NIM : 20221440062
Kelas : 2C
Kecuali dalam putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili
dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim
pengadilan swapraja dan adat, ditempat-tempat yang mempunyai pengadilan- pengadilan
tersebut.
Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap
orang itu dan karena delik itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
Putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
Putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun
atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena lewat waktu.
Pasal 76 KUHAP melarang untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang
telah penah dijatuhi pidana dan putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(in krach van gewijsde). Tidak dipermasalahkan apakah putusan hakim itu
berupapemidanaan ataupun pelepasan dari segala tuntutan hukum.
Seorang dapat bebas dari penuntutan untuk kedua kali berdasarkan azas Ne
Bis InIdem (pasal 76 KUHP) apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
• Adanya keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang hukum tetap
terhadap tindak pidana yang sama
• Putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang sama
• Perbuatan yang dilakukan tersangka/terdakwa sama
Jadi sudah tidak ada cara lagi,untuk melakukan upaya hukum lagi, baik berupa
verzet, banding maupun kasasi ataupun peninjauan kembali. Putusan hakim yang
merupakan putusan akhir dapat berupa:
c. Putusan bebas (pasal 191 ayat (1) KUHAP
d. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (pasal 191 ayat (2) KUHAP
e.Putusan pemidanaan (pasal 193 ayat (1) KUHAP
PUTUSAN BEBAS
Putusan bebas dapat dijatuhkan oleh hakim sebagaimana diatur dalam pasal 191
ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
menyakinkan maka terdakwa diputus bebas”.
Penjelasan pasal 191 ayat (1) menyebutkan, yang dimaksud dengan perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan menyakinkan adalah tidak cukup
bukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat
bukti yang sah. Dengan demikian putusan bebas adalah putusan yang dinilai oleh
hakim sebagai berikut:
a. Putusan tersebut tidak memenuhi azas pembuktian menurut undang-undang secara
negatif (negative wettelijke).dimana hasil pembuktian yang diperoleh
dipersidangan
tidak cukup bukti membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa
b. Tidak memenuhi azas hukum pembuktian.
Dalam hal ini minimum pembuktian yang disyaratkan oleh undang-undang tidak
dipenuhi, misalnya hanya ada satu alat bukti saja. Sedangkan pasal 183
KUHAP menentukan untuk membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak
bersalah sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah.
cukup terbukti.
Bila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, menurut pasal 77 KUHP hak untuk melakukan
penuntutan hapus. Pasal 77 KUHP selengkapnya berbunyi: “Kewenangan menuntut
pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia”.
Hak untuk melakukan penuntutan atas suatu perkara pidana hapus karena
kedaluarsa. Daluarsa berarti sudah lewat waktu sebagaimana ditentukan undang-
undang. Pasal 78 KUHP menentukan hak untuk menuntut perkara pidana hapus
karena kedaluarsa. Daluarsa berarti sudah lewat waktu sebagaimana ditentukan
undang-undang.
Pembayaran Denda
suatu konsep yang terasa asing ketika berbicara tentang penyelesaian perkara
pidana diluar pengadilan.konsep yang dikenal berdasarkan asas ius punle dan iuspunendi,
membuat pemikiran tentang sistim penyelesaian perkara pidana hanya dapatdilakukan
melaluai lembabaga peradilan atau litigasi.
i. Meninggalnya terpidana
Memang dapat dimengerti bahwa seseorang yang telah dijatuhi pidana oleh
pengadilan, sebelum menjalani pidana terpidana meninggal dunia, maka dengan
sendirinya kewajiban untuk menjalani pidana itu menjadi gugur. Pasal 83 KUHP
berbunyi: “Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”.
Ketentuan pasal 83 KUHP itu sebenarnya dapat dikecualikan dalam hal bila
pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan berupa pidana denda.
Judul buku : HUKUM PIDANA
Nama penulis : Prof . Dr. Teguh Prasetyo, S,H.,M.Si
Penerbit : PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tahun terbit : 2 Februari 2011
Hapusnya Kewenangan Menuntut dan Melaksanakan Pidana
Kepastian hukum diperlukan agar suatu persoalan diselesaikan dengan tuntas sehingga tidak terus-
menerus tergantung. khususnya mengenai dapat dituntutnya seseorang karena telah disangka melakukan
tindak pidana. Hal itu kecuali untuk menegakkan martabat aparat penegak hukum dengan tindakan
maupun putusannya, juga untuk menjaga perasaan aman bagi seseorang yang sedikit banyak pernah
terlibat di dalam suatu perkara.
Di bidang hukum pidana, hal itu diatur dalam Buku I Bab VIII dari Pasal 76 sampai Pasal 86.
Sebelum KUHP diundang- kan pada tahun 1886 di Nederland dan tahun 1918 di Indonesia masalah
tersebut termasuk di dalam hukum acara pidana. Dulualasan hapusnya kewenangan untuk menuntut dan
melaksanakan pidana tersebut dianggap sebagai alasan hapusnya kewenangan untuk melaksanakan hak
menuntut dan hapusnya kewenangan untuk melaksanakan pidana, tetapi sejak saat itu dianggap sebagai
alasan hapusnya hak menuntut dan hapusnya pidana itu sendiri. Dari pasal-pasal dalam KUHP tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa alasan mengenai kedua hal tersebut.
Terdapat empat alasan tentang hapusnya hak menuntut, yaitu:
1. Perkaranya telah diadili dan diputuskan dengan putusan yang menjadi tetap, dan ini berkaitan dengan
yang disebut Nebis In Idem.
2. Meninggalnya terdakwa.
3. Daluwarsa atau verjaring.
4. Penyelesaian di luar pengadilan yang hanya berlaku untuk
pelanggaran dan yang telah berada di luar KUHP, yaitu
abolisi dan amnesti.
Untuk hapusnya hak melaksanakan pidana terdapat dua alasan, yaitu:
1. Meninggalnya terdakwa (Pasal 83).
2. Kedaluwarsa atau verjaring (Pasal 84-85) dan yang berada
di luar KUHP, yaitu grasi.
Kewenangan menuntut pidana dapat hapus dengan alasan- alasan sebagai berikut:
1. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan Dalam Bab VII Pasal 72-75 diatur mengenai siapa saja
yang berhak mengadu dan tenggang waktu pengaduan Namun, ada pasal-pasal khusus mengenai delik
aduan ini, yaitu Pasal 284 (perzinahan) yang berhak mengadu adalah suami/istrinya, dan Pasal 332
(melarikan wanita) yang berhak mengadu adalah: (1) jika belum cukup umur oleh wanita yang
bersangkutan atau orang yang memberikan izin bila wanita itu kawin, (2) jika sudah cukup umur oleh
wanita yang bersangkutan atau suaminya.
2. Nebis in idem (telah dituntut untuk kedua kalinya)
Nebis in idem yang diatur dalam Pasal 76 KUHP ini disyaratkan:
a. telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;
b. orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama;
c. perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu.
3. Matinya terdakwa (Pasal 77)
4. Kedaluwarsa
Pasal 78 mengatur tenggang waktu, yaitu:
a. untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan sesudah 1 tahun;
b. untuk kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun,
kedaluwarsanya sesu- dah 6 tahun;
c. untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun, kedaluwarsanya 12 tahun;
d. untuk kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, kedaluwarsanya sesudah 18
tahun.
5. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya
diancam dengan denda saja (Pasal 82).
6. Ada abolisi atau amnesti
Dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum
pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana
dihapuskan. Sedangkan dengan pemberian abolisi, hanya
dihapuskan penuntutan terhadap mereka. Oleh karena itu,
abolisi hanya dapat diajukan sebelum adanya putusan.
Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana
Menurut KUHP, kewenangan menjalankan pidana dapat hapus karena beberapa hal, yaitu:
a. Matinya terdakwa (Pasal 83)
b. Kedaluwarsa (Pasal 84-85)
Tenggang waktu kedaluwarsanya adalah sebagai berikut:
a. semua pelanggaran kedaluwarsanya 2 tahun;
b. kejahatan percetakan kedaluwarsanya 5 tahun;
c. kejahatan lainnya kedaluwarsanya sama dengan kedalu
warsa penuntutan ditambah 1/3;
d. pidana mati tidak ada kedaluwarsa.
Jurnal
HAPUSNYA HAK MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANAMENURUT PASAL 76 KUHP
oleh: Jesica Pricillia Estefin Wangkil
Dasar aturan hak untuk melakukan penuntutan pidana diadakan, dengan maksud aagar tercipta
kepastian hukum bagi seseorang, sehingga terhindar dari keadaan tidak pasti atau tidak menentu
dalam menghadapi penuntutan pidana.Tentang hapusnya kewenangan atau hak untuk menuntut
pidana ini diatur baik dalam KUHP maupun di luar KUHP yaitu dalam UUD 1945. Di dalam
KUHP, mulai Pasal 76 sampai dengan Pasal 82 KUHP disebutkan bahwa ada empat hal yang
dapat menggugurkan penuntutan pidana yaitu:
1. Nebis in idemNebis in idem (non bis in idem)
berasal dari bahasa Latin yang berarti tidak atau jangan dua kali yang sama. Dalam Kamus Hukum,
Nebis inidemartinya suatu perkara yang sama tidak boleh lebih dari satu kali diajukan untuk
diputuskan oleh pengadilan.4Di dalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 76 yang berbunyi:(1)
Kecualidalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali
karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang
menjadi tetap.(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang
itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:a. putusan
berupapembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;b. putusan berupa pemidanaan dan
telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah
hapus karena daluwarsa.
2. Tersangka meninggal dunia
Pasal 77 KUHP menentukan bahwa: “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal
dunia.”6Ketentuan ini adalah sebagai konsekuensi dari sifat pidana yang hanya didasarkan atas
kesalahan diri pribadi seorang manusia. Artinya harus dianggap bahwa hanya seorang
pribadi itu sendirilah yang harus bertanggung jawab. Kesalahan hanya dapat dituntut dari
seseorangyang melakukan perbuatan pidana yang masih hidup.Dengan meninggalnya tersangka,
dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku
universal pada abad modern, yakni kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang
adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan.
3. Daluwarsaatau Lampau Waktu
Apabila suatu tindak pidana oleh karena beberapa hal tidak diselidik dalam waktu yang agak
lama, maka masyarakat tidak begitu ingat lagi kepada peristiwa tindak pidana tersebut, sehingga
seakan-akan tidak begitudirasakan perlunya dan manfaatnya menjatuhkan hukuman kepada si pelaku.
Hal ini terutama berlaku bagi tindak-tindak pidana yang ringan, yaitu golongan pelanggaran
seluruhnya dan golongan kejahatan yang diancam dengan hukuman kurungan, terlebih
hukuman denda.Untuk kasus-kasus yang demikian, makaapabila lebih lama pengusutuan tidak
dilakukan, makaakan mengakibatkan lebih sulit lagi untuk mendapatkanbukti-bukti yang cukup
apabila kemudian tersangka/terdakwa tidak mengakui akan perbuatannya.
Kesimpulan
1.Hal-hal yang menghapuskan hak untuk menuntut pidana diatur dalam KUHP dan UUD 1945 yaitu
dalam Pasal 76sampai dengan Pasal 82 KUHP tentangnebis in idem,matinya terdakwa, daluwarsa
dan penyelesaian di luar proses pengadilan berupa tindak pidana pelanggaran dengan ancaman
hukuman berupa hukuman denda dan dalam UUD 1945 tentang Abolisi dan Amnesti.
2.Alasan-alasan untuk menghapuskan hak untuk menjalankan pidana adalah sebagaimana diatur
dalam KUHP dan UUD 1945 yaitu dalam Pasal 83, Pasal 84 danPasal 85 KUHP yaitu matinya
terpidana dan daluwarsanya suatu hak untuk menjalankan pidana dan Pasal 14 UUD 1945 tentang
Grasi, Amnesti dan Abolisi yang merupakan hak prerogratif dari Presiden.
Judul buku : HUKUM PIDANA
Penulis : Dr. Tofik Yanuar Chandra, S.H., M.H.
Penerbit : PT. Sangir Multi Usaha
Cetakan Pertama Maret 2022