Anda di halaman 1dari 7

2.

1 PENGERTIAN DAN TEORI AJARAN PEMBUKTIAN


a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara
kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang
fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk
dijadikan dasar putusannya.

Pembuktian dalam pengertian yuridis, yang bersifat kemasyarakatan, selalu mengandung


ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak. Jadi pembuktian yuridis
sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-
penggantinya, dan memungkinkan pula terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di
antara sesama Hakim.
 Tujuan pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta
hukum yang menjadi pokok sengketa, kepada Hakim.
 Guna pembuktian adalah sebagai dasar keputusan Hakim.

http://bandakatik.blogspot.co.id/2012/02/teori-pembuktian-dalam-ptun.html Rudi
Kurniawan. TEORI PEMBUKTIAN DALAM PTUN

b. Teori Pembuktian

Adapun teori-teori pembuktian yang digunakan dalam hukum acara PTUN yakni:

a. Teori beban pembuktian yang afirmatif


Pihak yang mendalilkan maka pihak tersebut yang membuktikan bukan yang
mengingkari sesuatu (El incumbit probation qui dicit, non qui negat).195 Dalam teori ini
pihak penggugat yang mendalilkan gugatan kepada PTUN adlah pihak yang harus
membuktikan dalil-dalilnya dengan alat bukti yang cukup sehingga dapat meyakinkan
hakim PTUN.

b. Teori Hukum Subjektif


Pihak yang mendalilkan hak subyektifnya dirugikan maka harus membuktikan fakta-
fakta yang melahirkan hak subyektif tersebut.

Dalam teori ini pihak penggugat dituntut bukan hanya membuktikan kekeliruan yang
dilakukan tergugat, namun juga membuktikan kerugian subyektif yang dialami dirinya yang
disebabkan dari terbitnya keputusan TUN tersebut.

c. Teori Beban Pembuktian Hukum Objektif


Dalam teori hukum pembukt i an ini , di t ekankan pembuktian terhadap unsur-unsur
yang ada dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dengan menerapkan pada fakta-
fakta yang dapat menimbulkan akibat hukum seperti yang didalilkan oleh penggugat.

d. Teori Keadilan
Dalam teori pembuktian ini, beban pembuktian mengenai suatu fakta akan diletakkan
pada pihak yang paling sedikit diberatkan oleh pembebanan pembuktian tersebut, dengan
memperhatikan keadaan-keadaan yang ada secar konkret dalam pemeriksaan atau atas dasar
keadaan-keadaan yang nyata. Pembuktian ini berbeda dengan pembuktian afirmatif dan
subyektif, pembuktian ini menekankan beban pembuktian fakta diletakan kepada pihak
tergugat

https://idtesis.com/teori-hukum-lembaga-peradilan/ Landasan Teori Hukum Lembaga


Peradilan Idtesis.com

Adapun menurut Dudu Duswara Machmudin, bahwa secara teoritis, ada beberapa teori sistem
pembuktian yang didakwakan yaitu:

1. Pembuktian berdasarkan keyakinan belaka (conviction in time)


Bersalah atau tidaknya terdakwa menurut teori pembuktian ini semata-mata
ditentukan oleh keyakinan hakim. Keyakinan tersebut diambil dan disimpulkan oleh
hakim berdasarkan pada alat-alat bukti yang diberikan di persidangan atau hanya dengan
mendengarkan keterangan terdakwa.
2. Pembuktian menurut keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee).
Keyakinan dalam teori pembuktian ini memegang peran penting dalam menentukan
salah tidaknya terdakwa , namun keyakinan hakim tersebut harus berdasarkan pada alsan-
alasan yang dapat diterima akal dan logis .
3. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk)
Teori pembuktian ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat–alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang, yang artinya adalah untuk membuktikan
terdakwa bersalah atau tidaknya dengan melihat pada alat-alat bukti yang sah yang
telah ditentukan dalam undang-undang.
4. Pembuktian menurut undang-undang secar negative (negatief wettelijk)
Teori pembuktian menurut undang-undang secara negative merupakan gabungan dari
teori pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan teori pembuktian
dengan keyakin belaka.
Menurut teori ini,
http://digilib.unila.ac.id/8153/6/5. Bab II ok.pd Teori Pembuktian dan Alat Bukti hal 21 oleh R
SAPUTRA

AJARAN PEMBUKTIAN
Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa ajaran
pembuktian yang digunakan dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah ajaran pembuktian
bebas. “. . . hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai
persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata,
dengan beberapa perbedaan, antara lain:

a. Pada Peradilan Tata Usaha Negara, hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan
guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah pada
ajaran pembuktian bebas;
b. Suatu gugatan Tata Usaha pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan”.

Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak
menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana
pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim.

Berdasarkan ajaran pembuktian bebas, maka Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat
menentukan sendiri:

a. Apa yang harus dibuktikan

Dalam hal ini hakim dapat mengesampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat
atau tergugat, demikian pula hakim dapat memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang
tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut memiliki arti yang
relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim.

b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang
berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri

Dalam hal ini, penggugat dan tergugat adalah para pihak yang dibebani pembuktian. Beban
pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta
yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya.

c. Alat bukti mana saja yang diutamakan dalam pembuktian

Dalam hal ini alat-alat bukti diatur oleh undang-undang. Hakim mempunyai wewenang untuk
memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang dan
memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut.

d. Kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diajukan

Hakim mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara dengan memperhatikan
pembatasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 107 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986.

PEMBUKTIAN DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA.


http://santrikeblinger.blogspot.co.id/2010/05/pembuktian-di-peradilan-tata-usaha.html. Diposting
oleh Santri Keblinger

2.2 ALAT BUKTI


Dalam peradilan Tata Usaha Negara Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 menentukan alat-alat bukti sebagai berikut:

a) Surat atau tulisan;


b) Keterangan ahli;
c) Keterangan saksi;
d) Pengakuan para pihak;
e) Pengetahuan Hakim.

Berikut penjelaskan masing-masing alat bukti:

a) Surat atau tulisan

Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa alat bukti surat atau tulisan adalah: “segala sesuatu
yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
menyampaikan buah pikiran sesorang dan digunakan sebagai pembuktian”.
HAL 606

Pada umumnya, dalam praktik surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:
Pertama, Akta, yaitu surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian; Kedua, Bukan akta. Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu; (1) Akta
otentik, (2) Akta dibawah tangan.

Adapun menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pasal 101, bahwa surat sebagai alat
bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu :

1) Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang
menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
2) Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
3) Surat-surat lain yang bukan akta.

Akta autentik ada dua macam, yaitu : (!) Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten), (2)
Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten). Perbedaan antara ambtelijk akten dan partij
akten ditujukan dalam tabel berikut :

No Aspek / unsur Ambtelijk Akten Partij Akten


1. Inisiatif dari Pejabat yang bersang-kutan Para pihak karena
karena jabatannya kepentingannya

2. Isi akta Ditentukan oleh pejabat yang Ditentukan oleh para


bersangkutan berdasarkan UU pihak

3. Ditandatangani oleh Pejabat itu sendiri tanpa pihak Para pihak dan pejabat
lain yang bersangkutan serta
saksi-saksi

4. Kekuatan bukti Tidak dapat digugat kecuali Dapat digugat dengan


dinyatakan palsu pembuktian sebaliknya

b) Keterangan ahli

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pasal 102 ayat (1), dijelaskan
bahwa:“keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya” .

Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah
satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa
orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan
dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal
103 Undang-Undang PTUN).

Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di
bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan,
umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang komputer, ahli balistik dan lain-lain. Dalam
hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang
tidak dapat didengar sebagai saksi (pasal 88 Undang-Undang PTUN) dalam perkara itu, juga
tidak dapat diangkat sebagai ahli.

c) Keterangan saksi

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-
syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri,
sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. HAL 608

Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh
pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau
tidak diperbolehkan didengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88
Undang-Undang PTUN sebagai berikut :
1) Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa
2) Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai
3) Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
4) Orang sakit ingatan.

Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula mengundurkan
diri sebagai saksi (pasal 89 Undang-Undang PTUN), yaitu :

1) Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak.
2) Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.

Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim dapat
menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakan
tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu (pasal 91 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986).

Apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan
pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru
bahasa. Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
agama dan kepecayaannya (pasal 92 ayat (1) dan 92 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986).

Sedangkan apabila yang di panggil sebagai saksi adalah pejabat TUN, maka pejabat tersebut
tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib datang sendiri di persidangan (pasal 93
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986).

Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan
keterangan ahli. Perbedaan itu ditunjukan pada tabel beikut:

No Keterangan Saksi Keterangan Ahli

1. Seorang / beberapa saksi di panggil ke Seorang / beberapa saksi di panggil ke muka


muka pengadilan untuk mengemukakan pengadilan untuk mengemukakan
keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, keterangan berdasarkan keahliannya
dengar, atau yang ia alami sendiri. terhadap suatu perkara.

2. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis Keterangan saksi ahli bias secara lisan
maka jadi alat bukti tertulis. maupun tulisan.

3. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan Kedudukan seorang ahli dapat diganti
saksi lain kecuali sama-sama melihat, dengan ahli yang lain yang sesuai dengan
mendengar, dan menyaksikan peristiwa itu. keahliannya.
d) Pengakuan para pihak

“Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia
mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan
oleh pihak lawan”.

Menurut pasal 105 UU No.5/1986, “pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali,
kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim”.
Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau
oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang
sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus
menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar.

Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada


pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan di luar persidangan merupakan
alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa
juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim
untuk menerima atau tidak menerimanya.

e) Pengetahuan hakim

Berdasarkan pasal 106 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, “pengetahuan hakim adalah
hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya”.

Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang
dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya : sikap, perilaku,
emosional dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai
para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus
perkara. Menurut pasal 100 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 pengetahuan hakim ataupun keadaan
lain yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

HUKUM TATA USAHA NEGARA DAN HUKUM ACARA PERADILAN TATA


USAHA NEGARA. Dr. Titik Triwulan T., SH.,MH. KOMBES POL. DR. H. ISMU GUNADI
WIDODO, SH.,C.N.,M.M. kencana Jakarta 2011

Catatan : sumber nya tolong tambahin UU PTUN ya, jangan lupa pake footnote.

Anda mungkin juga menyukai