Anda di halaman 1dari 8

lOMoARcPSD|25814559

Tugas 2 upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa


lOMoARcPSD|25814559

Tugas 2 upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa

1. Putusan Pengadilan Tinggi (PT) menyatakan tidak dapat diterima (NO) terhadap
permohonan banding yang diajukan oleh Terdakwa karena Terdakwa mengajukan
banding melebihi jangka waktu pengajuan banding. Terdakwa mengajukan kasasi
terhadap putusan PT tersebut. Menurut saudara apakah dibenarkan Terdakwa
dapat mengajukan kasasi? Kalau dapat diajukan kasasi apa argumentasi saudara?
Kalau tidak dapat dilakukan upaya kasasi apa upaya Terdakwa yang bisa
dilakukan? (poin25)

Secara hukum, pengertian dari Upaya Hukum diatur dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP,
yang berbunyi:
“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan
pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.”

Dalam praktek Kasus Pidana kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu,
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya Hukum Biasa terdiri dari Upaya
Bandig dan Kasasi.

Banding
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu
atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan pidana. Terpidana dapat
mengajukan Banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri.
Proses Banding akan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi nantinya. Sebagaimana
diatur Pasal 67 KUHAP, yang berbunyi:

“Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk meminta Banding terhadap Putusan
Pengadilan Tingkat Pertama, Kecuali terhadap Putusan Bebas, Lepas dari segala
tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan
putusan pengadilan dalam acara cepat.”

Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang
berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang
dapat diajukan hanya kasasi.

Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 7 (tujuh) hari sejak putusan
dibacakan sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) KUHAP. Apabila jangka waktu
pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang
lOMoARcPSD|25814559

diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri
yang bersangkutan dianggap telah mempunyai Berkekuatan Hukum Tetap/Inkrach.

Kasasi
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan pidana. Terpidana dapat
mengajukan Kasasi atas Putusan Banding, apabila merasa tidak puas dengan isi Putusan
Banding Pengadilan Tinggi. Proses Kasasi akan diperiksa oleh Mahkamah Agung
nantinya. Sebagaimana diatur Pasal 244 KUHAP, yang berbunyi:
“Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
Pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum
dapat mengajukan permintaan pemerikasaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali
terhadap putusan bebas.”

Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 (empat belas) hari sejak
diberitahukan kepada terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan kasasi telah lewat maka terhadap
permohonan kasasi yang diajukan dianggap menerima putusan sebelumnya. Dan akan
ditolak oleh Mahkamah Agung karena terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dianggap telah mempunyai Berkekuatan Hukum Tetap/Inkrach.

Berdasarkan Pasal 43 - Pasal 55 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI,
permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah
menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang,
permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali, dan Permohonan kasasi dapat
diajukan oleh :
a. Pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam
perkara perdata atau perkara tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum,
Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
b. Terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu atau Penuntut
Umum atau Oditur dalam perkara pidana yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum dan
Lingkungan Peradilan Militer.
c. Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena
jabatannya dalam perkara perdata atau tata usaha negara yang diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara.
d. Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang
berperkara. Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak
yang berperkara.
lOMoARcPSD|25814559

Menurut saudara apakah dibenarkan Terdakwa dapat mengajukan kasasi? Kalau


dapat diajukan kasasi apa argumentasi saudara?

Jadi, berdasarkan uraian diatas, menurut saya terdakwa tidak dapat mengajukan kasasi
karena pengajuan banding terdakwa ditolak karena telah lewat dari waktu pengajuan
banding.

Kalau tidak dapat dilakukan upaya kasasi apa upaya Terdakwa yang bisa
dilakukan?

Upaya yang dilakukan terdakwa adalah melakukan upaya hukum luar biasa berupa
Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan yang sudah bersifat tetap/ Inkrach.

Dasar pengajuan peninjauan kembali adalah sebagaimana yang sebagaimana daitur


dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yang menyebutkan :

“(a). Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan
pidana yang lebih ringan.
(b). Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah
terbuktiitu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
(c). Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata. Peninjauan kembali juga dapat dilakukan terhadap putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tepap, apabila putusan itu
merupakan suatu perbutan pidana yang didakwakan dan terbukti namun tidak ikuti
dengan suatu pemidanaan/ hukuman.”

Tata cara permintaan Peninjauan Kembali sebagai berikut :


1. Diajukan kepada panitera yang telah memutus perkaranya dengan menyebutkan
secara jelas alasannya, dan selanjutnya permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam
sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat
dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
• Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan jangka waktu, jadi kapan saja
dapat diajukan permintaan peninjuan kembali tersebut.
• Dalam rangka pemeriksaan permintaan peninjauan kembali oleh ketua pengadilan,
jaksa dan pemohon ikut hadir dan menyampaikan pendapatnya.
• Kemudian dibuatkan berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim,
jaksa, pemohon dan panitera, dan berita acara pendapat yang ditandatangani oleh
hakim dan panitera.
lOMoARcPSD|25814559

• Ketua pengadilan segera mengirim surat permintaan peninjauan kembali beserta


berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dengan disertai suatu catatan
penjelasan, dan tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan
jaksa.
• Pemeriksaan atas permintaan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung tidak
dapat diterima apabila tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
• Pemeriksaan atas permintaan kembali setelah dapat diterima dan diperiksa, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
• Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah
Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa
putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar
pertimbangan.
• Apabila Mahkamah Agung membenarkan keputusan pemohon, Mahkamah Agung
mebatalkan putusan yang dimintakan untuk dilakukan peninjauan kembali itu dan
menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
– Putusan bebas.
– Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
– Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum.
– Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
• Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi
pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
• Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas
perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim
kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali.

2. Dalam peninjauan kembali berlaku juga ketentuan Pasal 243 ayat (2), Ayat (3), ayat
(4) dan ayat (5) KUHAP dalam hal putusan Mahkamah Agung.

3. Permintaan peninjauan kembali hanya dilakukan satu kali, permintaan ini tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut, dan apabila
pemohon meninggal dunia, maka mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan
kembali diserahkan kepada ahli warisnya (Pasal 268 KUHAP).

Ketentuan tentang peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 263 – Pasal 268
KUHAP berlaku juga dalam lingkungan peradilan militer sebagaimana diatur
dalam Pasal 269 KUHAP.

2. Dalam Pasal 237 KUHAP mengatur: Selama pengadilan tinggi belum mulai
memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik terdakwa atau kuasanya
maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori
banding kepada pengadilan tinggi. Menurut Saudara bagaimana akibat hukumnya
jika Terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum tidak mengajukan memori
banding atau kontra memori banding? (poin25)
lOMoARcPSD|25814559

Memori banding secara singkat dapat diartikan sebagai risalah yang disusun oleh
pemohon banding dan merupakan tanggapan terhadap sebagian maupun atas seluruh
pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan. Tanggapan itu tidak terbatas hanya sepanjang
mengenai kesalahan penerapan, penafsiran, dan kewenangan mengadili, tapi meliputi
aspek penilaian keadaan dan pembuktian. Di samping itu, memori banding dapat juga
mengemukakan hal-hal baru atau fakta dan pembuktian baru, dan meminta supaya hal-
hal atau fakta baru itu diperiksa dalam suatu pemeriksaan tambahan.

Memori banding diajukan oleh pemohon banding, pihak yang lain dapat
mengajukan kontra memori banding. Misalnya, jika terdakwa mengajukan permintaan
banding. Permintaan banding itu didukung dengan memori banding. Dalam hal ini pihak
penuntut umum mempunyai hak untuk mengajukan kontra memori banding.

Pengadilan berkewajiban untuk memberitahukan memori dan kontra memori banding


kepada pihak lain, karena mana mungkin membuat dan menyerahkan kontra memori
banding, tanpa ada diberitahukan kepadanya adanya penyerahan memori banding dari
pihak lain? Jadi, harus ada pemberitahuan kepada yang mengajukan kontra memori
banding bahwa ada yang mengajukan memori banding.

Membuat dan mengajukan memori banding “bukan kewajiban hukum” yang


dibebankan oleh undang-undang terhadap pemohon banding. Undang-undang tidak
mewajibkan pemohon banding untuk mesti mengajukan memori banding.

Permohonan banding tidak mesti dibarengi dengan memori banding. Tanpa memori
banding, permintaan banding sah dan dapat diterima. Ada atau tidak memori banding,
tidak menjadi masalah.

3. Dengan adanya Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, untuk upaya hukum luar biasa
yaitu peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali, namun Mahkamah
Agung berdasarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014, menyatakan “tidak ada
Peninjauan Kembali kedua atau lebih, kecuali dengan alasan terdapat berbagai
putusan dalam satu obyek perkara”, bagaimana pendapat saudara mengenai hal
tersebut? (poin50)

SEMA pada dasarnya dapat diklasifikan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel)


karena SEMA adalah surat edaran yang dikeluarkan oleh pimpinan MA yang ditujukan
kepada hakim dan jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan
peradilan yang lebih bersifat administrasi dan mengatur kedalam. Oleh karenanya tidak
dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan termasuk SEMA
No. 7 Tahun 2014 tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Untuk menjamin kepastian hukum dalam pengajuan PK pada
perkara pidana, Putusan MK ini harus dijadikan pedoman bagi MA beserta semua
pengadilan negeri dibawahnya dalam menangani pengajuan PK pada perkara pidana.
lOMoARcPSD|25814559

Pasal 47 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 jo. Undang-Undang No. 24 Tahun


2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan “Putusan Mahkamah
Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum”. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa dengan sendirinya.
Putusan MK tidak memerlukan pelaksanaan lain, karena sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno putusan telah memiliki kekuatan hukum. Putusan MK merupakan
tafsir tertinggi terhadap ketentuan konstitusi yang dilakukan oleh MK sebagai the
sole interpreter of constitution memiliki sifat final and binding sehingga harus
ditaati oleh setiap warga negara dan semua cabang-cabang kekuasaan negara termasuk
MA.

Tindakan MA menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi PK hanya sekali,
jelas bertentangan dengan Putusan MK yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP
Dengan dibatalkanya Pasal 268 ayat (3) KUHAP telah berimplikasi pada PK dapat
diajukan berkali-kali sementara melalui SEMA, MA justru mengukuhkan PK hanya
sekali. Penerbitan SEMA No.7Tahun 2014 dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
ketidakpatuhan terhadap konstitusi sebagai hukum dasar dan juga pelanggaran terhadap
konsepsi negara hukum.

Menurut MA dasar diterbitkanya SEMA, bukanlah KUHAP melainkan Pasal 24 ayat


(2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan
Kehakiman) dan Pasal 66 ayat (1) UU MA. Diabaikanya Putusan MK yang membatalkan
Pasal 268 ayat (3) KUHAP dalam SEMA No. 7 Tahun 2014 merupakan alasan yang
kurang tepat karena Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah dibatalkan ini harus dimaknai
bersifat lex specialis terhadap UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman. Perlu dijelaskan
bahwa ketentuan yang mengatur tentang PK dalam UU MA dan UU Kekuasaan
Kehakiman adalah ketentuan yang berlaku umum terhadap pengajuan PK dalam perkara
perdata, tata usaha negara dan agama. Khusus untuk perkara pidana mengacu pada Pasal
268 ayat (3) KUHAP yang dalam hal ini telah dibatalkan oleh MK.

Dengan demikian untuk menjamin kepastian hukum dalam pengajuan PK pada perkara
pidana, Putusan MK ini harus dijadikan pedoman bagi MA beserta semua pengadilan
negeri dibawahnya dalam menangani pengajuan PK pada perkara pidana. Dalam setiap
perumusan SEMA dan PERMA sepanjang itu menyangkut pengajuan PK pada perkara
pidana harus mencantumkan Putusan MK dalam konsideranya. Sekarang semua
peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah sejauh mengacu ke
undang-undang yang pernah diputus MK selalu disebutkan putusan MK sebagai salah
satu konsideranya.
lOMoARcPSD|25814559

Sumber/Referensi :

BMP Hukum Acara Pidana

Anda mungkin juga menyukai