Anda di halaman 1dari 7

HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA DAN

MENJALANKAN PIDANA
Disusun untuk memenuhi mata kuliah Asas-asas Hukum Pidana Perkembangan

Oleh:
Hafiz Faramanda
110110140195

Dosen:
Widati Wulandari ,S.H., M.Crim.
Nella Sumika Putri,S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016

BAB I
PENDAHULUAN
I.

Latar Belakang
Pada perkembangannya dapat dipahami bahwa manusia cenderung untuk
bersosialisasi atau bermasyarakat antara individu yang satu dengan individu yang
lainnya1, hal itu untuk dapat bertahan hidup dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.Dalam hal ini, manusia

membuat suatu kelompok dimana terdapat

hubungan yang erat diantara mereka yang hidup dalam bermasyarakat. Atas dasar ini
manusia disebut sebagai zoon politicon2.
Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu melakukan berbagai interaksi
yang menimbulkan suatu akibat. Di masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik
peraturan yang timbul dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu berlangsung,
maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan ketertiban
dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam melakukan setiap perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Adapun tindakan yang melanggar aturan atau peraturan hukum pidana tersebut dapat
disebut dengan tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan
yang sebagaimana telah diatur dalam KUHP.
II.

Identifikasi Masalah
1. Sebutkan dan jelaskan kaitan dan hubungan mengenai hapusnya kewenangan
menuntut pidana?

1 R. Soeroso, S.H, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika , Jakarta, 2001, Hlm. 40.
2 Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., dan Dr. B. Arief Sidharta, S.H.,
Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, Hlm. 12.

BAB II
PEMBAHASAN
I.

Alasan Gagalnya Hak Menuntut dan Hak Menjalankan Pidana


Kewenangan menuntut pidana dapat hapus dengan alasan alasan sebagai berikut:3
1. Ne bish in idem (telah dituntut untuk kedua kalinya)
Ne bis in idem yang diatur dalam Pasal 76 KUHP ini disyaratkan:
a. Telah ada keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya adalah
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan
yang tidak dapat lagi dilawan dengan upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa
itu ialah verzet, banding, dan kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa yang
biasa disebut oleh Pasal 76 Ayat 1 dengan kalimat: kecuali dalam hal putusan
hakim masih mungkin diulangi, ialah apa yang dimaksud dengan
berziening, yang kini dikenal dengan Peninjauan Kembali disingkat PK
(Pasal 263-269 KUHAP). Demikian pula kasasi untuk kepentingan hukum
termasuk juga upaya hukum luar biasa (259-262 KUHAP).4
b. Terhadap orang yang dijatuhkan putusan yang sama;
c. Perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus dahulu.
Perkara yang tidak berlaku asas ne bis in idem adalah
a) Dalam suatu delik aduan apabila tidak ada pengaduan maka
dakwaan tidak dapat diterima seperti pada pasal 284 perzinahan;
b) Dalam suatu kasus perdata jual beli tanah ternyata salah satu pihak
melakukan penipuan maka ia menjadi sengketa pidana.
Keputusan hakim (yang berkekuatan tetap) adalah keputusan terhadap
perbuatan atau perkara yang berupa:5
a) Terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam pasal 191 ayat (1)
KUHAP;
b) Terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van
allerechtsvervolging) dalam pasal 191 ayat (2) KUHAP;
c) Terhadap putusan yang telah dijatuhkan pidana dalam pasal 193
ayat (1) KUHAP.
2. Meninggalnya Terdakwa (Pasal 77)
Pasal 77 menentukan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika
terdakwa meninggal dunia. Ketentuan ini berlatar belakang pada sifat pribadi

3 Ahmad Bahiej, Hukum Pidana, Yogyakarta: Bidang Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2008, Hlm. 45
4 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, Hlm. 153
5 Eva Achjani Zulfa , Gugurnya Hak Menuntut, Bogor : Ghalia Indonesia , 2010 , Hlm.15

dari pertanggung jawaba pidana dan pembalasan dari suatu pidana, yang dengan
demikian tidak diperlukannya lagi pidana bagi orang yang sudah meninggal.6
Undang Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi pada Pada pasal 34 menentukan apabila kematian terjadi pada saat proses
pemeriksaan pengadilan sedang berlangsung, dan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka Jaksa Penuntut Umum segera menyerahkan salinan berkas
berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan
untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.7 Hal tersebut bukanlah
pengecualian dari pasal 77 KUHP melainkan hanya upaya negara untuk
memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
almarhum terdakwa.
3. Daluwarsa
Pasal 78 mengatur tentang waktu, yaitu:
a. Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan sesudah 1 tahun.
b. Untuk kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara
maksimal 3 tahun, daluwarsanya sesudah 6 tahun.
c. Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun,
daluwarsanya 12 tahun.
d. Untuk kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup,
daluwarsanya sesudah 18 tahun.
Sebagai contoh daluwarsa: A melakukan tindak pidana pembunuhan biasa
(Pasal 338 KUHP) pada tanggal 1 januari 2004 yang diancam pidana maksimal 15
tahun penjara. Jika A kemudian menghilang dan tidak tertangkap polisi, maka
kewenangan penuntutan terhadap A akan berakhir setelah waktu 12 tahun (1
Januari 2016).
Daluwarsa ini berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan kecuali hal hal
tertentu, seperti ditangguhkan karena ada perselisihan dalah hukum perdata.
Kecuali dalam tiga hal, yaitu:8
a. Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, adalah pada hari sesudah
barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak itu digunakan;

6 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, Hlm. 169
7 Ibid., Hlm. 171
8 Ibid., Hlm. 178

b. Mengenai kejahatan dalam Pasal pasal: 328, 329, 330, dan 333, dimulainya
adalah pada hari sesudah orang yang langsung terkena kejahatan (korban)
dibebaskan atau meninggal dunia;
c. Mengenai pelanggaran dalam Pasal 556 sampai dengan Pasal 558a, adalah
mulai pada hari sesudah daftar daftar yang memuat pelanggaran pelanggaran
itu telah disampaikan pada Panitera Pengadilan yang bersangkutan.
4. Penyelesaian Diluar Pengadilan (Pasal 82).
Pasal 82 memberikan kemungkinan suatu perkara pidana tertentu dengan cara
tertentu dapat diselesaikan tanpa harus menyidangkan si pembuatnya dan
menjatuhkan pidana kepadanya. Tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan di
luar sidang pengadilan, tetapi hanyalah perkara pidana pelanggaran yang diancam
dengan pidana denda saja, dengan cara secara sukarela si pembuat membayar
maksimum denda dan biaya biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah
dimulai.
Dengan telah dibayarnya denda maksimum dan biaya biaya tersebut, maka
hapuslah kewenangan negara untuk melakukan penuntutan pidana terhadap diri
pembuat. Lembaga ini disebut dengan afkoop atau penebusan tuntutan pidana,
yang hanya ada dalam hal tindak pidana pelanggaran, khususnya yang diancam
dengan pidana denda saja.9

5. Grasi, Abolisi, Amnesti, (Diluar KUHP)


Menurut Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945 (setelah diamandemen) Presiden
memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.10
Grasi dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman
yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk
meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.
(ampunan dari presiden pada orang yang telah dijatuhi hukuman)
Amnesti adalah suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam
suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul
dari tindak pidana tersebut. Amnesti diberikan kepada orang yang sudah ataupun
9 Ibid., Hlm. 182
10 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, Hlm. 183

yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan
pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.
Abolisi merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pemeriksaan suatu
perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara
tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan
umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan
kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.
(penghapusan hukum atau membatalkan hukum).
Terdapat persamaan antara amnesti dan abolisi yaitu pada keduanya
mengakhiri suatu perkara pidana tanpa menyelesaikan melalui sidang pengadilan
formal. Juga pada keduanya diberikan pada orang yang melakukan tindak pidana
yang berhubungan erat dengan masalah masalah politik. Sedangkan perbedaanya
ialah:11
a) mengenai luas akibat hukumnya, pada amnesti: mengakhiri/menghentikan
segala bentuk tindakan hukum dalam proses hukum perkara pidana.
Sedangkan abolisi hanya mengakhiri/menghentikan penuntutan pidana saja.
Jadi akibat hukum dari pemberian abolisi adalah lebih sempit dari pemberian
amnesti.
b) Mengenai sifatnya, ialah: pada amnesti tidak bersifat pribadi, artinya tidak
ditujukan pada pribadi tertentu, malainkan pada orang orang dalam hal atau
mengenai tindak pidana tertentu atau suatu peristiwa tertentu. Sedangkan pada
pemberian abolisi ditujukan pada pribadi tertentu karena tindak pidana yang
dilakukannya.

11 Ibid, Hlm. 184

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hal penyebab hapusnya hak untuk menuntut dan menjalankan pidana ada 4 hal yang
diatur dalam KUHP dan ada beberapa hal lain diluar KUHP yang perlu diketahui yaitu:
1. Ne Bis In Idem didalamnya mengatur tentang tidak adanya dituntut 2 kali karena
perbuatan yang pertama sudah diadili dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap.
2. Matinya terdakwa yang sudah dijelaskan pada pasal 77 bahwa yang bertanggung
jawab hanyalah orang yang bersifat individual.
3. Daluwarsa pasal 78 yaitu bagi yang pelanggaran kejahatan percetakan sesudah 1
tahun, yang diancam denda selama penjara maksimum 3 tahun, daluwarsanya 6 tahun,
kejahatan pidana selama penjara lebih 3 tahun daluwarsanya 12 tahun, untuk ancaman
pidana mati atau seumur hidup daluwarsanya 18 tahun.
4. Penyelesaian diluar Pengadilan.
5. Amnesti dan abolisi yang pencabutannya diatur dalam UU yang akibat
pemidanaannya terjadi pada suatu delik tertentu dengan delik tertentu lainya. Untuk
kepentingan semua terpidana atau buka terpidana. Dan amnesti dan abolisi ini sudah
diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Serta abolisi ini disebut juga dengan
penghapusan seluruh akibat penghukuman penjatuhan putusan.

B. Referensi
Ahmad Bahiej, Hukum Pidana, Yogyakarta: Bidang Akademik Uin Sunan Kalijaga,
2008.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005.
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014.

Anda mungkin juga menyukai