Anda di halaman 1dari 31

UPAYA HUKUM

Fahririn, SH., MH
Pasal 1 butir 12 KUHAP, menyatakan “ Hak terdakwa atau penuntut
umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa
perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal Serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
MACAM-MACAM PUTUSAN

01 02 03

Bebas Lepas Pengukuman terdakwa


Pasal 191/1 KUHAP Pasal 191/2 (KUHAP) Pasal 193/1
UPAYA HUKUM

Banding Kasasi
BANDING

Pasal 21 UU No. 22 tahun 2002 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa :


(1) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada
pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan,
(2) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari
dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
(3) pasal 67 KUHAP, bahwa “terdakwa atau penuntut umum berhak meminta banding
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum
dan putusan pengadilan dalam cara tepat”.
Terdakwa dan penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum
banding ke pengadilan tinggi atas semua putusan pengadilan negeri
(tingkat penama), kecuali :

● Putusan bebas (Vrijspraak)


● Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya
penerapan hukum;
● Putusan pengadilan dalam acara cepat.
● Pemeriksaan Praperadilan (pasal 83)
Tujuan dari pada pengajuan
permohonan banding
1. Menguji putusan pengadilan negeri (tingkat pertama) tentang ketepatan atau
bersesuaian dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku;
2. Untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu Jadi pemeriksaan
banding sering disebut juga “revisi”. Oleh karena merupakan suatu penilaian baru
(judicium novum).
3. Ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang
kurang lengkap, maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat
memerintahkan pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan
tinggi melakukannya sendiri”.
Bolehkah penuntut Umum
mengajukan banding atas putusan
bebas?
Alasan banding oleh penuntut umum terhadap putusan pembebasan, yaitu
sebagaimana menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 19/ Kr/ 1969, yang
menyatakan bahwa “Putusan yang mengandung pembebasan, tidak dapat
dimintakan banding oleh jaksa (Penuntut Umum), kecuali dapat dibuktikan dalam
memori bandingnya bahwa pembebasan tersebut sebenarnya dalah pembebasan
tidak murni”.
Alasan diajukan Banding terhadap Putusan BEBAS

✓ Sebagai usaha koreksi terhadap putusan pengadilan dalam tingkat


pertama;
✓ Kemungkinan adanya faktor-faktor lain yang dapat mempengamhi
putusan hakim;
✓ Kemungkinan adanya kekhilafan hakim dalam membuat putusannya.
KETENTUAN DALAM BANDING

✓ Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan


pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan,
✓ Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 7 (tujuh) hari sejak
putusan dibacakan sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) KUHAP.
✓ Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap
permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena
terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah
mempunyai Berkekuatan Hukum Tetap/Inkrach.
KASASI
✓ kasasi didasrkan atas penimbangan bahwa terjadinya kesalahan penerapan hukum
atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya
✓ Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan
membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru
dalam menerapkan hukum.
✓ Dasar diajukannya kasasi, sebagaimana diatur dalam pasal 244 KUHAP, bahwa
“terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
ALASAN MENGAJUKAN BANDING

✓ Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau


diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
✓ Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang;
✓ Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya
Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 (empat
belas) hari sejak diberitahukan kepada terdakwa sebagaimana
diatur dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan kasasi telah lewat
maka terhadap permohonan kasasi yang diajukan dianggap
menerima putusan sebelumnya.
Dan akan ditolak oleh Mahkamah Agung karena terhadap putusan
Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dianggap telah mempunyai
Berkekuatan Hukum Tetap/Inkrach.
UPAYA HUKUM LUAR BIASA

Bab XVIII Bagian Kesatu dari Pasal 259 sampai denga Pasal 262 KUHAP tentang
kasasi demi kepentingan hukum dan Bagian Kedua dari Pasal 263 sampai
dengan Pasal 269 KUHAP tentang peninjauan kembali atas putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kasasi Demi Kepentingan Hukum

1. Pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan terhadap semua


putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang hanya dapat
diajukan oleh Jaksa Agung berdasarkan penyampaian dari pejabat Kejaksaan
yang menurut pendapatnya perkara ini perlu dimintakan kasasi demi
kepentingan hukum.
2. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan
kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung, adalah putusan pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi, kecuali putusan Mahkamah Agung.
✓ Dalam pengajuan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung dimaksudkan
untuk menjaga kepentingan terpidana, sebab putusan kasasi demi kepentingan
hokum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan (terpidana) (Pasal 259
ayat (2) KUHAP)
✓ Hukuman yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung atas permintaan kasasi demi
kepentingan hukum oleh Jaksa Agung tidak boleh lebih berat dari hukuman semula
yang telah dijatuhkan dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
✓ Jadi permintaan kasasi demi hukum oleh Jaksa Agung, tidak lain dimaksudkan
adalah membuka kemungkinan bagi perubahan atas putusan pengadilan di bawah
keputusan Mahkamah Agung, yang dirasakan kurang tepat oleh Jaksa Agung,
dengan kata lain putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri atau pengadilan
tinggi terlalu berat yang tidak sesuai dengan tuntutan penuntut umum.
Peninjauan Kembali (Herziening)

✓ Lembaga herziening di dalam hukum diartikan sebagai upaya hukum yang


mengatur tentang tata Cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

✓ Jadi herzeining adalah suatu peninjauan kembali atas putusan di semua tingkat
pengadilan, seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung
yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali atas putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum (pasal 263 ayat (1) KUHAP).
Dasar Hukum

Pasal 23 Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa :


(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila
terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. (2) Terhadap
putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
pasal 263 ayat (1) KUHAP:
bahwa “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
pennintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Syarat Pokok Mengajujan PK :

(1) Atas putusan pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; (pasal 263/1 KUHAP)
(2) Putusan pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap itu bukanlah putusan bebas (vrijspraak) atau lepas dari
segala tuntutan hukum (ontslag van alie rechtsvolging);
(3) Yang mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli Warisnya.
syarat-syarat lainnya sebagaimana ditentukan menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP

a. Apabila terdapat keadaan baru yang meninmbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan
itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas (Vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van
alie rechtsvolging) atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
(nietontvvankelijk verklaring) atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana
yang lebih ringan;
b. Apabila dalam putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi
hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliman yang nyata.
Tata cara permintaan Peninjauan Kembali sebagai berikut :

1. Diajukan kepada panitera yang telah memutus perkaranya dengan menyebutkan secara jelas
alasannya, dan selanjutnya permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan
yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada
berkas perkara.
2. Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan jangka waktu, jadi kapan saja dapat diajukan
permintaan peninjuan kembali tersebut.
3. Dalam rangka pemeriksaan permintaan peninjauan kembali oleh ketua pengadilan, jaksa dan
pemohon ikut hadir dan menyampaikan pendapatnya.
4. Kemudian dibuatkan berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan
panitera, dan berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
Ketentuan PK
1. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak
permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan
kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangan.
2. Apabila Mahkamah Agung membenarkan keputusan pemohon, Mahkamah Agung mebatalkan
putusan yang dimintakan untuk dilakukan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang
dapat berupa: Putusan bebas, Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, Putusan tidak dapat
menerima tuntutan penuntut umum., Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
3. Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah
dijatuhkan dalam putusan semula.
Amnesti, Abolisi, dan Grasi

✓ Pemberian Amnesti, Abolisi, dan Grasi merupakan kewenangan Presiden dengan


memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (“MA”) atau Dewan Perwakilan Rakyat
(“DPR”) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”),
yang berbunyi:
✓ Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung.
✓ Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Amnesti dan Abolisi

Amnesti diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang


Amnesti dan Abolisi (“UU 11/1954”)

✓ Amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-
undang tentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan
pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana.

✓ Abolisi adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan
putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana,
serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan.
Merupakan hak prerogarif Presiden yang hanya diberikan setelah meminta nasihat
Mahkamah Agung.
Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada
orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi
amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung
yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman (saat ini
Menteri Hukum dan HAM).

Pasal 4 UU 11/1954 menyatakan bahwa dengan pemberian amnesti semua akibat


hukum pidana terhadap orang-orang diberikan amnesti dihapuskan. Sedangkan
untuk pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan
abolisi ditiadakan.
Grasi

Grasi diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU
Grasi”) sebagaimana telah diubah oleh Undang–Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 5/2010”). Definisi hukum Grasi diatur
dalam Pasal 1 angka 1 UU Grasi yang berbunyi:

Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan


pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010 diatur bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Pengaturan Mengenai Grasi
1. Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang
memutus perkara pada tingkat pertama.[ Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana
tidak hadir, hak terpidana diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus
perkara pada tingkat pertama, banding atau kasasi.
2. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
3. Perlu di ingat bahwa Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, agar memberikan kepastian
hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif.
Pihak yang dapat Mengajukan Grasi

1. Terpidana atau kuasa hukumnya


2. Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana, keluarga yang dimaksud adalah
isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung
terpidana; atau
3. Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, apabila terpidana dijatuhi pidana
mati.
Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana setelah
mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa:
peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan jumlah pidana; atau penghapusan pelaksanaan
pidana.

Anda mungkin juga menyukai