Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembuktian adalah tahap yang memiliki peranan penting bagi

hakim untuk menjatuhkan putusan. Proses pembuktian dalam proses

persidangan dapaT dikatakan sebagai sentral dari proses pemeriksaan di

pengadilan. Pembuktian menjadi sentral karena dalil-dalil para pihak diuji

melalui tahap pembuktian guna menemukan hukum yang akan diterapkan

(rechtoepasing) maupun ditemukan (rechtvinding) dalam suatu perkara

tertentu.

Pembuktian bersifat historis yang artinya pembuktian ini mencoba

menetapkan peristiwa apa yang telah terjadi dimasa lampau yang pada saat

ini dianggap sebagai suatu kebenaran, peristiwa yang harus dibuktikan

adalah peristiwa yang relevan, karena peristiwa yang irrelevan tidak perlu

dibuktikan. Pada intinya yang harus dibuktikan dalam tahap pembuktian

ini adalah peristiwa – peristiwa yang menuju pada kebenaran yang relevan

menurut hukum.

Tujuan dari pembuktian adalah untuk menetapkan hubungan

hukum antara kedua belah pihak yang berperkara dipengadilan untuk dapat

memberi kepastian dan keyakinan kepada hakim atas dalil yang disertai

alat bukti yang diajukan di pengadilan, pada tahap ini hakim dapat

mempertimbangkan putusan perkara yang dapat memberikan suatu

kebenaran yang memiliki nilai kepastian hukum dan keadilan.

1
Sistem hukum pembuktian yang dianut di Indonesia adalah sistem

tertutup dan terbatas dimana para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau

bentuk alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah

menentukan secara tegas apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti.

Pembatasan kebebasan juga berlaku bagi hakim dimana hakim tidak bebas

dan leluasa menerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti.

Apabila pihak yang berperkara mengajukan alat bukti diluar

ketentuan yang ada didalam undang-undang yang mengatur, hakim harus

menolak dan mengesampingkanya dalam penyelesaian perkara. Pasal 164

Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) menerangkan lima alat bukti

yang digunakan dalam perkara perdata yaitu alat bukti tertulis, alat bukti

saksi, alat bukti berupa persangkaan – persangkaan, alat bukti berupa

pengakuan dan alat bukti sumpah.

Dalam proses perkara perdata dari kelima alat bukti yang dapat

diajukan, alat bukti tertulis merupakan alat bukti yang di utamakan, karena

karakteristik perkara perdata dan perbuatan hukum perdata sendiri yang

bersifat formil. Segala perbuatan hukum yang formil yang dituangkan

secara tertulis yang dilakukan secara terang dan konkrit agar dapat

mewujudkan hukum acara perdata sebagaimana yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dan agarmemberikan kekuatan hukum

untuk menjamin hak-hak yang dimiliki seseorang.

2
B. Rumusan Masalah

a. Apa pengertian pembuktian?

b. Apa tujuan pembuktian?

c. Bagaimana teori pembuktian?

d. Bagaimana beban pembuktian?

e. Apa saja alat bukti?

f. Bagaimana penyusunan alat bukti?

C. Tujan

1. Untuk mengetahui Apa pengertian pembuktian

2. Untuk mengetahui Apa tujuan pembuktian

3. Untuk mengetahui Bagaimana teori pembuktian

4. Untuk mengetahui Bagaimana beban pembuktian

5. Untuk mengetahui Apa saja alat bukti

6. Untuk mengetahui Bagaimana penyusunan alat bukti

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh

para pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan

untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok

sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan

keputusan.1 Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah kemampuan

Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung

dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau

dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan.

Subekti, mantan Ketua MA RI dan guru besar hukum perdata pada

Universitas Indonesia berpendapat bahwa pembuktian adalah suatu proses

bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan atau dipertahankan sesuatu

hukum acara yang berlaku.2 Menurut pemakalah pengertian dari pembuktian

adalah tahap menetukan dalam proses perkara, karena dapat diketahui benar atau

tidaknya suatu gugatan atau bantahan.

1
Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, Surat Gugat Dan Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h. 50.
2
Subekti, . Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), h. 7.

4
B. Tujuan Pembuktian

Tujuan pembuktian adalah untuk menghasilkan suatu putusan, yang

menyatakan salah satun pihak menang, dan pihak yang lain kalah atau untuk

menghasilkan suatu penetapan.3 Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh

kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi,

guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat

menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa

yang diajukan itu benar – benar tejadi, yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga

Nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.

Tujuan pembuktian Menurut Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa alat

bukti atau pembuktian adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-

pihak yang berperkara untuk menyakinkan hakim di muka pengadilan. Di

pandang dari sudut hakim memeriksa perkara, alat bukti artinya alat atau upaya

yang bisa dipergunakan oleh hakim untuk memutus perkara. Jadi alat bukti

tersebut dapat dipergunakan oleh pencari keadilan dan pengadilan.

Tujuan dan kegunaan pembuktian:

1. Bagi PU ,pembuktian adalah usaha untuk meyakinkan hakim,yakni

berdasarkan alat bukti yang ada agar seorang terdakwa bersalah sesuai

dengan surat atau catatan dakwaan

2. Bagi terdakwa atau penasihat hukum , pembuktian adalah merupakan

usaha untuk meyakinkan hakim,yakni berdasrkan alat bukti yg ada agar

3
Achmad Ali, Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta: PT
Karisma Putra Utama, 2012. H 57

5
menyatakan seorang terdakwa bebas/ dilepaskan dari segala tuntutan

hukum atau meringankan pidananya.

3. Bagi hakim , atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-

alat bukti yg ada dalam persidangan ,baik yg berasal dari PU/terdakwa

dibuat atas dasar membuat keputusan. (buku hukum pembuktian dalam

beracara pidana,perdata,dan korupsi di Indonesia , alfitra, SH., MH.)

C. Teori Pembuktian

Ketika membahas tentang penilaian pembuktian, alat bukti yang diajukan

oleh para pihak ke persidangan akan dilakukan penilaian, yang dalam hal ini yang

berwenang untuk melakukan penilaian adalah Hakim. Pada umumnya, sepanjang

undang-undang tidak mengatur sebaliknya, Hakim bebas untuk menilai

pembuktian. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengikat Hakim

pada alat-alat bukti tertentu (misalnya alat bukti surat), sehingga Hakim tidak

bebas menilainya. Salah satu contohnya adalah alat bukti surat yang mempunyai

kekuatan pembuktian mengikat bagi Hakim maupun para pihak.

Sebaliknya, pembentuk undang-undang dapat menyerahkan dan memberi

kebebasan pada Hakim dalam menilai pembuktian terhadap alat bukti, misalnya

keterangan saksi yang mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, artinya

diserahkan pada Hakim untuk menilai pembuktiannya, Hakim boleh terikat atau

tidak pada keterangan yang diberikan oleh saksi.4

4
Efa Laela Fakhriah, 2013. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata.
(Bandung: PT Alumni), hlm. 40.

6
Pada saat menilai alat bukti, hakim dapat bertindak bebas atau terikat oleh

Undang-undang, dalam hal ini terdapat dua teori, yaitu:5

a. Teori Pembuktian Bebas

Hakim bebas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang

beperkara, baik alat-alat bukti yang sudah disebutkan oleh Undang-Undang,

maupun alat-alat bukti yang tidak disebutkan oleh Undang-Undang.

b. Teori

Pembuktian Terikat

Hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang

beperkara. Putusan yang dijatuhkan, harus selaras dengan alat-alat bukti yang

diajukan dalam persidangan.

Lebih lanjut teori ini dibagi menjadi:

1. Teori Pembuktian Negatif

Hakim terikat dengan larangan Undang-Undang dalam melakukan

penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.

2. Teori Pembuktian Positif

Hakim terikat dengan perintah Undang-Undang dalam melakukan

penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.

3. Teori Pembuktian Gabungan

Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian. Dalam menilai

pembuktian, seorang hakim harus pula mengingat asas-asas yang penting

dalam hukum pembuktian perdata.

5
Ibid, hlm. 53

7
Kekuatan pembuktian alat bukti surat dapat dibedakan antara yang

berbentuk akta dengan bukan akta. Surat yang berbentuk akta juga dapat

dibedakan menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian

suatu akta dapat dibedakan menjadi:6

1) Kekuatan pembuktian luar

Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan

sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan

akta otentik. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat

kekuatan bukti luar. Maksud dari kata memiliki daya pembuktian luar adalah

melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap akta otentik harus dianggap

benar sebagai akta otentik sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya.

2) Kekuatan pembuktian formil

Berdasarkan Pasal 1871 KUHPerdata, bahwa segala keterangan yang

tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan kepada pejabat

yang membuatnya. Oleh karena itu segala keterangan yang diberikan penanda

tangan dalam akta otentik dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan

dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di

dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan di dalamnya

benar dari orang yang menandatanganinya tetapi meliputi pula kebenaran formil

yang dicantumkan pejabat pembuat akta: mengenai tanggal yang tertera di

6
M. Yahya Harahap, hukum acara perdata,jakarta: sinar grafika, 2005. h. 152.

8
dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus dianggap benar, dan tanggal

pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh para pihak dan hakim.

3) Kekuatan pembuktian materil

Mengenai kekuatan pembuktian materil akta otentik menyangkut

permasalahan benar atau tidak keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh

karena itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok akta otentik.

D. Beban pembuktian

Pasal 163 HIR/283 RBG mengatakan, setiap orang yang mendalilkan

bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun

membatah hak orang lain, menunjuk pada suatu diwajibkan membuktikan adanya

hak atau peristiwa tersebut.7 Dari ketentuan di atas, maka beban pembuktian harus

dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban

pembuktian yang berat sebelah berarti secara mutlak menjerumuskan pihak yang

menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan.

Dalam praktik merupakan hal yang sukar untuk menentukan secara tepat

siapa yang harus dibebani kewajiban untuk membuktikan sesatu.8 Menurut penulis

dalam menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana

serta tidak boleh berat sebelah karena semua peristiwa dan kejadian nyata harus

diperhatikan secara seksama oleh hakim. Membicarakan tentang penilaian


7
Soeroso, Hukum Acara Perdata Lengkap Dan Praktis, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, H.
95
8
Retnowulan Sutantio Dan Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek,
Bandung: Mandar Maju, 1995. H.55

9
keabsahan penggunaan alat bukti di dalam hukum acara pidana, terdapat prinsip

yang sama dengan yang diatur dalam hukum acara perdata sebagaimana dimaksud

Pasal 294 ayat (1) HIR. Pasal 183 KUHAP, pada asasnya mengatur tentang:

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

sesuatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukanya”.

Sedangkan, di dalam hukum acara perdata dalam rangka penilaian

keabsahan penggunaan alat bukti tidak terdapat ketentuan semacam di atas, dan

hanya mengenal prinsip pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 163

HIR/283 RBg jo. Pasal 1865 KUHPerdata yang menentukan bahwa:

“Barangsiapa menyatakan mempunyai hak atas suatu barang, atau menunjuk

suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, ataupun menyangkal hak orang lain,

maka orang itu harus membuktikannya” Dari peristiwa itu, yang harus dibuktikan

adalah kebenarannya.

Dalam hukum acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim

adalah kebenaran formal, artinya bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas

yang diajukan oleh pihak-pihak yang beperkara. Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189

ayat (3) RBg, melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak

dituntut, atau akan mengabulkan lebih dari yang dituntut.9

9
Efa Laela Fakhriah, Sistem Pembuktian Terbuka Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata
Secara Litigasi. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/05/pustaka_unpad_ sistem_
pembuktian.pdf., dikutip pada 14 April 2014.

10
Dengan demikian, berdasarkan rumusan Pasal 163 HIR/283 RBg jo. Pasal

1865 KUHPerdata tersebut, maka kedua belah pihak, baik itu penggugat maupun

tergugat dapat dibebani dengan beban pembuktian oleh hakim.

Hal tersebut bermakna bahwa hakim wajib memberikan beban pembuktian

kepada penggugat untuk membuktikan dalil atau peristiwa yang dapat mendukung

dalil tersebut, yang diajukan oleh penggugat, sedangkan bagi tergugat, hakim

wajib memberikan suatu beban pembuktian untuk membuktikan bantahannya atas

dalil yang diajukan oleh penggugat. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan

kebenaran bantahan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan

untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat. Dengan

demikian, jika penggugat tidak bisa membuktikan dalil atau peristiwa yang

diajukannya, ia harus dikalahkan, sedangkan jika tergugat tidak dapat

membuktikan bantahannya, ia harus dikalahkan.10

D. ALAT BUKTI

Menurut pasal 248 RBG/164 HIR/1886 KUHperdata adalah

sebagai berikut :

a. Surat

b. Saksi

c. Persangkaan

d. Sumpah

10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002, H. 114.

11
Sedangkan menurut pasal 100 UU No. 5 Tahun1986 tentang

pradilan tata saha negara adalah :

a. Surat atau tulisan

b. Keterangan ahali

c. Keterangan saksi

d. Pengakuan para pihak

e. Pengetahuan hakim

Menurut Paton, alat bukti dapat bersifat oral, documentary atau material.

Alat buki yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seorang

persidangan : kesaksian tentang suatu pristiwa merpakan alat bukti yang bersifat

oral. Termasuk dalam alat bukti yang bersifat documentari adalah surat.

Sedangkan termasuk dalam alat bukti yang bersifat material adalah barang fisik

selain dokmen.

1. Alat Bukti Tulisan atau Surat

Alat bukti tulisan atau surat diatur pada pasal 165-167 HIR/282-

305 RBG dan pasal 1867-1894 KUHperdata. Alat bukti tulisan atau surat

ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa

dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. Adapun tanda-tanda

yang dimaksud minsalnya hurf latin, huruf arab, hurf kanji dan lain

sebagainya.

Alat bukti tulisan atau surat terbagi atas dua macam yaitu :

- akta

- Tulisa atau surat-surat lain.

12
Akta ini ada da macam pula yaitu :

- Akta otentik dan

- Akta bawah tangan

Akta otentik yaitu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-

undang oleh atau dihadapan penjabat umum, yang berkuasa untuk

membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak

dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang

segala hal yang tersebut dalam surat itu.

(pasal 165 HIR/282 RBG/1870 KUHperdata). Akta otentik

merupakan alat bukti yang cukup mengikat dan sempurna. Akta dibawah

tangan adalah akta yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang

bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti

tentang pristiwa ata pristiwa hukum yang tercantum didalamnya. (pasal

101 hurf b UU No. 5/86 tentang peradilan TUN)

1. Saksi

Pembuktian dengan saksi diatur dalam pasal 168-172

HIR/306-309 RBG/1895-1912 KUHPerdata.

Pembuktia dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal

jika hal itu tidak dikecualikan dengan undang-undang.

2. Persangkaan

Persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR/310 RBG. Alat

bukti perasangkaan ini diatur dalam pasal 1915 s.d 1922

KUHPerdata.

13
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau

oleh hakim ditariknya suatu peristiwa yang terang nyata kearah

peristiwa yang belum terang kejelasannya. (pasal 1952

KUHPerdata)

Persangkaan dibagi menjadi dua macam yaitu persangkaan

menurut undang-undang dan persangkaan yang tidak

berdasarkan undang-undang.

Didalam alat bukti persangkaan ini suatu peristiwa dibuktikan

secara tidak lansung .

3. Pengakuan

Alat bukti pengakuan terdapat dalam pasal-pasal 174 s.d.

176 HIR/ 311 s.d. 313 RBG/1923 s,d, 1928 KUHPerdata.

4. Sumpah

Alat bukti sumpah diatur dalam pasal-pasal 155 s.d. 158

dan 177 HIR/182 s.d.185 dan 314 RBG/192 s.d. 1945

KUHPerdata.

Sumpah pada umum adalah suatu pernyataan yang khidmat

yang diberikan atau dicapkan pada waktu memberi janji atau

keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada

tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau

janji yang tidak benar dihukum oleh-Nya

14
Dalam pemeriksaan perkara perdata, sumpah diucapkan

oleh salah satu pihak yang berperkara pada waktu memberi

keterangan mengenai perkaranya. Oleh karena itu menrut

Wirjono Prodjodikoro sebetulnya sumpah bukanlah sebagai

alat bukti. Sedangkan sebetulnya menjadi alat bukti adalah

keterangan salah satu pihak yang berperkara yang dikatkan

dengan sumpah.

15
E. PENYUSUNAN ALAT BUKTI

Contoh penyusunan alatbukti

Buktitulis – sederhana

NO.

DAFTAR BUKTI-BUKTI TERTULIS PEMBATAH DALAM PERKARA

PERDATA DIBAWAH

NO………/PDT/BANT/ ……/ PN.BDG

==========================================================

========

====================================

P-1 : Surat No. 230/PC-BD/BDG/VI/…….tanggal …………… dari Bank

……….. Cabang Bandung kepafakepalabadanpertanahanNasionalkotamadya

Bandung , perihal : Royahipotek ; (olehPd BPN)

P-2 : AktaJualBeli No. ………/ …./Coblong/……..tanggal

……………………….

16
P-3 :AktaJualbeli No. ………../……/ Coblong/ …….tanggal

……………………..

p-4 : Sertifikathakmilik No. ………./kel. Sekeloa, G.S. No. ………………

tanggal ……………… seluas ……. M2,

setempatdikenalsebagaiblokcheluangkotamady Bandung, kecamatancoblong,

keseluruhansekeloa, atasnama

…………………………………………………………….

P-5 : SertifikatHakMilik No. ………./Kel. Sekeloa , G.S . No. …………..

tanggal 27-6-1983 seluas … m2,

setempatdikenalsebagaiblokciheulangkotamadyabandung, wilayahchibunying,

kecamatancoblong, kelurahansekeloa, atasnama

…………………………………………………..

Disampaikan dengan hormat oleh

Kuasa Pembantah,

17
BAB III

PENTUP

A. KESIMPULAN

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah

menurut hukum oleh para pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu

persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta

hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar

kepastian untuk menjatuhkan keputusan.11 Menurut M. Yahya Harahap,

pembuktian adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum

pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-

peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang

diperkarakan.

Tujuan pembuktian adalah untuk menghasilkan suatu putusan, yang

menyatakan salah satun pihak menang, dan pihak yang lain kalah atau untuk

menghasilkan suatu penetapan.12 Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh

kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi,

guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat

menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa

yang diajukan itu benar – benar tejadi, yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga

Nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.

Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, Surat Gugat Dan Hukum
11

Pembuktian Dalam Perkara Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h. 50.

Achmad Ali, Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta: PT


12

Karisma Putra Utama, 2012. H 57

18
.13 Menurut penulis dalam menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus

bertindak arif dan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah karena semua

peristiwa dan kejadian nyata harus diperhatikan secara seksama oleh hakim.

Membicarakan tentang penilaian keabsahan penggunaan alat bukti di dalam

hukum acara pidana, terdapat prinsip yang sama dengan yang diatur dalam hukum

acara perdata sebagaimana dimaksud Pasal 294 ayat (1) HIR. Pasal 183 KUHAP,

pada asasnya mengatur tentang: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya”.

B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Retnowulan Sutantio Dan Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek,
13

Bandung: Mandar Maju, 1995. H.55

19

Anda mungkin juga menyukai