidang pengadilan ( Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 1925, Pasal 1926
KUHPerdata ), pengakuan yang dilakukan salah satu pihak di depan hakim dalam
persidangan, pengakuan ini tidak dapat ditarik kembali, kecuali terbukti bahwa
pengakuan tersebut adalah akibat dari suatu kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi.
Sedangkan, pengakuan yang terjadi di luar persidangan ( Pasal 312 RBg/175 HIR,
Pasal 1927 dan 1928 KUHPerdata ), merupakan keterangan yang diberikan oleh salah
satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan
pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh pihak lawan. Pengakuan di luar
persidangan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.

Pengakuan dibeda-bedakan sebagai berikut :

Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya
dengan tuntutan pihak lawan. Pengakuan tersebut mutlak, tidak ada syarat apapun.
Dengan demikian pengakuan tersebut harus dinyatakan terbukti oleh hukum. Misalnya,
penggugat menyatakan bahwa tergugat meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000,00
( satu juta rupiah ), tergugat mengakui bahwa ia memang meminjam uang kepada
penggugat sebesar Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ).

Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan


terhadap sebagian tuntutan si penggugat. Dengan kata lain, pengakuan ini adalah
jawaban tergugat yang memuat sebagian berupa pengakuan dan sebagian lagi berupa
sangkalan atau bantahan. Misalnya, penggugat menyatakan tergugat telah meminjam
uang kepadanya sebesar Rp. 2.000.000,00 ( dua juta rupiah ), tergugat mengakui
memang telah meminjam uang kepada penggugat, tetapi bukan Rp. 2.000.000,00 ( dua
juta rupiah ) melainkan Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ).

Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan


tambahan yang bersifat membebaskan. Keterangan tambahan atau klausula semacam
itu dapat berupa pembayaran, pembebasan atau kompensasi. Pengakuan ini
sebenarnya adalah jawaban tergugat tentang hal pokok yang diajukan oleh penggugat,
tetapi disertai dengan penjelasan tambahan yang menjadi dasar penolakan gugatan.
Misalnya, penggugat menyatakan tergugat telah meminjam uang kepadanya sebesar
Rp. 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ), tergugat mengakui memang meminjam uang
kepada penggugat sebesar Rp. 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ), tetapi hutang tersebut
sudah dibayar lunas.
 

Alat bukti pengakuan harus diterima seluruhnya, hakim tidak bebas untuk menerima
sebagian saja dan menolak sebagian lainnya, sehingga merugikan orang yang
mengakui hal itu. Artinya pengakuan tidak boleh dipecah-pecah. ( Pasal 313 RBg/176
HIR, Pasal 1924 KUHPerdata ).

Universitas Sumatera Utara

1. Sumpah

Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155
sampai dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR, Pasal 1929 sampai
dengan Pasal 1945 KUHPerdata.

Walaupun undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah, para ahli hukum


memberikan pengertiannya, yaitu antara lain :

1) Menurut A. Pitlo,

“ Sumpah adalah hal menguatkan suatu keterangan dengan berseru kepada Tuhan. “63

2) Menurut Sudikno Mertokusumo,

“ Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat
mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau
janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. “64

3) Menurut M. H. Tirtaamidjaja,

“ Sumpah adalah suatu keterangan yang diucapkan dengan khidmat, bahwa jika orang
yang mengangkat sumpah itu memberi keterangan yang tidak benar, ia bersedia
dikutuk Tuhan. “65

4) Menurut Krisna Harahap,

“ Sumpah adalah pernyataan untuk memastikan sesuatu, yang disampaikan atas nama
Yang Maha Kuasa. “66
1. Sumpah oleh salah satu pihak memerintahkan kepada pihak lawan untuk
menggantungkan putusan perkara kepadanya, yakni sumpah pemutus ( sumpah
decissoir );
2. Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu
pihak, yakni :

sumpah penambah/pelengkap ( sumpah suppletoir ) dan

sumpah penaksir ( sumpah taxatoir ).

Kedua macam sumpah tersebut bermaksud untuk menyelesaikan perkara, maka dalam
Pasal 314 RBg/177 HIR menyatakan bahwa apabila salah satu pihak telah
mengucapkan sumpah baik dalam sumpah penambah atau sumpah pemutus, terhadap
pihak tersebut tidak boleh diminta alat bukti lain untuk menguatkan sumpah yang telah
diucapkan. Sehubungan dengan hal itu, praktik alat bukti sumpah baru dapat dilakukan
apabila kedua belah pihak atau hakim telah putus asa dalam mencari alat-alat bukti lain
untuk meneguhkan keterangan-keterangan kedua belah pihak.

Di dalam hukum acara perdata para pihak yang bersengketa tidak boleh didengar
sebagai saksi. Walaupun para pihak tidak dapat didengar sebagai saksi, namun dibuka
kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari para pihak dengan diteguhkan
dengan sumpah, yang dimaksudkan sebagai alat bukti.

1. Sumpah Pemutus

Sumpah pemutus disebut juga sumpah decissoir, diatur dalam Pasal 183 RBg/156 HIR
dan Pasal 1930 KUHPerdata. Sumpah pemutus adalah sumpah yang diajukan oleh
salah satu pihak yang berperkara kepada lawannya. Insiatif untuk membebani sumpah
pemutus adalah dari salah satu pihak yang berperkara dan dia pulalah yang menyusun
rumusan sumpahnya.

Sumpah pemutus harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang
diperintahkan untuk bersumpah. Apabila perbuatan tersebut dilakukan kedua belah
pihak, pihak yang diperintahkan bersumpah, tetapi tidak bersedia, dapat
mengembalikan sumpah tersebut kepada lawannya. Akan tetapi, bila perbuatan yang
dimintakan sumpah bukan merupakan perbuatan yang dilakukan bersama oleh kedua
belah pihak, melainkan hanya dilakukan sendiri oleh pihak yang dibebani sumpah,
maka sumpah tersebut tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan yang tidak ikut
melakukan perbuatan. Pasal183 RBg/156 HIR dan Pasal 1932 KUHPerdata
menyatakan :

“ barangsiapa yang diperintahkan mengangkat sumpah dan menolak mengangkatnya


atau menolak mengembalikannya, ataupun barangsiapa memerintahkan mengangkat
sumpah dan setelah kepadanya sumpah itu dikembalikan ia menolak mengangkatnya,
harus dikalahkan. “

Hakim tidak boleh menolak keinginan pihak-pihak yang berperkara untuk


menyelesaikan perkaranya dengan sumpah pemutus. Hakim hanya
mempertimbangkan, apakah hal-hal atau kejadian-kejadian yang akan dilakukan
dengan sumpah tersebut akan membawa pada penyelesaian perkara dan apakah
benar-benar mengenai hal-hal dan kejadian-kejadian yang benar tidaknya memang
dapat dikuatkan oleh sumpah dari pihak yang berperkara. Bila segala sesuatu untuk
melakukan sumpah telah terpenuhi, hakim harus memperkenankan penyumpahan itu
dan harus memberi putusan sesuai dengan bunyi sumpah tersebut.

Pasal 1936 KUHPerdata menyatakan :

“ apabila seorang yang telah diperintahkan melakukan sumpah pemutus, atau seorang
yang kepada sumpahnya telah dikembalikan pemutusan perkaranya, sudah
mengangkat sumpahnya, maka tak dapatlah pihak lawan diterima untuk membuktikan
kepalsuan sumpah itu. “

Pihak yang memerintahkan pihak lawannya untuk bersumpah harus dikalahkan, tanpa
ada kemungkinan untuk mengajukan alat bukti lain. Jika pihak yang dikalahkan
menuduh bahwa sumpah yang diangkat pihak lawannya itu palsu, maka ia dapat
mengajukan pengaduan kepada aparat yang berwenang dan meminta supaya pihak
yang mengangkat sumpah itu dituntut dalam perkara pidana atas dakwaan bersumpah
palsu yang disebut dalam Pasal 242 KUHPidana.67

2. a) Sumpah Penambah
Sumpah penambah atau sumpah pelengkap disebut juga dengan sumpah suppletoir
diatur dalam Pasal 182 RBg/155 HIR dan Pasal 1940 KUHPerdata. Sumpah penambah
adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu
pihak yang berperkara untuk menambah atau melengkapi pembuktian peristiwa yang
belum lengkap. Jadi, sumpah penambah hanya dapat diperintahkan oleh hakim kepada
salah satu pihak yang berperkara, baik penggugat ataupun tergugat, bila sudah ada
permulaan pembuktian, tetapi masih belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lain. Jika
tanpa ada bukti sama sekali maka hakim tidak dapat memerintahkan salah satu pihak
yang berperkara untuk mengangkat sumpah penambah ini, demikian pula apabila telah
ada alat bukti yang cukup.

Pihak mana yang harus diperintahkan oleh hakim untuk mengangkat

sumpah penambah adalah merupakan kebijaksanaan hakim yang memeriksa tentang


duduk perkaranya, artinya hakim bebas dalam memilih siapa dari pihak-pihak yang
berperkara yang akan dibebani sumpah. Dalam hal ini yang harus dipertimbangkan
oleh hakim ialah pihak mana yang dengan sumpah penambah itu akan menjamin
kebenaran peristiwa yang menjadi perkara. Pihak yang diperintahkan oleh hakim untuk
mengangkat sumpah penambah, tidak boleh mengembalikan sumpah tersebut kepada
pihak lawan.

Hakim dapat memerintahkan sumpah penambah tersebut apabila ia berpendapat


bahwa tuntutan atau tangkisan tidak terbukti dengan sempurna ataupun tuntutan atau
tangkisan tersebut juga tidak sama sekali tidak terbukti. ( Pasal 182 RBg/155 HIR ayat (
1 ) dan Pasal 1941 KUHPerdata )68

Adapun apa yang dinyatakan dalam sumpah penambah tidak harus berhubungan
dengan perbuatan yang dilakukan secara pribadi oleh orang yang bersumpah. Dan
kepada pihak lawan diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa sesuatu yang telah
diteguhkan oleh sumpah tersebut adalah tidak benar.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat diambil beberapa perbedaan yang utama
dari sumpah pemutus dengan sumpah penambah :69
1) sumpah pemutus dibebankan oleh hakim atas insiatif para pihak dalam perkara,
sedangkan sumpah penambah atas insiatif hakim sendiri ;

2) sumpah pemutus hanya diperbolehkan apabila tidak ada suatu bukti apapun,
sedangkan sumpah penambah harus ada permulaan pembuktian ;

3) sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak lain, sedangkan sumpah


penambah tidak dapat dikembalikan atau dialihkan ke pihak lain ;

4) sumpah palsu tidak dapat mempengaruhi akibat dari sumpah pemutus, sedangkan
untuk sumpah penambah dapat dipengaruhi dengan adanya sumpah palsu ;

5) dalam sumpah pemutus yang menjadi objek sumpah harus mengenai perbuatan
pribadi ( meskipun dalam keadaan khusus juga dimungkinkan perbuatan orang lain ),
sedangkan dalam sumpah penambah yang menjadi obyek sumpah adalah perbuatan
orang lain;

6) sumpah pemutus memberikan bukti yang menentukan, sedangkan sumpah


penambah memberikan bukti sementara, yang dapat dilawan dengan bukti lain.

2. b) Sumpah Penaksir

Sumpah penaksir disebut juga dengan sumpah taxatoir atau sumpah aestimatoir, diatur
dalam Pasal 182 RBg/155 HIR dan Pasal 1940 KUHPerdata. Sumpah penaksir yaitu
sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk
menentukan jumlah uang pengganti kerugian. Sumpah penaksir ini diperintahkan oleh
hakim, bila jumlah uang pengganti kerugian yang diderita pihak tergugat tidak jelas,
sehingga perlu dipastikan dengan pembuktian. Dan untuk itu hakim harus menetapkan
harga tertinggi ( Pasal 182 RBg/155 HIR ayat ( 2 ) dan Pasal 1942 KUHPerdata ).

Sumpah penaksir hanya dapat dibebankan kepada si penggugat bila si penggugat telah
membuktikan haknya atas pembayaran kerugian. Sumpah

tersebut dapat dipergunakan oleh hakim bila ia berpendapat bahwa alat bukti yang
telah ada tidak dapat menetapkan besarnya kerugian tersebut.70

Baik sumpah pemutus, sumpah penambah maupun sumpah penaksir harus dijalankan
sendiri oleh pihak yang dibebankan sumpah tersebut. Namun sebagai pengecualian
yang disebabkan karena hal yang penting, Pengadilan Negeri memberi ijin kepada
salah satu pihak untuk melakukan sumpah kepada seorang wakil berdasarkan surat
kuasa ( Pasal 184 RBg/157 HIR ), surat kuasa tersebut harus berupa surat otentik yang
secara seksama dan cukup menyebutkan bunyi lafal sumpah tersebut.71
Pengangkatan sumpah harus dijalankan di dalam persidangan, kecuali apabila ada
halangan yang sah, misalnya pihak yang dibebankan sumpah tersebut sakit, maka
pelaksanaan sumpah dapat dilakukan di rumah orang yang berhalangan dengan
bantuan panitera/panitera pengganti untuk membuat berita acara ( Pasal 185 RBg/158
HIR ). Pelaksanaan sumpah harus diambil dihadapan pihak yang lain, setelah pihak
tersebut dipanggil secara patut, bila tidak maka sumpah tersebut menjadi batal.

Oleh karena sumpah pemutus dan sumpah penambah sama-sama bertujuan


menyelesaikan perkara, maka dalam Pasal 314 RBg/177 HIR dinyatakan :

“ Orang yang di dalam suatu perkara telah mengangkat sumpah, yang dibebankan,
atau ditolak kepadanya oleh lawannya, atau dibebankan kepadanya oleh hakim, orang
itu tidak dapat diminta bukti lain akan meneguhkan apa yang dibenarkannya dengan
sumpah. “

Artinya, kalau sumpah sudah dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak itu tidak
dapat lagi diperintahkan mengadakan bukti lain untuk meneguhkan apa yang sudah
dibenarkannya dengan sumpah tersebut. Jadi, dengan dilakukannya sumpah, maka
pemeriksaan perkara dianggap selesai dan hakim tinggal menjatuhkan putusannya.

1. Pemeriksaan setempat
Hakim terutama pada Pengadilan Negeri sebagai judex facti harus memeriksa fakta-
fakta dari suatu perkara dengan sebaik-baiknya, sehingga ia mengetahui dengan jelas
segala seluk beluknya, dengan itu ia akan dapat mempertimbangkan sebaik-baiknya
dan memberikan putusan yang seadil-adilnya, menurut peraturan hukum yang berlaku.
Akan tetapi, untuk mengetahui dengan jelas segala seluk-beluk suatu perkara kadang
kala bukanlah merupakan hal yang mudah, apalagi bila keterangan yang disampaikan
pihak-pihak yang berperkara bertentangan satu sama lain. Selain itu, terhadap satu
keadaan kadang kala tidak bisa atau tidak begitu mudah dijelaskan secara lisan
ataupun tulisan, bahkan dengan gambar atau sketsa sekalipun, sedangkan untuk
membawa objek yang ingin dijelaskan tersebut ke depan persidangan tidak mungkin,
misalnya benda-benda tetap. Dalam keadaan yang demikian maka untuk mengetahui
keadaan-keadaan atau fakta-fakta dari perkara tersebut dengan sebaik-baiknya perlu
dilakukan pemeriksaan setempat. Dengan melakukan pemeriksaan setempat hakim
dapat melihat atau mengetahui secara langsung bagaimana keadaan atau fakta-fakta
dari suatu perkara. Suatu pemeriksaan setempat dapat dilakukan dengan adanya

1) selisih atau perbedaan batas-batas tanah yang disengketakan oleh penggugat


maupun tergugat,

2) letak suatu bangunan yang disengketakan,

3) barang-barang yang sangat besar dan terletak di suatu tempat atau suatu bangunan,
yang sulit di bawa ke depan persidangan, 4)

suatu kerugian yang timbul akibat perbuatan salah satu pihak terhadap suatu
bangunan.

Keadaan-keadaan tersebut tentu saja tidak dapat diketahui dalam sidang pengadilan
kecuali diadakan pemeriksaan setempat terhadap barang-barang tersebut. Jadi, yang
dimaksud dengan pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai fakta-fakta
atau keadaan-keadaan suatu perkara yang dilakukan hakim karena jabatannya di
tempat objek perkara perdata. Pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 180 RBg/153
HIR.

Dalam praktek pemeriksaan setempat dilakukan oleh hakim ketua sidang, hakim-hakim
anggota, dan panitera pengganti serta dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara. Jika
dipandang perlu pemeriksaan setempat dapat dilakukan dengan mengikutsertakan
aparat keamanan ( polisi ), dan para teknisi seperti juru ukur dan juru gambar dari
Kantor Agraria untuk membantu demi kelancaran pemeriksaan setempat tersebut. Dan
apabila letak barang-barang yang hendak diperiksa tersebut di luar wilayah hukum dari
pengadilan yang menangani perkaranya, kewenangan tersebut dilimpahkan kepada
hakim yang wilayah hukumnya meliputi tanah, bangunan atau barang sengketa
tersebut. Seorang juru sita ( wakil ) yang ditunjuk secara sah oleh hakim Pengadilan
Negeri untuk

melakukan pemeriksaan setempat, berwenang penuh untuk melakukan perintah


tersebut dan hasil pemeriksaannya dapat menjadi keterangan bagi hakim yang
bersangkutan dalam pemeriksaan dan pemutusan perkara yang dihadapinya.

Pemeriksaan setempat bukan dilakukan oleh hakim secara pribadi, melainkan


dilakukan karena jabatannya yang dilakukan jika dianggap perlu dan berguna bagi
pemeriksaan suatu perkara. Meskipun pemeriksaan setempat ini dilakukan hakim
karena jabatannya, namun pihak-pihak yang berperkara dapat memohon agar
pemeriksaan setempat tersebut dilakukan, tetapi yang menentukan tetap hakim ketua
sidang pengadilan.

Walaupun tidak ditetapkan dalam Pasal 284 RBg/164 HIR, pemeriksaan setempat
sesungguhnya juga merupakan alat bukti karena pemeriksaan setempat disamakan
dengan penglihatan hakim atau penyaksian hakim yang dapat dipakai sebagai
pengetahuannya sendiri dalam usaha pembuktian yang kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada hakim, sebab pemeriksaan setempat tersebut dilakukan dalam
upaya agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.

1. Keterangan ahli

Mengenai keterangan ahli diatur dalam Pasal 181 RBg/154 HIR yang menentukan jika
menurut pertimbangan pengadilan suatu perkara dapat menjadi lebih jelas bila
dimintakan keterangan ahli, atas permintaan pihak yang berperkara atau karena
jabatan, hakim dapat mengangkat seorang ahli untuk dimintakan pendapatnya
mengenai sesuatu hal pada perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli ini
dikuatkan dengan sumpah. Maksudnya tidak lain agar

keterangan tersebut disampaikan seobjektif mungkin. Dari ketentuan Pasal 181


RBg/154 HIR ayat ( 2 ) dikatakan bahwa keterangan ahli dapat berbentuk tertulis
maupun lisan yang dikuatkan dengan sumpah. Apa yang diterangkan oleh ahli bukan
merupakan fakta-fakta atau hal-hal yang dilihat, dialami maupun yang didengarnya
sendiri untuk itu hakim tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat ahli jika pendapat ahli
itu berlawanan dengan keyakinannya. Meskipun demikian, tidak berarti pendapat ahli
akan begitu saja diabaikan oleh hakim, apalagi hal-hal yang menyangkut masalah
nonhukum yang hanya diketahui oleh ahli dalam bidang tertentu.

Sampai sekarang keterangan seorang ahli tidak dianggap sebagai alat bukti dalam
perkara perdata sebab keterangan ahli bukan mengenai terjadi atau tidaknya suatu
keadaan dalam suatu perkara, tetapi mengenai pendapat seseorang tentang sesuatu
hal yang memerlukan keahlian. Namun kenyataannya dalam praktek, keterangan ahli
seringkali benar-benar membuktikan sesuatu hal, misalnya tentang sebab seseorang
meninggal dunia atau tentang persamaan contoh barang yang ditawarkan dengan
barang yang telah dijual. Atas dasar ini maka keterangan ahli dianggap sebagai alat
bukti.73

1. Kekuatan Hukum Pembuktian yang Melekat pada Setiap Alat-Alat Bukti

Setiap alat bukti yang telah diuraikan sebelumnya memiliki kekuatan hukum, dimana
kekuatan hukum masing-masing bukti ini dapat mempengaruhi penggunaan alat bukti
tersebut dalam proses persidangan dan dengan adanya kekuatan hukum dari masing-
masing alat bukti tersebut, hakim dapat mengetahui langkah selanjutnya yang harus ia
ambil sehubungan dengan alat bukti tersebut.

1. Bukti Tulisan atau Surat

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa alat bukti tulisan atau surat ini dapat dibagi
lagi ke dalam 3 ( tiga ) bagian, yaitu :

Akta

Kekuatan pembuktian akta dapat dibedakan ke dalam 3 ( tiga ) macam, yaitu :

1. Kekuatan pembuktian lahir

Yang dimaksudkan dengan kekuatan pembuktian lahir yang disebut juga dengan
kekuatan pembuktian keluar dari akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang
didasarkan atas keadaan lahir bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta,
diterima atau dianggap seperti akta dan diperlakukan sebagai akta, sepanjang tidak
terbukti kebalikannya. Jadi, surat itu harus diperlakukan seperti akta, kecuali
ketidakotentikan akta itu dapat dibuktikan oleh pihak lain, misalnya, dapat dibuktikan
bahwa tanda tangan yang ada di dalam akta tersebut dipalsukan. Dengan demikian
berarti pembuktiannya bersumber pada kenyataan.

1. Kekuatan pembuktian formal

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian formal dari suatu akta yaitu kekuatan
pembuktian yang didasarkan atas benar tidaknya pernyataan yang bertanda tangan
pada akta tersebut. Kekuatan pembuktian ini berfungsi memberikan kepastian tentang
peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat
dalam akta tersebut. Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber atas
kebiasaan dalam masyarakat, bahwa orang menandatangani suatu surat untuk
menerangkan bahwa hal-hal yang tercantum di atas tanda tangan tersebut adalah
keterangannya.

1. Kekuatan pembuktian material

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian material akta yaitu suatu kekuatan
pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan yang
ditandatangani dalam akta, bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta
tersebut benar-benar telah terjadi. Jadi, memberi kepastian tentang materi akta.
Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber pada keinginan agar orang lain
menganggap isi keterangannya dan untuk siapa isi keterangan tersebut berlaku, adalah
benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti untuk dirinya sendiri. Maka dari sudut
kekuatan pembuktian material, suatu akta hanya memberikan bukti terhadap si
penanda tangan.

Akta otentik

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 285 RBg/165 HIR serta Pasal 1870 KUHPerdata
disimpulkan bahwa akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna.
Kekuatan bukti sempurna dari akta otentik partai ( acte partij ) hanya berlaku antara
kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang-orang yang mendapatkan hak
daripadanya. Sedangkan terhadap orang lain atau pihak ketiga, akta tersebut tidak
mempunyai kekuatan bukti sempurna melainkan hanya sebagai alat pembuktian bebas,
artinya penilaian kekuatan pembuktiannya bergantung pada pertimbangan hakim.
Berbeda dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat  ( acte ambtelijk ), akta ini juga
mempunyai kekuatan bukti sebagai keterangan resmi dari pejabat yang bersangkutan,
yaitu keterangan tentang apa yang ia alami. Akta otentik ini berlaku terhadap setiap
orang.
1. Kekuatan pembuktian lahir akta otentik.
Suatu akta yang secara lahir tampak sebagai akta otentik dan memenuhi syarat yang
ditentukan, maka akta tersebut dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti
sebaliknya. Demikian juga tanda tangan pejabat pada akta otentik tersebut dianggap
benar dan asli, sampai ada pembuktian sebaliknya. Beban pembuktian terletak pada
siapa yang mempersoalkan otentik atau tidaknya akta tersebut. Kekuatan pembuktian
lahir ini berlaku bagi setiap orang dan tidak terbatas pada para pihak saja. Sebagai alat
bukti, maka akta otentik, baik akta para pihak ( acte partij ) maupun akta pejabat ( acte
ambtelijk ), keunggulannya terletak pada kekuatan pembuktian lahir.
1. Kekuatan pembuktian formal akta otentik.

Dalam arti formal, suatu akta otentik membuktikan kebenaran dan kepastian terhadap
apa yang dilihat, didengar, dan dilakukan oleh pejabat yang berwenang dalam
pembuatan akta. Dalam hal yang telah dapat dipastikan adalah tentang tanggal, tempat
akta tersebut dibuat, dan keaslian tanda tangan yang dicantumkan dalam akta tersebut.

1. Kekuatan pembuktian material akta otentik.


Pada umumnya akta pejabat ( acte ambtelijk ) tidak memiliki kekuatan pembuktian
material, kecuali akta yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil. Akta pejabat ( acte
ambtelijk ) ini tidak lain merupakan petikan atau salinan dari daftar aslinya, sepanjang
isinya sesuai dengan daftar aslinya, sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Kekuatan
pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Sedangkan semua akta para
pihak ( acte partij ) memiliki kekuatan pembuktian material. Bagi kepentingan dan
terhadap pihak ketiga kekuatan pembuktian material ini diserahkan kepada
pertimbangan hakim.

 
1. b) Akta di bawah tangan

Pasal 288 RBg dan Pasal 1875 KUHPerdata menentukan bahwa bila tanda tangan
suatu akta di bawah tangan telah diakui atau dianggap diakui menurut undang-undang,
akta tersebut bagi yang menandatangani ( mengakui ), ahli waris, dan orang-orang
yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti yang sempurna seperti akta otentik.
Tanda tangan dari si penanda tangan akta memberi pengesahan atas kebenaran isi
materiil yang tertera ( tercantum ) dalam akta tersebut.

1. Kekuatan pembuktian lahir akta di bawah tangan.

Menurut ketentuan Pasal 1876 KUHPerdata seseorang yang terhadapnya dimajukan


akta di bawah tangan, diwajibkan mengakui atau memungkiri tanda tangannya.
Sedangkan terhadap ahli waris cukup dengan menerangkan bahwa ia tidak mengakui
atau tidak mengenal tulisan atau tanda tangan tersebut. Apabila tanda tangan tersebut
diingkari atau tidak diakui oleh ahli warisnya maka menurut Pasal 1877 KUHPerdata
hakim harus memerintahkan agar kebenaran akta tersebut diperiksa di muka
pengadilan. Bila tanda tangan dalam akta di bawah tangan ini diakui oleh yang
bersangkutan maka akta tersebut memiliki kekuatan dan menjadi bukti yang sempurna.
Di samping itu, isi semua pernyataan dalam akta di bawah tangan tersebut tidak dapat
disangkal lagi. Oleh karena itu, akta di bawah tangan tidak memiliki kekuatan
pembuktian lahir, karena tanda tangannya masih dapat disangkal oleh yang
bersangkutan. Terhadap pihak ketiga, akta di bawah tangan ini memiliki kekuatan
pembuktian yang bebas.

1. Kekuatan pembuktian formal akta di bawah tangan.

Bila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut telah diakui, maka hal tersebut
berarti bahwa keterangan atau pernyataan di dalam akta tersebut adalah dibuat oleh si
yang bertanda tangan tersebut. Kekuatan pembuktian formal akta di bawah tangan
sama dengan kekuatan formal akta otentik. Dalam hal ini berarti telah terdapat suatu
kepastian bagi siapa pun, bahwa si yang bertandatangan dalam akta di bawah tangan
tersebut menyatakan seperti apa yang ada di atas tanda tangan tersebut.

1. Kekuatan pembuktian material akta di bawah tangan.


Sehubungan dengan ketentuan Pasal 1875 KUHPerdata dan Pasal 288 RBg, berarti isi
keterangan akta di bawah tangan tersebut berlaku penuh terhadap si pembuat dan
untuk siapa pernyataan tersebut dibuat. Dengan demikian akta di bawah tangan hanya
memberikan pembuktian material yang cukup atau sebagai bukti yang sempurna
terhadap orang yang menandatanganinya, ahli warisnya atau orang yang mendapatkan
hak dari mereka. Sedangkan terhadap pihak ketiga kekuatan pembuktiannya adalah
bergantung kepada penilaian hakim.

Akta di bawah tangan yang diakui isi dan tanda tangannya, dalam kekuatan pembuktian
hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti lahir atau
kekuatan bukti keluar yang tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan.

2. Tulisan bukan akta

RBg/HIR maupun KUHPerdata tidak mengatur secara tegas mengenai kekuatan


pembuktian dari tulisan-tulisan yang bukan akta. Walaupun tulisan atau surat-surat
bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan tapi pada dasarnya tidak
dimaksudkan sebagai alat bukti di kemudian hari. Oleh karena itu, tulisan-tulisan
tersebut dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian. Yang dimaksud sebagai
petunjuk ke arah pembuktian di sini adalah bahwa tulisan-tulisan tersebut dapat dipakai
sebagai alat bukti tambahan ataupun dapat dikesampingkan dan bahkan sama sekali
tidak dapat dipercaya. Jadi, dengan demikian tulisan bukan akta untuk dapat
mempunyai kekuatan pembuktian sepenuhnya bergantung kepada penilaian hakim
dengan kata lain tulisan bukan akta adalah sebagai alat bukti bebas ( Pasal 1881 ayat
( 2 ) KUHPerdata dan Pasal 294 ayat ( 2 ) RBg ). Namun, ada beberapa tulisan bukan
akta yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai alat bukti yang mengikat, yang
disebut dalam Pasal 1881 ayat ( 1 ) sub 1 dan sub 2 serta Pasal 1883 KUHPerdata,
yaitu :

Surat-surat yang dengan tegas menyebut tentang suatu pembayaran yang telah
diterima ;

 
Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah
untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam sesuatu alas hak ( titel ) bagi seseorang
untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan ;

Catatan-catatan yang dicantumkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang
selamanya dipegangnya jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan
terhadap debitur ;

Catatan-catatan yang dicantumkan kreditur pada salinan suatu alas hak atau tanda
pembayaran, asal saja salinan atau tanda pembayaran ini berada dalam tangan debitur.

Kekuatan pembuktian suatu tulisan pada asasnya terdapat pada akta yang asli. Bila
akta yang aslinya ada, salinan-salinan atau ikhtisar-ikhtisar tersebut dapat disesuaikan
dengan aslinya, yang untuk ini selalu dapat diperintahkan untuk menunjukkannya.
Apabila akta yang asli tidak ada lagi atau hilang, salinan-salinan atau ikhtisar-ikhtisar
dari akta yang hilang itu kekuatannya hanyalah sebagai suatu permulaan pembuktian,
kecuali salinan-salinan yang disebutkan di bawah ini yang dapat memberikan kekuatan
yang sama dengan aslinya, yaitu :74

Salinan-salinan pertama ;

Salinan-salinan yang dibuat atas perintah hakim dengan dihadiri kedua belah pihak
atau setelah kedua belah pihak dipanggil dengan sah ;

Salinan-salinan tanpa perantaraan hakim atau di luar persetujuan para pihak, dan
sesudahnya pengeluaran salinan-salinan pertama, dibuat oleh

Universitas Sumatera Utara

notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh pegawai-pegawai yang
dalam jabatannya menyimpan akta-akta yang asli dan berwenang memberikan salinan-
salinan.

Dalam praktek pemeriksaan perkara di pengadilan sekarang ini seringkali alat bukti
tulisan yang diajukan bukan tulisan aslinya, melainkan hanya fotokopinya yang telah
dilegalisir oleh panitera pengadilan, dan dengan menunjukkan tulisan aslinya di muka
persidangan. Praktek yang demikian dalam dunia peradilan, sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan teknologi yang telah mengenal mesin fotokopi, dan tidak
ada keberatan asalkan fotokopi yang diajukan sebagai bukti tersebut benar-benar
sesuai dengan tulisan aslinya. Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa tulisan yang
disampaikan kepada pengadilan harus diberi materai, kecuali telah berada di atas
kertas segel, bila tidak bukti tulisan tersebut akan dikesampingkan oleh hakim ( Putusan
Mahkamah Agung tanggal 28 Agustus 1975 No. 983 K/Sip/1972 ).75

1. Bukti dengan saksi-saksi


Tentang kekuatan pembuktian dengan saksi diatur dalam Pasal 306 RBg/169 HIR dan
Pasal 1905 KUHPerdata yang menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa
adanya suatu alat bukti lain, tidak boleh dipercaya di dalam hukum. Maksud pasal ini
bukan mengharuskan agar setiap peristiwa atau hak dibuktikan dengan lebih dari
seorang saksi, melainkan bagi perkara seluruhnya, seorang saksi saja tanpa ada alat
bukti lain adalah tidak cukup. Karena ada dikenal asas unus testis nullus testis, seorang
saksi bukan saksi. Artinya, keterangan seorang saksi saja tanpa disertai bukti yang lain
tidak cukup kuat untuk membuktikan suatu dalil yang harus dibuktikan. Akan tetapi
apabila menurut pertimbangan hakim keterangan dari seorang saksi saja telah
dianggap memadai karena dapat dipercaya dan didukung dengan bukti-bukti lain yang
sah, keterangan dari seorang saksi tersebut dapat dianggap sebagai bukti sempurna.
Jika keterangan 2 ( dua ) orang saksi atau lebih dihubungkan satu sama lain serta
mempunyai arti dan maksud yang sama, keterangan-keterangan saksi tersebut dapat
menghasilkan bukti yang sah dan sempurna. Jadi, penilaian beberapa saksi yang
masing-masing berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain tentang berbagai macam
peristiwa yang digunakan untuk membuktikan sesuatu peristiwa atau hak diserahkan
pada pertimbangan hakim. Dengan kata lain, alat bukti saksi mempunyai kekuatan
pembuktian yang bebas.
1. Persangkaan-persangkaan

Melalui persangkaan-persangkaan suatu peristiwa tersebut dibuktikan secara tidak


langsung yaitu dengan perantaraan pembuktian-pembuktian peristiwa lain. Seperti telah
diuraikan sebelumnya, bahwa alat bukti persangkaan dapat dibedakan ke dalam 2 ( dua
) jenis yaitu persangkaan undang-undang dan persangkaan hakim. Kedua jenis
persangkaan ini memiliki kekuatan bukti yang berbeda.

Sifat dari persangkaan undang-undang tidak dapat dibantah, oleh karena itu,
kesimpulan yang ditarik dari suatu persangkaan undang-undang tersebut berwujud
pembuktian yang pasti dan menentukan dimana hakim terikat untuk menerima
kebenarannya serta terikat untuk menjadikan persangkaan undang- undang ini sebagai
dasar pertimbangan dalam mengambil keputusan, dengan demikian, nilai kekuatan
pembuktian dari persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah bersifat
sempurna, mengikat dan menentukan, hal ini diatur dalam Pasal 1921 KUHPerdata.

Sedangkan persangkaan hakim sebagai alat bukti memiliki kekuatan pembuktian


bebas. Dalam hal ini kekuatan pembuktian apa yang akan diberikan kepada
persangkaan hakim tertentu, apakah sebagai alat bukti yang sempurna atau alat bukti
permulaan atau sama sekali tidak memiliki kekuatan sama sekali, diserahkan
sepenuhnya kepada penilaian hakim. Pasal 1922 KUHPerdata telah menegaskan hal
tersebut, yang menyerahkan nilai persangkaan kepada pertimbangan hakim. Karena
nilai kekuatan pembuktiannya bebas, berarti satu persangkaan saja tidak mencukupi
batas minimal pembuktian, paling tidak harus ada dua persangkaan agar terpenuhi
batas minimal pembuktian atau paling tidak, satu persangkaan ditambah dengan satu
alat bukti lain.

1. Pengakuan

Pengakuan dibagi atas 2 ( dua ) macam, yaitu pengakuan yang dilakukan di depan
sidang pengadilan dan pengakuan yang dilakukan di luar sidang pengadilan.

Menurut ketentuan Pasal 311 RBg/174 HIR dan Pasal 1925 KUHPerdata, bahwa
pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim di dalam persidangan menjadi bukti yang
cukup untuk memberatkan orang yang mengaku tersebut, baik pengakuan tersebut
diucapkan sendiri maupun diucapkan oleh seseorang yang istimewa dikuasakan untuk
melakukannya. Dengan demikian, pengakuan yang dilakukan di depan sidang
mempunyai kekuatan bukti yang sempurna dan mengikat. Hal ini berarti, hakim harus
menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui tersebut adalah benar, meskipun
sesungguhnya belum tentu benar, akan tetapi karena adanya pengakuan tersebut
gugatan yang didasarkan atas dalil-dalil itu harus dikabulkan. Pengakuan di depan
sidang tidak dapat ditarik kembali, kecuali bila pengakuan tersebut merupakan suatu
kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Dalam Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 1927
dan Pasal 1928 KUHPerdata diatur mengenai pengakuan yang dilakukan di luar sidang,
bahwa penilaiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, akan menentukan
kekuatan mana yang akan diberikannya kepada suatu pengakuan dengan lisan yang
diperbuat di luar hukum. Dengan kata lain pengakuan di luar sidang merupakan bukti
bebas. Pengakuan di luar sidang dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Bila
pengakuan di luar sidang pengadilan dilakukan secara tertulis, tulisan yang memuat
pengakuan tersebut dapat digolongkan sebagai bukti tulisan bukan akta, yang juga
memiliki kekuatan bebas. Bagi pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara lisan,
bila dikehendaki agar dianggap pengakuan tersebut ada maka harus dibuktikan lebih
lanjut dengan saksi atau alat-alat bukti lainnya. Pengakuan di luar sidang pengadilan
dapat ditarik kembali.

 
1. Sumpah
Sebelumnya, telah dijelaskan bahwa ada 3 ( tiga ) jenis sumpah, yaitu sumpah
pemutus, sumpah penambah dan sumpah penaksir. Tiap-tiap jenis sumpah ini juga
memiliki kekuatan pembuktiannya masing-masing. Makna sumpah pemutus memiliki
daya kekuatan memutuskan perkara atau mengakhiri perselisihan. Jadi, sumpah
pemutus memiliki sifat dan daya litis decisoir76 dan undang-undang melekatkan
kekuatan pembuktian sempurna, mengikat dan menentukan kepada sumpah pemutus
tersebut. Sedemikian rupa daya kekuatan pembuktian memaksa yang dimilikinya,
sehingga Pasal 1936 KUHPerdata melarang mengajukan bukti lawan terhadapnya.

Berbeda dengan sumpah pemutus, sumpah penambah dan sumpah penaksir


mempunyai nilai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat saja, sehingga
terhadapnya dapat diajukan bukti lawan. Pihak lawan dapat membuktikan bahwa
sumpah tersebut palsu.

1. Pemeriksaan setempat
Secara yuridis formil, hasil pemeriksaan setempat bukan merupakan alat bukti karena
tidak termasuk sebagai alat bukti yang disebut dalam Pasal 284 RBg/164 HIR dan
Pasal 1886 KUHPerdata. Oleh karena itu, tidak sah sebagai alat bukti, sehingga pada
dasarnya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Namun demikian, Pasal 180
RBg/153 HIR ayat ( 1 ) menegaskan bahwa nilai kekuatan yang melekat pada hasil
pemeriksaan setempat dapat dijadikan keterangan bagi hakim. Dengan begitu, nilai
kekuatan yang melekat padanya hanya sebagai keterangan yang menjelaskan tentang
kepastian defenitif atas barang yang disengketakan. Namun, bila suatu keterangan
yang jelas dan defenitif dijadikan sebagai dasar pertimbangan, berarti keterangan
tersebut pada dasarnya tidak lain merupakan pembuktian tentang eksistensi dan
keadaan barang yang

bersangkutan. Dan oleh karena keterangan tersebut merupakan hasil yang diperoleh
dari persidangan pemeriksaan setempat maka keterangan itu sama dengan fakta yang
ditemukan di persidangan. Dan terhadap setiap fakta yang ditemukan dalam
persidangan, hakim terikat untuk menjadikannya sebagai bagian dasar pertimbangan
mengambil putusan. Tetapi sifat daya ikatnya tidak mutlak, hakim bebas menentukan
nilai kekuatan pembuktiannya. Berarti, pemeriksaan setempat memiliki kekuatan
permbuktian bebas.

1. Keterangan ahli

Sama halnya seperti pemeriksaan setempat, Pasal 284 RBg/164 HIR dan Pasal 1866
KUHPerdata tidak mencantumkan keterangan ahli sebagai alat bukti. Berarti, secara
formil, keterangan ahli berada di luar alat bukti. Oleh karena itu, menurut hukum
pembuktian tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Namun, sesuai dengan isi
Pasal 181 RBg/154 HIR bahwa jika menurut pertimbangan hakim suatu perkara itu
dapat menjadi lebih jelas bila diadakan pemeriksaan terhadap seorang ahli, maka ia
dapat mengangkat seorang ahli baik atas permintaan para pihak maupun karena
jabatannya, dimana hakim tidak wajib mengikuti pendapat dari ahli tersebut jika
pendapat tersebut berlawanan dengan keyakinannya. Akan tetapi, bila pendapat
tersebut sesuai dengan keyakinannya, maka hakim dapat mengikuti pendapat ahli. Dari
sini dapat dilihat bahwa terhadap hakim diberi kebebasan untuk mengikuti atau tidak
mengikuti pendapat ahli. Bila hakim mengikuti pendapat tersebut, ia mengambil alih
pendapat tersebut menjadi pendapatnya sendiri dan dijadikan sebagai bagian
pertimbangan dalam putusan. Sedangkan, bila ia tidak mengikuti pendapat ahli
tersebut, pendapat itu disingkirkan dan dianggap tidak ada. Dengan kata lain,
keterangan ahli memiliki kekuatan pembuktian bebas.

Anda mungkin juga menyukai