Anda di halaman 1dari 11

Nama : Velasita Wibowo

NPM : 1806219425
Kelas : HAPID Reguler C

Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia


Pembuktian dalam perkara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiel, yaitu
kebenaran sejati atau yang sesungguhnya. Dalam persidangan, hakim dalam perkara
pidana adalah aktif, yang artinya hakim berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang
cukup untuk membuktikan tuduhan kepada tertuduh. Masalah pembuktian adalah
yang sangat penting dan utama, sebagaimana menurut Pasal 6 ayat (2) KUHAP,
bahwa “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan,
karena alat pembuktian yang sah dan menurut undang-undang, mendapat keyakinan
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

1. Pengertian
KUHAP tidak memberikan definisi mengenai pengertian “pembuktian”. Namun, KUHAP
memberikan pengaturan mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum sebagaimana
ditentukan di dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Menurut Yahya Harahap,1 pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat
bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan, serta persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena
membuktikan kesalahan terdakwa.
Menurut J.C.T. Simorangkir, dkk.,2 bahwa pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk
mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara
yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan
keputusan seperti perkara tersebut.
1
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hal. 273.
2
J.C.T. Simorangkir, dkk., Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hal. 135.
Adapun menurut Darwan Prints,3 bahwa pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu
peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya.
Martiman Prodjohamidjojo4 berpendapat bahwa proses pembuktian atau membuktikan
mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga
dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
Arti sempit: depan persidangan
Arti luas: sejak penyidikan

2. Tujuan Pembuktian
Membuktikan dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu
peristiwa atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian, tujuan pembuktian
adalah menjadikan dasar dalam menjatuhkan putusan hakim kepada terdakwa tentang bersalah
atau tidaknya sebagaimana yang telah didakwakan oleh penuntut umum. Namun tidak semua hal
haruslah dibuktikan, sebab menurut Pasal 184 ayat (2) KUHAP, bahwa “hal yang secara umum
sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.”
Dengan demikian, dalam memeriksa suatu perkara pidana dalam sidang pengadilan, hakim
berusaha membuktikan:
a. Apakah tindak pidana yang telah dilakukan dan betul dilakukan?
b. Bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan?
c. Siapakah yang telah melakukan perbuatan tersebut?
d. Apakah betul pelaku tindak pidana tersebut bersalah?
Maka tujuan pembuktian di atas adalah untuk mencari, menemukan, dan menetapkan kebenaran-
kebenaran yang terdapat dalam suatu perkara dan bukan semata-mata mencari kesalahan
seseorang.

3. Teori Pembuktian

3
Darwan Prints, Hukum Acara Pidana (suatu Pengantar), Djambatan kerja sama dengan Jakarta: Yayasan LBH,
1989, hal. 106.
4
Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya
Paramitha, 1984, hal. 11.
Positief Wettelijk Bewijstheorie, pembuktian didasarkan hanya berdasarkan kepada alat-alat
pembuktian yang disebut undang-undang. Jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai degan alat-
alat bukti yang disebut undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.
Teori ini juga disebut sebagai teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). Dianut di Eropa
pada waktu berlakunya asas inquisitoir dalam acara pidana.5
Conviction intime, teori pembuktian menurut keyakinan hakim berdasarkan alat bukti yang sah
(unlimited but admissible). Pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti
dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.6
Conviction La Raisonnee, teori pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim dan hanya pada
pertimbangan hakim yang logis. Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar
keyakinannya yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan
(conclusive) yang berlandaskan peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Negatief Wettelijk Bewijstheorie, teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang
keyakinannya didasarkan pada undang-undang secara negatif. Aturan-aturan pembuktiannya
ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, dan harus diikuti dengan keyakinan hakim.
Undang-undang negatif yang dimaksud dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, yang
berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dalam
sistem ini, pemidanaan didasarkan pada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag), yaitu
pada peraturan perundang-undangan dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang,
dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan undang-undang.7
Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif atau negatief wettelijk bewijstheorie. Dengan dasar teori ini, hakim dapat menjatuhkan
pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan dengan alat bukti yang sah dan berdasarkan
undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti yang sah. Menurut Wirjono
Prodjodikoro,8 sistem pembuktian ini sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan:

5
D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordering, Haarlem: De Erven F. Bohn, 1925, hal. 149.
6
Ibid., merujuk Pasal 342 Code d’ Instruction Criminelle.
7
Ibid.., hal. 152.
8
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, 1967, hal. 77.
1) sudah selayaknya harus terdapat keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk
dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang
padahal hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa
2) jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-
patokan tertentu yang harus dianut oleh hakim dalam melakukan peradilan.

4. Beban Pembuktian
Pihak yang memiliki kewajiban untuk membuktikan adanya suatu pidana merupakan pihak yang
diharuskan untuk mengajukan alat-alat bukti dan meyakinkan hakim bahwa benar telah terjadi
suatu tindak pidana. Istilah yang biasa digunakan mengenai hal ini adalah “beban pembuktian”.
KUHAP telah mengatur dan menegaskannya di dalam ketentuan-ketentuan berikut:
Pasal 66 KUHAP, “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”
Pasal 137 KUHAP, “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun
yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.”
Rumusan ketentuan-ketentuan tersebut merupakan aktualisasi asa hukum umum yang
menyatakan “siapa yang mendalilkan, dialah yang harus membuktikan”. Dengan merujuk Pasal
66 KUHAP dan Pasal 137 KUHAP, dapat disimpulkan bahwa beban pembuktian yang dianut
oleh KUHAP adalah beban pembuktian pada penuntut umum sehingga penuntut umum
merupakan pihak yang harus mengajukan alat-alat bukti untuk membuktikan telah terjadi suatu
tindak pidana dan selanjutnya meykainkan hakim bahwa benar suatu tindak pidana telah terjadi
dan dilakukan oleh terdakwa tersebut.
Kewajiban untuk membuktikan dakwaan yang dituduhkan kepada tersangka/terdakwa adalah
berada di penuntut umum. Pembuktian ini disebut juga dengan pembuktian biasa atau
“konvensional” dalam hal ini jaksa penuntut umum yang membuktikan kesalahan terdakwa
(actori incumbit onus probandi/actore nonprobante, reus absolvitur).
Seiring berjalannya waktu, muncul konsep pembuktian yang mengalihkan kewajiban Jaksa
Penuntut umum untuk membuktikan adanya tindak pidana kepada terdakwa yang dikenal dengan
beban pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian atau reverse burden of proof.
Sistem pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem yang berada di luar kelaziman
teoretis pembuktian dalam hukum acara pidana yang universal. Dalam hukum acara pidana baik
sistem Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan
kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, dalam “certain cases” diperkenankan
penerapan dengan mekanisme yang berbeda, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau
dikenal sebagai “Reversal Burden of Proof” (Omkering van Bewijslast). Namun, tidak dilakukan
secara keseluruhan, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin agar tidak terjadi
pelanggaran terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak
Tersangka/Terdakwa.
Pembalikan beban pembuktian dalam bentuk murni/absolut merupakan pembuktian yang
dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan ketidaksalahannya serta diterapkan terhadap
semua delik. Pembuktian seperti inilah yang tidak pernah diterapkan di negara mana pun karena
dianggap melanggar asa praduga tidak bersalah (presumption of innocence), asas untuk tidak
mempersalahkan diri sendiri (non self-incrimination) serta hak untuk diam (Right to Remain
Silent).9
Mengenai hal ini, Indriyanto Seno Adji menjelaskan bahwa pada negara Anglo Saxon, beban
pembuktian berada pada pihak penuntut umum, bukan pada diri tersangka/terdakwa. Hal ini
dikarenakan asas universal di mana pun tetap menghendaki adanya praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) sebagai suatu asas yang akseptabilitas sifatnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, di
mana dapat dilihat bahwa yang terjadi pada kedua produk perundang-undangan ini ialah
menempatkan pembuktian sebagai suatu pergeseran (shifting) dan bukanlah pembalikan
(reversal) beban pembuktian. Sehingga istilah yang popular pada Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pembuktian Terbalik adalah Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang
terbatas dan berimbang.
Indriyanto Seno Adji menerangkan mengenai sistem pembalikan beban pembuktian yang
“terbatas”, yang di mana pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan
absolut terhadap semua delik yang ada pada undang-undang tindak pidana korupsi. Sedangkan
“berimbang” artinya beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap
dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Mengenai pengertian sistem pembalikan beban
pembuktian yang terbatas dan berimbang ini, masih menjadi multitafsir, meskipun pengertian

9
Loekman Wiriadinata, “Masalah Pembuktian Terbalik dalam RUU Anti Korupsi Baru”, Majalah Hukum dan
Keadilan, Nomor 6 Tahun ke-1 September, 1970, hal. 20
tersebut diuraikan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
menyatakan sebagai berikut,
“Di samping itu undang-undang ini juga merupakan pembuktian terbalik yang
bersifat terbatas atau berimbang yakni terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri
atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum
tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.”
Namun, tidak terdapat penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud pembuktian terbalik,
terbatas atau berimbang itu sendiri.

5. Alat Bukti dan Barang Bukti


Alat bukti dan barang bukti adalah dua hal yang berbeda. Berbeda dengan alat bukti, KUHAP
pada pokoknya tidak secara rigid mengatur mengenai definisi dan jenis-jenis dari barang bukti,
namun tentang barang bukti terdapat pengaturan yang terpisah dalam KUHAP. Berdasarkan
Pasal 40 KUHAP dan Pasal 46 ayat (1) KUHAP, dapat disimpulkan bahwa barang bukti adalah
sesuatu yang dapat disita oleh penyidik. Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti
di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, barang bukti adalah benda bergerak atau
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik
untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Barang bukti tidaklah memiliki kekuatan pembuktian, kecuali kemudian dapat diidentifikasi oleh
alat bukti, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau keterangan terdakwa untuk
memperkuat keyakinan hakim.10 Barang bukti disebut juga sebagai bukti yang berbicara kepada
dirinya sendiri, dan membuktikan alat bukti untuk membuatnya berbicara. Alat bukti yang sah di
Indonesia, diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli

10
Naskah Akademik RUU KUHAP, hal. 259.
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Ketentuan tersebut diperluas dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, di mana ketentuan undang-undang tersebut
menambahkan apa yang disebut sebagai alat bukti elektronik untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Alat bukti harus didapatkan secara sah dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam rancangan KUHAP, terdapat Hakim pemeriksaan
pendahuluan, yang merupakan pejabat yang memiliki kewenangan untuk menilai jalannya suatu
penyidikan dan penuntutan, serta memberikan izin bagi penyidik untuk melakukan upaya paksa.
Apabila seorang hakim pemeriksaan pendahuluan merasa penyidik melawan hukum dalam
perolehan buktinya, ia dapat menolak bukti tersebut.

5.1. Keterangan Saksi


Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Menurut Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Saksi Pasal 1 angka 1, saksi adalah seseorang yang menyampaikan laporan dan/atau orang yang
dapat memberikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana berkenaan dengan
peristiwa hukum yang ia dengan, lihat dan alami sendiri dan/atau orang yang memiliki keahlian
khusus tentang pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana. R. Soesilo 11
berpendapat bahwa kesaksian merupakan suatu keterangan di muka hakim dengan sumpah,
tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu, yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri.
Keterangan saksi yang dimaksud berdasarkan pada Pasal 1 ayat 27 KUHAP, yaitu “salah satu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.” Keterangan saksi yang dimaksud tidak termasuk keterangan yang diperoleh
dari orang lain atau testimonium de auditu.12

11
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum),
Bogor: Politeia, 1982, hal. 113.
12
Pasal 185 ayat (1) KUHAP
Dalam memperoleh keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah, maka harus
memenuhi dua syarat, yaitu:
a. Syarat formil
Saksi memberikan keterangan di bawah sumpah
b. Syarat materiel
Keterangan seorang atau satu saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian
(unus testis nulus testis). Akan tetapi, keterangan seorang atau satu orang saksi adalah
cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan, hal ini diatur
dalam Pasal 185 ayat (2) dan (3) KUHAP.
Adapun terdapat perbedaan yang sehingga adanya jenis-jenis saksi, yaitu:
a. Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa)
b. Saksi A De Charge (saksi yang meringankan/menguntungkan terdakwa)
c. Saksi Korban
d. Saksi Pelapor
e. Saksi Mahkota (pelaku tindak pidana dengan kesalahan teringan, status terdakwa dicabut)
f. Saksi Berantai (satu tindak pidana yang memiliki beberapa saksi ataupun beberapa tindak
pidana yang berantai dengan beberapa saksi)
g. Saksi/ testimonium de auditu (Pasal 185 ayat (1) KUHAP)
h. Whistle Blower (memiliki kekebalan terhadap penuntutan)
i. Saksi Verbalisan (
5.2. Keterangan Ahli (Verklaringen Van Een Deskundige/ Expert Testimony)
Menurut Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di
sidang pengadilan. Seseorang dapat memberikan keterangan ahli jika ia mempunyai
pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan atau Pendidikan khusus yang memadai untuk
memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya.
Penghadiran ahli dalam persidangan, didasarkan pada Pasal 180 KUHAP, di mana diatur
bahwa hakim dapat meminta keterangan ahli dalam hal diperlukan untuk menjernihkan
duduk persoalannya yang timbul di sidang pengadilan.
5.3. Surat
Pasal 187 KUHAP mengatur alat bukti surat, namun terdapat beberapa hal yang tidak
dijelaskan dalam pasal tersebut, antara lain tentang hubungan alat bukti surat dalam
hukum perdata dan hukum pidana. Hanya akta autentik yang dapat dipertimbangkan,
sedangkan surat di bawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi dalam
hukum acara pidana. Tidak ada alat bukti yang sempurna dalam hukum acara pidana,
mengikat atau tidaknya alat bukti kembali kepada keyakinan dan penilaian hakim. Surat
sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, pada dasarnya dibagi atas
dua hal yakni surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau surat yang dikuatkan dengan
sumpah, yang di mana kemudian dijabarkan menjadi tiga kategori, yaitu:
a. Berita acara atau surat resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang, yang
memuat keterangan kejadian yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri, disertai
alasan jelas dan tegas
b. Surat yang dibuat menurut peraturan perundang-undangan atau dibuat pejabat
mengenai tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi
pembuktian suatu hal
c. Surat yang hanya dapat berlaku jika ada hubungan dengan alat pembuktian lain
5.4. Petunjuk
Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 KUHAP, yang mendefinisikan bahwa
petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena penyesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk hanya
dapat dilakukan oleh hakim sebagai bentuk penyelidikan tentang minimum pembuktian
terhadap tindak pidana yang minim bukti, seperti kasus pemerkosaan atau kasus
pembunuhan. Maka, Pasal 188 ayat (3) adalah bentuk ajakan dan peringatan bagi hakim
untuk tidak secara sewenang-wenang menggunakan alat bukti ini. Alat bukti petunjuk
pada dasarnya diperoleh secara limitatif dari kesesuaian alat bukti lain. Kekuatan alat
bukti ini sama dengan alat bukti lain dalam KUHAP yaitu bersifat bebas. Alat bukti
petunjuk ini kemudian diperbarui dalam Rancangan KUHAP dengan nama alat bukti
“Pengamatan Hakim”.
5.5. Keterangan Terdakwa
Terdapat dan diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP. Definisinya terdapat dalam
Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yakni apa yang terdakwa nyatakan dalam sidang tentang
perbuatan yang dilakukan atau yang diketahui sendiri atau alami sendiri. Terhadap
pemeriksaan terdakwa sebagai alat bukti yang sah perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu:
a. Terdakwa tidak disumpah
b. Asas non self-incrimination
c. Wajib diucapkan di muka persidangan
d. Keterangan terdakwa berupa perbuatan yang dilakukan atau diketahui maupun
dialami sendiri
e. Merupakan alat bukti bagi dirinya sendiri

6. Wrongful Convictions dan Miscarriage of Justice


Miscarriage of Justice atau failure of justice, terjadi ketika seseorang dinyatakan bersalah dan
dihukum karena tindak pidana yang tidak dilakukannya. 13 Kegagalan peradilan dianggap terjadi
apabila:
a. Orang yang tidak bersalah dihukum secara salah melakukan tindak pidana
b. Orang-orang yang bersalah dibebaskan karena pelanggaran hak atau teknis prosedural
c. Kredibilitas sistem peradilan pidana lemah
d. Kehilangan terbesar ketika seseorang salah dihukum karena pelanggaran pidana dengan
bukti yang tidak cukup atau terkontaminasi
Error in persona dapat terjadi dalam proses penegakan hukum yang mengandalkan pengakuan
secara paksa. Adanya beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya wrongful convictions,
yaitu:
1) Kesalahan dalam identifikasi saksi mata
2) Kesalahan dalam pengadaan investigasi atau kesalahan oleh polisi
3) Pengakuan / kesaksian palsu
4) Perjured atau bukti yang tidak dapat diandalkan yang didapat dari orang-orang dengan
criminal background, seperti informan penjara.
5) Pembelaan hukum yang tidak kompeten

13
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, edisi ke-9, Saint Paul: West, 2009, s.v. “Miscarriage of justice”, hal. 1088.
Referensi

Garner, Bryan A. Black's Law Dictionary. Edisi Ke-9. St. Paul: West , 2009.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Pangaribuan, Aristo M. A., Arsa Mufti, and Ichsan Zikry. Pengantar Hukum Acara Pidana Di

Indonesia. Depok: Rajawali Pers, 2017.

Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan kerja sama dengan

Yayasan LBH, 1989.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Atjara Pidana Di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung, 1967.

Prodjohamidjojo, Martiman. Komentar Atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita, 1984.

Simons, D. Beknopte Handleiding Tot Het Wetboek Van Strafvordering. Haarlem: De Erven F.

Bohn, 1925.

Simorangkir, J. C. T., Rudy T. Erwin, and J.T. Prasetyo. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru,

1983.

Soesilo, R. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP

Bagi Penegak Hukum). Bogor: Politeia, 1982.

Wirjadinata, Loekman. “Masalah Pembuktian Terbalik Dalam RUU Anti Korupsi

Baru.” Majalah Hukum Dan Keadilan, September 1970.

Anda mungkin juga menyukai