Anda di halaman 1dari 19

HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA

DAN MENJALANKAN PIDANA

A N G G O TA K E L O M P O K 8 :

A U L I A R I K A P U T R I M A N G AW I N G ( 2 0 3 0 1 4 8 6 4 )

S H A B I N A A D H A AY U M I T H A ( 2 0 3 0 1 4 8 4 3 )

Z I N H A R I PA R I S YA H A LVA N T H A ( 2 0 3 0 1 4 8 3 3 )

RIZKI NUR AZIZAH PUTRI (203014866)


1. Hal-hal yang menghapuskan hak untuk menuntut pidana diatur dalam
KUHP dan UUD 1945 yaitu dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 82 KUHP
tentang :

 Nebis in idem
 Matinya terdakwa
 Daluwarsa
 Penyelesaian di luar proses pengadilan berupa tindak pidana pelanggaran
dengan ancaman hukuman berupa hukuman denda dan dalam UUD 1945
tentang Abolisi dan Amnesti.
2. Alasan-alasan untuk menghapuskan hak untuk menjalankan pidana
adalah sebagaimana diatur dalam KUHP dan UUD 1945 yaitu dalam Pasal 83,
Pasal 84 dan Pasal 85 KUHP yaitu :

 Matinya terpidana
 Daluwarsanya suatu hak untuk menjalankan pidana
 Pasal 14 UUD 1945 tentang Grasi, Amnesti dan Abolisi yang merupakan hak
prerogratif dari Presiden.
HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA
PADA PASAL 76 SAMPAI DENGAN PASAL 82 KUHP

1. ASAS “ NE BIS IN IDEM “(pasal 76 KUHP)


adalah dalam hal adanya suatu perkara yang telah diajukan dan telah mendapat keputusan yang pasti dan tetap dari pengadilan,tidak
dapat diajukan untuk kedua kalinya dalam hal yang sama,atau dengan kata lain “Tidak seorangpun atas perbuatannya dapat dituntut untuk
kedua kalinya ” (Nemmo debet bis vexari).
 
Perkara yang telah mendapat keputusan yang pasti tidak dapat dituntut kembali untuk kedua kalinya ,dengan syarat-syarat yaitu :
 Sama pelakunya.
 Sama perbuatannya.
 Atas perbuatan tersebut telah ada vonis (putusan) dari hakim pengadilan yang pasti dan tetap.
 
Alasan dari asas adalah untuk kepentingan masyarakat akan suatu kepastian hukum dan ketentraman dalam hidupnya serta untuk
menjaga martabat pengadilan dan untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat putusan.
Pengecualiannya :
 Untuk peninjauan kembali (Herziening) perkara karena terdapat kesalahan dalam vonisnya.
 Kasasi demi kepentingan umum.
Contoh kasusnya : Si A dituntut karena diduga telah melakukan tindak
pidana korupsi, kemudian oleh hakim divonis bebas. Kalau vonis ditinjau
kembali (oleh Mahkamah agung) dalam perkara yang sama,maka tidak
diperkenankan kasusnya dirubah sebab dalam hal ini yang ditinjau kembali
adalah putusannya,bukan peristiwanya.
2. Meninggalnya pelaku (pasal 77 KUHP)
Secara yuridis dengan meninggalnya si pelaku tindak pidana,karena kesalahan seseorang itu bersifat pribadi maka kesalahannya
tidak dapat dilimpahkan pada orang lain untuk memikul kesalahan si pelaku tindak pidana.
 
Apabila pelaku tindak pidana meninggal dunia maka :
 Bila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan, maka perkara pidana tersebut menjadi gugur.
 Bila perkara pidana tersebut masih dalam proses penyidikan, maka perkaranya dihentikan.
 Jika penuntutan telah diajukan oleh Jaksa penuntut umum dan si terdakwa meninggal sebelum mendapat putusan pengadilan,
maka oleh pengadilan perkara pidana tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
 
Pengecualiannya bahwa dengan meninggalnya si pelaku “tidak mutlak” menjadi gugur,yaitu terhadap barang-barang atau
hak-hak yang dimiliki,dan biasanya diterapkan terhadap hukuman denda atau tuntutan tambahan tetap dijalankan.
 
Apabila dalam proses penyidikan (Polisi),tersangka meninggal dunia,maka penyidikan tersebut dihentikan,kemudian
apabila terdakwa pada masa penuntutan meninggal dunia,maka harus dikeluarkan surat penetapan dari hakim pengadilan
negeri.
Contoh kasusnya :dapat kita temukan dalam artikel ”Lagi, Tersangka KPK Meninggal
Dunia”. Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa KPK tak bisa meneruskan lagi
penyidikan terhadap politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Jeffrey
Tongas Lumban Batu. Tersangka penerima traveller cheque pemilihan Gubernur Bank
Indonesia ini telah meninggal dunia karena serangan jantung. Dengan meninggalnya
Jeffrey ini, maka perkara yang sedang dihadapinya di KPK batal demi hukum. Alasan
KPK mengacu kepada Pasal 77 KUHP, yakni hak jaksa untuk menuntut akan gugur ketika
tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Atas dasar itu, penuntutan kasus pun
digugurkan.
3. Daluwarsa (pasal 78 KUHP) Dalam hukum pidana terdapat masa daluwarsa (lewatnya waktu) untuk mengajukan pengaduan,
penuntutan, menjalankan pidana, dan upaya hukum lainnya. Penyebab terjadinya daluwarsa yaitu :

- Apabila suatu perbuatan pidana oleh karena beberapa hal diselidiki dalam waktu yang lama ,maka masyarakat sudah tidak ingat lagi
sehingga tidak begitu dirasakan manfaatnya.
- Lebih lama pengusutan,maka susah mendapat bukti-bukti yang cukup apabila terdakwa tidak membenarkan.

Tenganggan waktu daluwarsa yaitu :


- 1 tahun untuk kejahatan dengan pencetakan
- 6 tahun untuk kejahatan dengan ancaman hukumannya denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun.
- 12 tahun untuk kejahatan yang ancaman hukumannya lebih dari 3 tahun
- 18 tahun untuk semua kejahatan yang ancaman hukumannya seumur hidup atau pidana mati.
Mulai dihitung daluwarsa yaitu :
- Mulai dihitungnya daluwarsa adalah sehari setelah perbuatan dilakukan (Pasal 79 KUHP).
- Khusus untuk mereka yang belum berumur 18 tahun,masing-masing Daluwarsanya dikurang 1/3.
Contohnya : Pada waktu si A berusia 17 tahun telah melakukan kejahatan,dan kemudian tidak tertangkap.maka tenggang waktu
Daluwarsanya adalah 1/3 x 18 tahun = 6 tahun. kemudian seandainya pada usia 24 si A tersebut tertangkap,maka terhadapnya
tidak dikenakan hukuman.
Contoh kasusnya : Si A tertangkap karena melakukan tindak pidana kejahatan pada
tanggal 3 Juli.kemudian pada tanggal 30 Juli ia melarikan diri,maka tenggang waktu
Daluwarsanya akan dihitung sejak tanggal 31 Juli. Kemudian apabila tanggal 29 Juli ia
tertangkap maka waktu Daluwarsanya hapus.Kemudian apabila tanggal 30 Januari ia
melarikan diri lagi,berarti tenggang waktu daluwarsanya dihitung sejak tanggal 31
Januari. (Pasal 80 ayat (2) KUHP).
4. Penyelesaian perkara diluar sidang (Pasal 82 KUHP)

Dalam hal terjadi pelanggaran yang diancam denda yaitu membayar kepada kejaksaan maksimum denda yang dikeluarkan untuk
perkara,maka si pelaku harus membayar denda dan biaya perkara tersebut dan kalau tidak maka ia bisa dikenakan pidana kurungan
sebagai pengganti denda dan biaya perkara tersebut.
• Dalam perkara pidana dikenal penyelesaian dil uar pengadilan. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam Pasal 82 KUHP yang pada
intinya mengatur beberapa hal:
 Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda menjadi hapus, jika secara suka rela dibayar maksimum
denda dan biaya-biaya yang telah dilakukan.
 Jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan wajib diserahkan pula atau harga
harus dibayar menurut taksiran pejabat yang berwenang.
 Dalam hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap
pelanggaran yang dilakukan terlebih dahulu telah hapus karena penyelesaian di luar pengadilan.

Ketentuan –ketentuan tersebut tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang pada saat melakukan perbuatan belum berumur 16 tahun
Contoh kasusnya : Ketika ada seseorang yang dengan sengaja mencopy dan
memperjualbelikan ciptaan atau barang orang lain yg telah mendapatkan hak cipta, maka
orang tersebut dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00. Akan tetapi pidana tersebut dapat menjadi hapus jikalau orang
yang dikenakan pidana tersebut dapat membayar dengan suka rela denda maksimum dan
biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Sebab penggunaan kata "dan atau" pada kalimat
tersebut dapat ditafsirkan menjadi 2 arti yaitu : pelaksanaan hukumannya bisa dilakukan
secara sekaligus ataukah kita dapat memilih salah satu dari ketentuan hukuman yang ada.
5. Pasal 14 UUD 1945 tentang Amnesti dan abolisi dari presiden

Amnesti atau pengampunan adalah hak prerogatif Presiden untuk mengeluarkan suatu pernyataan umum bahwa hukum atau
Undang-undang pidana tidak akan menimbulkan akibat hukum (hukuman) terhadap mereka yang telah melakukan perbuatan
pidana.
 
Abolisi atau pembatalan tuntutan hak adalah Hak prerogatif Presiden yang menghapuskan suatu tuntutan atau menggugurkan
suatu tuntutan pidana yang sedang dilakukan.
 
Perbedaan antara Amnesti dan Abolisi yaitu :
- Amnesti merupakan pencegahan penuntutan atas beberapa orang atau segerombolan orang yang melakukan
kesalahan,sedangkan Abolisi merupakan penghentian penuntutan yang sudah berjalan atas seseorang atau beberapa orang yang
melakukan kesalahan.
- Amnesti diberikan sebelum suatu penuntutan mulai dilaksanakan,sedangkan Abolisi diberikan pada saat penuntutan dilakukan.
Contoh kasusnya : Abolisi terhadap Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas,
Abolisi itu juga diberikan kepada para pemimpin politik Muchtar Pakpahan dan Sri
Bintang Pamungkas pada tahun 1998. Penghapusan itu dilakukan oleh Presiden BJ
Habibie, yang secara resmi menggantikan Presiden Soeharto di akhir pemerintahan Orde
Baru. Dua orang yang masih diadili karena dihina oleh Presiden Soeharto dibebaskan dari
proses.
ALASAN-ALASAN PENGHAPUSAN KEWENANGAN UNTUK MENJALANKAN PIDANA
PADA PASAL 83 SAMPAI DENGAN PASAL 85 KUHP

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hapusnya hak untuk menjalankan pidana atau
kewenangan menjalankan pidana dapat hapus, dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu:
 
1. Matinya terdakwa (Pasal 83 KUHP)
Dalam Pasal 83 KUHP ditentukan bahwa: “Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana
meninggal dunia.” Matinya terpidana sebagai alasan penghapusan untuk menjalankan pidana berpijak
pada sifat pribadi pertanggung jawaban dalam hukum pidana dan pembalasan dari suatu pidana.
 
Apabila terdakwa meninggal dunia setelah kepadanya dijatuhi hukuman drngan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan tetap (gewijsde), maka menurut Pasal 83 KUHP gugurlah (verwalt) hak untuk
menjalankan hukumannya, termasuk hukuman tambahan seperti perampasan barang-barang.
Contoh kasus : Putusan Mahkamah Agung Nomor: 29/K/Kr/1974 tanggal 19 Nopember
19748 memutuskan: hak untuk menuntut hukuman gugur karena tertuduh meninggal
dunia, oleh karena mana permohonan kasasi dari jaksa dinyatakan tidak dapat diterima.
2. Daluwarsa (Pasal 84-85 KUHP)

Pasal 84 ayat (1) KUHP menentukan : “kewenangan menjalankan pidana hapus karena kadaluwarsa.” Ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHP
ini berarti bahwa kewajiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya menjadi hapus setelah lewat
waktu tertentu. Ketentuan lewatnya waktu tertentu yang menyebabkan hapusnya kewenangan negara untuk menjalankan pidana, berlatar belakang
pada kepastian hukum baik bagi terpidana maupun bagi negara. 
Dalam Pasal 84 ayat (2) KUHP diatur tentang tenggang waktu untuk menjadi daluwarsa atau lewat waktunya kewenangan untuk menjalankan
pidana, dan untuk semua tindak pidana tidaklah sama daluwarsanya.
Pasal 84 ayat (2) KUHP menentukan sebagai berikut:
a. Mengenai semua pelanggaran, lamanya adalah 2 (dua) tahun;
b. Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan sarana percetakan, lamanya adalah 5 (lima) tahun;
c. Mengenai kejahatan-kejahatan lainnya, lamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana ditambah dengan sepertiga
Contoh kasus : A melakukan tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang diancam dengan
pidana penjara maksimal 12 tahun. A kemudian disidang dan diputus pidana penjara 10
tahun oleh hakim pada tanggal 1 Januari 2010. Sebelum menjalankan pidana, A kemudiaan
melarikan diri. Bagi A, batas tenggang waktu daluwarsa untuk tidak menjalankan pidana
penjara adalah kadaluwarsa penuntutan ditambah 1/3, jadi hitungannya adalah 12 tahun +
(1/3 x 12 tahun) = 16 tahun. Untuk dapat bebas dari kewajiban menjalankan pidana penjara
sesuai dengan tuntutan atau pidana yang dijatuhkan oleh hakim, maka A harus berhasil
melarikan diri selama 16 tahun barulah A tidak akan lagi menjalani pidana penjaranya
karena sudah daluwarsa. Dengan demikian A baru bisa kembali dari pelariannya setelah
tanggal 1 Januari 2020.
3. Diluar ketentuan KUHP, hapusnya hak menjalankan pidana juga diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yaitu:
Pemberian grasi dari Presiden.
Grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk menghapuskan seluruh pidana yang telah dijatuhkan hakim atau mengurangi pidana, atau menukar hukum
pokok yang berat dengan suatu pidana yang lebih ringan. Secara historis, grasi merupakan hak raja, sehingga dianggap sebagai anugerah yang dimiliki oleh raja.
Akan tetapi saat ini grasi merupakan suatu alat untuk menghapuskan sesuatu yang dirasakan tidak adil jika hukum yang berlaku mengakibatkan timbulnya
ketidakadilan.
Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak proregatif presiden. Grasi tidak menghilangkan putusan hakim yang bersangkutan. Putusan
hakim tetap ada, tetapi pelaksanaannya dihapus atau dikurangi/diringankan.
Ketentuan khusus mengenai Grasi diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2010 yang menggantikan UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Grasi dapat berupa:
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana
Contoh kasus : Sebagai contoh pemberian grasi 42 anak narapidana se-Indonesia dari
presiden SUSILO BAMBANG YUDHOYONO, 12 orang anak akan segera menghirup
udara bebas lewat grasi tersebut, ujar Untung Sugiono selku Dirjen Lembaga
Pemasyarakatan saat membacakan Laporan Upacara Pemberian Grasi Anak di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Kelas II A Tanggerang, Selasa 6 April 2010.

Anda mungkin juga menyukai