Anda di halaman 1dari 13

PROSES PEMBUATAN EKSEPSI DAN

PLEDOI
[SEBAGAI PENASIHAT HUKUM]

KELOMPOK 3
Henie Sugiyarti [2019-092]
Rhaudah Aura S. [2019-442]
Kuni Zakiyatun N. [2019-443]
Tasyabilla Pandi U. [2019-450]
Imania Octiana H. [2019-458]
Mansyur Alief P. [2019-459]
EKSEPSI
1. Pengertian dan Penjelasan Terkait Eksepsi

Bantahan atau tangkisan terdakwa terhadap surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum di dalam praktek
peradilan disebut dengan eksepsi atau keberatan. Pada dasarnya, eksepsi atau keberatan adalah merupakan pernyataan
keberatan terdakwa terhadap dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum. Eksepsi atau keberatan ini selain diajukan oleh
terdakwa bisa juga diajukan oleh penasihat hukumnya.
Alasan-alasan pengajuan eksepsi oleh terdakwa atau penasihat hukumnya pada dasarnya meliputi: eksepsi atau
keberatan tentang kewenangan (kompetensi), eksepsi atau keberatan tentang surat dakwaan tidak dapat diterima, eksepsi
atau keberatan tentang surat dakwaan kabur. Pemberian kesempatan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya untuk
mengajukan eksepsi atau keberatan merupakan suatu hal yang wajar, karena dalam hukum acara pidana dikenal asas
“presumption of innocence” (asas praduga tidak bersalah). Suatu asas yang mengatakan bahwa terdakwa dianggap tidak
bersalah sebelum ada keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Disisi yang lain, surat dakwaan yang
sudah disusun dan dibacakan oleh penuntut umum, dasar penyusunannya adalah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari
keseluruhan proses pemeriksaan oleh Kepolisian sebagai penyidik. Berita Acara Pemeriksaan yang tidak sempurna yang
diterima oleh penuntut umum akan menimbulkan pembuatan surat dakwaan yang tidak sempurna. Surat dakwaan yang
tidak sempurna akan menjadi peluang bagi terdakwa atau penasihat hukumnya untuk merespons dengan mengajukan
eksepsi atau keberatan.
Secara hukum, eksepsi atau keberatan adalah merupakan hak dari terdakwa untuk menjawab surat dakwaan dan
dasar hukumnya diatur dalam Pasal 156 Ayat (1) Ayat (1) KUHAP yang menentukan: “Dalam hal terdakwa atau penasihat
hukum mengajukan keberatan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima
atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan
pendapatnya, hakim mempertimbangkan kesempatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”.
2. Alasan Terdakwa atau Penasehat Hukumnya Mengajukan Eksepsi

Pasal 156 Ayat (1) KUHAP, ada 3 (tiga) hal dapat diajukannya eksepsi atau keberatan oleh terdakwa atau penasihat
hukumnya yaitu:

 Eksepsi atau Keberatan Tidak Berwenang Mengadili


Eksepsi atau keberatan ini dapat berupa ketidak wenangan mengadili, baik absolut (kompetensi absolut) maupun
relative (kompetensi relative). Ada bermacam-macam alasan mengenai eksepsi atau keberatan tidak berwenang mengadili,
yaitu:
• Tidak berwenang, karena yang berwenang ialah Pengadilan Militer (kompetensi absolut, Pasal 10 UU No.4 Tahun 2002
jo UU No. 31 Tahun 1997 tentang KUHPM).
• Tidak berwenang, karena yang berwenang ialah Majelis Koneksitas (Pasal 89 KUHAP ialah : “Tindak pidana yang
dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer
diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali jika menurut Keputusan Menteri
Pertahanan dan Keamanan dengan Persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
• Tidak berwenang, yang berwenang ialah Pengadilan Negeri Lain (Kompetensi Relatif, Pasal 84 KUHAP): “Pengadilan
Negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”.
 Eksepsi atau Keberatan Dakwaan Tidak Dapat Diterima
Ada beberapa alasan yang dapat diajukan terdakwa atau penasihat hukumnya terhadap eksepsi atau keberatan
dakwaan tidak dapat diterima atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, yaitu:
• Apa yang didakwakan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya telah kadaluarsa. (Pasal 78 KUHP : (1) “Kewenangan
menuntut pidana hapus karena daluwarsa: mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan
percetakan sesudah satu tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana
penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari
tiga tahun, sedudah dua belas tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, sesudah delapan belas tahun. (2) bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas
tahun masing- masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.”)
• Adanya asas nebis in idem (Pasal 76 KUHP: (1) adanya asas nebis in idem. (Pasal 76 KUHP: (1). Kecuali dalam hal
putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak dapat dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim
Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.)
• Tidak adanya unsur pengaduan. (Pasal 74 KUHP: (1). Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak
orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia atau dalam waktu
sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.”
• Apa yang didakwakan terhadap terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
• Apa yang didakwakan kepada terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya.
• Apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan pidana akan tetapi termasuk perselisihan perdata.
 Eksepsi atau Keberatan Surat Dakwaan
Eksepsi atau keberatan ini apabila surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum tidak memenuhi syarat
materiil sebagaimana ketentuan Pasal 143 Ayat (2) huruf b KUHAP yang berbunyi: “Penuntut Umum membuat surat
dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan”.8 Kadang eksepsi atau
keberatan ini masuk eksepsi surat dakwaan obscuur libel akibat dari penafsiran terhadap kata yang tidak lengkap.9 Suatu
surat dakwaan sebagai ‘tidak cermat’ terjadi karena perbuatan yang dirumuskan bukan merupakan tindak pidana atau
bahkan faktanya bukan merupakan perbuatan terdakwa, juga karena kasus itu sudah nebis in idem atau daluwarsa.
Kemudian ‘tidak jelas’ terjadi bila rumusan perbuatan itu sesungguhnya adalah akibat perbuatan orang lain (perintah
jabatan). Sedangkan surat dakwaan ‘tidak lengkap’ bisa terjadi dalam hal tindak pidana dilakukan beberapa orang
namun setiap orang berbuat tidak sempurna. Secara materiil suatu surat dakwaan dipandang telah memenuhi syarat
apabila surat dakwaan tersebut telah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang:
• Tindak pidana yang dilakukan.
• Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut
• Dimana tindak pidana dilakukan
• Bilamana tindak pidana dilakukan
• Bagaimana tindak pidana itu dilakukan
• Akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materiil)
• Apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut
• Ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan
3. Tata Cara Saat Mengajukan

Eksepsi Pasal 156 ayat (1), pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas alasan ”formal” oleh terdakwa
atau penasihat hukum adalah ”hak” dengan ketentuan : (i) Prinsip harus diajukan pada sidang pertama. (ii) Yakni sesaat atau
”setelah” penuntut umum membaca surat dakwaan. (iii) Apabila pengajuan dilakukan diluar tenggang yang
disebutkan,eksepsi tidak perlu ditanggapi penuntut umum dan Pengadilan Negeri, kecuali mengenai eksepsi kewenangan
mengadili yang disebut kalam Pasal 156 ayat (7).
Prinsip ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 156 ayat (2) yang menegaskan jika lebih lanjut. Berarti proses
pengajuan keberatan berada antara tahap pembacaan surat dakwaan. Pemeriksaan materi pokok perkara dihentikan apabila
keberatan ditolak. Dengan demikian cukup alasan untuk menyimpulkan eksepsi tidak lagi dapat diajukan apabila proses
sudah memasuki pemeriksaan materi pokok perkara sebagaimana.
 Klasifikasi eksepsi
Pasal 156 ayat (1) menyebut berbagai jenis keberatan atas eksepsi yang ditemukan dalam uraian ini tidak terbatas pada
bentuk atau jenis eksepsi yang disebut Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi meliputi berbagai jenis yang dikenal dalam
perundangundangan lain maupun dalam praktek peradilan.
Eksepsi kewenangan mengadili atau exception of incompetency (exeption van onbe roegheld) dalam arti pengadilan yang
dilimpahi perkara tidak mengadili, yang diklasifikasikan sebagai berikut :
(1) Tidak berwenang secara ”absolut” Munculnya persoalan kewenangan absolut mengadili (absolute competenco) sebagai
akibat Pasal 15 Undang-undang No. 4 tahun 2004 yang telah menetapkan dan membagi ”yurisdiksi subtantif” untuk setiap
lingkungan peradilan pada satu segi dan pada segi lain disebabkan faktor pembentukan jenis peradilan khusus yang
kewenangannya secara absolut diberikan kepada peradilan khusus tersebut.
(2) Tidak berwenang secara ”relatif” Disebut kewenangan relatif mengadili perkara (relative competence) didasarkan pada
faktor ”daerah hukum” atau pengadilan. Setiap pengadilan negeri atau Pengadilan Tinggi, terbatas daerah atau wilayah
hukumnya. Patokan menentukan batas daerah atau wilayah hukum pada dasarnya disesuaikan dengan sistem
pemerintahan Tingkat I (provinsi) dan tingkat II ( Kabupaten atau Kotamadya).
PLEDOI
1. Pengertian dan Penjelasan Terkait Pledoi

Pledoi atau nota pembelaan merupakan pembelaan berisikan tangkisan terhadap segala tuntutan atau tuduhan
Jaksa Penuntut Umum dengan dasar mengemukakan hal-hal yang meringankan atau membenarkan dirinya yang diucapkan
oleh terdakwa atau Penasihat Hukum. Terdapat 3 (tiga) hal yang dapat menjadi kesimpulan dalam nota pembelaan (pledoi).
Pertama, Terdakwa minta dibebaskan dari segala dakwaan (bebas murni) karena tidak terbukti. Kedua, terdakwa supaya
dilepaskan dari segala tuntutan hukum, karena dakwaan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana. Ketiga,
Terdakwa meminta dihukum yang seringan-ringannya karena telah terbukti melakukan suatu tindak pidana yang
didakwakan.
Pengertian pledoi di atas menunjukan bahwa terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa tidak ada hukum atau keadilan di luar aturan, ini
merupakan ajaran dari warisan penjajah di Indonesia. Di sisi lain jika pledoi dibuat dengan berpikir kritis dan mendalam
tidak hanya terbukti atau tidaknya terdakwa namun perlu kajian kritis apakah memungkinkan perbuatan pidana tersebut
dibenarkan.
2. Komponen yang terdapat dalam Pledoi

 Komponen yang terdapat dalam Pledoi adalah :


1. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan merupakan bagian dari pembelaan hakhak terdakwa.
2. Adanya kekeliruan penuntut umum baik mengenai jenis tindak pidananya, keliru dalam menafsirkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, keliru menghubungkan keterangan saksi dengan barang bukti.
3. Ada ketidak sesuai soal apa yang diuraikan dalam surat dakwaan dengan apa yang dibuktikan dalam surat tuntutan.
4. Adanya pengenyampingan alat-alat bukti.
5. Adanya perbedaan keterangan saksi dalam BAP dengan apa yang diterangkan saksi dalam persidangan.
6. Adanya pengajuan barang bukti yang tidak relevan.
7. Keterangan saksi yang melemahkan, keterangan saksi yang memberatkan dan keterangan saksi yang meringankan atau
melemahkan dakwaan yang dibaikan penuntut dan lain sebagainya.
3. Tata Cara Pengajuan Pledoi
Secara umum tidak ada suatu teori yang baku bagaimana teknik menyusun pledoi (pembelaan). KUHAP juga tidak
mengatur apa yang harus diuraikan dalam pledoi dan bagaimana bentuk / susunannya. Sementara itu dalam tahapan pemeriksaan
suatu perkara dipengadilan, dimana berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP menyediakan satu tahapan bagi terdakwa atau
penasehat hukumnya untuk mengajukan pembelaan setelah penuntut umum menyampaikan tuntutannya.
Pledoi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dikenal dengan istilah
pembelaan. Tuntutan pidana yang diajukan penuntut umum maupun pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum pada
hakikatnya merupakan “dialogis jawab-menjawab terakhir” dalam proses pemeriksaan.Pledoi ini dilakukan secara tertulis dan
dibacakan di muka persidangan. Tujuan pledoi sendiri adalah untuk meminta putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam praktek, membuat pledoi itu bentuknya sangat variatif. Maksudnya, antara perkara yang satu dengan perkara
yang lain, yang mungkin kelihatannya sama kasus posisinya, namun sebetulnya ada perbedaan soal substansinya dan ditambah
pula selera para pembelanya. Sehingga oleh karena itulah, maka pembuatan pledoi itu tidak ada contoh yang baku, dan juga
sistimatika yang baku pula, kesemuanya sangat tergantung pada kasus posisinya,dan selera pembelanya. Bahwa didalam sebuah
pleldoi juga tidak jarang ditemukan adanya pledoi yang disusun secara penuh dengan mengedepankan teori-teori atau ajaran
hukum dan minim porsi fakta hukum dari perkara yang sebenarnya dihadapi, namun ada juga pledoi yang diisi penuh dengan
fakta-fakta tetapi minim didukung oleh teori-teori atau ajaran hukum. Kecenderungan-kecenderungan tersebut tentunya tidak baik
bagi sebuah penyusunan pledoi dan menunjukan bahwa pembuatan pledoi tersebut tampak tidak maksimal. Idealnya pembuatan
pledoi adalah kombinasi antara fakta perbuatan dalam persidangan dengan dukungan atau diperkuat teori/ajaran hukum.
Dalam hal membuat pledoi sistematikanya boleh berbeda-beda sesuai keinginan sang pembela, namun substansinya haruslah tetap
sama. Karena, substansi dari sebuah pledoi yang baik itu adalah menyangkut sistematikanya atau alur berpikirnya harus jelas,
logikanya baik, Bahasa Indonesianya baik dan benar, dasar hukumnya ada, dan obyektifitasnya jelas. Naskah sebuah pledoi dapat
berupa sebuah karya tulis yang dibuat berdasakan fakta-fakta persidangan dengan dukungan teori-teori hukum yang pada intinya
untuk mematahkan requisitoir Penuntut Umum dengan maksud untuk membela kepentingan hukum terdakwa.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai